Sabtu, 13 Maret 2010

MAKALAH HISTORIOGRAFI PESANTREN

Pendahuluan
Historiografi berarti penulisan sejarah atau sejarah penulisan sejarah.
Jadi historiografi pesantren dapat dipahami sebagai sebagai penulisan
sejarah pesantren. Dalam konteks ini jika sejarah diartikan sebagai kisah
masa lalu, maka historiografi pesantren dapat dipahami sebagai penulisan
kisah masa lalu pesantren. Tulisan yang berisi masa lalu pesantren begitu
berserak dalam berbagai bentuk. Terlepas memenuhi kriteria sebagai
historiografi atau tidak, kisah tentang keberadaan pesantren sejak awal
berdirinya sudah dapat diketahui.
Pesantren dipandang sebagai kelanjutan dari bentuk mandala pada
masa Hindu (Moestopo, 2001: 150; Sutjiatining & Kutoyo: 1986:51). Mandala
adalah sebuah asrama bagi para pertapa atau pelajar dari agama siwa yang
terletak di tengah-tengah hutan yang dipinpin oleh seorang dewa guru. Tetapi
ada yang berpendapat bahwa kawikuan merupakan prototype pondok
pesantren yang sekarang (Sutjiatiningsih & Kutoyo, 1986: 67). Ampeldenta di
Surabaya dianggap sebagai bentuk pesantren yang telah ada sejak kwartal
tiga abad 15 (Sofwan, Wasit, Mundiri, 2000). Pesantren juga ada yang
mengidentikkan dengan tanah perdikan (Fokkens, 1908)
Dewasa ini dikenal istilah pondok pesantren. Dari segi istilah pondok
pesantren berasal dari kata funduq yang berarti asrama, dan shastri yang
berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dengan demikian
pondok pesantren berarti asrama orang-orang yang tahu buku-buku suci
(Sayono, 2001). Dalam arti seperti ini pondok pesantren tidak berbeda
dengan pesantren.
Dalam khasanah historiografi tradisional. situasi dan kondisi pesantren
telah mendapat tempat dalam berbagai karya walaupun belum menjadi unit
kajian tersendiri Demikian pula dengan historiografi Kolonial, pesantren
masih digambarkan secara sepotong-sepotong. Satu hal yang menarik
tentang pesantren pada historiografi kolonial adalah adanya pandangan
bahwa pesantren sebagai tempat berkembangnya gerakan antikolonial dan
sekaligus sebagai bentuk pendidikan alternatif bagi rakyat. Berkembangnya
historiografi modern Indonesia melahirkan banyak tulisan tentang pesantren,
bahkan telah memfokuskan pada komponen tertentu saja dari pesantren,
artinya penulisan tentang pesantren telah berkembang dengan pesat.
Sebuah persoalan yang mendasar bagi para sejarawan adalah apakah
penulisan tentang pesantren yang begitu beragamnya dapat dikategorikan
sebagai historiografi pesantren ? Jawaban persoalan ini dapat menjadi bahan
diskusi atau bahkan perdebatan, karena penulisan suatu kisah masa lalu
yang lepas dari metodologi sejarah dapatkah disebut sejarah. Dalam konteks
historiografi pesantren, dapatkah tulisan yang tidak menggunakan metodologi
2
sejarah dapat dikategorikan historigrafi pesantren. Makalah ini adalah upaya
menelusuri historiografi pesantren dan metodologinya, serta kemungkinan
pengembangan metodologi bagi historiografi pesantren di masa yang akan
datang.
Pesantren Dalam Khasanah Historiografi Tradisional
Kisah tentang pesantren dalam bingkai historiografi tradisional
memberikan gambaran bahwa pesantren adalah institusi pendidikan
keagamaan. Pesantren dideskripsikan sebagai tempat pendidikan yang
menjadi rujukan mengembangkan nilai-nilai kesalehan berdasar Islam.
Lulusan pesantren diharapkan menjadi orang yang memilikiki kesalehan iman
dan kesalehan sosial yang pada saatnya setelah kembali ke masyarakat
diharapkan dapat menjadi contoh dan sekaligus kader dakwah.
Dalam Serat Centhini Jilid I (Pakubuwana V, 1991: 5) gambaran
tentang pesantren tidaklah banyak. Disebutkan kondisi Giri (Ampel dan Giri
diangap sebagai pemula model pesantren) sebagai wilayah yang ditempati
oleh orang-orang Islam dipimpin oleh Sunan Giri Ada beberapa petunjuk
yang disebutkan antara lain masyarakat sudah beriman, menjalankan syariat
nabi, membaca Al Qur’an, dan juga mendirikan masjid. Dalam Babad Tanah
Jawa (Santosa, 1970:99) hanya disebutkan adanya pesantren di Ampeldenta
dengan pimpinan Sunan Ampel yang sudah memiliki banyak santri. Informasi
yang lain adalah dari kitab Cebolek, yakni tentang adanya beberapa
pesantren di pesisir utara Jawa Timur (Moestopo, 2001: 154-163), antara lain
3
Surawuti di Lamongan dan Sidaresmo di Surabaya. Moestopo menjelaskan
bahwa kehidupan di pesantren mirip dengan kehidupan di mandala pada
masa Hindu/Budha.
Gambaran tentang pesantren yang lebih lengkap dapat dijumpai pada
Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi R. Ng. Ronggowarsito (Komite
Ronggowarsito, 1979: 64-65), pesantren milik Kyai Imam Besari di Ponorogo
digambarkan sebagai lingkungan pendidikan bagi santri dari berbagai daerah
yang ingin menimba ilmu agama Islam. Kegiatan santri yang utama adalah
belajar agama (ngaji), namun santri juga melakukan kegiatan lain bersama
dengan masyarakat sekitar. Santri juga harus menyiapkan berbagai
kebutuhan sehari-hari dengan mandiri (bandingkan dengan Purwadi &
Mahmudi, 2004).
Historiografi tradisional telah membuka informasi tentang pesantren
walaupun masih sangat terbatas. Dalam perkembangannya pesantren telah
menjadi bagian penting dalam penyebaran Islam di Jawa dan bahkan juga
Indonesia. Pesantren dianggap sebagai sarana penting yang dipergunakan
untuk Islamisasi (lihat SNI Jilid III). Dalam proses tersebut terdapat gambaran
bahwa pesantren adalah penyeimbang kekuasaan politis dari penguasa.
Pesantren dalam Khasanah Historiografi Kolonial
Untuk mengetahui kondisi pendidikan rakyat, pemerintah Kolonial
mengadakan survey tentang keberadaan pendidikan tradisional. Dari
kegiatan tersebut diketahui bahwa pesantren memang sudah ada tetapi
4
bentuknya masih sederhana dan belum sebagaimana pesantren sekarang.
Jumlah pesantren sudah cukup banyak hingga mencapai kurang lebih 300
buah (Berg, 1882). Tulisan yang menyangkut pesantren antara lain L.W.C.
Berg, “De Mohammedaansche Geestelijkheid en de Geestelijk Goederen or
Java en Madoera” dalam TBG Deel XXVII, 1882. Dalam tulisan ini Berg
memberikan gambaran tentang pendidikan islam tradisional di Jawa dan
Madura. Gambaran tentang pesantren dalam historiografi kolonial lebih
beragam, beberapa penulis lain (lihat Sayono, 2001) yang membicarakan
pesantren antara lain, J.F.G. Brugmun, 1857. Het Volksonderwijs onder de
Javanen; F Fokkens,”De Piresterschool te Tegalsari” dalam TBG Deel XXIV,
1878. Pigeaud, de Graaf, Guillot, Van der Chjis (lihat van Bruinessen,
1999), Snouck Hurgronye,”Een Belangrijk document betreffende den
Heilegen Oorlog van den Islam (1914) en Eene Officieele Correctie” dalam
TBG Deel 73 , 1917, dan Achmad Djajadiningrat, “ Het Leven in een
Pesantren” dalam TBB XXXIV, 1908. Tentang Materi pelajaran atau kitab
yang dipelajari di Pesantren dapat dilacak dalam Berg, “ Het
Mohammedaansche Godsdienstonderwijs op Java en Madoera en de Daarbij
Gebruikte Arabsche Boekken” dalam TBB Deel XXXI, 1886. Gambaran
tentang Kyai terdapat dalam tulisan Drewes (1925), Drie Javansche
Goeroe”s.
Kuantitas pesantren telah digambarkan oleh Berg, proses berdirinya
pesantren digambarkan oleh Guillot dan Snouck Hurgronye, dan proses
5
pendidikan dilakukan di pesantren digambarkan oleh Achmad Djajadiningrat.
Proses berdirinya sebuah pesantren dimulai tatkala seseorang yang
memiliki ilmu agama Islam membuka pengajian (pelajaran agama) di
rumahnya, seiring dengan perjalanan waktu banyak orang yang belajar
agama kemudian tinggal di tempat tersebut. Dari proses inilah kemudian
berdiri sebuah pondok pesantren. Kegiatan sehari-hari di pesantren antara
lain membaca dan melagukan ayat-ayat suci, murid secara bergantian
menghadap guru untuk diperiksa hafalannya (Hurgronye, 1991). Metode
pendidikan di pesantren sebagaimana dimaksud dikenal sebagai sistem
sorogan.
Deskripsi tentang pesantren dalam historiografi kolonial tetap tidak
lepas dari masa historiografi tradisional yakni sebagai melihat pesantren
lembaga pendidikan agama. Pada mulanya kolonial Belanda memandang
bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang rendah dan tidak
membawa kemajuan bagi para muridnya, namun pandangan ini berubah
setelah menjelang akhir sampai awal abad 20 yang menunjukkan bahwa
pesantren potensial untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
Dalam historigrafi kolonial juga menunjukkan bahwa pesantren
berkembang pesat setelah perang Jawa usai, dan bahkan semakin menguat
padsa akhir abad 19 dan awal abad 20 karena banyaknya orang yang
menunaikan ibadah Haji. Di antara para haji ada yang kemudian membuka
pesantren dan menjadi kyai.
6
Diamati dalam beberapa tulisan mengenai Kyai, sebagai unsur
terpenting keberadaan pesantren, tidak hanya dikaitkan dengan aspek
pendidikan tetapi juga aspek politik, yakni sebagai salah satu agen
penentang koloniaslisme. Meletusnya peristiwa di Cilegon pada tahun 1888
membuat pemerintah Belanda mengambil kebijakan untuk mengawasi guru
agama (Kyai). Bukti kebijakan tersebut adalah pada tulisan Snouck
Hurgronye yang menyebutkan bahwa Kyai Krapyak beserta jumlah muridnya
telah terdata pada beberapa laporan residen Yogyakarta. Tulisan Van der
Plas (lihat catatan kaki 193 pada Suminto: 1985) menunjukkan bahwa
pemerintah Kolonial memandang guru agama adalah sosok yang berbahaya.
Banyaknya gejolak politik yang disebabkan oleh para guru agama atau kyai
memang tampak dari beberapa laporan residen (ANRI, 1981). Walau
demikian historiografi kolonial lebih berkesan sebagai pemetaan keberadaan
pesantren untuk kepentingan kolonial.
Pesantren dalam Khasanah Historiografi Modern Indonesia
Perlu ditegaskan bahwa pengertian sejarah sebagai kisah, akan
membawa dampak yang sangat luas pada historiografi pesantren. Salah
satunya adalah sulitya membatasi apakah sebuah kisah tentang pesantren
termasuk dalam kategori historigrafi pesantren atau tidak. Banyak penulis
asing atau Indonesia yang menulis tentang pesantren, tapi yang menulis dari
disiplin ilmu sejarah sangat terbatas. Ada pendapat bahwa historiografi
modern Indonesia dimulai ketika Husein Djajadiningrat menulis sebuah karya
7
berjudul Tinjauan Kritis Sejarah Banten pada tahun 1913, atau tahun 1958
ketika seminar sejarah nasional I berlangsung. Dalam makalah ini digunakan
moment proklamasi kemerdekaan untuk mengawali temporal historiografi
modern Indonesia, Sejak proklamasi historiografi pesantren (kisah tentang
pesantren) begitu beragamnya. Makalah ini tentu saja tidak akan dapat
menjangkau seluruh tulisan yang ada, hanya beberapa tulisan yang akan
dibahas untuk menunjukan perkembangan historiografi pesantren dari dulu
hingga beberapa tahun belakangan ini.
Buku pertama yang layak disebut adalah Direktori Pesantren I,
diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(P3M) Jakarta. Buku ini sangat memandu bagi pemula yang ingin mengenal
pesantren. Tidak kurang 255 pesantren dituliskan secara singkat, sejak
berdirinya, Kyai pendiri, santri, sarana, hingga kurikulum yang dikembangkan
sekarang. Buku ini dapat digolongkan yang menulis pesantren secara
menyeluruh tetapi tidak detail.
P3 M sebelumnya menerbitkan buku tulisan Hiroko Horikoshi yang
berjudul tentang Kyai dan Perubahan Sosial, isinya mengupas tentang
peranan Kyai dalam menggerakan perubahan masyarakat di sekitarnya.
Bingkai metodologi yang dikembangkan penelitian kualitatif dengan metode
pengumpulan datanya melalui observasi dan wawancara. Kerangaka teori
yang dipakai untuk mendasari kerja penelitiannya adalah mediator dan
cultural broker. Teori Cultural broker pernah dipergunakan oleh Geertz

Tidak ada komentar: