Senin, 08 Maret 2010

Selamatkan Pendidikan Indonesia dari Kapitalisasi dan Liberalisasi

Siapa pun pasti sepakat bahwa pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama halnya dengan pangan, sandang dan papan. Bahkan dalam institusi yang terkecil seperti keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Namun, sungguh miris rasanya menatap kondisi pendidikan di negeri ini. Permasalahan kualitas pendidikan di negara ini masih berada dalam potret buram dan masih tertinggal dari negara-negara tetangga. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Hasil survey tahun 2007 World Competitiveness Year Book memaparkan daya saing pendidikan dari 55 negara yang diseurvei, Indonesia berada pada urutan 53. Di sisi lain, menurut laporan United Nation Development Programe (UNDP), Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2007 berada pada urutan ke-107 dari 177 negara. Indonesia memperoleh indeks 0,728. Di kawasan ASEAN Indonesia menempati urutan ke-7 dari sembilan negara ASEAN yang dipublikasikan. Peringkat teratas di ASEAN adalah Singapura dengan HDI 0,922, disusul Brunei Darussalam 0,894, Malaysia 0,811, Thailand 0,781, Filipina 0,771, dan Vietnam 0,733. Sedangkan Kamboja 0,598 dan Myanmar 0,583 berada di bawah HDI Indonesia. Sekali lagi, laporan ini menunjukkan masih rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini. Pasca kenaikan harga BBM yang hampir mencapai 30% sudah pasti selalu diikuti oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dampak kenaikan ini membuat pendidikan menjadi suatu komoditas yang semakin sulit dijangkau lebih-lebih oleh rakyat miskin. Pasalnya sekolah semakin mahal. Untuk masuk sekolah dasar yang unggul saja, orangtua bisa menghabiskan uang jutaan rupiah. Memang ada yang murah, tetapi jangan ditanya kualitasnya; tentu apa adanya. Belum lagi, problem lain masih tentang pendidikan di negeri ini juga terjadi di sana-sini. Mulai dari sarana yang tidak memadai, membengkaknya anak putus sekolah, obral ijazah, jual-beli nilai, ketidakprofesionalan para pendidik, kebijakan Pemerintah yang anomali dan kurikulum yang gonta-ganti, sampai pada output peserta didik dengan kualitas yang serba tanggung, kepribadian amburadul dan keahlian minim. Melihat sederet permasalahan di atas, ada apa sebenarnya dengan sistem pendidikan kita? Mampukah kita mengurai ‘benang kusut’ permasalahan pendidikan untuk bangsa ini agar pendidikan berkualitas untuk semua kalangan, baik kaya atau miskin, bisa diwujudkan? Lantas, bagaimana caranya agar ‘benang kusut’ permasalahan pendidikan bisa diselesaikan secara tuntas? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba penulis uraikan pada tulisan di bawah ini. Mengurai ‘Benang Kusut’ Permasalahan Pendidikan Indonesia Diakui atau tidak, bangsa ini sekarang sudah mengadopsi secara penuh sistem pendidikan sekular-materialistik. Sistem ini berakar dari ideologi kapitalisme yang meniscayakan sistem politik, ekonomi, termasuk pendidikan yang kapitalistik. Wajah pendidikan yang bersifat sosial berubah menjadi profit oriented. Kapitalisasi pendidikan telah menjadi suatu prinsip yang harus dijalankan oleh setiap institusi pendidikan di negeri ini. Pada akhirnya, pendidikan pun menjadi komoditas ekonomi. Pendidikan perspektif kapitalisme mendefinisikan bahwa kegiatan pokok pendidikan adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya ketrampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya ketrampilan. Logika perdagangan jasa pendidikan sebagaimana diutarakan Prof. Dr. Sofian Effendi (mantan Rektor UGM) mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi dalam 3 sektor. Sektor primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier dalam jalur perdagangan internasional. Oleh karena itu, tidak mengherankan tiga negara maju (AS, Inggris, dan Australia) amat getol menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO karena mereka sangat diuntungkan dalam perdagangan ini. Misalnya, Amerika Serikat,. pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar; Inggris sumbangan eksport pendidikan mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa negara tersebut; Australia, yang pada tahun 1993, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar. (Dikutip dari tulisan;”Liberalisasi Pendidikan dan WTO” Dani Setiawan, Program Officer Koalisi Anti Utang (KAU), anggota Aliansi Advokasi Pendidikan Nasional). Akhirnya, ketika Indonesia telah telah menjadi anggota WTO (1995) dan telah ikut menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Services) pada bulan Desember 2005 maka siap ataupun tidak siap Indonesia harus mengikuti arus pasar internasional. Artinya, semua aspek mengalami liberalisasi dan kapitalisasi, termasuk bidang pendidikan. Proses otonomi pendidikan dasar-tinggi dan pencabutan subsidi pendidikan dilakukan karena dianggap menghambat persaingan bebas-dalam bidang pendidikan. Implikasinya, pendidikan murah apalagi gratis hanya isapan jempol belaka. Karena pemerintah hanyalah regulator dan dijauhkan peranannya untuk intervensi di bidang pendidikan. Di sisi lain, investasi kapitalis domestik dan asing dalam pendidikan di Indonesia masuk secara legal. Lihat saja UU No 20/2003, Pasal 53 tentang BHP; RUU BHP dalam Pasal 6 ayat (1): ”lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia”; PerPres No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Terbuka dan Bidang Usaha Yang Tertutup dengan Persyaratan Penanaman Modal. Pendidikan Dasar-Menengah-Kejuruan-Vokasional-PT batas Pemodal Asing 49%.

Target Investor Asing dalam Bidang Pendidikan

Kapitalisasi dan liberalisasi merupakan paket yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan sistem kapitalisme itu sendiri. Gurita sistem kapitalisme tidak akan mengakar ketika sistem pendidikan tidak dikapitalisasi dan diliberalisasi. Agenda ini merupakan serangkaian dari kapitalisasi dan liberalisasi sumberdaya alam, listrik, kesehatan, dan sarana publik lainnya. Target dari agenda ini diantaranya:

· Memasarkan konsep dan manajemen pengelolaan pendidikan dari Asing/Barat, Terwujudnya SDM yang pro kapitalis adalah rangkaian penting guna terealisasinya agenda ini. Karena manusia-manusia pro kapitalis inilah yang akan memasarkan konsep dan manajemen pengelolaan dari Asing/Barat dari masalah pendidikan sampai nilai-nilai peradabannya. Untuk selanjutnya, SDM pabrikan sekolah kapitalis ini, sadar atau tidak, hanya menjadi antek-antek kapitalis. Banyak kalangan yang mensinyalir, akademisi yang serta merta menyetujui perubahan status peguruan tinggi menjadi BHMN adalah antek-antek mereka. Dimenangkannya Exxon Mobile dalam mengelola sumber minyak di Cepu tidak luput dari upaya yang cukup gigih dari antek-antek kapitalis. Swastanisasi SDA, listrik, juga sarana publik lainnya adalah berkat jasa anak bangsa yang menjadi antek-antek kapitalis. · Mewujudkan SDM yang murahan dan mudah dieksploitasi. Sekolah dalam pandangan kapitalis tidak lebih dari sekedar menghasilkan manusia-manusia dengan SDM murah dan mudah dieksploitasi. Biaya pendidikan yang mahal bagi masyarakat memaksa berbagai perguruan membuka “program khusus” untuk menghasilkan tenaga kerja yang “siap pakai”. Sekolah tidak lebih dari produsen tenaga kerja pesanan pasar. Lembaga pendidikan akhirnya lebih berorientasi pada bagaimana menjadikan anak-anak didiknya tenaga terampil, sementara faktor pembinaan kepribadian anak didik cenderung terabaikan.
Orientasi pendidikan peserta didik pun tidak lebih dari cepat lulus, segera mendapatkan pekerjaan yang layak, dan sesegera mungkin mengembalikan modal orang tua-walaupun dalam realitasnya tidak semudah dan sesederhana yang dibayangkan. Kenyataan justru bebicara lain. Lulusan dari beberapa perguruan tinggi semakin menambah jumlah pengangguran.
· Menanamkan nilai-nilai ideologi Barat dan menjauhkan ideologi Islam dari benak umat Praktis, pasca keruntuhan rezim sosialis-komunis lewat tangan besinya Uni Soviet, tinggal satu kekuatan yang mengahadang negara adidaya, yaitu kembalinya negara Islam ideologis dalam bingkai Kekhilafahan Islam. Dewan Intelijen Nasional (NIC) AS telah merilis laporan Global Proyek 2020 yang bertema ‘Pemetaan Masa Depan Global’. NIC adalah masyarakat intelijen AS yang berfungsi sebagai pusat penelitian strategis jangka menengah dan panjang, diantaranya membuat skenario yang akan dihadapi dunia pada tahun 2020. Laporan mereka menyimpulkan bahwa daya tarik Islam saat ini adalah seruan untuk kembali ke sumber keaslian Islam yang telah melahirkan peradaban Islam di masa lalu dan yang akan membawa perubahan substansial di masa datang di bawah kepemimpinan umum Khilafah Islamiyah. Lebih jauh lagi, laporan ini memberikan rekomendasi kepada pemerintahan AS untuk menyiapkan perencanaan yang matang guna menghadapi Khilafah di masa mendatang.

Reposisi Paradigma Sistem Pendidikan

1. Pendidikan Penentu Kemajuan Bangsa


Pendidikan adalah investasi besar untuk kemajuan suatu bangsa. Jika menginginkan negeri ini maju sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian penuh untuk pendidikan. Pengeliminasian campur tangan pemerintah, baik secara parsial ataupun keseluruhan memalui otonomi atau privatisasi tidak bisa ditolerir. Masalah pendidikan adalah masalah regenerasi suatu bangsa. Bagaimana mungkin pemerintah mengangkat tangan dalam hal pendanaan pendidikan padahal dari sinilah lahir the next generation?. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah dalam menjamin penyelenggaraan pendidikan menjadi mutlak, sehingga pendidikan dapat diakses seluas-luasnya oleh seluruh masyarakat. Sudah selayaknya pemerintah meninjau ulang bahkan mencabut kebijakan otonomi/privatisasi pendidikan, pemerintah harus memberikan subsidi penuh bagi pendidikan dengan cara mengembalikan aset-aset ekonomi negara dari cengkeraman asing (diantaranya hasil hutan, tambang emas, minyak bumi, gas alam, dll) untuk membiayai pendidikan. Sebenarnya kekayaan negeri ini sangat brlimpah, jika dikelola dengan benar oleh negara bukan oleh asing, akan mencukupi untuk membiayai pendidikan. Misalnya, dari hasil hutan sebesar Rp 63 triliyun-72 triliyun (data tahun 2001), hasil tambang emas Freeport Rp 30 triliyun/tahun.

2. Output Pendidikan untuk Melahirkan Pemimpin Masa Depan


Pendidikan seharusnya diselenggarakan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun kekuatan moral melalui intelektualitas dan kepedulian sosial para lulusannya, mensejahterakan kehidupan masyarakat dengan hasil-hasil risetnya. Seharusnya pendidikan diselenggarakan tak semata akademis, namun memberi ruang pada pembentukan karakter dan pembangunan nilai-nilai kepemimpinan.


Sementara saat ini pendekatan pendidikan cenderung diarahkan pada desain Economic Return Approach. Pantaskah menganalogikan pendidikan dengan proses produksi? Hitung ongkosnya serupa hitung input-proses-produk lalu lihat produktivitas lulusan, berapa jumlah lulusan yang diserap dunia kerja bukan menciptakan lapangan kerja serta mengelola asset-aset Negara untuk kesejahteraan masyarakatnya. Justru mind set yang ada saat ini di dunia pendidikan adalah paradigma dimana mereka dipekerjakan dan berapa penghasilan yang didapat? Kemudian disimpulkan bahwa pendidikan telah gagal atau berhasil.


Tak heran, betapa bangsa ini sulit sekali mencari sosok pemimpin. Sebab salah satu modal penting jaminan manusia berkemajuan telah semata menjadi sarana mendidik buruh, bukan ahli, bukan pakar, bukan manusia yang sadar kebutuhan masyarakatnya, serta pentingnya mewujudkan kemandirian bangsa serta kesejahteraan masyarakatnya. Bukan manusia yang mengemban tanggung jawab mengembangkan dunia dengan nilai-nilai kebaikan.


Dari paradigma di atas, akan ditemukan jawaban sangat jelas dengan memuaskan, apabila kita membandingkannya dengan sistem pendidikan Islam. Masalah pendidikan adalah ikhwal penting dan diprioritaskan oleh Negara. Pendidikan dan Negara adalah hal yang tak dapat dipisahkan. Pendidikan merupakan salah satu tanggung jawab pemerintah dan tak akan ada tanpa dukungannya. Sebaliknya, negara tak akan pernah bangkit apabila pendidikannya tak dibina dengan cemerlang. Sejarah membuktikan bagaimana dengan sistem pendidikan Islam, telah melahirkan sebuah peradaban yang menjadi guru dari segala peradaban, peradaban terlama yang pernah ada di muka bumi yaitu selama 13 abad. Negara memberikan dukungan terhadab pendidikan ini dengan berbagai kebijakan seperti: pendidikan gratis, pelengkapan fasilitas, dan jaminan hidup para pengajar. Sungguh ketika kita kembali membuka sejarah mengenai kegemilangan peradaban Islam kita akan semakin terpukau melihat para intelektual muslim yang lahir sistem ini. Bahkan hingga kini hasil-hasil yang terderivasi dari sistem ini dijadikan kiblat oleh para ilmuwan Eropa dan Amerika yang notabene menjadi iptek di dunia.

Sistem Pendidikan Islam, Kenapa Tidak?

Kenyataan penurunan kualitas SDM Indonesia, termasuk kalangan yang mengaku sebagai intelek, tidak dapat dipungkiri. Sistem pendidikan yang sekarang dijalankan memang punya keterkaitan dengan hal tersebut.Bukankah salah satu tujuan pendidikan dalah membentuk SDM berkualitas, dalam artian berjati diri (moral dan spiritual), menguasai iptek, berkompeten, mandiri serta berjiwa pemimpin. Sepertinya memang ada yang salah dengan sistem pendidikannya. Lalu, seharusnya bagaimana?
Indonesia mayoritas penduduknya muslim, sehingga bukan sesuatu yang aneh jika sistem pendidikan Islam yang diterapkan. Dalam pelaksanaannya sistem pendidikan Islam telah terbukti menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas.
Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Haitsam,, dan masih banyak lagi merupakan ilmuwan-ilmuwan Islam yang karya-karyanya tercatat terus dipakai bahkan hingga saat ini. Mereka tidak hanya ahli di satu bidang saja, tetapi juga alim ulama yang mampu menggali hukum Islam sebagai solusi dari permasalahan kehidupan. Sejarah juga mencatat bahwa di saat Barat sedang berada di zaman kegelapan, justru Islam sedang berada pada kegemilangannya. Ketika masa renaisans, Barat belajar dari universitas-universitas umat Islam, sebut saja Baghdad, Granada, Seville, dan sebagainya.
1. Sistem Pendidikan Islam Berasaskan Akidah Islam
Dalam Islam pendidikan merupakan pelaksanaan perintah Allah untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu merupakan salah satu ibadah yang bahkan dilakukan sejak awal kehidupan hingga saat akhir ajalnya. Dengan ilmu setiap manusia mempelajari aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai penciptanya. Asas yang sekularistik menjadi kelemahan dari system pendidikan yang diterapkan di Indonesia saat ini, bahkan di seluruh dunia, karena melupakan bahwa manusia makhluk Allah yang harus menaati peraturan-Nya.

2. Tujuan Sistem Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkualitas
Tujuan pendidikan dalan Islam adalah mengembangakan manusia yang berkepribadian islam, menguasai tsaqafah Islam, dan menguasai ilmu kehidupan (sains, teknologi, dan seni). Sehingga yany terbentuk adalah manusia-manusia yang dapat menguasai pemasalahan kehidupannya dalam koridor syariah Islam. Manusia yang demikian akan mgalami kebangkitan, tangguh, dan maju. Namun, pendidikan yang sekural cenderung membentuk pribadi yang individualis dan materialis. Maka tak heran jika saat ini lebih banyak ditemukan manusia-manusia pragmatis terhadap keadaan.

3. Pendidikan tanggung Jawab Pemerintah Sepenuhnya
Pemerintah adalah penentu kebijakan pendidikan, termasuk kurikulum dan metode pendidikan yang berasaskan akidah Islam. Masyarakat diperbolehkan ikut serta dalam penyelenggaraan pendidikan, tetapi tetap megikuti kurikulum dan metode tang ditetapkan oleh pemerintah. Saran dan fasilitas pendidikan yang diselenggarakan masyarakat berstatus wakaf.

4. Dibedakan: Tsaqafah dan Ilmu Sains
Tsaqafah merupakan istilah untuk menyebut ilmu yang terkait dengan kebudayaan atau pemikiran tertentu. Dengan kata lain, ilmu yang ideologis. Tsaqafah Islam diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar. Yang termasuk dalam kategori ini antar lain ilmu Bahasa Arab, ilmu tafsir, dan ilmu hadits. Ilmu sains, terkait penerapan pengetahuan dan teknologi. Contohnya, kedokteran, penerbangan, teknik mesin, dan sebagainya. Ilmu ini termasuk dalam ilmu umum yang diajarkan pada jenjang perguruan tinggi. Adapun tsaqafah bukan Islam, contohnya ilmu ekonomi sosialis dan kapiatlis, filsafat, atau ilmu yang bertentangan dengan Islam boleh dipelajari hanya untuk mengungkapkan keburukannya. Seperti halnya ilmu sains, tsaqafah bukan Islam hanya dipelajari pada jenjang pendidikan tinggi.

5. Pendidikan Bagi Siapa Pun
Dalam Islam tidak terdapat batasan usia pendidikan. Yang ditegaskan hanyalah bahwa pendidikan di sekolah dimulai sejak usia tujuh tahun, sesuai perintah untuk mengajarkan shalat pada anak-anak pada usia itu (HR Hakim dan Abu Dawaud). Tua-muda tidak masalah duduk berdampingan dalam satu ruangan belajar. Selain itu, pembatasan usia untuk jenjang pendidikan tertentu berarti menyamaratakan potensi kecerdasan manusia yang berbeda satu sama lain.

6. Pembiayaan Pendidikan Islam: Gratis
Pendidikan dalam Islam gratis, sehingga setiap orang pun mendapatkan kesempatan yang sama. Tidak akan timbul kesenjangan antar si kaya dan si miskin dalam hal menuntut ilmu. Hal ini berlaku pada untuk pendidikan secara keseluruhan, berbeda dengan sistem pendidikan saat ini yang penentu kebijakannya dipisahkan antara pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Terkait pengadaan biaya, biasanya merupakan pangkal permasalahan di Indonesia. Padahal, apakah yang menjadikan Indonesia tidak mampu membiayai penyelenggaraan pendidikan bagi rakyatnya sendiri?
Indonesia adalah negara kaya-raya dan sumber daya alam yang dimilikinya pun tidak akan ada habisnya selama pemanfaatannya memperhatikan kelestariannya. Sebut saja pertambangan, pertanian, perikanan laut dan air tawar, peternakan, dan sebagainya. Dari pertambangan saja, emas-perak, minyak bumi, gas alam, seperti tidak ada habisnya. Dengan demikian, pembiayaan pendidikan seharusnya tidak menjadi permasalahan, termasuk pengadaan sarana dan fasilitas pendidikan seperti gedung-gedung sekolah, perpustakaan, peralatan praktikum, dan sebagainya.
Indonesia memiliki Natuna dengan potensi perairan laut 90%. Potensi laut tersebut mampu menghasilkan potensi dana sebesar US $ 1.1 miliar/tahun hanya pada ikan kerapu belum ikan yang lain. Potensi gas alam natuna juga sangat besar. Freeport adalah daerah penghasil emas terbesar kedua di dunia dengan potensi pemasukan US $ 1.1 juta/tahun untuk kas negara. Blok Cepu memiliki cadangan minyak dengan pemasukan US $1.2 juta/tahun. Minahasa memiliki tambang emas dengan pemasukan US $ 104.2 juta. Kemana semua itu? Bukankah sudah seharusnya untuk pembangunan Indonesia, termasuk pendidikan?

Khatimah
Berdasarkan konsep sistem pendidikan Islam yang sudah dipaparkan di atas, bukan suatu gagasan yang absurb untuk menerapkan sistem pendidikan Islam. Namun demikian, konsep ideal ini tentu saja tidak akan bisa terwujud manakala sistem kenegaraan negeri ini tidak diubah menjadi sistem kekhilafahan Islam sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah saw dan diikuti oleh para Khalifah sesudahnya. Sehingga tidak ada cara lain, agar pendidikan di Indonesia bisa selamat dari gurita kapitalisasi dan liberalisasi yang jelas-jelas sangat berbahaya itu, maka terapkan sistem pendidikan Islam dalam sistem negara Khilafah Islam. Wallahu a’lam bish-showab.

Tidak ada komentar: