Sabtu, 13 Maret 2010

Diskusi ”Manliness” agama islam

Jakarta, Freedom-Institute, 11 Oktober 2006
Pembicara: Gadis Arivia, Rizal Mallarangeng
Moderator: Hamid Basyaib
Hamid Basyaib:
Pertengakaran malam ini saya rasa akan seru. Saya sendiri belum membaca bukunya.
Tapi saya baca beberapa ulasannya dan saya cukup terkejut. Dan indikator yang cukup
baik tentang buku ini Anda bisa baca dari makalahnya Gadis Arivia, sebuah catatan yang
penuh tanda seru, dari awal hingga akhir. Secara umum, bagi Gadis, Mansfield ini benarbenar
tidak mengerti peradaban mutakhir, bahwa evolusi pemikiran dan aktivisme
feminis juga sudah bergelombang-gelombang, dan dia tidak tahu. Dan jika kita baca
tulisan Garry Willis di New York Review of Book, nadanya sama. Mansfield berusaha
mencari legitimasi dari literatur-literatur klasik sampai yang awal misalnya Aristoteles
dan Plato, dan bagi Garry Willis dia salah. Banyak yang tak tepat.
Buat Anda ketahui, Mansfield ini adalah seorang profesor di Harvard, Government
Studies, dan tahun 2004 bahkan mendapatkan Humanities Medal dari George Bush.
Maksud saya, dia bukan sembarangan. Dan dia satu-satunya dosen yang menentang
pembukaan studi wanita di Harvard. Jadi dia benar-benar petarung. Sendirian menentang,
walaupun gagal. Dan dia juga hampir merupakan satu-satunya pembela yang gigih dari
Larry Summers, yang pernah membuat pernyataan kira-kira: ”Gimana ya, kok ilmuwan
ini umumnya lelaki. Perempuan sedikit sekali. Jangan-jangan karena inferioritas
intelektual perempuan.” Ngamuk semua profesor di Harvard, dan memunculkan
kontroversi berbulan-bulan. Orang seperti Stephen Pinker (neurosaintis yang terkemuka
dari Harvard juga) bahkan perlu membuat tulisan yang kalau tidak salah bilang bahwa
tidak ada bedanya antara perempuan dan laki-laki. Akhirul kalam, Larry Summers ini
harus keluar, dan berhenti jadi Rektor di Harvard.
Sebelum kita mulai, saya juga memberi catatan, ada satu riset dari Edward Lohan, dari
University of Chicago. Dia meriset tentang kepuasan hubungan seksual perempuan dan
laki-laki umur 40-80an di 29 negara. Respondennya tidak tanggung-tanggung, 27.500.
Kesimpulan umumnya adalah: dalam masyarakat yang equal gender, hubungan seksual
itu lebih memuaskan, lebih menyenangkan. Dan di masyarakat yang sebaliknya,
hubungan itu lebih tidak menyenangkan. Penjelasannya macam-macam.
Rizal Mallarangeng:
(Rekaman error)... selidik punya selidik ternyata banyak revealing. Revealing bukan
hanya soal pemikiran feminisme, kontra atau pro, tapi juga untuk menimba banyak hal.
Tadi Hamid juga sudah katakan ini bukan orang sembarangan, dapat medali, walaupun
dari kaum konservatif, George Bush. Mungkin saya beritahu sajalah dan mulai dari
strategi saya membaca buku ini dan mengertinya. Karena sewaktu saya di Colombus kan
banyak baca Harvey C. Mansfield, karena dia bukan hanya penerjemah tapi ahli
Machiavelli. Jadi otoritas yang menulis Machiavelli, yang membahas Machiavelli itu
adalah Harvey C. Mansfield. Jadi saya harus baca Machiavelli, tiba-tiba kok dia nulis
feminisme, ada apa ini? Saya juga baru tahu bahwa ternyata dia membela Larry
Summers. Memang orang ini nyentrik, kalau nggak nyentrik nggak mungkinlah dia
mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk membahas, menulis, dan meneliti
Machiavelli. Machiavelli kan dianggap peletak dasar ilmu politik modern, memisahkan
apa yang harus dan apa yang senyatanya. Dengan itu dia mendobrak tradisi besar
jumbuhnya agama dan moralitas, jumbuhnya ilmu dan kristianiti. Dengan mengatakan,
”sudahlah ilmu politik, atau ilmu apapun harus melihat yang nyata, bukan apa yang
seharusnya.” Dia meruntuhkan tembok-tembok yang selama ini menahan laju kemajuan
umat manusia. Dia belajar tentang itu tok, dan anehnya buku yang terbaik dari
Machiavelli kan sangat tipis, 30an halaman. Dan seluruh karirnya 40 tahun hanya
diabdikan hanya untuk membahas 30 halaman itu. Tetapi di balik ini mungkin ada yang
berharga. Ini mungkin hikmahnya.
Nah, karena dia ahli Machiavelli saya waktu membaca ini hanya bisa mengerti kalau saya
tempatkan dia dalam perspektif itu, mencoba meniru Machiavelli. Machiavelli kan mau
menulis buku yang kecil dan terkenal itu yang dianggap buku pertama politik modern, itu
menulis untuk menasehati sang penguasa. Bagaimana sebaiknya dia sebagai penguasa
harus bertindak tertentu. Nah, ini nasehat kepada penguasa. Ini rasanya ditulis dengan
cara yang sama, cuma bukan sang penguasa dan bukan bagaimana berkuasa. Saya baru
tahu pada siapa dia menulis pada bab terakhir buku ini, kalau Machiavelli pada
pengantarnya. Dia bilang: I am not going to end this book by giving out pointers on how
to live, to suppost I could. I could tell young men that women want to be taken the
seriously as much as …
Ini buku ditulis untuk anak muda laki-laki untuk membangkitkan semangat dia untuk
mengajari bagaimana menjadi pemuda yang baik. Jadi saya bisa mengatakan kepada
kaum pemuda bahwa wanita mau dianggap serius sama saja mereka kaum wanita ingin
dicintai dan dianggap serius sebagai manusia. Nah, ini kuncinya. But you, must fisrt take
your self seriously. Kunci kehidupan kaum wanita dan pria: kamu harus menghargai
wanita, wanita mau dicintai yes, tapi juga mau dihargai, sejajar dengan kamu. Nah, ini
kuncinya, ini pintu masuknya. Seriously dalam hal apa? Nah, kita masuk ke pengertian
Manliness, kamu mau jadi anak muda yang berhasil, jadi pemuda, jadi manusia yang
berarti. Nanti kita elaborasi. Saya teruskan dulu.
And after that, ask they what they think: tanyalah kamu wanita apa yang mereka pikirkan.
And when they tell you, try to listen, dan pada saat kaum wanita mengatakan apa yang
diinginkan kepadamu, dengerin dong dengan seksama. Banyak yang mengatakan Harvey
C. Mansfield ini seksis, tidak menghargai wanita. Dalam kalimat penting itu nggak ada di
situ bahwa dia nggak menghargai wanita, sejajar dia tapi tujuannya tidak merendahkan
atau meninggikan. Tujuannnya menasehati pemuda, ini lho tujuan hidup yang benar,
sama dengan Machiavelli dalam Il Principe.
Nah, manliness ini apa maksudnya? Kan berbagai bab ini kan kembangan-kembangan.
Kadang-kadang dia menunjukkan betapa pintarnya dia sendiri sebagai penulis, bisa bahas
Socrates, bisa bahas Plato dan macam-macam dan nggak disangka-sangka tiba-tiba dia
muncul kutipan-kutipan yang brilian. Orang ini memang sudah mengkristal pemikirannya
tentang tokoh-tokoh itu, nggak mungkin di muncul tanpa pengetahuan yang mendalam.
Itu berbeda dengan buku ini apakah baik atau nggak, baik dimengerti atau nggak. Tentu
saja sebagai buku yang bagus kita harus ngerti dulu apa maksud yang utamanya,
nasehatnya apa? Kalau Machiavelli kan sejumlah preposisi kekuasaan dan bagaimana
berkuasa. Masalah etika, moral, dan sebagainya. Nah, manliness ini apa?
Kalau menurut saya yang dia maksud, manliness itu kalau dalam bahasa Indonesia, coba
kita cari padanannya atau lawan katanya. Manliness ini kelaki-lakian, lawannya bukan
kewanita-wanitaan. Jadi manliness bukan womenliness lawannya. Kalau di kita,
lawannya manly kan: ”Banci loe”, dan bukan ”Wanita loe.” (Maaf bagi yang banci, ini
bukan untuk menghina kebancian itu, tapi ini berpikirlah sebagai filosof. Jadi bukan pada
kata-katanya, tapi pada makna di balik kata-kata itu). Makna filosofisnya adalah,
keberanian mengambil resiko.
Nah, salah satu pengagumnya kalau Anda baca, ada Christina dari Majalah Thunder,
majalah kanan. Pada tahun 1912, tragedi Titanic, kan 3000 atau hampir 5000 orang
penumpangnya sebagian besar tewas. Tahu nggak berapa proporsi laki-laki yang tewas,
berapa proporsi wanita yang tewas, dan kenapa dengan perbedaan proporsi itu? 75%
penumpang wanita Titanic selamat. 80% penumpang laki-laki tewas. Jadi yang selamat
laki-laki cuma 20%, yang selamat wanita 75%. Ini dalam metodologi agak aneh. Lakilaki
lebih kuat fisiknya dan jago renang, kalau mau loncat berenang pasti lebih banyak,
atau kalau rebutan skoci laki-laki menang. Kalau secara etik, nggak salah kan berebut,
karena ini soal hidup mati. Tetapi, 80% mati, karena mereka menolong dulu wanita dan
anak-anak. Itu yang disebut sebagai manliness, keberanian bertindak mengambil resiko,
kalau perlu dia yang mati, resiko yang paling tinggi. Makanya pada tahun 31 atau 32
kaum wanita di Washington DC mendirikan patung peringatan: ungkapan terima kasih
kepada kaum laki-laki yang telah bersikap gallant. Itulah laki-laki. Sayangnya monumen
peringatan manliness kaum laki-laki yang berkalang laut pada tahun 1912 lewat Titanic
itu sekarang adalah monumen yang paling jarang di kunjungi di seluruh Washington. Ini
yang menyedihkan bagi orang seperti Mansfield. Jadi ini sebuah arus besar yang dia ingin
kritik, peradaban modern, masyarakat ultra modern yang sudah semakin jauh.
Dia tidak anti pada persamaan, gender equality atau gender neutral dalam kehidupan
publik, yes. Persamaan wanita-pria, persamaan pria-pria untuk kehidupan publik, ya,
tetapi untuk persoalan privat di mana motivasi itu penting, di mana semangat itu penting,
di mana cara kita memandang kehidupan itu masih penting di situlah semangat manliness
bagi kaum pemuda penting.
Ada studi di tahun 60-an yang dimotori oleh senator Moinihan yang meninggal 2 tahun
yang lalu dari New York yang digantikan oleh Hillary Clinton. Studinya tentang keluarga
kaum hitam—ini studi sosiologi pertama tentang ini--untuk menjawab walaupun sudah
ada kebijakan-kebijakan yang membantu mereka itu kenapa keluarga kaum hitam masih
terus menerus mengalami keteringgalan dalam semua hal. Jawaban yang baku saat itu
karena diskriminasi. Oleh karena itu kita butuh lebih banyak kuota, lebih banyak
affirmative action, pertolongan, subsidi, bantuan kepada mereka. Diteliti oleh Mouinihan
dkk, muncullah bukunya yang menggemparkan. Karena dia berkata ”Oh, bukan itu
persoalannya sebenarnya. Di setiap keluarga orang hitam terjadi destruction of family,
jadi banyak sekali anak-anak itu tidak punya keluraga yang functioning. Dia lihat secara
proporsional keluarga kaum hitam yang paling banyak mengalami broken home yang
single motherhood, terlalu banyak ibu-ibu yang seorang diri membesarkan dan merawat
anaknya, mana laki-lakinya? Mana pria kaum hitam di rumah tangga itu yang jadi simbol
roul model pencari roti di keluarga itu. Lari semua, mabuk-mabukkan, nikah lagi dan
segala macam. Intinya secara proporsional keluarga kaum hitamlah yang paling tinggi, di
mana kaum laki-lakinya tidak bertanggung jawab. Tidak menjadi laki-laki dalam
pengertian Mansfield. Tadi Moinihan secara sosiologis menjelaskannya, sedangkan
Mansfield mau filosofis, caranya begini, kira-kira yang saya tangkap: bahwa kaum muda-
-ini sekali lagi tidak mengkritik tapi yang dia maksud bukan mengkritik kaum wanita
dengan merendahkannya. Jangan sampai terjadi feminization of man, ini penting. Yang
dia maksud bahwa ada memang karakteristk yang berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Itu memang kontroversial, kalau saya sih setuju saja. Ini bukan berarti perempuan
lebih rendah. Ini kan mengatakan ada perbedaan, jangankan antara laki-laki dan
perempuan. Antara laki-laki dengan laki-laki sendiri jelas nggak sama, tetapi kan tidak
membawa implikasi perbedaan moral, tidak membawa perbedaan implikasi perbedaan
hukum. Tetapi dengan menyadari perbedaan dan melihat di mana sebenarnya kekuatan
kaum pria untuk menjadi pria yang benar. Nah, inilah yang ditulis oleh Mansfleld,” hai
kamu itu berkaca jangan sampai larut”. Yang disalahkan ya kaum laki-laki dan kaum
perempuan. Karena sama jeleknya dengan masculinization of woman. Kalau mau jujur,
most of man, mau wanita yang wanita. Demikian juga sebaliknya, most women, mau pria
yang pia. Saya bukan seksis.
Manfaat orang seperti Harvey C Mansfield adalah jika kita mau menggugat, bukan
karena dia ingin politically correct, harus ada yang terus terang, bahwa yang kebetulan
orangnya nggak suka nonton sinetron, TV ya itu bearti bahasanya tahun kuda gigit besi.
Bahasa dia memang seksis semua, tapi itu yang mau dia katakan, sama dengan
Machiavelli. Sampai sekarang sekitar 500 tahun orang pikir Machiavelli itu
menganjurkan moralitas yang bobrok. Orang masih menganggap bahwa dia ini ngawur.
Jadi istilahnya muncul, kalau penguasa nggak mikir apa-apa kecuali kepentingannya
sendiri itu Marciavelian, negatif. Nggak ngerti konteksnya Machiavelli, apa yang ditulis,
apa tujuannya, dan bagaimana dia menulisnya. Tapi buku ini memang nggak sebesar Il
Principe. Machiavelli lahir bukunya, dia mendobrak peradaban, dia buku pertama dari
sekian buku dan pemikiran berkata bahwa, stop melihat masyarakat kekuasaan dan
politik dalam kacamata Kristen. Kristen sudah terlalu lama merusak pemikiran orang, itu
lhoh kata Machiavelli. Pisahkan moralitas politik dengan aspek-aspek keilahian, dengan
begitu Anda bisa bercermin pada diri sendiri dan untuk mencapai kemajuan. Yaitu
merebut kembali integritas Itali, merebut kembali kejayaan Itali, mempersatukan kembali
Itali yang terpecah-pecah. Jika ada penguasa--dan itu hanya dari kalangan kalian hai
keluarga Medici--yang bisa mempersatukan kembali Itali, termasuk dalam menggunakan
kekerasan. Penguasa bukan untuk dicintai. Kalau mau dicintai, kamu jadi penyair saja.
Penguasa untuk mencapai tujuan yang lebih besar, ketimbang cinta dan segala macam.
Yang paling penting adalah masyarakatmu mengikuti kemana engkau ingin bawa mereka
untuk mencapai tujuan-tujuan yang besar. Itu kan dahsyat. Ini juga dahsyat tapi nggak
sedahsyat Machiavelli.
Terima kasih..
Hamid Basyaib:
Terima kasih. Saya kira Celi lebih maju daripada Gerry Willis di sini. Dia sudah
menemukan apa yang dimaksud dengan manliness oleh Mansfield ini. Di Gerry Willis
definisi ini tidak ketemu. Dan kalau kita sebut tadi Machiavelli, Machiavelli juga dikritik
oleh dia. Kata dia, dengan adanya Machiavelli itu memulai era modern tentang security.
Dan itu adalah security-nya persis the antithesis of manliness. Tidak tanggung-tanggung,
Charles Darwin dengan evolusinya dikritik olehnya.
Tapi saya setuju pada Celi bahwa harus ada orang yang terus terang, meskipun banyak
orang lain menganggapnya salah. Sebenarnya uraian Celi tadi juga persis menunjuk apa
yang diratapi oleh Mansfield yaitu kita tidak bisa lagi terus terang. Kalau ngomong
perempuan kita harus dengan penuh catatan. Dan kata Mansfield, kita harus ngomong
sama perempuan, sambil melihat matanya: ”Hei perempuan, kamu itu lemah dan kurang
di dalam beberapa hal yang penting.” Mestinya kita berani ngomong gitu. Dan sekarang
kita nggak berani.
Coba Mbak Gadis kita dengar dulu komentarnya.
Gadis Arivia
Oke, saya senang sekali berada di sini, dan sebetulnya saya senang bias membahas buku
ini. Karena seperi yang tadi dikatakan bahwa dengan era feminisme segala sesuatu yang
berhubungan dengan yang dikatakan tidak politically correct, apalagi soal manliness ini
adalah suatu kata yang sudah dianggap out of date, tidak mungkin lagi dipakai di dalam
pergaulan sekarang ini. Memang menarik, mungkin sekarang ini kita jujur seperti yang
dikatakan tadi. Celi bilang sebetulnya Mansfield mampu bilang you have to take your self
seriously. Itupesan buku ini adalah itu. Tapi seriously yang bagaimana yang diinginkan
oleh Mansfield, yaitu be a man. Padahal kita sudah satu langkah lebih maju. Kita
sebetulnya ingin be a woman, kalau be a man berarti kita mengedepankan ke kualitas
manliness, be a women berarti kita mengedepankan kualitas womeness yang di situ ada
kualitas feminin dan ada kualitas maskulin. Ini yang Mansfeild justru tidak jujur dalam
melihat kualitas kehidupan woman ini. Nah, ini saya bikin catatan setelah membaca buku
ini dan saya merasa bahwa sebetulnya apa sih maksudnya. Maksudnya adalah menurut
saya suatu pembelaan diri laki-laki yang sudah merasa begitu tertindas oleh perempuan
dan wacananya, dan merasa sekarang inferior dan merasa membela diri. Its OK. Apalagi
kata Mansfield ciri manliness adalah membela diri.
Beberapa catetan yang disebutkan Mansfeild tentang dosa, yang membuat laki-laki begitu
inferior sehinga harus mengedepankan konsep manliness. Pertama adalah masyarakat
netral gender yang membinasakan manliness. Karena segala sesautu harus netral gender
dan apa yang terjadi, menurut dia manliness lalu menghilang. Kemudian kedua, laki-laki
jadi terpaksa untuk menekan keinginan untuk superior terhadap perempuan. Ini bukan
kata-kata saya tapi kata-kata Mansfield sendiri dihalaman 4. Sebetulnya laki-l;aki ingin
mempertahankan ciri manliness yang untuk jadi superior tetapi itu tertekan karena begitu
kuatnya wacana feminisme.
Lalu yang ketiga adalah pelecehan seksual yang oleh feminis didengungkan selama 20
tahun. Nah, nanti saya bacakan pendapat dia tentang rape yang tadi malam saya baca ada
10.000 komentar gara-gara halaman 144 dari Mansfield. Lalu juga steoretip laki-laki
sebagai yang agresif rasional yang dikritik oleh feminisme itu juga yang memunculkan
kenapa laki-laki harus defend dirinya.
Dan yang terakhir adalah perempuan menginginkan kekuasaan. Jadi dia juga menyebut
tindakan afirmatif, misalnya kuota 30% yang sudah kita sepakati itu bagi dia adalah
keinginan perempuan untuk berkuasa.
Nah, ini merupakan kehawatiran dari Masfield. Sebetulnya dia kesal dengan elemen tadi
itu, keinginan perempuan untuk berkuasa, perempuan selalu mengatakan laki-laki sangat
agresif rasional, dan selalu menekankan kerasionalannya itu juga laki-laki juga ingin
menjadi superior dan masyarakat netral gender yang dia tidak sukai. Lalu dia
membangun argumennya bahwa sebetulnya dengan problem-problem itu semua yang
membuat laki-laki tidak menjadi man lagi, kita harus cari konsep manliness ini, kita harus
temukan kembali konsep manliness ini. Sebetulnya saya juga sama, membolak-balik apa
sih sebetulnya definisi manliness dia. Okelah kita terima mungkin solusi dari persoalanpersoalan
tadi adalah mengembalikan manliness, tapi definisinya apa?
Yang saya dapatkan definisi manliness dari Mansfield memang tidak secara tegas apa,
tapi kira-kira, manliness adalah X. Dia tidak menyebut dengan tegas X-nya apa tapi kirakira
agresifitas. Lalu lanjut dia bilang, ya tapi agresifitas yang memiliki tujuan lalu dia
bilang ya manliness sebetulnya juga mencari atensi, tetapi di bab-bab belakangan
manliness adalah alamiah, tapi yang dikombinasikan percaya diri. Lalu dia katakan
manliness keras kepala tapi kita keras kepala memakai rasio dan seterusnya. Bahkan yang
membuat saya agak lucu akhirnya dia mendefinikan manliness adalah keberanian filosofi.
Ini jauh banget menurut saya. Tapi okelah sang professor katrena dia mengajar political
philosophy dan dia sangat tertarik dengan Plato dan Aristoteles sehingga dia memakai
banyak penjelasan dari filosof-filosof itu. Tapi yang saya pikir kalau kita mau jujur bicara
soal ini dia juga tidak jujur Plato dan Aristotele oleh filosof-filosof petrempuan sangat
seksi. Misalnya di the Republic: the Dialogues of Plato, apa yang dikatakan Plato tentang
perempuan: perempuan harus diawasi seperti ternak, karena perempuan itu sama dengan
binatang. Apa yang dikatakan Aristoteles di Biologi De Generatione Anemalium: dia
mengatakan perempuan itu sama dengan materi sedangkan laki-laki lebih pada bentuk,
form, yang berpikir. Perempuan itu harus dipimpin karena dia non rasio dan ini kurang
ajarnya perempuan itu adalah defect male. Jadi kalau kita ke Factory Outlet, itu yang
reject adalah perempuan.
Setelah itu dia memang sangat tertarik sekali definisi dari Yunani tentang manliness,
tentang “thumus”. Thumus adalah keberanian alami yang asli atau “spiritedness”. Yang
kemudian tadi dikatakan mengapa thumus melemah, mengapa laki-laki itu tidak berani
lagi, karena memang setelah Machiavelli masuk dengan konsepnya animo akhirnya
animo yang lebih mengemuka, animo ini lebih kasar dari thumus menurut dia. Ini yang
menjadi problem. Makanya manlinesss mendapat semacam fitnah karena manliness
diterjemahkan menjadi animo yang lebih kasar dari itu.
Kalau Celli kesimpulannya tadi membacakan soal yang positifnya dari Mansfield ketika
dia bilang bahwa perempuan harus didengarkan, tapi Celli tidak membacakan terusannya.
Nah, terusannya ini yang penting. Terusannya dia bilang begini, dengan nada tulisannya
yang penuh otoritas kelaki-lakiannya itu dia mengatakan; apa yang ingin saya katakan
kepada pertempuan adalah untuk tidak meremehkan peran menjadi ibu di depan para
pria. Apalagi pria yang ditaksir. Karena bila Anda melakukan hal itu Anda akan membuat
si pria berpikir bahwa ibunya sedang diremehkan dan dia akan membandingkanmu pada
ibunya padahal hal ini ingin Anda hindari. Ini masuk dalam bab konklusi, apa
hubungannya wallahu a’lam. Jadi memang Mansfeild ini kelihatannya kesal dengan
feminisme yang kelihatannya dunia kita disesaki oleh feminisme ini. Dia kemudian
mendapatkan momen ketika terjadi 9-11. Waktu September 11 terjadi dia mengatakan,
cobalah apa yang terjadi di 9-11. Di sinilah manliness di sini berguna halaman 230.
Buktinya pemadam kebakaran yang kebanyakan laki-laki itu yang mempertaruhkan
nyawanya di insiden 11 September. Dengan demikian manliness membutuhkan respek.
Dia tidak memperhitungkan dokter-dokter yang menyelamatkan banyak nyawa, dan
suster-suster yang juga pontang panting, itu nggak penting bagi dia.
Ada kutipan lagi, dia mengatakan: karena dunia juga masuk dalam islam yang fasis
manliness jadi sangat berguna untuk menjadi agresif and devend your self terhadap Islamislam
yang fasis ini. Saya pikir, terang saja seluruh feminis di jagat ini berang, bukan
hanya para feminis tetapi kaum liberal juga sama. Gimana mungkin, saya kira bagus
untuk mengkritik jalan pikiran orang adalah kembali kepada fakta bahwa, Mansfield itu
sangat lemah di dalam fakta. Padahal dia adalah seoarng professor politik yang
seharusnya kuat dengan data-data. Tapi dia mengatakan di dalam buku ini salah satu juga
mengapa perempuan itu lemah, tidak ada skill di dalam pemimpinannya dan sebetulnya
dia itu tidak heran kalau dia mengatakan begitu karena Plato juga mengatakan begitu
perempuan itu lemah dalam kepemimpinannya. Kan dia cuma setengah manusia, lelaki
dewasa bukan, anak-anak bukan.
(side B)
... tokoh-tokoh pemimpin perempuan itu kan kesalahan yang fatal sebagai professor.
Apakah dia tidak mentatat begitu banyak: Angela Merkel, Han Myung-Sook, atau
Michelle Bachelet. Apakah dia tidak mencatat Mongolia, Argentina, Islandia, Latvia,
Rwanda, Finlandia, Burundi, Mozambique, Jamaica, Bangladesh, begitu penuh dengan
pemimpin-pemimpin perempuan. Tidak melihat di Selandia baru ada Helen Clark, dia
tidak melihat di Indonesia ada Megawati, ada Tancu Ciller di Turki. Mana mungkin
seorang professor tidak melihat ada kepemimpinan perempuan, ada presiden perempuan,
perdana mentri perempuan, dan ini yang menurut saya Mansfield sangat ceroboh.
Dan kedua bukan hanya ceroboh, dia kan seorang konservatif, di Harvard University dia
dkritik oleh mahasiswa karena dia anti tindakan afirmatif, apalagi soal nilai. Saya kira
ketika sekolah di luar, kita tahu bahwa kita yang dari dunia ketiga sering dibantu oleh
para profesor. Tindakan afirmatif seperti itu dia tentang. Dia menganggap mahasiswamahasiswa
ini terlalu banyak diberikan kelonggaran-kelonggaran. Tapi belum misalnya
selesai urusan itu yang membuat mahasiswa marah, dia berani-beraninya juga
mengeluarkan statemen bukan hanya itu: tetrapi mahasiswa di Harvard gampangan
sekali, tidur dengan pria ini, tidur ama pria itu mereka itu sangat lusuh dan harus ada
aturan-aturan ketat di Harvard. Jadi memang dia ini professor tua konservatif, kuno, yang
memang tidak mengikuti zaman, yang menganggap bahwa virginity adalah bagian dari
manly juga. Dia tidak tahu bagaimana virginity dilahap oleh manly ini.
Teori feminismenya juga lemah. Terutama di dalam feminisme gelombang ke tiga
terutama konsep gender yang netral itu sudah lama ditinggalkan. Itu adalah gelombang
kedua, yang dia kutip, tapi dalam gelombang ketiga, Irish Mary Ann, justru sudah maju.
Mereka mengemukakan soal konsep seksual difference. Bahwa perempaun memiliki
kualitas yang juga menarik untuk di dunia publik dan kualitas ini perlu dipupuk. Nah,
tetapi bukan seperti Mansfield manliness dia lebih esensial definisinya, tapi Irish
mengatakan bahwa kuliatas feminin ini bisa diadopsi siapa saja, ”kepedulian” misalnya
salah satu kualitas perempuan yang bisa diadopsi laki-laki. Dan kepedulian bisa dipakai
di politik, bisa dipakai diekonomi, di budaya, dan bisa dipakai di bidang apapun. Caring
misalnya.
Jadi memang Mansfield kelihatannya ketinggalan zaman, dan terutama bukan hanya
bukunya ini membuat berang kaum feminisme, juga kaum homoseks, yang sangat
tersinggung sekali, dan saya mengerti sekali kalau kaum homo seks tersinggung dengan
manliness yang dia definisikan itu.
Kalau saya sih membaca buku ini cukup cepet-cepet dilihat, lalu ditinggalkan di rak buku
Anda. Tapi yang menurut saya juga sangat menyinggung adalah di halaman 144 tentang
perkosaan. Dia mengatakan begini: Later, feminist totally take notes of male
violence,”dengan rape yang begitu tinggi baru dia bilang feminis sadar tentang male
violence, and real against rape. But that’s tends one more realistic doesn’t solve the
problem” Jadi meskipun kita sudah aware dan sebagainya, ini bukan solve the problem
menurut dia. ”to receive rape a women need more than martial art and more then the
police. She need as shorten lady like modesty enabling her to take .. and unwanted
uncrouchement.” Jadi untuk melawan perkosaan kita harus menjadi ldy lake menurut
dia. Lalu dia kasih komentar ”how dare you” yang menurut saya komentar itu lebih tepat
dari pembaca untuk si Mansfield ini. Kita harus menjadi lady lake, what seem to be a
better way untuk menolak perkosaan dan kekerasan.
Nah, saya kira saya berhenti di situ karena kalau nggak akan banyak lagi komentarkomentar
saya kira nggak berguna. Tapi saya kira ini menarik, Celi saya kira juga
memberikan poin menarik. Semoga diskusi akan lebih berkembnag… terimakasih..
Hamid Basyaib
Saya kira jelas sekali Mansfield menulis ini karena kejengkelan pada pasang naiknya
feminisme. Dia bilang ”Ini kalau orang berhubungan seksual, perempuan itu lalu mikir
dalam konteks gerakan feminisme, sehingga perempuan lalau melihat dirinya sebagai
sesuatu yang sangat tidak erotis.” Jadi ini juga diratapi oleh dia. Saya tidak tahu apakah
dia merujukkan ini juga pada tradisi-tradisi agama. Tetapi kita tahu, agama-agama juga
hampir tanpa kecuali, sangat manliness. Orang Yahudi misalnya bilang bahwa:
”Perempuan itu diamnya saja berbohong.” Padahal untuk bohong itu paling sedikit harus
ngomong. ”Kalau rahasia dikasih lelaki, itu masuk kuping kiri keluar kuping kanan.
Kalau perempuan, masuk dari kedua kuping, keluar lewat mulut.” Pepatah-pepatah Arab
apalagi.
Orang Yahudi juga bilang: ”Kalau setan sudah kualahan, dia panggil perempuan untuk
mengatasi persoalan.”
Sesi Tanya Jawab
Maria. Saya kira Mansfield itu tidak mencoba mengembalikan nilai luhur laki-laki
kalau menurut saya. Memang manusia sudah mengalami kemajuan seperti mbak Gadis
bilang, human adalah sifat feminin dan maskulin. Tetapi sekarang ini memang
malinessnya laki-laki itu banyak disebabkan oleh perempuan. Lihatnya di sinetron,
banyak perempuan yang menembak laki-laki, itu justru membuat semangat kejantanan itu
hilang. Ketika seoarang perempuan menembak seoarang laki-laki, itu membuat keinginan
seoarng laki-laki untuk memberi menjadi mati. Seharusnya dengan sikap perempuan
yang responsif itu akan memacu laki-laki untuk terus memberi. Dan ini sering membuat
perempuan untuk menjadi depresi karena tidak dicintai. Padahal awalnya itu kesalahan
dia memberi terlalu banyak. Jadi dia mengambil sikap laki-laki yang terlalu agresif,
perempuan sudah menjadi laki-laki. Jadi saya kira Mansfield ini mau mengembalikan
nilai luhur seorang laki-laki. Bahwa seorang laki-laki itu memang selain dia memiliki
sifat ada juga feminin sebagai women tadi, ada laki-laki yang seharusnya jadi khasnya
laki-laki. Jadi perempuan itu berkontribusi untuk membuat laki-laki itu kehilangan
kejantanannya. Dengan kondisi seperti itu, perempuan mengejar laki-laki lalu laki-laki
”sudahlah dikejar-kejar biarin saja”, lalu hilang keinginannya untuk memberi itu hilang.
Padahal ketika perempuan itu responsif, dia suka lagi. Ketika perempuan responsif dia
tidak akan tertarik lagi dan nggak ada gregetnya. Jadi saya kira Mansfield ini
mengembalikan nilai luhur seoarng laki-laki. Seorang laki-laki selain sebagai seoarng
human punya sifat perempuan, punya sifat laki-laki dia memang harus punya khas
sebagai laki-laki. Makasih..
Hansfitra, S2 UI Politik, saya ingin memplesetkan manliness ini menjadi
manloneliness, kesepian laki-laki. Karena banyak kali-laki dunia modern ini kesepian
akhirnya bunuh diri. Sehingga di Jepang itu banyak laki-laki yang tidak dapat cinta lalu
bunuh diri, diputus pekerjaannya lalu bunuh diri. Walaupun saya tidak tahu persis berapa
angkanya tapi banyak tradisi bunuh diri di negara-negara modern. Dan ada satu hal yang
menarik dari tulisannya Garry Wills mengenai Mansfield, bahwa dia menganggap
rasionalitas itu membuat laki-laki berubah menjadi tikus-tikus. Jadi karena modernitas ini
yang tanpa hati tanpa perasaan, tanpa ada nilai-nilai kejantanan, ini membuat laki-laki
seperti robot. Dan kalau kita lihat ada 8 poin di sini, dari sains, teknologi,
profesionalisme, ada demokrasi.
Saya merasa sangat aneh, apakah Mansfield mau mengembalikan kelaki-lakian dalam
konteks romawi kuno, dimana ada nilai-nilai. Saya sedikit mau mengkaitkan dalam
dengan konteks keindonesiaan, di mana kalau kita perbandingkan tradisi anglosakson
dengan Indonesia. Orang Eropa selalu menganggap tanah air sebagai father land, orang
Indonesia selalu menganggap ibu pertiwi, mother land. Jadi ada semacam keperbedaan
ketika orang Jerman berjuang untuk tanah airnya dia bilang; untuk tanah air bapak saya.
Tapi orang Asia itu selalu menggap mereka berjuang untuk tanah ibu mereka. Karena
konsep tanah di negara-negara Asia terutama itu mengacu pada konsep perempuan. Dewi
Sri dan sebagainya. Memang berbicara Mansfield berarti dia mempertentangkan
modernitas versus--belum ada konsep yang pas untuk menyebut filsafat Timur di mana
kaum wanita saya kira menjadi sentral dalam kehidupan. Ini berbeda dengan Eropa,
mungkin Arab juga. Dalam filsafat Timur wanita selalu dianggap sentral, dianggap
siklus, pemberi kasih sayang dan sebagainya. Dan laki-laki berjuang untuk tanah airnya
yang memberikan dia kehidupan yaitu kaum ibu. Satu pertanyaan untuk kedua
pembicara, bisa nggak sih sebenarnya memahami manliness dalam konteks budaya
otoritarian seperti Indonesia, terimakasih..
Penanya Perempuan, saya menanggapi apa yang diungkapkan tadi bahwa,
sesunggguhnya agama-agama itu berpihak pada laki-laki, hampir seluruh agama. Saya
tidak setuju kalau dikatakan seperti itu karena sebenarnya agama Islam itu tidak berpihak
pada laki-laki. Nah, kalau melihat dari buku yang dipaparkan apa tanggapan dari mbak
Gadis Arivia, di situ memperlihatkan bagaimana dunia ini terjadi suatu persaingan antara
laki-laki dan perempuan. Nah, padahal kalau kita mau mengetahui bagaimana seharusnya
laki-laki itu berperan dan bagaimana seharusnya perempuan itu berperan, dan bagaimana
peran yang ada di dunia ini sehingga bias menghasilkan suatu dunia yang damai sejahtera
dan baik dan adil, tentunya kita harus berpikir ke belakang dan berpikir untuk sekarang,
dan berpikir juga yang akan datang.
Nah, di sini kita berpikir dari mana kita datang, apakah kita ada dengan sendirinya?
Ataukah kita diciptakan bapak/ibu kita, ataukah dari Allah? Untuk apa kita hidup di dunia
ini dan ke mana kita setelah mati? Apakah kita bertanggungjawab terhadap manusia atau
kita bertanggungjawab kepada Allah. Nah, pada saat kita bisa menjawab bahwa kita dari
Allah, dan kita di dunia ini adalah punya kuwajiban untuk ibadah, dan kita nanti kembali
kepada Allah, maka kita akan menjawab bahwa di dunia ini kita harus beribadah. Berarti
dalam melaksanakan seluruh aspek kehidupan baik kita mengurus politik, mengurus
ekonomi, atau yang lain haryus kembali kepada aturan Allah. Di sini bukan aturan yang
memihak kepada laki-laki atau yang memihak kepada perempuan. Di sini Allah
memberikan suatu aturan bahwa, Allah memberikan aturan pada saat dilihat bahwa
qodrat wanita berbeda dengan laki-laki. Wanita punya punya payudara, punya rahim,
laki-laki tidak, maka ada aturan Allah tentang pesusuhan, tentang pengasuhan, yang ada
di pihak wanita, laki-laki tidak. Maka payudara merupakan aurat perempuan, laki-laki
tidak. Karena memang kodratnya berbeda, jadi hukum yang muncul di situ berbeda. Tapi
ada yang sama bahwa laki-laki adalah manusia, perempuan juga manusia, sama-asama
punya akal. Sehingga tidak bisa dikatakn bahwasanya perempuan itu separuh akalnya
dari laki-laki. Karena bisa jadi dalam satu kelas itu yang paling pintar juga perempuan
karena memang potensi itu sama, sehingga Allah memberi taklif hukum pada orang yang
punya akal, bukan pada orang gila. Di sini Allah tidak memperhatikan yang laki-laki atau
yang perempuan, tapi yang paling mulia. Nah, akhirnya aturan kehidupan yang ada
aturan yang sama dan ada aturan yang berbeda, bagaimana dijalankan manusia laki-laki,
dan manusia manusia ini saling tolong menolong. Bahkan dalam suami-istri dikatakan
”shahabani”, dua sahabat. Walaupun dikatakan ”Arrijalu qawwamuna ’alannisa’” lakilaki
pemimpin wanita, tetapi di sini juga dikatakan laki-laki yang paling baik adalah lakilaki
yang paling baik kepada keluarganya, istri dan anaknya. Di sini jelas sekali aturan
yang seimbang yang membikin manusia itu hidup dalam kesejahteraan dan keadilan.
Nah, di sini untuk menyelesaikan persoalan dunia tadi Allah menciptakan aturan ada
yang berbeda dan ada yang sama, itu semua akan menyelesaikan permasalahan bukan
bagaimana permasalahan itu kalau dalam kacamata feminis, ”bagaimana nanti banyak
kemiskinan perempuan?”. ”Oh, kalau begitu pemegang kebijakan harus perempuan.”
Padahal seseorang yang sudah menjadi pemimpijn dalam benaknya bagaimana rakyat
saya ini bisa sejahtera bukan bagaimana perempuan saya ini bisa sejahtera tidak. Jadi
disini solusi yang tepat adalah bukan perspektif perempuan, bukan perspektif laki-laki
tapi perspektif Islam. Oleh karena itu dalam mengerjakan sesuatu kita ingat kita nanti
akan meninggal dunia dan mempertanggungjawabkan kepada Allah.
Jawaban
Rizal Mallarangeng:
Terimakasih, kalau soal yang saya tahu yaitu tentang kehidupan, kalau setelah saya
meninggal bagaimana terus terang saya tidak tahu. Jadi nggak bisa jawab mohon maaf.
Ada masalah-masalah yang baik yang mungkin saya jawab mungkin juga tidak.
Memang kalau kita mau berpihak pada buku ini, memang di sinikan agak loose. Memang
orang seperti Mansfield tidak memberikan ”ini lho definisinya A B C D” yang gampang
dimengerti. Memang dia caranya menulis ini ya begini ini. Tapi yang paling penting bagi
saya adalah bagaimana kita melihat aspek keberanian mengambil resiko, ya salah satunya
contoh di Titanic itu adalah apa yang mau dia katakan, keberanian untuk berkorban
segala macam. Sekali lagi lawannya bukan womanliness bukan. Jadi deviding line-nya
bukan pria-wanita, tapi sikap kehidupan yang seperti apa yang membuat dia baik dan
benar.
Kalau kita mengambil dalam perspektif kebudayaan, peradaban, situasi sosial yang besar,
dia ini orang konservatif. Bahkan orang liberal saja dikritik oleh dia, modernitas yang
rasional tadi kan dikritik oleh dia--tidak berarti semuanya ya. Tetapi ini khas kaum
konservatif yang mesti kita mengerti. Mungkin strateginya begini; kalau mengenai
hubungan pria wanita dalam evolusi sejarah mau agama atau Yunani, hampir sama
semuanya. Wanita lebih inferior dibanding laki-laki. Ditutupi dengan bahasa filsafat,
agama, mau Yahudi mau Kristen mau Islam sama. Ekspresi filosofisnya begitu, ekspresi
legalnya, kenyataannya begitu. Break true-nya baru datang pada abad 18 dan 19 yang
dibawa oleh pemikir liberal, Imanuel Kant dan John Locke. Machiavelli belum
membahas soal pria-wanita. Elum membahas hak-hak pribadi. Barulah pada abad 17- 18
baru mulai muncul pemikiran yang dikatakan Gadis tadi centernya pada manusia,
humanisme, tetapi lebih ke pemikiran legal, pemikiran politik, pemikiran social.
Pengakuan terhadap hak-hak individu, bukan lagi pria, bukan wanita, bukan raja, jadi
individu yang bertahta karena memiliki akal budi yaitu rasionalitas. Implikiasinya
revolusi pemikiran ini, tentu saja pemikiran dulu, cara pandang dulu, barulah di situ
dibuat negara yang menjamin ide-ide baru tadi dari Kant tentang hak-hak individu yang
tidak mungkin tergantikan atau diambil oleh siapapun. Tetapi bahkan oleh tokoh seperti
Kant dan Locke, dalam bahasa buku mereka pada saat menjelaskan wanita, selalu wanita
itu inferior, penjelasan pribadinya. Tetapi sistem yang mereka mau buat, demokrasi,
sistem masyarakat modern dibangun diatas asumsi yang gender neutrel. Mereka tidak
berkata bahwa hak hanya laki-laki, atau ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
nggak ada. Memang bahasa yang mereka pakai man. Man ini kan hanya katanya saja,
tapi implikasi pemikiran mereka itu gender neutral. Republik demokrasi modern itu tidak
mengenal pria wanita dalam segi prinsip. Walaupun dalam evolusi prakteknya
dibutuhkan kurang lebih satu setengah abad agar pemilikan hak-hak itu netral, misalnya
begini; Inggris dan Amerika dan Prancis, yang memulai demokrasi yang pertama kali
diberikan hak milik untuk memilih itu bukan laki-laki: laum pemilik. Yang kedua
revolusinya setelah Aris Ticrat oke diperluas siapa yang mau memilih tapi hanya boleh
selain mereak yang memiliki tanah, land owner, juga mereka yang terdidik. Kaum buruh
belum dapat walaupun laki-laki. Di akhir abad 19 baru saiapa saja laki-laki boleh
memilih, wanita belum boleh memilih. Baru boleh setelah tahun 1914 kalau di Amerika.
Kira-kira dekade pertama, dekade kedua, dan dekade ke tiga abad 20 wanita baru boleh
dikasih kesempatan memilih. Walaupun prinsipnya sudah diformalisasikan abad
sebelumnya. Prinsip sebagai Negara yang gender netral, hak asasi kepada semua orang.
Nah, ini kontradiksinya. Kalau Anda baca John Locke, baca Kant, kata-katanya memang
merendahkan wanita, dalam pengertian mereka sudah melangkah jauh melewati
zamannya, tetapi dalam soal wanita/ pria mereka masih berada di zamannya. Walaupun
implikasi pemikirannya beyond itu. Jadi kalau orang konservatif seperti Mansfieild bukan
hanya seperti itu yang dibawa oleh John Locke sama Kant, tapi juga rasioanlitas. Nah,
kaum konservatif dalam hal ini agak khas melihat perkembangan sejarah. Buat Mansfield
laki-laki Titanic yang 80% itu kan nggak rasional. Memberikan tempat pada wanita dan
anak-anak pada saat pertanyaan hidup dan mati. Kalau rasional dia perjuangkan hidupnya
dulu, tetapi di situ dia perjuangkan itu, dia resikokan hidupnya untuk memberikan jalan
pada sesuatu yang nilainya tinggi, yaitu penghargan kepada wanita. Itulah inti dari
manliness, dan itu nggak rasional. Dan kalau dia menentang juga kaum liberal, itu cara
dia saja, tapi ini nggak ada habis-habisnya kalau mau kupas dari sudut-sudut itu.
Makanya saya bilang ini kan buku bagus, dalam artian Anda bisa bolak-balik ke buku ini
bukan cuma ketika membahas feminisme. Anda bisa membahas modernity masuk ke dia,
Anda bisa membahas Machiavelli masuk ke dia. Anda mau membahas kembali ke
Aristoteles bisa masuk ke dia. Jadi dia kaya. Memang kalau kita mencari definisi,
memang bukan ini, lebih bagus kita baca buku yang lain. Itu yang kira-kira bisa
diberikan. Di sini juga ada persoalan penting yang dikatakan oleh Gadis tadi pada
awalnya. Ini kan kita sudah melangkah lebih jauh sekedar women and man tapi kita ini
sudah human, tidak lagi dibagi dalam sekat-sekat gender. Kita semua mau dan
mendorong humanity. Tetapi kan ada juga peran laki-laki di sini, dan wanita. Bagaimana
bisa mengingkari fakta bahwa dalam hidup kita kita bertindak salah satu persepsi saya
sebagai saya. Saya yang temennya Hamid, temen Gadis, temen Anda, tapi laki-laki. Nah,
apa kelakilakian itu? Itulah yang menjadi inti.
Dia kan banyak menyayangkan perkembnagan modern, kapitalisme modern. Misalnya
begini: demokrasi menghasilkan lebih banyak subsidi. Demokrasi banyak menghasilkan
welfare state. Itu cara melihat kaum konservatif. Saya belum tentu setuju, tapi saya mau
Anda mengerti. Kenapa dia menentang subsidi? Bagi dia, orang menjadi diperbudak
karena itu. ”Kamu harus menolong dirimu sendiri. Kamu harus berusaha menyelamatkan
nasibmu sendiri. Jangan dikit-dikit minta tolong.” ”Saya disubsidi dong, saya tidak
mampu lagi.” Ini banci. Ini mengajarkan negara menjadi ibu rumah tangga, menjadi ibu
kamu, bapak kamu.” ”Kamu harus mencari hidupmu sendiri untuk menanggung
keluargamu. Itu baru laki-laki. Itu baru jantan.”
Buat temen-temen feminis saya mau berkata begini, ini kan tidak harus merendahkan
wanita, dia cuma mau memberikan semangat pada 50% laki-laki bagaimana untuk
bertanggungjawab tanpa harus merendahkan wanita. Pertanyaannya buat dia, sumber
inspirasi apa mengembalikan kepercayaan diri laki-laki. Agama sudah nggak mungkin
nih, filsafat modern: waduh banyak banget yang nggak karuan. Nah, dia bikin sendiri
bukunya. Tapi memang nulisnya susah. Bagi dia supaya ada semacam pegangan. Dia
sudah bilang bahwa ini bukan buku self-health. This a book for thinkers.
Saya sendiri kalau mau kritik ya banyak juga. Tapi kok bener juga bahwa, anak saya
misalnya ya lak-laki dua yang satu 13 tahun, sudah punya pacar lagi. Barusan dia terima
raport kok kurang bagus, turun nilainya. Saya seksis atau nggak, tidak tahu, tapi saya
bayangkan, kalau anak saya perempuan saya tidak akan ngomong begitu, man to man.
Saya menasehatinya agak berbeda dengan anak saya yang perempuan. Saya nggak tahu
apakah kalau anak saya perempuan itu mengalami yang sama apakah saya akan tegurnya
juga dengan cara yang sama wallahu’alam..
Gadis Arivia
Sebetulnya Mansfield, atau ”Man failed”, dia miss the point. Dia mau mencari solusi atau
jawaban atas permasalahan-permasalahan yang ada seperti September 11, masalah yang
dia sebutkan dalam buku ini, perempuan yang sudah kebablasan, dengan mencari
jawaban yang esensial, kembali kepada konsep esensial yaitu jawabannya adalah
manliness. Padahal sebenarnya jawaban dari yang terjadi September 11 atau yang terjadi
relasi gender yang timpang bukan kembali kepada yang esensial manliness tapi
pertanyaannya adalah pertanyaan sosial, keadilan, pemberdayaan. Mansfield tidak
melihat itu, karena apakah manliness bisa memberikan kontribusi kepada keadilan.
Saya kira sangat simplistik sekali bahwa manliness adalah jawaban terhadap
Islam fasis misalnya. Berarti argumennya kembali kepada argumen esensial, argumen
qodratiah, argumen origin moral, dan bukan argumen origin sosial. Nah, ini yang sangat
disayangkan. Padahal tadi Celli tadi menyinggung soal Locke, dan kalau kita
menyinggung Locke tentu kita menyinggung Russoe. Nah, Locke kan juga sudah
mengatakan bahwa apa yang hendak kita bangun adalah suatu political society yang
berkeadilan. Nah, bagaimana kita membangun itu. Yaitu kita harus selalu memperkuat
liberty, kita harus memperkuat kebebasan, menurut Locke, dan menurut Russoe juga
dengan kontrak sosialnya. Jadi sebetulnya kita sudah on the right track, kita sudah
meninggalkan argumen-argumen sebelumnya, dan mencoba melihat bahwa problem
sosial harus diselesaikan dengan cara berpikir problem solving sosial. Jadi tidak lagi
manliness atau womanliness tapi bagaimana persoalan keadilan ini. Ini yang sebetulnya
mengapa dikatakan Mansfield mundur dan bukan maju. Nah, soal manliness di dalam
konteks Indonesia juga sama, saya kira persoalannya adalah kita selalu kembali kepada
jawaban-jawaban yang kodratiah, jawaban-jawaban yang esensial, jawaban-jawaban
yang merujuk origin moral, merujuk pada satu pure, ada definisi yang pure. Seolah-olah
manliness hanya lekat pada laki-laki, dan kemudian seolah-olah jenis kelamin itu hanya
laki-laki dan perempuan. Bagaimana banci, bagaimana waria, bagaimana JLBLT,
bagaimana mereka? Jadi cara berpikir dikotomik ini yang sudah lama kita tinggalkan
dalam akademik ini yang hendak dibangun kembali oleh Mansfield. Saya kira Indonesia
juga begitu, itu sebabnya ada perda-perda syariah, itu sebabnya apa yang kita alami
sekarang ini--mahasiswa saya baru dikejar-kejar karena tidak memakai jilbab misalnya--
itu yang terjadi. Kita kembali kepada penjelasan origin moral, origin qodrati. Kita
kembali kepada abad ke 14. Nah, saya kira ini penting, kalau tadi dikatakan bahwa
apakah pertanyaannya laki-laki harus berperan bagaimana, perempuan harus berperan
bagaimana, itu adalah pertanyaan-pertanyaan kodratiah yang tidak berguna untuk
memperbaiki keadaan sosial kita. Pertanyaan kodratiah seperti itu jawabannya adalah
laki-laki harus berperan manly, perempuan harus berperan lady like di halaman 144.
Padahal pertanyaannya salah sekali, pertanyaannya adalah bagaimana manusia harus
berperan, dan jawabannya adalah manusia harus berperan berkeadilan. Ini yang saya
pikir, makanya jadi man failed, karena salah banget analisanya. Dia kan berhenti pada
pemikiran modern, padahal kita sudah masuk pada Foucault, Baudrillard, Derrida.
Misalnya Foucault mengatakan bahwa power itu tidak lagi dikotomik sifatnya, ada power
perempuan, ada power laki-laki, atau seperti Marx katakan power itu adalah persoalan
struktural. Foucault mengatakan power itu bukan persoalan makro lagi tetapi persoalan
mikro. Bukunya tentang seksualitas menunjukkan betapa persaolan everiday life itu bisa
menjadi power. Nah, Baudrillard lebih-lebih lagi mengatakan: sekarang kita dalam dunia
komputerisasi, sekarang kita mau mempertanyakan realitas. Realitas itu apa sih dalam
dunia internet. Bisa saya di internet saya mengatakan ”Nama saya Gadis, saya seksi,
dsb.” Padahal yang menulis itu Hamid. Nggak penting jenis kelamin jadinya di situ. Jadi
sains-system juga telah merubah cara melihat realitas kontemporer kita. Ini dia, saya
nggak tahu bagaimana manliness bisa berkontribusi pada persoalan-persoalan
kontemporer kita. Apalagi pada persaoalan-persoalan Indonesia yang jelas-jelas sekarang
politiknya adalah politik lewat ayat-ayat suci, bukan ayat-ayat konstitusi.
Rizal Mallarangeng:
Yang menarik didiskusikan juga, tentang Chance and continuity. Ini menarik sekali,
bahwa ada esensialisme di sini, yang mengajak kita kembali ke ”apa sih yang dasar?”
supaya kita tidak hilang dalam gejolak perubahan, pergantian abad, peradaban,
pergantian hubungan-hubungan, tapi ada yang esensial yang harus dipertahankan.
Manliness dalam pengertian itu. Nah, kalau banyak kaum yang femonis, posmodern, itu
menghilangkan sesuatu yang esensial dalam masyarakat, dalam hubungan-hubungan
sosial, dalam pengertian bahwa semua terkait dengan perubahan itu. Semua larut,
termasuk cara pandang dan cara hidup kita. Salah satua perbedaan cara melihat antara
kaum konservatif seperti Mansfield, dengan kaum non-konservatif bisa macam-macam.
Makanya namanya konservatif, to conserv. Mereka ingin mempertahankan sesuatu.
Konservatisme modern lahir oleh Edmunberg, melihat revolusi Prancis yang mengubah
semuanya, segala macam terbalikkan, tidak ada lagi yang bertahan di Prancis. Semuanya
bablas.
Itu perdebatan lama, tapi dlam hal ini kita bis melihatnya dari sudut pandang itu. Bahwa
salah satu kubu ini mencoba mempertahankan sesuatu yang esensial dalam kehidupan.
Ada yang berkata bahwa tidak ada lagi yang esensi, tak ada pondasi dalam kehidupan,
semuanya larut bersama dengan berjalannya waktu.
Sesi tanya jawab 2
Saidiman. Saya mau melanjutkan pertanyaan mbak Gadis, pakah manliness akan
memiliki kontribusi bagi penyelesaikan problem sosial, ketidakadilan dan sebagainya.
Saya kira kalau berangkat dari paparan Rizal Mallarangeng bahwa ini bukan persoalan
pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini, tapi dia ingin membahas lakilaki.
Saya kira betul juga, bukan berarti dia kaan meninggalkan perempuan. Tapi
pesoalannya pada laki-laki. Sebagaimana kaum feminis meihat ada persoalan perempuan
sehingga butuh pemberdayaan perempuan dan sebagainya itu persoalan. Ternyata saya
kira betul juga, bahwa di zaman sekarang ada persaolan laki-laki sebagaimana perempuan
ketidakmandirian itu. Tadi di sebut Islam fasis sebagai bahaya, saya kira iya juga bahwa
kekerasan dilakukan oleh laki-laki, bom WTC itu dilakukan pada laki-laki. Ada persoalan
pada laki-laki yang harus diselesaikan, konflik yang berkonflik itu juga laki-laki.
Kemudian pengangguran, ya kalau perempuan pengangguran biasanya tidak terlalu
bermasalah, persoalan kalau laki-laki mereka menjadi penjahat, mereka jadi pemalak ada
persaolan di sana. Bagi orang-orang Islam yang fanatik itu ya laki-laki, berbahaya
sehingga kadang-kadang merusak. Berbahaya ketika mereka menjadi Islam yang fanatik,
Islam yang tunduk kepada sesuatu yang ilahiyah itu dan tidak mau menjadi dirinya
sendiri. Salah satu ciri modernitas adalah otonomi individu. Subyektifitas, ada pengakuan
terhadap diri. Makanya orang-orang laki-laki yang berbahaya di dalam beragama itu juga
laki-laki. Sadar nggak bahwa bukan hanya bukan perempuan yang bermasalah tapi lakilaki
juga begitu berbahaya.
Perempuan Penanya 2, Sebenarnya dari awal diskusi pak Rizal mengungkapkan
materinya tadi tentang buku, saya baca ada sebuah pengakuan di sini bahwa, ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Hanya mbak Gadis di sini yang belum
mengakui hal tersebut. Tentunya dari perbedaan itu akan muncul sifat atau karakter yang
berbeda itu harus diakui.dan itu juga diakui oleh penulis buku. Hanya ketika mau melihat
penyelesaian masalah itu kembali ke kacamata perempuan dan laki-laki. Artinya mereka
masing-masing lebih mulia, masing-masing merasa ada sub-ordinasi, ada yang
tersubordinasi. Nah, artinya disini sebenarnya tidak boleh terjebak ke kacamata
perempuan dan laki-laki, tapi keluar dari kacamata itu, mereka sama-asama manusia.
Artinya dia dikaruniai akal dan pada fungsi kemanusiaan itu ada peran yang sama pada
mereka. Tetapi ketika terkait dengan perbedaan laki-laki dan perempuan tadi, maka ada
peran yang berbeda yang harus difungsikan oleh mereka. Dan ada ketergantungan di
antara mereka. Kenapa ada perempuan dan laki-laki tentu ada perbedaan dan ada
ketergantungan di antara mereka. Artinya ketika kita mau melihat masalah yang
diungkapkan tadi, dan ini bahas oleh penulis buku, penyelesaiannya tidak boleh kembali
ke kacamata perempuan dan laki-laki tapi ke pembuat perempuan dan laki-laki itu. Atau
pencipta di sini. Tapi memang harus kita akui bahwa laki-laki dan perepuan ini kan tidak
ada sendirinya, ini fakta real yang tidak bisa dipungkiri dan tidak bisa diasumsikan tidak
ada.
Terus satu lagi mbak Gadis, saya baca artikel pengakuan salah satu icon feminis saya
bacakan bahwa, perempuan feminis aktifis dari kalangan Yahudi yang ikut berperan
besar dalam penggodokan plan of action Konferensi Beijing tahun 1995 yang bernama
Bella, selama 10 tahun Bellah berada di garis depan kaum feminis menyurakan
kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala lini. Ketika Bill Clinton
berkuasa dia menjadi pendukung vokal partai demokrat. Di belakang wanita yang tampak
perkasa ini terdapat martin yaitu suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua
sepak terjangnya. Dalam masa 1990 Bella menulis artikel ”Martin apa yang harus
kulakukan kini?” Artinya di sini saya mengakui mempunyai reputasi seorang perempuan
mandiri. Dan memang saya mandiri, tapi jelaslah bahwa saya tergantung martin. Yatu
suaminya. Artinya marilah kita mencoba untuk mengakui fakta real memang ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu dan memang itu berkontribusi terhadap
perbedaan peranantara laki-laki dan perempua.
Ridho. Terimakasih, saya berdiri di sini bukan berdasarkan laki-laki atau pria, atau juga
sebagai wanita. Pertama-tama dalam diskusi ini saya ingin melihat satu argumen yang
sifatnya saling membela. Di sini mbak Gadis mungkin juga menciptakan gap-gap baru
dengan pak Rizal atau moderator. Kenapa saya bilang begitu? Semakin kontroversi
sebuah karya, semakin seksi dan itu sangat mudah. Dan mungkin Mansfield, mungkin dia
membuat field lingkaran laki-laki, lapangan. Dari namanya pun sudah dikotomi banget.
Tapi its oke, bagi saya sejarah membuktikan perjalanan agama-agama. Saya membaca
buku Wanita dalam Doktrin. Semua agama memang yang pernah saya baca tidak ada
yang berpihak kepada perempuan, bukan karena saya memihak perempuan bukan.
Seperti di Cina atau di Irak, kita lihat bukan agama tapi budayanya, jangan langsung
tempelkan sesuatu, budaya dengan agama jangan langsung ditempelkan. Karena begini;
pria dan wanita itu sistem, atau kalau kita balik ke filsafatnya hukum sebab akibat, karena
kalau kita lepaskan ini sistem maka terjadi gap-gap yang akhirnya sepanjang zaman pun
terus terstigma wanita-pria. Nah, terus diperparah lagi dengan kalangan agamawanagamawan
atau para ulama-ualama, mungkin berbicara feminisme paling asik di
indonesia karena banyak orang Islamnya. Semakin banyak semakin kontroversi, semakin
laku. Jangan juga kita sebagai filosof atau menyerang-nyerang stigma-stigma agama,
tidak juga. Mungkin kita harus lebih wise menyikapi fenomena agama di Indonesia.
Karena begini sedikit sekali sepanjang perjalanan dari agama ke agama saya lihat orang
agama juga tidak bisa mengupas secara detail. Mereka tetap melepaskan itu dari hukum
sebab akibat, ini yang kita lupa. Ingat kita hidup dalam krangka sebab akibat. Apapun
buku nya kita harus lihat motif dari si Mansfield ini apa motifnya? Saya pikir sama
dengan filosof-filosof lain gitu lho, dia mau menambah wacana baru atau baliklah ke
pemikiran konservatif yang memang terus laku, kalau dipoles terus semkain laku.
Saya mau tanya juga deh sama mbak Gadis dan pak Rizal, kenapa kita tidak berpikir
sistem. Letakkan segala sesuatu pada sistem. Bagaimana kalau kita melihat sudut
pandang baik pria wanita apapunlah pada sistemnya. Sebab/akibat, wanita/ pria itu nggak
bisa dipisahkan.
Novriantoni. Saya nggak baca bukunya tapi dari paparan kedua pembicara tadi kok
saya melihat buku ini seperti membaca buku-buku agama, yang menjejali kita dengan
pandangan-pandangan lamanya. Saya berharap buku ini tidak diterjemahkan oleh
Freedom Institute. Mungkin dia kontekstual untuk masyarakat Amerika yang sudah
gender equal, tapi tidak untuk Indonesia.
Nah, saya hanya ingin menggugat bung Rizal yang saya lihat terlalu positif melihat buku
ini. Apanya yang positif buku ini? Mungkin terlalu apresiatuif melihat Mansfeild ini dan
saya mendukung mbak Gadis karena dia sudah berjuang lama untuk gender equality dan
lain sebagainya. Anda tentu tahu itu adalah perjuangan yang maha berat di masyarakat
yang sangat partiarki seperti ini. Yang ingin saya tahu dari bung Rizal, apa poin yang
menarik dari Mansfield sehingga buku ini cukup dipertimbangkan untuk struktur sosial
masyarakat kita ke depan atau apanya yang penting dari masyarakat yang kelelakiannya
kembali muncul itu.
Rizal Mallarangeng:
Nggak tahu ya, mungkin karena saya senangnya Machiavelli. Tapi benar nggak di
masyarakat kita semangat laki-lakiannya tinggi, itu dulu. Jangan-jangan semangat
berangnya ya, semangat suka marah-marah ya, semangat mau berkuasa, tapi bukan itu
manliness yang kita maksud sebagai manliness yang benar.
Tapi memamg ini buku untuk referensi, book for thinker. Dia memang mau berpolemik
tapi saya kira bukan dengan kaum feminis. Dia mau berfilsafat dengan cara apa yang
dikatakan tadi bahwa, persoalan yang sebagian besar kita lihat itu adalah persaoalan yang
diakibatkan oleh kaum laki-laki dan oleh kaum laki-laki merugikan segala macam. Belum
tentu yang bringas itu manly, di sini juga dibilang bahwa ada yang kurang, jangan-jangan
ada yang salah. Nah, sejauh dia bisa memberikan inspirasi saya kira berguna. Saya nggak
tahu apakah konteks Indonesia ini pas saya juga nggak tahu.
Jangan buru-buru berkata bahwa, saya tidak mempunyai persoalan manliness dalam
pengertian itu tadi dikatakan mbak ini bilang: banyak laki-laki nganggur di warkop sana
dia. Mengeluh kenapa saya tidak dapat pekerjaan, yang salah pemerintah. Yang salah
SBY, yang salah pemerintah, kita kurang ini, kurang itu, mengeluh terus nggak mau
berbuat sesautu betapapun kecilnya untuk hidupnya. Ini nggak manly, walaupun
kelihatannya garang, sangar, dia nggak bertanggungjawab dengan dirinya sendiri, yang
salah mesti orang lain. Pekerjaan itu diberikan dari orang bukan pekerjaan dia buat
sendiri. Bahwa itu cocok pada kita itu soal lain, tapi saya kok nggak melihat ini kok
nggak punya manfaat dalam konteks kita, tergantung bagimana kita membacanya.
Gadis Arivia:
Ya, untuk penanya pertama ya, memang kalau dikatakan apa kontribusi Mansfield
mungkin adalah bahwa dengan bukunya manliness ini kemudian kita mendiskusikannya,
kita kemudian mempertajam perspektif kita, untuk supaya mendapat pemahaman yang
lebih dalam lagi. Nah, ini saya kira sebanal apapun subyeknya ini berguna untuk
didiskusikan. Tapi penanya pertama mengatakan, pria punya banyak masalah, ada
agresifitas, ada dominasi, destruksi, persoalan September 11, persoalan konflik
berkepanjangan di tanah air kita, yang menurut penanya pertama itu semua sangat
bercirikan maskulin dan sangat problemnya ada di laki-laki. Memang benar, agresifitas
ini, soal pelecehan seksual, perkosaan, inikan juga persoalan agresifitas. Memang benar.
Tetapi kalau saya jadi Mansfield saya tidak akan kemudian mengangkat permasalahn ini
dengan mengangkat argumen manliness misalnya. Karena menurut saya kita kembali ke
yang esensial lagi. Saya justru ingin membongkar persoalan kurikulum pendidikan kita,
saya akan membongkar persoalan-persoalan kebijakan kita. Saya akan membongkar
persoalan reinterpretasi budaya kita, misalnya. Saya kan berpihak kepada politik HAM
dan bukan politik identitas, jadi bagi saya dia salah metode dan salah menganalisa. Itu
jadinya manliness tidak ada kontribusinya.
Kemudian agak ada kekacauan dengan pemikiran ibu tadi antara jenis kelamin dan
gender. Kalau jenis kelamin memang kita lahir dengan jenis kelamin perempuan, vagina,
atau kita lahir dengan penis, atau ada juga yang kedua-duanya. Tetapi yang kita bahas di
sini gender. Kalau jenis kelamin itu memang nature penjelasannya, tapi kalau gender
penjelasannya nurture. Jadi kita memnag terlahir laki-laki lalu sebagai laki-laki kita
berperan di masyarakat harus beranikah, harus naik pohonkah itu gender, konstruksi
sosial. Bukan konstruksi Tuhan lagi. Nah, ini yang kita bicarakan konstruksi sdsial, jadi
salah kalau dikatakan kita di sini berantem soal mengunggulkan jenis kelamin, bukan.
Kita di sini berantem soal bagimana menegakkan keadilan, soal how to make a better
word untuk laki-laki dan perempuan yang berkeadilan. Kita berantem soal how to-nya,
bukan soal what I am, nggak ada gunanya. Saya sendiri juga nggak tahu what am I? Tadi
kalau Rizal yakin kalau dia laki-laki, saya sih nggak tahu apakah saya perempuan atau
nggak.
Nah, how to tidak bisa kita kembalikan pada pemikiran yang dikotomi perempuan, ada
laki-laki, harus berperan sebagai manly, harus berperan sebagai lady lake, tetapi cara
berpikir dikotomik ini sebetulnya awal atau justru yang menimbulkan diskriminasi. Kalau
kita bicara soal gender jelas kita bicara soal diskriminasi terhadap perempuan. Tetapi
bahayanya berpikir dikotomik ini bukan masalah diskriminasi terhadap gender saja tetapi
diskriminasi terhadap ras minoritas, etnis minoritas, bisa menjalar kepada agama
minoritas. Nah, cara berpikir yang dikotomik ini yang selalu meng-other-kan, melainkan
jkenis kelamin lain, atau melainkan etnis lain atau agma lain ini yang sangat berbahaya.
Dan apa yang kita hendak lakukan? Bagaimana kita memunculkan suara-suara other ini,
kita sebenarnya dalam project humanity di sini bukan dalam project mengunggulkan
manliness atau lady lake, kita dalam projek yang lebih besar yaitu project humanity.
Bagaimana kita melindungi other, bagaimana kita selalu membuat the better world ini.
Jadi saya kira mungkin manliness berguna kalau kita mau berkutat pada pertanyan diri
sendiri, ego kita, mungkin akan banyak jawabannya. Tapi apakah ada kontriobusi
sosialnya, apakah ada perubahan sosialnya, apakah ini bisa membuat kita lebih
komunikatif, itu pertanyaan-pertanyaan yang lebih penting.

Tidak ada komentar: