Sabtu, 13 Maret 2010

makalah Masa Depan Pemikiran Islam

Tema diskusi malam ini adalah masa depan pemikiran islam di Indonesia. Tema ini merupakan salah tema yang sangat seksis dan berbahaya karena di dalam wacana pemikiran Arab kontemporer misalnya istilah tafkir itu bertukar kata dengan takfir. Jika tafkir berarti pemikiran, maka takfir artinya pengkafiran. Nashr Hamir Abu Zaid adalah satu contoh orang yang selalu berfikir yang kemudian dikafirkan karena pemikirannya itu. Ia menulis buku dengan titel Al-tafkir fi Zaman al-Takfir (Pemikiran pada Zaman Pengkafiran). Menurut Zaid, zaman pengkafiran terhadap orang yang menggerakkan pemikiran demikian kuat.
Saya pernah memberikan kata pengantar untuk buku Albert Hourani, “Pemikiran Liberal di Dunia Arab”. Saya menyebutkan bahwa pengkafiran merupakan sebuah fenomena belakangan, persisnya tahun 1930-an yang terjadi setelah gagalnya era liberal. Hourani membagi tiga zaman. Pertama, awal abad 19 sampai tahun 1920-an, Kedua, dari tahun 1920-an sampai tahun 1930-an. Ketiga, dari tahun 1930-an sampai tahun 1940-an. Memasuki tahun 1940-an muncul berbagai isu politik yang melanda dunia Arab, terciptanya negara Israel, banyaknya tuntutan kemerdekaan. Di situ terjadi distraksi pemikiran Islam yang bernuansa liberal dan sejak saat itulah fenomena pengkafiran itu mulai marak dan puncaknya adalah dua puluh tahun belakangan. Begitu banyak kasus pengkafiran di dunia Arab dan sudah banyak memakan korban. Di Indonesia ini, Ulil Abshar Abdalla merupakan orang yang terkena korban pengkafiran, karena dia banyak berfikir maka dia masuk dalam perangkap kafir.
Saudara sekalian saya tidak ingin memperpanjang lebar karena kita memiliki banyak pembicara di sini. Sedianya saya ingin memberikan atau membahas sejarah pemikiran isalam di Indonesia dan kurang baik kalau kita tidak mengaitkan faktor sejarah pemikiran Islam di Indonesia. Saya akan memberikan kronologi pembicara, di mulai dari Ulil Abshar-Abdalla, M. Jadul Maula, Fachry Ali, dan Amin Abdullah.
Ulil Abshar-Abdalla
Pada malam hari ini, kita akan berbicara mengenai masa depan pemikiran Islam. Ada dua hal yang harus dibedakan, antara pemikiran Islam dan aksi Islam. Kita di sini berbicara mengenai aspek yang berkaitan dengan pemikiran yaitu berkaitan dengan perkembangan intelektual dan kita tidak membicarakan tentang aksi umat Islam. Memang pemikiran islam tidak bisa dipisahkan dengan aksi umat Islam. Kita sengaja membatasi pada perkembangan pemikiran atau perkembangan intelektual di kalangan Islam, sementara pembicaraan mengenai perkembangan aksi umat Islam dalam bentuk organisasi, dalam bentuk gerakan, kita carikan forum yang lain.
Kalau kita lihat kilas balik ke belakang, saya kira pemikiran Islam di Indonesia mempunyai tradisi yang cukup beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang
diinspirasikan oleh pemikiran dari Barat. Mereka ini adalah orang orang yang dididik di dalam pendidikan Barat, dalam pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran Islam yang berkembang di dalam tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren atau tradisi yang terkait dengan sejarah intelektual di Timur Tengah. Di dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada debat antara orang orang tamatan Barat dan yang disebut tamatan Timur Tengah. Meskipun polarisasi tidak seseru yang dibayangkan, tetapi tetap ada perbedaan atau semacam gab di antara mereka. Ada asumsi, orang orang belajar Islam di Barat dianggap kurang valid. Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang sesungguhnya karena diajar oleh kaum orientalis dan seterusnya. Kemudian, orang orang yang di Timur Tengah merasa unggul karena mereka belajar di pusat pengetahuan Islam yang lebih murni.
Sejarah pemikiran Islam di Indonesia selain mengalami pola semacam itu, juga ada suatu perkembangan yang menarik. Tonggak pemikiran di Indonesia dimulai salah satunya dengan pembaharuan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), meskipun gerakan yang dimulai Cak Nur sebetulnya akar-akarnya sudah lama. Kalau kita lihat ke belakang, pemikiran Islam liberal misalnya sudah memiliki akar yang cukup panjang pada intelektual Islam didikan Barat pada tahun 30-an, seperti Agus Salim. Walau dia tidak pernah sekolah di Barat, dia sangat akrab dengan buku-buku Barat. Seperti juga orang-orang yang tergabung dalam Young Islamitten Bond. Kemudian juga kaum intelektual Muslim tahun 1930-an yang inspirasi pemikiran Islamnya diambil dari orang orang Ahmadiyah. Sangat menarik, pada tahun 1930-an para intelektuil Islam itu lebih banyak membaca buku Islam yang dikarang Ahmadiyah yang ditulis dengan bahasa Belanda. Dan memang tradisi pemikiran yang diajukan atau dikenalkan oleh kalangan Ahmadiyah jauh lebih rasional ketimbang pemikiran Islam yang berkembang di pesantren misalnya. Pada tahun 1930, kita melihat buku yang dikarang Maulana Muhammad Ali, salah satu penerjemah Alqur`an dalam bahasa Inggris pertama oleh seorang Muslim, dengan judul The Religion of Islam. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual pada saat itu. Buku ini memberikan eksposisi ataupun penjelasan tentang Islam secara rasional, dan lebih tepat jika dibaca oleh kalangan terdidik pada zaman itu.
Jadi, akar pemikiran Islam liberal sudah ada pada zaman itu. Cak Nur kemudian menandai suatu periode baru ketika dia mengenalkan gerakan pembaharuan Islam yang cukup kontroversial. Tentu di sini ada dua tokoh penting selain Cak Nur, yaitu Gus Dur. Kalau boleh kita bilang, Cak Nur adalah seorang yang meletakkan landasan tradisi pemikiran Islam liberal di luar pesantren, maka Gus Dur Gus Dur telah membuka dataran pemikiran baru di kalangan pesantren. Saya kira ini dua ikon besar yang susah diulang kembali. Peran mereka sangat signifikan dan saya kira hampir semua sarjana Islam belakangan jika mau membahas tentang pemikiran Islam Indonesia, umumnya merujuk pada dua tokoh ini. Tentu di sekitar mereka ada tokoh satelit. Tapi, saya pikir dua tokoh ini yang paling penting.
Namun, menurut saya, ada satu karakter penting di dalam dua pikiran dua tokoh ini. Apa yang membedakan antara generasi saya, Jadul dan yang lain lain dengan generasi Cak Nur dan Gus Dur? Salah satu karakter penting, bahwa pada saat Cak Nur dan Gus Dur muncul sebagai pemikir, ruang publik belum bebas seperti yang kita nikmati sekarang ini. Ketika Cak Nur melontarkan kritik terhadap fundamentalisme Islam sebetulnya kalangan fundamentalis tidak menikmati ruang publik yang sama, yang bebas seperti Cak Nur. Salah seorang teman kalau tidak salah Saiful Mujani pernah menulis pada tahun 1980an di majalah Prisma. Saiful mengatakan tentang ketidak-seimbangan ruang publik tersebut. Cak Nur
menikmati ruang publik yang disediakan oleh Orde Baru. Sebab, Orde Baru ketika itu secara implisit memberikan endorsement pada pemikiran yang toleran, moderat seperti Cak Nur. Sementara lawan-lawanya, yang disebut Cak Nur dengan kalangan fundamentalis, tidak menikmati ruang yang sama. Oleh karena itu, ada situasi yang tidak setara antara Cak Nur dan Gus Dur di satu pihak dengan kalangan fundamentalis di pihak lain. Gus Dur dan Cak Nur menikmati ruang publik yang disediakan Orde Baru. Ruang publik tidak diperbolekhkan dimasuki kalangan fundamentalis. Mereka ditekan dan dipinggirkan.
Nah, generasi saya dan Jadul sekarang ini berbeda. Kita menghadapi ruang publik yang berbeda. kalangan fundamentalis yang dulunya dilarang masuk ke ruang publik itu, sekarang bebas menikmati ruang publik. Orang-orang Hizbut Tahrir, FPI MMI, dll mempunyai status legal yang sama dengan Jaringan Islam Liberal. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka menikmati keuntungan yang lebih baik ketimbang kami. Saya tidak bisa membayangkan orang-orang Hizbut Tahrir dan MMI bisa berdiri pada tahun 1970-an, 1980-an. Jadi saya kira ada ruang publik yang berbeda atau karakter yang berbeda antara peride saya dengan periode Cak Nur. Sekarang rung publiknya jauh lebih terbuka, lebih egaliter, demokratis. Semua kelompok diberi kesempatan untuk berbicara.
Oleh karena itu, tantangan yang dialami generasi pasca-Cak Nur jauh lebih menantang. Saya tidak mengatakan jauh lebih berat, karena Cak Nur dan Gus Dur menghadapi tantangannya sendiri dan tentu juga berat. Tetapi, menurut saya ruang publik sekarang ini lebih menantang ketimbang periode Cak Nur dan Gus Dur. Kita menghadapi bukan saja kelompok kelompok yang bawah tanah tetapi juga kelompok-kelompok lain yang semuanya legal. Isu-isunya makin mangalami ramifisasi atau pencabangan kepada hal-hal yang lebih kecil. Kalau boleh saya memakai suatu periodesasi yang agak longgar, maka generasi Cak Nur dan Gus Dur berada dalam periode nation building. Mereka menghadapi isu-isu isu besar yang bersifat ideologis. Misalnya, persoalan besar yang menjadi perhatian umat Islam pada zaman Cak Nur adalah apakah Islam bisa menjadi dasar suatu partai; apakah Islam bisa menjadi ideologi yang setara dengan ideologi sosialisme dan yang lain lain. Itu masalah yang dihadapi Cak Nur. Masalah besar yang kemudian direspon oleh Gus Dur adalah masalah hubungan Islam dengan ideologi negara. Menurut saya kontribusi penting pada zaman itu adalah ketika mereka berhasil memberikan suatu argumen teologis keagamaan yang bisa memungkinkan orang Islam menerima Pancasila.
Generasi pasca-Gus Dur dan Cak Nur itu lain. Sekarang, isu yang kita hadapi bukan isu besar yang bersifat ideologis. Yang kita hadapi adalah isu yang jauh lebih kecil, yang bersifat mikroskopik. Persoalan ideologi Islam tidak ada lagi atau kurang menjadi perhatian umat Islam. Isu tentang hubungan antara negara dan agama tidak menjadi isu yang serius seperti pada generasi Gus Dur. Isu yang menjadi debat di kalangan umat Islam adalah lebih detil, misalnya tentang formalisasi syariat Islam, sebuah isu yang menurut saya benar-benar baru, karena tidak pernah dihadapi oleh generasi Muhammad Natsir tahun 50-an, dan generasi Cak Nur dan Gus Dur pada tahun 1970-an.
Formalisasi syariat Islam adalah isu khas yang kita hadapi sekarang ini. Isu penting yang berkaitan dengan itu misalnya adalah Counter Legal Draft yang disusun oleh sejumlah team di Departemen Agama. Isu tentang detail-detail hukum keluarga. Oleh karena isu-isu yang berkembang terkait dengan detail-detail agama, maka mau tidak mau para pemikir Islam liberal diharuskan untuk berbicara pada lefel yang spesifik. Poin inilah yang bisa menjelaskan kemunculan teman-teman seperti teman saya sendiri di Jaringan Islam Liberal, Abdul Moqsith Ghazali. Saudara Moqsith ini orang tamatan pesantren dan orang seperti dia itu cukup banyak di
belakangnya. Dia mencoba berhadapan dengan isu-isu detail seperti isu hukum keluarga itu, Kompilasi Hukum islam itu. Moqsith terpaksa harus masuk dalam isu-isu yang kecil dan harus merumuskan suatu kaidah atau ushul fikih baru. Jadi, perkembangan pemikiran Islam terakhir ini mulai menyentuh aspek yang berkaitan dengan metodologi ushul fiqh yang pada generasi Cak Nur dan Gus Dur tidak pernah disentuh. Memang Gus Dur atau Cak Nur sering mengunakan kaidah fiqh, tetapi ushul fiqh sebagai suatu tradisi legal teori yang menjadi landasan hukum Islam tidak pernah disentuh sama sekali. Baru sekarang ini orang mulai bicara tentang perlunya memperbaharui Ushul Fiqh.
Saya kira, kalau saya boleh berbangga bahwa sumbangan penting yang diberikan oleh generasi saya dan di bawahnya sekarang ini adalah tentang pentingnya merumuskan suatu ushul fiqh baru. Ini isunya sangat detail sekali, saya tidak bisa membicarakan secara detail disini tetapi buktinya bahwa ushul fiqh inilah yang menjadi batu sandungan kenapa hukum Islam yang selama ini beredar di kalangan umat Islam dianggap sakral dan dianggap sebagai sesuatu yang kedudukannya permanen dan harus dilaksanakan dalam segala zaman.
Abu Bakar Ba’asyir melalui grupnya MMI pernah mengajukan usulan tentang syariat Islam. Amat mengagetkan, sebab hampir semua pasal yang dicantumkan diambil secara mentah dari literatur fiqh lama, tanpa melalui penelaahan ulang. Itulah yang menjelaskan kenapa misalnya kalau kita lihat usulan hukum kriminal yang dibuat oleh MMI itu persis seperti usulan yang dibuat Malaysia. Hal semacam ini tidak pernah dihadapi oleh generrasi Gus Dur. Nah, bagaimana kita berhadapan dengan itu? Kalau kita mau menghadapi kelompok kelompok semacam ini, maka tidak bisa tidak kkita harus menghadapi masalah ini dengan cara yang mereka gunakan. Artinya kita harus berani melayani mereka di level yang sama yaitu pada level hukum Islam klasik itu sendiri. Dan ini berarti kita harus berani menelaah ushul fiqh lama.
Terakhir, saya akan sampaikan bahwa tentu masa depan pemikiran Islam cukup panjang. Tetapi tantangan di dalam pemikiran Islam ke depan lebih banyak berkaitan dengan isu-isu kecil semacam ini. Di dalam parlemen masih ada banyak sekali undang undang antri untuk disahkan, salah satunya isu yang akan menyita perhatian di masa depan adalah isu yang berkaitan dengan penyempurnaan KUHP. Di situ ada pasal tentang definisi zina. Juga ada pasal pasal yang berkaitan dengan penghinaan atas agama. Di Aceh ada kanon yang sudah dipersiapkan tetapi belum dibahas dan disahkan keburu ada sunami. Juga tentang pornografi. Artinya tantangan masa depan Islam adalah bagaimana memenangkan pertaraungan di level legal formal. Itu penting sekali, sebab di era demokrasi pada akhirnya semua kelompok bebas menyatakan pendapatnya dan arena pertarungan di arena demokrasi tidak bisa lain kecuali parlemen. Oleh karena itu, pertarungan paling penting adalah pertarungan menentukan suatu undang undang atau hukum.
Luthfi Assyaukanie
Tadi Ulil sudah memberikan banyak sekali nuansa dalam pemikiran Islam di Indonesia. Dia menjelaskan akar-akar historis dari pemikiran Islam yang di antaranya bersumber pada dan Timur Tengah. Kalau kita melihat pemikiran Islam sejak masa kebangkitan atau awal abab 19 misalnya, maka kita menemukan sebuah keutuhan yang unik. Ini berkaitan dengan klaim keislaman dalam pemikiran Islam itu sendiri.
Dan saya kira tidak hanya dalam pemikiran Islam, di dalam pemikiran Barat pun itu kadang sebuah sumber pemikiran menghasilkan banyak percikan, yang satu sama lain saling berbeda. Kalau kita lihat sejarah filsafat modern juga begitu.
Hegel itu menurunkan dua mazhab yang saling bertolak belakang, Hegel kanan dan hegel kiri. Muhammad Abduh sebagai ikon penting pemikiran Islam abad 20 juga menghasilkan duz madzhab, yaitu Abduh kiri dan Abduh kanan. Abduh kiri diwakili oleh Ali Abdul Roziq yang kemudian memperkenalkan gagasan gagasan liberal dan termasuk gagasan sekulerisme. Sayyid Qutb semakin hari semakin ke kanan. Begitu juga dalam konteks Indonesia, kalau kita menganggap Muhammad Natsir sebagai salah satu ikon pemikiran pemikiran Islam pada awal kemerdekaan. Dari Muhammad Natsir misalnya telah lahir dua madzhab yang kontras. Cak Nur yang dahulu dijuluki sebagai Natsir muda mewakili Natsir kiri dan orang-orang yang di Dewan Dakwah yang mewakili Natsir Kanan.
Pembica selanjutnya adalah M. Jadul Maula. Saya berharap ia bisa mengelaborasi atau menjawab pertanyaan ini.
M. Jadul Maula
Sebelum saya menjawab pertanyaan Saudara Luthfi, saya ingin memberikan respons atas apa yang disampaikan Ulil menyangkut ruang publik yang berbeda antara periode Cak Nur-Gus Dur dan generasi Ulil dan kita sekarang. Ruang publik generasi sekarang memang lebih luas dan terbuka. Generasi sekarang tidak menghadapi isu dan ideologi besar, melainkan menghadapi isu yang mikroskopik, isu-isu kecil yang seolah olah berdiri sendiri.
Saya berbeda dengan Ulil. Justru dalam periode sekarang saya merasakan bahwa kita menghadapi isu besar, menyangkut nasib manusia per manusia yang riil menyangkut rasa rasa keadilannya. Kita merasa ruang publik demikian terbuka, padahal ada dominasi pasar di sana. Menurut saya, persoalan kenaikan BBM adalah sesuatu yang menyangkut rasa keadilan orang per orang. Saya yakin, ketika SBY kampanye dulu menyampaikan penaikan harga BBM ini, pasti ia tidak akan terpilih sebagai Presiden. Ini juga permasalahan yang dihadapi oleh pemikir Islam sekarang ini
Saya mempunyai isu lain yang cukup penting dan perlu didiskusikan, yaitu mengenai perkembangan pemikiran Islam ke depan. Basis metodologi dan epistemologi sejarah pemikiran Islam Indonesia harus betul-betul dicari. Misalnya pertanyaan yang sederhana, kapan sebenarnya masa pembentukan pemikiran Indonesia (‘ashrut takwin). Kalau Timur Tengah jelas memiliki asrut takwin pada abad ke 6 H-7 H. atau abad 11 M.-12M. Sehingga kalau mau merumuskan satu nalar Islam Arab, mereka akan merujuk pada teks teks otoritatif yang ditulis dan dicetak pada masa masa itu. Nah, Islam Indonesia kapan ‘ashrut takwinnya dan teks-teks otoritatif apa yang mesti dirujuk ketika kita ingin mendefinisikan dan merekontruksi pemikiran Islam Indonesia. Bagaimana metodologinya.
Kita akan sulit mengembangkan pemikiran ke depan ketika kita belum berhasil dan menemukan kaki pemikiran Islam Indonesia. Kaki pemikiran ini mseti ditemukan sehingga islam Indonesia dapat berdialog secara kreatif dan produktif dengan ilmu ilmu lain, yang mungkin dari Barat, China, Arab, India, atau lainnya. Ketika IAIN Jogjakarta mau diubah menjadi UIN, maka pengembangan pemikiran lebih diarahkan pada dialog antara dua sumber, yaitu Barat dan Arab. Selalu dibilang bahwa ramuannya hanya dua itu. Saya bertanya, basis Indonesianya mana? Tidak mempunyai kaki ke-indonesia-an. Dan sumbernya pun cukup terbatas pada Arab dan Barat, tidak dicoba untuk dicarikan di tempat-tempat lain. Padahal, Hamzah Fanshuri yang dari Aceh itu ketika menjelaskan hadits “uthlubul ilma walau Bisshin” (tuntuntulah ilmu walau ke negeri China) ditandai dengan “uthlubul ilma walau bisshin wal bulgaria” (Carilah ilmu walau samapi ke negeri China dan Bulgharia). Hamzah Fausuri juga memikirkan dialog Islam Aceh, Nusantara, China, dan
Bulgaria yaitu negara dekat Asia Tengah yang memberikan aspirasi besar buat perkembangan Islam Indonesia. Tokoh Islam dari Asia tengah ini salah satunya adalah Syaih Ibrahim al-Shamad atau al-Shamarra. Jadi, semejak abad abad 15 sebenarnya sudah ada dialog yang kuat antara pemikiran nusantara dan daerah-daerah lain yang mungkin kita tidak kenalnya. Dalam kaitan itu sebenarnya menarik, saya ingin memberikan salah satu contoh untuk menentukan ‘ashrut takwin.
Saya kira, satu kata penting yang berpengaruh dalam membentuk dan mengkreasi gerakan pemikiran Islam Indonesia adalah wihdatul wujud. Saya beberapa waktu yang lalu mendapatkan satu naskah yang ditulis oleh Samsudin Al-Sumatrani. Kitab ini mau menjelaskan tentang muwahhid (orang yang bertauhid) dan mulhid (yang tidak bertauhid). Di dalam kitab itu juga dijelaskan tentang wihdatul wujud. Wihdatul wujud ini sebenarnya masuk ke Indonesia merupakan inspirasi dari kitab-kitab yang ditulis oleh Ibnu Arabi, Abdul Karil Al-Jili dan seterusnya.
Jadi ketika al-Jabiri berbicara tentang takwinul aqli al-Arab al-Islami (pembentukan nalar Islam Arab), dia mengatakan bahwa abad abad 12 itu merupakan masa bangkrutnya spirit jiwa nalar Islam yang tumbuh dilingkungan peradaban Arab yang disebut sebagai masa jatuh. Al Jabiri mengatakan, disebut masa jatuh karena terjadi pertikaian yang berlarut-larut antar-berbagai jenis sistem pengetahuaan; bayani, burhani, dan ‘irfani. Sistem bayani yaitu sistem pengetahuan yang bekerja untuk memaknai teks membaca teks Qur`an, Hadits, Fikih, Ushul Fikih. Mereka mengambil makna dari Qur`an dan Hadits, lalu bertikai merebut makna itu. Kelompok bayani ini juga bertikai dengan kelompok burhani, yaitu satu kelompok yang mengambil satu kesimpulan berdasarkan logika. Kedua kelompok ini kemudian bersitegang dengan kelompok ‘irfani. Sistem ‘irfani ini mengambil kesimpulan bukan dari teks, logika tetapi langsung dari Tuhan dengan menggunakan intiusi atau mukasyafah.
Ketiga sistem ini terjebak dalam pertikaiaan walau pada akhirnya ada kompromi. Celakanya, demikian al-Jabiri, pada perkembangan kemudian di Arab telah terjadi koalisi antara ‘irfani dan bayani dengan tokohnya al-Ghazali. Al-Ghazali yang mem-bayani-kan yang ‘irfani. Tasawuf ditaklukan dalam sistem bayani. Hasil koalisi ini kemudian dapat mengalahkan yang burhani sehingga burhani berpindah ke Eropa yang dikembangkan oleh orang-orang seperti Ibnu Rusyd. Yang lupa untuk dibicarakan adalah Ibnu Arabi. Bahwa ketika menulis kitab al-Futuhat al-Makiyah, Ibnu Arabi telah melakukan satu sintensi yang sangat berani dan kreatif serta produktif dan menurut saya sangat inspiratif terhadap semua pertikaian nalar itu; burhani, bayani dan ‘irfani. Dalam perkembangannya pemikiran Ibnu Arabi mengalami diaspora hingga sampai ke Nusantara. Yang salah satu buktinya terdapat di teks Samsudin Al-Sumatrani. Saya akan mengajukan satu tesis bahwa produk eksperimentasi dari wahdatul wujud Indonesia yang berlangsung pada abad 15, 16, dan 17 telah mengahasilkan kumpulan naskah. Disini kita bisa merumuskan nalar Islam Indonesia.

Tidak ada komentar: