Sabtu, 13 Maret 2010

Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia

Prof. Dr. Muladi, S.H.
E d i t o r : T a f t a z a n i
DEMOKRATISASI,
HAK ASASI MANUSIA, DAN
REFORMASI HUKUM DI INDONESIA
DEMOKRATISASI, HAK ASASI MANUSIA,
DAN REFORMASI HUKUM DI INDONESIA
Penulis: Prof. Dr. Muladi, S.H.
Editor: Taftazani
Desain sampul dan layout: Nink Hanibal
Hak cipta ada pada penulis. Tidak boleh
direproduksi sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis
Diterbitkan oleh The Habibie Center, Jakarta
Cetakan Pertama, 2002
Perpustakaan Nasional Indonesia : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Muladi
Demokratisasi, hak asasi manusia, dan reformasi hukum
di Indonesia/ penulis, Muladi; editor, Taftazani;
Jakarta, The Habibie Center, 2002, --
viii, 320 hal ; 21 cm.
Bibliografi ; hal 313 - 319
Tentang penulis ; hal 368
ISBN 979-96962-1-6
1. Indonesia - Politik dan pemerintahan.
I. Judul. II. Taftazani.
320.959.8
Untuk kesekian kalinya penulis memberanikan diri untuk
mengkompilasi tulisan-tulisan yang berisi pemikiran-pemikiran yang
telah penulis kemukakan dalam pelbagai forum baik di dalam
maupun di luar negeri, dalam bentuk pelbagai makalah seminar,
diskusi, ceramah, pidato ilmiah, wawasan akademis menyongsong
suatu draft akademis suatu rancangan undang-undang, bahan kuliah
pasca sarjana, dan sebagainya. Tentu saja hal ini dilakukan setelah
merumuskannya secara sistemik dan menerjemahkannya dalam
bahasa yang lebih populer.
Sebagian besar substansi buku ini berkaitan dengan masalahmasalah
pembaharuan sistem hukum, baik yang bersifat struktural,
substantif, maupun kultural; persoalan-persoalan reformasi hukum
dalam kerangka demokratisasi hukum yang merebak di Era
Reformasi; masalah-masalah demokrasi dan HAM baik dalam
konteks nasional maupun internasional sebagai refleksi proses
globalisasi; dan masalah-masalah aktual lain seperti terorisme, tindak
pidana ekonomi kejahatan transnasional, dan sebagainya.
Tema-tema penulisan tentu saja tidak bebas nilai, bahkan
cenderung value loaded sekalipun sudah diusahakan untuk bersifat
obyektif. Tidak bebas nilai dalam arti bahwa sikap, persepsi, dan
bahkan filosofi dimensi penulisan akan terpengaruh oleh latar
belakang pengalaman penulis dalam meniti jenjang karir di
masyarakat.
Penulisan materi tentang pembaharuan hukum banyak
dipengaruhi pengalaman penulis sebagai spesialis hukum pidana
dalam rangka membantu Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kata Pengantar
iii
Departemen Kehakiman merumuskan pelbagai rancangan undangundang.
Hal ini juga merupakan refleksi pengalaman empiris penulis
semasa menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris
Negara RI (1988-1999) serta mantan hakim agung MA (2000-2001)
yang juga banyak bergelut dengan pelbagai proses pembentukan
perundang-undangan, penegakan hukum dan peningkatan
kesadaran hukum masyarakat.
Semasa menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri
Sekretaris Negara, penulis merasa memperoleh blessing in disguise yang
sangat besar, karena justru dalam jabatan yang relatif singkat tersebut,
penulis secara langsung terlibat sebagai stakeholder untuk
menyelesaikan puluhan produk perundang-undangan sebagai
tuntutan reformasi. Perundang-undangan tersebut berkaitan dengan
perundang-undangan di bidang sosial politik, HAM, ekonomi pasar
dalam rangka proses globalisasi, pemberantasan KKN, yang semuanya
merupakan bagian usaha sistematis bangsa Indonesia untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi sebagai tuntutan reformasi.
Khusus di bidang HAM, penulis mengalami masa-masa yang
cukup dramatis, sebagai anggota KOMNAS HAM (sub divisi
pemantauan) tahun 1993-1998, karena harus mempromosikan dan
melindungi HAM di masa pemerintahan Orde Baru yang represif
dengan segala dinamika dan romantikanya. Dalam hal ini pula
semasa menjadi Menteri Kehakiman, penulis ditunjuk sebagai Ketua
Delegasi RI untuk pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) di Roma (1998) yang kemudian
menghasilkan Statuta Roma 1998. Penulis juga terlibat langsung
dalam penyusunan RUU Pengadilan HAM dan sosialisasinya dalam
bentuk pelbagai penataran. Kedudukan sekarang sebagai Ketua
Dewan Pengurus The Habibie Center merangkap sebagai Ketua Pusat
Demokrasi dan HAM akan lebih memperkuat nuansa di atas.
Selanjutnya sepanjang berkaitan dengan sistem peradilan pidana,
hal ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman penulis semasa menjabat
sebagai koresponden nasional RI pada “Commission on Crime
Prevention and Criminal Justice”, Ecosoc (1991-1998) yang banyak
bergelut dengan instrumen-instrumen internasional pencegahan
kejahatan dan sistem peradilan pidana.
iv
Pembahasan substansi yang banyak bersentuhan dengan
kehidupan peradilan dan pengadilan yang selalu menggelorakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, sedikit banyak dipacu oleh
emosi penulis semasa menjabat sebagai hakim agung pada
Mahkamah Agung RI tahun 2000-2001.
Perhatian terhadap relevansi antara hukum, demokrasi dan
politik, yang menempatkan baik hukum sebagai variabel dependen
maupun sebagai variabel independen banyak dipengaruhi oleh
kedudukan penulis baik sebagai anggota MPR (utusan daerah) pada
tahun 1992-1997 maupun pelbagai jabatan birokratis di atas.
Namun demikian, obyektivikasi penulisan akan selalu menjadi
pedoman penulis, sebab sebagai insan yang berasal dari kampus
perguruan tinggi, baik sebagai dosen, sebagai mantan ketua jurusan,
dekan dan rektor, penulis akan selalu menjunjung tinggi kebebasan
akademis (academic freedom) dan budaya akademis (academic culture)
yang akan menjunjung tinggi kebenaran (truth) dan bukan
pembenaran (justification).
Harapan penulis, Insya Allah penulisan buku ini akan bermanfaat
bagi pemerhati hukum khususnya, dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, Oktober 2002
Penulis,
Muladi
v
Kata Pengantar ......................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................... vii
Bagian pertama: Reformasi Hukum, dan Hak Asasi
Manusia
Peranan Mahkamah Agung dan Kekuasaan Kehakiman
di Era Reformasi ....................................................................... 3
Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Penegakan Hukum
Paska Reformasi .................................................................. 21
Reformasi Hukum dan Proses Demokratisasi di Indonesia ...... 28
Peranan Administrasi Peradilan Dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu ................................................................... 34
Analisis Gijzeling dari Sisi Hukum Pidana dan
Hak Asasi Manusia .............................................................. 41
Usaha Keluar dari Lingkaran Abu-abu di Bidang Hukum
dan Hak Asasi Manusia ....................................................... 49
Diskriminasi Terhadap Wanita, Suatu Perspektif
Hak Asasi Manusia .............................................................. 54
Perlindungan Wanita, Terhadap Tindak Kekerasan ................. 60
Beberapa Catatan Tentang Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi
Manusia ............................................................................... 67
Asas Legalitas dan Pengadilan Hak Asasi Manusia .................. 73
Perspektif Hak Asasi Manusia Tentang Ilmu dan
Etika Keilmuan .................................................................... 78
Format Penyelenggaraan Negara di Bidang Pertahanan dan
Keamanan............................................................................ 84
Proses Aktualisasi Hukum Pidana Lingkungan di Indonesia ... 91
Daftar Isi
vi
Bagian kedua: Faktor-faktor Global dan Ketegangan
Hukum Nasional
International Criminal Court Sebagai Karya Agung
Antar bangsa ........................................................................ 109
Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan dan
Perlindungan hukum Dalam Era Globalisasi ....................... 120
Hukum Positif Indonesia Dalam Penanggulangan
Kejahatan Lintas Negara ...................................................... 129
Korporasi Transnasional dan Pengaruhnya Terhadap
Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia .................................. 138
Penanggulangan Kejahatan Ekonomi dan Kejahatan Profesi
dalam Mengantisipasi Era Globalisasi ................................. 151
Penerapan Tanggungjawab Korporasi Dalam
Hukum Pidana .................................................................... 157
Hakekat Terorisme dan Prinsip Pengaturan dalam
Kriminalisasi ........................................................................ 165
Aspek Internasional dari Kebijakan Kriminal Non Penal .......... 182
Beberapa Catatan Tentang Hukum Pidana Internasional ......... 190
Tindak Pidana Perlindungan Terhadap Konsumen
Sebagai Mala Per Se .............................................................. 195
Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime.................................. 200
Bagian ketiga: Sisi-sisi Problematik Hukum di Indonesia
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan
Bertanggungjawab ............................................................... 219
Refleksi dan Rekonstruksi Wajah Hukum Indonesia ................ 230
Kontroversi Seputar Sistem Pembuktian Terbalik ..................... 242
Politik Hukum Pidana, Dasar Kriminalisasi dan
De Kriminalisasi, serta Beberapa Asas Dalam RUU KUHP .. 251
Politik, Hukum, dan Politik Hukum (I) .................................... 258
Politik, Hukum, dan Politik Hukum (II) ................................... 263
Politik, Hukum, dan Politik Hukum (III) .................................. 269
vii
Polisi dan Persepsi Keadilan ..................................................... 274
Pertanggungjawaban Komando ............................................... 280
Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Penyuapan Saksi Oleh
Pengacara ............................................................................ 293
Proses Peradilan In Absentia: Konteks dan Permasalahannya ... 299
Struktur Kekuasaan Lembaga Pengadilan dan Kejaksaan ........ 306
Daftar Pustaka .......................................................................... 313
Tentang Penulis ........................................................................ 320
viii
1
bagian 1
REFORMASI HUKUM, DAN HAK ASASI
M A N U S I A
2
3
Pendahuluan
Setiap warga negara yang sadar politik, pasti akan tertarik dan
menaruh perhatian untuk mengkaji dan memantau implementasi Garisgaris
Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Tap MPR No. IV/MPR/
1999, yang diwarnai oleh tekad bangsa Indonesia untuk mengatasi
krisis multi dimensi melalui reformasi di segala bidang kehidupan. Di
dalam GBHN tersebut kebijakan di bidang hukum dirumuskan sebagai
bagian integral dari seluruh kebijakan sosial, yang pada dasarnya
merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa untuk meningkatkan
kesejahteraan seluruh warganya di pelbagai bidang kehidupan.
Kondisi umum bidang hukum yang diidentifikasikan pada saat
GBHN dirumuskan terasa cukup memprihatinkan, sebab kondisi
tersebut telah dipandang sebagai penyebab berbagai pelanggaran
HAM dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenangwenangan
yang terjadi selama ini. Identifikasi kondisi umum tersebut
secara singkat dapat digambarkan seperti sebagai berikut:
Pertama, terdapat perkembangan yang kontroversial. Di satu
pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan
prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Tetapi di pihak lain
peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan integritas
moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu
pelayanan, serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga
gagasan tentang perlunya menegakkan supremasi hukum baru pada
tingkat retorika belaka, belum dapat diwujudkan secara nyata.
Kedua, tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan
— sesuai tuntutan reformasi — seperti KKN dan kejahatan ekonomi,
Peranan Mahkamah Agung dan
Kekuasaan Kehakiman di Era Reformasi
4
keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkahlangkah
nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak
hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Terjadinya
campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih dan
kerancuan hukum yang acap terjadi, telah mengakibatkan terjadinya
krisis hukum di hampir semua tingkatan.
Pembangunan nasional didasarkan atas visi bagi terwujudnya
masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju
dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan R.I. yang didukung
oleh manusia Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan,
menguasai iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang digariskan dalam
GBHN juga menggaris bawahi betapa pentingnya perwujudan sistem
hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM
yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.
Atas dasar kondisi umum, visi dan misi di atas, maka arah
kebijakan hukum yang harus dicapai adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat
untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam
kerangka supremasi hukum dan tegaknya Negara hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu
dengan mengakui dan menghormati agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program
legislasi.
3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin
kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta
menghargai HAM.
4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang
bertalian dengan HAM sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
bangsa dalam bentuk Undang-Undang.
5. Meningkatkan integritas moral dan profesionalisme aparat
penegak hukum, termasuk POLRI, untuk menumbuhkan
kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan,
dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta
pengawasan yang efektif.
5
6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari
pengaruh penguasa dan pihak manapun.
7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang
mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era
perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah
dan terbuka, serta bebas KKN dengan tetap menjunjung tinggi
asas keadilan dan kebenaran.
9. Meningkatkan pemahaman, kesadaran, perlindungan,
penghormatan, dan penegakan HAM dalam seluruh aspek
kehidupan.
10.Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran
hukum dan HAM yang belum ditangani secara tuntas.
Untuk selanjutnya dengan cara mengidentifikasi peta kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman atau kendala yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman, harus segera diajukan pelbagai alternatif
pemecahan guna meningkatkan peranan Mahkamah Agung dan
kekuasaan kehakiman lainnya di era reformasi.
Kekuatan
Derap reformasi yang mengawali lengsernya Orde Baru pada
awal tahun 1998 pada dasarnya merupakan gerak kesinambungan
yang merefleksikan komitmen bangsa Indonesia yang secara rasional
dan sistematis bertekad untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar
demokrasi. Nilai-nilai dasar tersebut antara lain berupa sikap
transparan dan aspiratif dalam segala pengambilan keputusan politik,
pers yang bebas, sistem pemilihan umum yang jujur dan adil,
pemisahan POLRI dan TNI, sistem otonomi daerah yang adil, dan
prinsip good governance yang mengedepankan profesionalisme
birokrasi lembaga eksekutif, keberadaan badan legislatif yang kuat
dan berwibawa, kekuasaan kehakiman yang independen dan impartial,
partisipasi masyarakat yang terorganisasi dengan baik serta
penghormatan terhadap supremasi hukum.
Dalam hal yang terakhir ini (penghormatan terhadap supremasi
hukum), di samping keharusan adanya kekuasaan kehakiman yang
independen, harus dijunjung pula nilai-nilai sebagai berikut; menjauhi
hal-hal yang bersifat fragmentaris (ad hoc) dan mengedepankan
6
pendekatan sistematik, mengutamakan kebenaran dan keadilan,
melakukan promosi dan perlindungan HAM, menjaga
kesinambungan antara moralitas institusional, moralitas sosial dan
moralitas sipil, hukum tidak mengabdi kepada atau berada di bawah
kekuasaan politik, sistem hukum yang kondusif untuk terciptanya
supremasi hukum, kepemimpinan nasional yang mempunyai
komitmen kuat terhadap tegaknya supremasi hukum, konsep
kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa
dan perasaan hukum masyarakat, proses pembuatan peraturan
perundang-undangan, proses penegakan dan pembudayaan hukum
yang mempertimbangkan aspirasi suprastruktur, infrastruktur,
kepakaran dan aspirasi internasional, penegakan hukum yang
berorientasi pada penyelesaian konflik secara tuntas, perpaduan
antara tindakan represif dan preventif, dan perpaduan antara proses
litigasi dan non litigasi (alternative dispute resolution).
Aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi tersebut sebenarnya
mempunyai basis kultural-historis yang sangat kuat, mengingat negara
Republik Indonesia lahir melalui perjuangan fisik yang teramat berat
menentang penjajahan. Perjuangan itu mengandung pesan moral
untuk senantiasa menegakkan dan mempromosikan nilai-nilai HAM,
sebab penjajahan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk
pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) .
Mempromosikan dan menegakkan HAM merupakan salah satu
elemen utama supremasi hukum, dan supremasi hukum sendiri
merupakan salah satu inti nilai demokrasi. Semangat ini dengan jelas
tersurat dan tersirat dalam pembukaan UUD 1945.
Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum
(Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machsstaat), serta
pernyataan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka, mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai
alat kekuasaan, menegakkan prinsip persamaan di depan hukum dan
melindungi campur tangan baik yang bersifat internal maupun
eksternal terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah
dan menghindari kegagalan pencapaian keadilan. Perlu dicatat bahwa
prinsip independensi kekuasaan kehakiman merupakan prinsip yang
diakui sebagai salah satu instrumen HAM internasional yaitu UN
Basic Principles on the Independence of the Judiciary(1985).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha untuk melakukan
7
reformasi hukum sebenarnya telah terjadi sejak proklamaasi
kemerdekaan, khususnya pada saat UUD 1945 disusun. UUD 1945
tidak hanya merupakan sistem normatif hukum dasar semata-mata,
tetapi sarat dengan sistem nilai demokratis yang merupakan reaksi
terhadap penjajahan yang penuh diwarnai dengan penindasan terhadap
nilai-nilai dasar demokrasi dan HAM. Rangkaian langkah reformasi
tersebut terus berlanjut pada zaman Konstitusi RIS, UUD 1950 dan
setelah kita kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
sampai dengan proses amandemen UUD 45 saat ini.
Malpraktek, penyimpangan dan distorsi yang terjadi dalam
praktek konstitusi biasanya lebih banyak diakibatkan oleh
kecerobohan, kebodohan, kemiskinan, kurang pengalaman, kurang
kemampuan dan kurang pengetahuan, yang pada akhirnya banyak
dimanfaatkan oleh elit-elit politik yang tidak bertanggungjawab, yang
berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan memadukan
ideologi tertentu yang dianutnya dengan teror sistematis dan hukum
yang sudah dikooptasi oleh kekuasaan. Dalam konteks ini dapat
dipahami jika muncul apa yang diistilahkan dengan ‘crimes by
government’ atau ‘top hat crimes’, suatu istilah yang melukiskan tentang
praktek pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar demokrasi dan HAM
yang melibatkan unsur negara atau pemerintah.
Setiap tahap pergantian rezim selalu mengandung harapanharapan
baru berupa kehidupan yang lebih demokratis dibandingkan
dengan pemerintahan sebelumnya. Jatuhnya Orde Lama yang
digantikan Orde Baru, yang ditandai dengan ikutsertanya para
teknokrat dari dunia akademis di pemerintahan, pada mulanya
membawa angin segar dan harapan baru dalam kehidupan politik di
Indonesia. Namun akibat inkonsistensi dalam sikap dan pemikiran
dalam menegakkan nili-nilai dasar demokrasi, pada akhirnya Orde
Baru terseret dalam praktek-praktek pemerintahan pragmatis dan
otoriter. Akibatnya hukum ditundukkan untuk mengabdi kepada
sistem kekuasaan represif. Sebagai contoh adalah perundangan UU
No. 14 Tahun 1970 yang menggantikan UU No. 19 Tahun 1964. Dalam
hal ini masyarakat hukum Indonesia mengharapkan adanya
kehidupan hukum yang lebih responsif dan demokratis, karena
banyak prinsip-prinsip “due process of law” yang diadopsi.
Namun demikian di sisi lain masih terdapat pula pasal-pasal yang
tidak menunjukkan konsistensi, seperti Pasal 11 ayat (1) UU No. 14
8
Tahun 1970 yang memungkinkan campur tangan departemendepartemen
teknis (DEPKEH, DEPHANKAM dan DEPAG) untuk
mengurus organisasi, administrasi dan finansial badan-badan
kehakiman kecuali Mahkamah Agung. Baru dengan UU No. 35 Tahun
1999, setelah melampaui rentang hampir tiga dasawarsa, hal ini secara
bertahap dapat dikoreksi. Dalam praktek terbukti bahwa inkonsistensi
tersebut dimanfaatkan oleh kekuasaan eksekutif untuk melakukan
intervensi ke dalam kekuasaan kehakiman, khususnya dalam kasuskasus
bernuansa politik yang diperkirakan baik langsung maupun
tidak langsung akan merugikan pemerintah atau kekuasaan.
Pengangkatan pimpinan Mahkamah Agung tidak terkecuali selalu
direkayasa sehingga dijabat oleh mereka yang direstui penguasa.
Demikian pula kehendak politik untuk mempertahankan
berlakunya UU No. 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi, dengan cara tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan
sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UU No. 5 Tahun 1969, yang
pada akhirnya banyak memproduksi ratusan tapol dan napol
(Catatan: UU No. 11/Pnps/1963 telah dicabut melalui UU No. 26
Tahun 1999). Contoh lain adalah kegagalan Orde Baru untuk
membuat TAP MPRS yang mengatur tentang HAM dengan alasan
yang bersifat sangat partikularistik dan cenderung defensif.
Selalu saja terbukti bahwa sikap tidak taat asas ternyata membawa
bencana bagi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya pada dunia
hukum. Selama Orde Baru, HAM sipil dan politik banyak dilanggar
dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik demi kelancaran
pembangunan ekonomi. KKN merajalela, penyalahgunaan kekuasaan
meluas, hukum merupakan subordinasi dari kekuasaan politik, dan
campur tangan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman sudah
menjadi cerita biasa. Beberapa keputusan Mahkamah Agung jelasjelas
memperlihatkan pemihakannya terhadap kekuasaan, meski
dengan akibat merugikan rakyat kecil. Kebenaran dan keadilan sering
dikesampingkan dengan alasan demi persatuan dan kesatuan bangsa,
demi Pancasila, demi kepentingan umum, demi asas kekeluargaan
dan sebagainyaa, meski semua itu merugikan HAM.
Terdapat pula sikap ambivalen akibat pengaruh universal dan
global yang mengharuskan penguasa untuk mengadopsi
kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab, seperti tercermin pada kasus – untuk menyebut beberapa
9
— diundangkannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan dibentuknya
KOMNAS HAM dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 yang membawa
pesan-pesan demokratis (kedudukan Komnas HAM kemudian
diperkuat oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Maraknya aktivitas pelbagai LSM yang bergerak di bidang studi
dan advokasi hukum serta HAM, turut pula memberikan
kontribusinya sendiri. Mereka berjuang tanpa lelah menembus
kekakuan birokrasi, dibantu oleh tekanan masyarakat internasional
yang cukup efektif. Cukup lama kita merasakan bahwa wajah hukum
kita berwajah ganda. Tidak dapat disangkal bahwa di samping krisis
ekonomi yang dahsyat, sebenarnya langkah-langkah ambivalen
tersebut merupakan rahmat tersembunyi (blessing in disguise) dan turut
andil dalam kejatuhan Orde Baru.
Kekuatan lain yang memberi semangat reformasi hukum adalah
proses globalisasi sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi,
informatika dan transportasi modern, yang menyebabkan
interdependensi antar bangsa semakin tak terhindarkan sehingga
mengharuskan terjadinya harmonisasi hukum yang intensif terhadap
ketentuan-ketentuan hukum internasional. Harmonisasi tidak hanya
melalui ratifikasi terhadap pelbagai konvensi internasional, tetapi juga
terhadap sumber-sumber hukum internasional lain yang terbukti
dalam praktek telah diterima sebagai hukum, seperti hukum kebiasaan
internasional, asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa
beradab, dan keputusan pengadilan serta pandanganpandangan
penulis yang berkualitas dari pelbagai bangsa yang secara
komplementer dapat didayagunakan untuk menegakkan supremasi
hukum baik nasional maupun internasional. Dalam hal ini Pembukaan
UUD 1945 Alinea ke 4 memberikan pembenaran bahwa Pemerintah
Indonesia juga membawa misi untuk “ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial…”.
Bahkan pelbagai deklarasi, resolusi, standard minimum rules, model
law/model treaties, code of conduct, guidelines dan hasil-hasil kongres
internasional yang sering diselenggarakan oleh organisasi profesi
hukum atau NGO’s, sering dimanfaatkan untuk acuan harmonisasi
hukum. Sebagai contoh, untuk menggambarkan dampak
keterlambatan dalam menyesuaikan diri dengan kecenderungan
10
internasional adalah maraknya tuntutan internasional terhadap
mereka yang dituduh melakukan pelanggaran HAM berat di Timor
Timur pasca jajak pendapat 1998. Ancaman digelarnya international
criminal tribunal, karena dipandang tidak memiliki kemauan dan
kemampuan untuk mengadili si pelanggar, mengharuskan kita untuk
segera membentuk UU Pengadilan HAM, mengingat PERPU No. 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM telah ditolak DPR. Melalui
pelbagai debat dan polemik, demi atas nama kehormatan bangsa,
produk UU Pengadilan HAM yang sesuai dengan standar
internasional tersebut memang tidak bisa lain harus ada.
Mengingat gerakan reformasi hukum harus mencakup seluruh
subsistem hukum (struktur, substansi dan kultur hukum) maka
supresmasi tersebut juga akan mencakup pula seluruh aspek yang
berkaitan dengan peradilan yang masuk wilayah kekuasaan eksekutif
(seperti Polri dan Kejaksaan sebagai penegak hukum), kekuasaan
legislatif (pembuat undang-undang) dan kekuasaan yudikatif
(kekuasaan kehakiman). Bahkan aspek sosial yang sifatnya nongovernmental
seperti profesi advokasi dan masyarakat luas (berkaitan
dengan kesadaran hukum masyarakat) harus menjadi bagian sasaran
reformasi hukum.
Pembaharuan substansi hukum yang mencakup 67 Undangundang,
3 Perpu, 112 Peraturan Pemerintah, 253 Keputusan Presiden
dan 31 Instruksi Presiden sejak lengsernya Orde Baru bagaimanapun
harus dilihat sebagai hal yang positif, dan kemajuan tersebut
merupakan modal pembangunan hukum sebagaimana tercantum
dalam GBHN 1999-2004. Demikian pula tekad untuk memberantas
KKN dan tindak pidana ekonomi lainnya, termasuk keberadaan visi
dan misi serta keberadaan arah dan kebijakan yang jelas dalam
pembangunan hukum, penting sekurangnya untuk diapresiasi sebagai
niat baik.
Introspeksi atas Beberapa Kelemahan
Kelemahan pembangunan bidang hukum Indonesia saat ini
sebenarnya sudah dapat diidentifikasi dari kondisi umum, visi dan
misi, serta kebijakan di bidang hukum yang telah dirumuskan secara
garis besar oleh perumus GBHN di atas. Faktor-faktor yang sangat
menonjol dari rumusan itu antara lain berkaitan dengan hal-hal
sebagai berikut:
11
1. Masih diperlukannya peningkatan integritas moral dan
profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan
hukum, kepastian dan keadilan hukum;
2. Perlunya peningkatan tekad dan kesungguhan aparatur penegak
hukum;
3. Masih adanya praktek campur tangan dalam peradilan, sehingga
perjuangan untuk menegakkan kemandirian kekuasaan kehakiman
perlu terus dilakukan;
4. Masih adanya tumpang tindih dan kerancuan hukum;
5. Belum terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin
tegaknya supremasi hukum dan HAM berlandaskan keadilan dan
kebenaran;
6. Masih diperlukannya ratifikasi konvensi internasional di bidang
HAM;
7. Masih kurangnya peraturan perundang-undangan yang
mendukung perekonomian dalam menghadapi perdagangan
bebas, meskipun tanpa melupakan kepentingan nasional;
8. Masih belum terwujudnya peradilan yang cepat, murah, mudah,
terbuka dan bebas dari KKN;
9. Promosi dan perlindungan HAM yang masih perlu ditingkatkan,
termasuk penegakan hukum terhadap para pelanggar HAM.
Di samping itu perlu masih harus dipikirkan secara mendasar,
khususnya dalam rangka melanjutkan proses perubahan UUD 1945,
yaitu belum mantapnya pengaturan Konstitusi (UUD 1945) yang
berkaitan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. Prinsip
universal ini (UN Basic Principles on the Independence of Judiciary, 1985)
tidak cukup diuraikan dalam perundang-undangan di bawah UUD.
Prinsip ini mestinya dirumuskan dalam batang tubuh UUD 1945.
Sayangnya, dalam proses amandemen UUD 45 prinsip ini tidak
ditegaskan dalam Batang Tuhuh UUD 45. Dalam rangka ini pula,
implementasi UU No. 35 Tahun 1999 harus dipercepat, khususnya
pelbagai perubahan yang harus dilakukan terhadap perundangundangan
yang bersumber pada UU No. 14 Tahun 1970 dan
pelaksanaan pengaturan organisasi, administrasi dan finansial di
bawah satu atap Mahkamah Agung.
Dalam pengaturan tentang kekuasaan kehakiman, perlu ditegaskan
kewenangan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi
12
(supreme court) untuk melakukan uji materiil (judicial review) yang
mencakup pula uji materiil terhadap undang-undang sebagai bagian
prinsip check and balance dalam kehidupan demokrasi, sebagai alternatif
dari usulan untuk dibentuknya Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court). Tidak benar apabila dikatakan bahwa hal ini — seperti
dikhawatirkan banyak orang — akan menempatkan Mahkamah Agung
sebagai super legislature. Tujuannya semata-mata untuk melindungi
konstitusi Indonesia dan sekaligus juga merupakan konsekuensi adanya
tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia. (catatan: dalam
proses amandemen UUD’45 kedudukan Mahkamah Konstitusi
dikukuhkan dalam Pasal 24 c).
Selanjutnya dalam rangka mengimbangi tegaknya kekuasaan
kehakiman yang bebas, usulan adanya semacam lembaga pengawas
eksternal yang independen (Komisi Yudisial) perlu diatur untuk
menjaga integritas Mahkamah Agung. Keberadaan Komisi Yudisial
telah dikukuhkan dalam proses amandemen UUD’45, Pasal 24 b.
Demikian pula dengan usulan agar dibentuk divisi-divisi atau kamarkamar
khusus di Mahkamah Agung guna meningkatkan kinerja
Mahkamah Agung agar lebih profesional, khususnya dalam
menghadapi hubungan dan peristiwa hukum yang semakin kompleks
akibat modernisasi dan globalisasi, harus ditanggapi secara positif.
Belum mantapnya pengaturan organisasi profesi advokat atas
dasar perundang-undangan baru yang lebih menjamin integritas,
uniformitas, standardisasi profesi, kode etik dan peradilan disiplin
merupakan permasalahan tersendiri. Kondisi semacam itu
mengakibatkan profesi advokat belum sepenuhnya diperlakukan
sebagai salah satu subsistem peradilan. Bahkan tidak jarang, secara
struktural dan individual penasehat hukum justru melakukan
malpraktek dan turut andil dalam proses gagalnya pencapaian
keadilan. Perilaku di bawah standar profesi (professional malpractice)
tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian perseorangan, tetapi juga
menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi hukum,
dalam arti luas mengganggu proses pembangunan hukum nasional.
Kedudukan hakim sebagai pegawai negeri dan keikutsertaan
hakim sebagai anggota Muspida dan Mahkejapol yang cenderung
menimbulkan conflict of interest dan mengganggu prinsip
profesionalisme dan independensi hakim harus diakhiri. Demikian pula
praktek penerbitan “surat sakti” MA atas dasar alasan fungsi pembinaan
13
dan pengawasan MA tidak sepatutnya dilakukan, kecuali atas dasar
alasan yang transparan dengan pertimbangan adanya clear and present
danger terhadap asas supremasi hukum. Lalu istilah-istilah klise atau
jargon-jargon yang tidak selalu mudah dimengerti hendaknya
dipraktekkan dengan indikator-indikator yang lebih jelas. Sebagai
contoh, istilah “sistem peradilan pidana terpadu”, orang cenderung
sulit memahaminya dalam konteksnya yang operasional. Karena itu
pelbagai indikator efektivitas kinerja operasionalnya harus lebih jelas
seperti; crime rate yang rendah; clearance rate yang tinggi; conviction
rate yang tinggi; reconviction rate yang rendah; partisipasi publik yang
tinggi; profesionalisme penegak hukum; rendahnya disparitas sanksi;
speedy trial (dalam GBHN dirumuskan lebih luas yakni cepat, murah,
sederhana dan terbuka); sistem pendidikan terpadu antar penegak
hukum; dan transparansi antar subsistem peradilan pidana.
Sepanjang menyangkut indikator “pengadilan yang cepat” dapat
dikemukakan bahwa suatu keterlambatan yang tidak beralasan dalam
penanganan proses peradilan (unreasonable delay of justice) merupakan
pelanggaran HAM bagi pencari keadilan. Sehubungan dengan ini,
ada kenyataan yang sangat memprihatinkan yaitu stagnasi perkara
di tingkat kasasi (kurang lebih 16.000 kasus). Untuk itu di satu pihak
diperlukan langkah crash program yang bervariasi dengan melibatkan
“masyarakat hukum Indonesia” (seperti akademisi dan advokat), di
lain pihak diperlukan perundang-undangan yang dapat membatasi
kasasi. Di samping itu perlu pula dikaji kemungkinan untuk
menerapkan semacam pengadilan keliling (mobile court) MA ke
pelbagai Pengadilan Tinggi untuk melakukan “jemput bola” terhadap
kasus-kasus yang diajukan sebagai perkara kasasi.
Masih terjadinya langkah ad hoc yang bersifat fragmentaris dan
pragmatis, sebaiknya dikaji dan diuji terlebih dahulu atas dasar
konsistensi sistem secara menyeluruh. Sebagai contoh adalah usaha
untuk menghidupkan kembali lembaga sandera (gijzeling) dalam kasus
utang piutang (perdata). Lembaga ini sejak tahun 1964 — dengan
pertimbangan bertentangan dengan kemanusiaan — atas pengarahan
MA tidak digunakan kembali. Dalam suatu sistem yang tidak
didukung oleh kualitas SDM yang berwawasan luas, kemungkinan
penyalahgunaan lembaga ini besar sekali. Kriteria debitur yang
beritikad “baik” dan “buruk” sangat subyektif, apalagi dalam situasi
krisis multidimensional seperti saat ini. Kondisi force majeure
14
merupakan sesuatu yang terlalu debatable. Kreditur yang “kuat”
dengan mudah akan dapat merampas kemerdekaan debitur atas
biayanya sendiri maksimum satu tahun. Padahal kebijakan pidana
saat ini justru menghindari short prison sentence di bawah satu tahun
yang cenderung dianggap merusak. Secara empiris juga membuktikan
bahwa lembaga sandera, atas dasar UU No. 19 Tahun 1997 tentang
perpajakan, juga tak pernah diterapkan karena masih dapat diatasi
dengan upaya lain seperti penyitaan jaminan pribadi dan lain-lain.
Sekali lagi usaha untuk menghidupkan kembali lembaga sandera,
harus didahului dengan pertimbangan yang masak.
Indikasi masih banyaknya korupsi di pengadilan ternyata tidak
hanya menimbulkan keprihatinan negara per negara, tetapi juga di
forum internasional. Korupsi di pengadilan tidak hanya merusak
supremasi hukum atas dasar independensi kekuasaan kehakiman, tetapi
dianggap pula bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang
didasarkan atas kepercayaan. Tindakan tersebut berupa berbuat atau
tidak berbuat sesuatu (omission) yang mengakibatkan atau bertujuan
untuk mengganggu kebebasan dan bersifat tidak memihak pengadilan.
Secara khusus korupsi terjadi apabila hakim atau pejabat pengadilan
mencari atau memperoleh keuntungan pribadi dalam kaitan dengan
kekuasaannya. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat berupa penyuapan,
penipuan, pembocoran informasi, memalsu atau merubah bahkan
menghilangkan dokumen pengadilan dan sebagainya.
Korupsi di pengadilan (istilah “mafia peradilan” terkesan terlalu
didramatisasi) juga terjadi apabila hakim atau pejabat pengadilan
lainnya melakukan perbuatan melawan hukum atas dasar pengaruh,
rayuan, tekanan, ancaman atau campur tangan (langsung atau tidak
langsung) sehingga menimbulkan benturan kepentingan. Faktorfaktor
yang berpengaruh antara lain karena nepotisme, hubungan
kawan, janji-janji berkaitan dengan prospek promosi, masa depan
setelah pensiun, tekanan kekuasaan politik, hubungan yang salah
dengan profesi hukum dan pihak yang berperkara atau calon pihak
yang berperkara, hubungan yang salah dengan penegak hukum lain
(misalnya jaksa) dan lain sebagainya.
Guna mengatasi hal tersebut Center for the Independence of Judgesand
Lawyers (CIJL), yang merupakan subsistem dari the International
Commission of Jurist (ICJ) telah memprakarsai pertemuan 16 Pakar di
Jenewa pada tanggal 23-25 Pebruari 2000 (penulis merupakan salah
15
seorang yang diundang). Rekomendasi penanggulangan yang diajukan
antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Perlunya mekanisme independen untuk menginvestigasi dugaan
korupsi;
2. Menekankan betapa pentingnya “Judicial Ethics”, yang didukung
sanksi yang tegas;
3. Perlu adanya ketentuan yang mengharuskan pengungkapan dan
pemantauan kekayaan hakim dan pejabat pengadilan;
4. Perlu adanya peranan aktif dari lembaga pengadilan untuk
memberikan informasi kepada publik tentang terjadinya korupsi
di pengadilan;
5. Perlu disediakannya pembiayaan yang memadai untuk pengadilan;
6. Seleksi dan promosi hakim dan pejabat pengadilan atas dasar merit
system;
7. Gaji dan kesejahteraan hakim dan pejabat pengadilan yang
memadai;
8. Peranan organisasi profesi penasehat hukum untuk mendidik
anggotanya dan masyarakat umum untuk menghindarkan diri dari
korupsi di pengadilan dan secara aktif mengambil langkah-langkah
untuk mencegah, mengekspos dan mengambil tindakan disiplin.
Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa keberadaan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru (UU No. 31 Tahun
1999, UU No. 20 th. 2000) Komisi Penyidik Terpadu, UU
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN (UU No. 28
Tahun 1999), Lembaga Khusus Pendaftar Harga Kekayaan
Penyelenggara Negara, Lembaga Ombudsman, Komisi Yudisial,
Komisi Independen Pemberantasan Korupsi, Majelis Kehormatan
Hakim, UU Perlindungan Saksi (semacam Whistle Blower Act) dan
UU tentang Money Laundering, diharapkan dapat meningkatkan
kinerja pemberantasan KKN di masa datang. Selanjutnya koordinasi
antar lembaga-lembaga yang baru dengan yang sudah ada sangat
dibutuhkan, sehingga tidak menimbulkan situasi ‘overorganized’.
Masih adanya kontroversi tentang keberadaan hakim non karir
atau hakim adhoc harus diakhiri. Ketentuan yang terdapat di dalam
Pasal 7 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 yang memungkinkan
rekrutmen hakim non karir atau hakim adhoc atas dasar bakat dan
keahliannya harus dikembangkan secara proporsional demi
16
peningkatan kinerja pengadilan. Pendayagunaan hakim adhoc sangat
dibutuhkan dalam kasus-kasus yang membutuhkan pendekatan
komprehensif dan kepakaran seperti kasus-kasus HAM, niaga, hak
cipta, lingkungan hidup dan sebagainya.
Salah satu kelemahan lain yang sangat dirasakan oleh pengadilan
adalah kualitas sumber daya manusia, khususnya penguasaan yang
minim terhadap sumber-sumber hukum internasional dan instrumeninstrumen
internasional lain sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Penguasaan tersebut sangat penting tidak hanya dalam kasus-kasus
transnasional, tetapi juga dalam rangka harmonisasi keputusankeputusan
hakim terhadap pelbagai kecenderungan yang diakui
bangsa-bangsa beradab sehubungan dengan proses globalisasi. Citra
positif dalam hal ini dapat menumbuhkan kepercayaan asing,
khususnya berkaitan dengan ekonomi pasar dan investasi. Usul
rekrutmen hakim asing sangat berlebihan. Keterlibatan para ahli asing
dapat dilakukan melalui prosedur kesaksian ahli (expert testimony) atau
sebagai bagian kelompok pakar. Dalam kerangka SDM ini pula perlu
disampaikan betapa pentingnya pengaturan sistem seleksi dan
rekrutmen hakim dan pejabat-pejabat yudisial yang transparan atas
dasar kemampuan dan kualitas moral dan intelektual. Demikian pula
sistem promosi hakim dan pejabat-pejabat yudisial yang seharusnya
dilakukan atas dasar merit system yang diharapkan akan mendorong
dan memberi semangat mereka untuk menjalankan tugasnya lebih baik.
Peluang dan Kendala
Reformasi hukum termasuk reformasi di bidang kekuasaan
kehakiman akan terus dilakukan secara berkesinambungan, baik yang
berkaitan dengan struktur (kelembagaan), substansi (hukum positif)
maupun kultur (iklim). Di dalam masyarakat modern dan demokratis,
peranan pengadilan — lebih-lebih Mahkamah Agung — tidak hanya
mengadili dan memberikan penilaian bagi pihak-pihak yang
berperkara (fungsi yudisial). Begitu pula Mahkamah Agung tidak
hanya dibebani tugas lain seperti fungsi judicial review, fungsi
pembinaan dan pengawasan, fungsi pertimbangan dan fungsi
mengatur, tetapi juga fungsi-fungsi lain yang lebih luas di masa datang
harus pula diperhatikan, khususnya berkaitan dengan praktek negara
demokratis. Fungsi-fungsi yang harus tercermin dari keputusan hakim
tersebut meliputi; fungsi pendidikan hukum bagi masyarakat; fungsi
17
untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan HAM; fungsi
pembaharuan hukum melalui proses penemuan hukum (rechtsvinding);
fungsi judicialization of politics atau fungsi policy making by judge; dan
fungsi penyelesaian konflik secara tuntas.
Untuk itu, jelas dibutuhkan kapasitas pengetahuan yang luas
bahkan mencakup pula pengetahuan ekstra yuridis, mengingat sistem
yudisial merupakan subsistem dari sistem sosial yang lebih luas.
Pelbagai pendapat agar Ketua Mahkamah Agung membebaskan diri
dari fungsi mengadili agar bisa menjaga independensinya serta dapat
berkonsentrasi pada manajemen dan fungsi-fungsi Mahkamah Agung
lain yang akan memberikan nuansa kehidupan politik, cukup layak
untuk dipertimbangkan.
Di samping spirit reformasi tersebut di atas, proses globalisasi,
independensi kekuasaan kehakiman yang semakin mantap,
rekrutmen dan promosi atas dasar merit system yang menjamin
terjadinya kompetisi ketat dan adil, penerapan prinsip good governance
yang konsisten, kesejahteraan dan pendidikan hukum yang lebih baik,
semuanya harus dilihat sebagai peluang untuk menempatkan hukum,
keadilan dan kebenaran menjadi salah satu acuan utama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kendala-kendala yang akan dihadapi untuk mereformasi
Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lain bersifat
multidimensional. Sebagian kendala telah dikemukakan pada analisis
yang berkaitan dengan pelbagai kelemahan di atas, yang mencakup
hal-hal yang telah tersurat dan tersirat dalam GBHN 1999-2004 (baik
yang berkaitan dengan struktur, substansi maupun kultur hukum),
seperti belum mantapnya pengaturan UUD 1945 yang berkaitan
dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman (termasuk
lambatnya pelaksanaan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman), terbatasnya kewenangan uji materiil (hanya
terhadap peraturan-peraturan yang lebih rendah daripada UU), belum
adanya lembaga pengawas internal yang independen, tidak adanya
divisi-divisi spesialis di Mahkamah Agung yang lebih menjamin
profesionalisme, Undang-undang advokat yang sudah ketinggalan
jaman, masih adanya “surat sakti” dari MA dengan alasan pengawasan
atau pembinaan yang selalu memperoleh reaksi negatif dari
masyarakat, kedudukan hakim sebagai pegawai negeri, kedudukan
18
Ketua KPT/KPN sebagai anggota atau penasehat Muspida,
keberadaan lembaga Mahkejapol, besarnya jumlah tunggakan perkara
di MA dan tiadanya pembatasan kasasi, masih adanya langkahlangkah
adhoc yang tidak sistemik, masih maraknya korupsi di
pengadilan, kurangnya kemampuan penguasaan hakim terhadap
sumber-sumber hukum dan kecenderungan internasional, belum
efektifnya tugas-tugas MA di bidang-bidang non yudisial, masih
belum efektifnya peranan hakim non-karir atau hakim adhoc dan
sistem rekrutmen hakim dan pejabat pengadilan serta sistem promosi
yang cenderung belum transparan.
Bagaimanapun peningkatan peranan Mahkamah Agung dan
kekuasaan kehakiman lainnya di era reformasi sedikit banyak akan
tergantung pada keberhasilan untuk mengatasi pelbagai kelemahan
atau kendala di atas. Di luar itu terdapat hal-hal lain yang sifatnya
lebih eksternal tetapi memiliki dampak tersendiri terhadap kekuasaan
kehakiman, misalnya;
• keberadaan pemimpin-pemimpin nasional di segala lini yang
memiliki komitmen kuat dan konsisten terhadap supremasi
hukum;
• kualitas perundang-undangan yang aspiratif, baik dalam kaitannya
dengan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran maupun
aspirasi internasional;
• tersedianya sarana dan prasarana yang relatif memadai, yang
menjamin adanya sistem informasi dan manajemen yang efisien
dan efektif;
• partisipasi masyarakat yang terorganisasi secara baik dan kritis
(misalnya dalam bentuk judicial watch) dalam kerangka masyarakat
madani;
• tersedianya sumber daya manusia yang memadai baik dari sisi
mental maupun intelektual;
• keberadaan Dewan Pakar yang dapat memberikan “policy advice”
diminta atau tidak diminta;
• kelembagaan yang mangkus dan sangkil;
• pelembagaan sistem penyelesaian sengketa alternatif yang bersifat
komplementer terhadap sistem litigasi, mengingat sistem
penyelesaian sengketa tidak hanya dilakukan dengan proses
pengadilan. Dalam hal ini efektivikasi UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa harus ditingkatkan;
19
• kesediaan hakim dan para pejabat pengadilan untuk senantiasa
meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan hukum yang baru,
baik melalui studi lanjut, pelatihan, banyak membaca, maupun
berpartisipasi dalam seminar-seminar ilmiah. Perlu dipikirkan pula
adanya forum dialog reguler antara hakim dan advokat untuk
membahas masalah-masalah hukum yang aktual;
• tersedianya lembaga khusus yang selalu mengkaji dan memantau
perkembangan sumber-sumber hukum internasional, baik yang
bersifat konvensi maupun bentuk lainnya. Dalam hal konvensi
baik yang belum maupun sudah diratifikasi serta tindak lanjutnya;
• sikap Majelis Kehormatan Hakim yang tegas dan tidak
menimbulkan kesan melindungi hakim yang salah dengan alasan
kesetiakawanan. Untuk itu perlu dikembangkan Pengadilan
Disiplin yang transparan dan dilengkapi dengan unsur-unsur
eksternal guna menjaga obyektivitasnya;
• keberadaan UU tentang Contempt of Court yang mencegah
terjadinya perbuatan-perbuatan yang bernada scandalizing the court,
disobeying court order, disturbing justice and sub-judice rule;
• keberadaan Special Board untuk rekrutmen hakim yang anggotanya
terdiri atas hakim, akademisi, advokat dan tokoh masyarakat,
guna mencegah kemungkinan terjadinya KKN yang merusak
kualitas SDM.
Penutup
Atas dasar pengamatan, kontaminasi kekuasaan politik otoriter
terhadap kekuasaan kehakiman di masa lalu telah membuahkan
kerusakan yang parah terhadap kekuasaan kehakiman. Belum lagi
kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh budaya tidak
bertanggungjawab akibat pengaruh materi dan konsumerisme yang
menjadikan proses penyelesaian perkara di pengadilan tumbuh
sebagai komoditi perdagangan.
Mengingat independensi pengadilan merupakan salah satu pilar
pokok demokrasi, maka penyehatan kekuasaan kehakiman
merupakan tanggungjawab kita semua, khususnya para hakim, pejabat
pengadilan lain, penegak hukum terkait, seperti jaksa dan lain-lain,
profesi advokat, anggota masyarakat umum dan pencari keadilan,
para akedemisi, media massa dan sebagainya. Untuk bisa berperan
secara maksimal sebagai pilar demokrasi, harus dilakukan reformasi
20
secara sistemik terhadap kekuasaan kehakiman termasuk Mahkamah
Agung. Secara sistemik, reformasi hukum mengandung elemen
struktural (kelembagaan yang terkait pada sistem), elemen substansial
(hukum positif yang mendasari jalannya sistem tersebut) dan elemen
kultural (pandangan, sikap, bahkan filosofi yang mendukung
efektivitas sistem tersebut).
Mengingat masalahnya demikian kompleks maka perlu ada skala
prioritas yang disusun dengan mempertimbangkan desakan
masyarakat terhadap tegaknya reformasi hukum dan reformasi
kekuasaan kehakiman, khususnya Mahkamah Agung. Untuk itu
program jangka pendek dan jangka menengah harus diarahkan pada
aspek-aspek reformasi struktural dan substansial secara kasuistis.
Sedangkan program jangka panjang secara simultan diarahkan pada
aspek kultural. Jangka pendek bisa dilakukan antara 2-3 tahun,
sedangkan jangka panjang paling lama 5 tahun. Jika ada kemauan,
pasti ada jalan. n
21
Pendahuluan
Penggunaan istilah “pasca reformasi” sebenarnya mengandung
kontradiksi interminis. Sebab secara hakiki “reformasi” adalah sebuah
proses yang tak pernah berhenti untuk menuju gambaran ideal
tertentu. Penggunaan istilah itu, dalam konteks kita di Indonesia,
agaknya dimaksudkan dalam pengertiannya yang khas dan terbatas,
yakni untuk melukiskan suatu babakan runtuhnya rezim Orde Baru
oleh gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa empat tahun
silam.
Reformasi sebagai suatu era dan dalam pengertian politis sebagai
tatanan atau rezim, harus diartikan sebagai usaha sistematis dari
bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar
demokrasi; atau lebih luas lagi untuk mengaudit dan
mengaktualisasikan indeks demokrasi yang pada orde lalu yang telah
dimanipulasi.
Demokrasi dapat digambarkan sebagai suatu piramida yang
mengandung empat sub, yang masing-masing sub terdiri dari
pelbagai indeks atau indikator kinerja yang dapat diaudit untuk
mengukur seberapa jauh suatu negara benar-benar demokratis. Di
bawah ini akan diuraikan secara sepintas ke empat sub piramida
demokrasi tersebut.
Pertama, adanya sistem pemilihan yang bebas dan adil (free and
fair elections). Di dalam kerangka ini, indikator kinerjanya antara lain
mencakup; pemilihan umum yang berbasis pada kompetisi terbuka,
hak pilih dan sistem pemilihan yang bersifat rahasia, pemberian
kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan publik tanpa
Peran Serta Masyarakat
Dalam Proses Penegakan Hukum
Pasca Reformasi
22
diskriminasi, adanya pemerintahan yang independen dan bebas dari
penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh-pengaruh eksternal lain
terhadap pemilih. Selanjutnya bisa disebutkan adanya akses yang
adil dan sama dari partai dan kandidat untuk menggunakan media
dan sarana-sarana komunikasi yang lain.
Kedua, adanya pemerintahan yang terbuka, bertanggungjawab
dan bersifat responsif. Terkait di sini indikator-indikator seperti,
keterbukaan informasi terhadap apa yang dilakukan penguasa, efek
dari kebijakan, independensi sarana-sarana informasi milik
pemerintah, efektivitas pengawasan terhadap pejabat pemerintah baik
sipil maupun militer, efektivitas pengawasan parlemen terhadap
eksekutif, ketaatan eksekutif terhadap “the rule of law’, transparansi
pengaturan yang mengendalikan kekuasaannya, jaminan pengadilan
bahwa eksekutif taat pada hukum termasuk efektivitas acaranya,
adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pengaruh eksekutif
dan pengaruh serta bentuk-bentuk campur tangan yang lain dan
sampai seberapa jauh administrasi hukum terbuka bagi efektivitas
pengawasan publik.
Selanjutnya, sebagai indikator perlu dipertanyakan juga seberapa
jauh masyarakat memperoleh akses untuk memperoleh keadilan
melalui pengadilan, ombudsman dan lain-lain, dalam rangka
memperjuangkan hak-haknya akibat terjadinya “mal administration”
atau kegagalan pemerintah dan badan-badan publik untuk
menjalankan tanggung jawab hukumnya. Kemudian masih dalam
konteks indikator kinerja tadi, perlu dilihat pula seberapa jauh
keterbukaan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat untuk
menyampaikan opini publik dalam rangka pembentukan dan
implementasi kebijakan dan perundang-undangan.
Ketiga, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
khususnya hak-hak sipil dan politik. Hal ini mencakup; seberapa jauh
hukum mendefinisikan hak-hak sipil dan politik serta kebebasan
warga negara dan seberapa jauh pula hal ini terlindungi; kebebasan
dari diskriminasi dalam menikmati hak-hak tersebut; seberapa jauh
keberadaan lembaga-lembaga sukarela dikembangkan dalam rangka
pemantauan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut; seberapa jauh
efektivitas prosedur dan sistem sosialisasi hak-hak tersebut terhadap
masyarakat; dan sampai seberapa jauh perlindungan terhadap
pengungsi dan imigran yang membutuhkan perlindungan.
23
Keempat, adanya rasa percaya diri warga negara dalam kehidupan
demokratis atas dasar kekuatannya sendiri untuk mempengaruhi
pelbagai keputusan kolektif yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Dalam hal ini, ketiadaan diskriminasi terhadap minoritas atas dasar
kesepakatan nasional, pengawasan NGO’s, pluralisme media
komunikasi, partisipasi masyarakat dalam kehidupan ekonomi, sosial,
budaya, politik atas dasar prinsip keterbukaan menjadi sangat
penting.
Aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi sebagaimana dijelaskan
di atas bersifat universal, indivisible dan interdependen. Semuanya
harus dilakukan secara simultan dan tidak boleh dilakukan dengan
mengutamakan salah satu atau beberapa indeks di satu pihak, seraya
mengabaikan indeks-indeks.
Prakondisi Penegakan Hukum Yang Demokratis
Dalam kerangka konseptual di atas, nampak bahwa indeks
demokrasi yang berkaitan dengan penegakan hukum di era reformasi
adalah pelbagai indikator kinerja yang berada dalam sub piramida
kedua, yaitu keberadaan pemerintahan yang terbuka, bertanggung–
jawab dan responsif, yang secara kategoris apabila dikaitkan dengan
penegakan hukum mensyaratkan hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya prinsip keterbukaan informasi; dalam hal ini di samping
perhatian terhadap HAM berupa “kebebasan berekspresi”, maka
dalam pembatasannya jelas dibutuhkan apa yang dinamakan
semacam “The Freedom of Information Act” (FOIA). Prinsip
keterbukaan ini seringkali dituntut masyarakat, acap disertai
dengan prasangka telah terjadinya penyimpangan yang secara
empiris telah banyak terjadi di masa lalu. Namun informasi juga
mengenal pelbagai pengecualian (disclosure exemption). Sebagai
contoh dapat dikemukakan di sini perkecualian yang diatur di
dalam US FOIA 1996 yang mengatur perkecualian sepanjang
berkaitan dengan: keamanan nasional, rahasia-rahasia perdagangan,
hak privasi seseorang, laporan-laporan bank, data-data tentang gas
dan minyak bumi, catatan-catatan penegakan hukum, dan
sebagainya. Berkaitan dengan “catatan-catatan penegakan hukum”
(law enforcement records), perkecualian-perkecualian tersebut
berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: keterbukaan informasi
dikhawatirkan akan terjadinya campur tangan terhadap proses
24
penegakan hukum; akan mengganggu atau membatasi hak
seseorang atas dilaksanakannya peradilan yang jujur (fair trial) dan
tidak memihak (impartial adjudication); untuk melindungi kepentingan
kerahasiaan pribadi (privacy interest) terhadap gangguan atau
pelanggaran yang tidak beralasan (unwarranted invasion); untuk
melindungi identitas sumber-sumber yang dirahasiakan baik berupa
negara atau badan intelijen, badan-badan daerah atau asing,
lembaga swasta yang memberikan informasi secara rahasia; untuk
melindungi kerahasiaan teknik dan prosedur investigasi dan
penuntutan yang dapat menimbulkan risiko pengelakan hukum
(circumvention of the law); dan untuk melindungi nyawa dan
keamanan fisik seorang individu.
b. Adanya jaminan ketaatan penguasa terhadap prinsip kedaulatan
hukum atas dasar prinsip “equality before the law”. Dalam hal ini
harus dicegah terjadinya penegakan hukum yang selektif dan
mengandung hak-hak istimewa (privilege), misalnya banyak
dipersoalkan apakah masih diperlukan izin atasan untuk
memeriksa pejabat-pejabat tinggi baik sebagai saksi maupun
sebagai tersangka. Dipertanyakan pula dalam hal ini keberadaan
asas oportunitas yang memungkinkan Jaksa Agung untuk
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
c. Ditegakkannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bertanggungjawab. Merdeka berarti bahwa dalam melaksanakan
judicial power, hakim harus bebas dari pengaruh eksternal, seperti
eksekutif, legislatif, kepentingan pribadi, kelompok, golongan,
pengaruh pers, pengaruh KKN; selain juga pengaruh internal dari
lingkungan peradilan yang lebih tinggi. Akhir-akhir ini muncul
pula pendapat agar independensi tersebut mencakup pula seluruh
jajaran sistem peradilan, seperti jaksa penuntut umum dan polisi
sebagai penegak hukum. Kekuasaan kehakiman, di samping
memiliki independensi, juga harus memiliki tanggungjawab baik
yang bersifat administratif, prosedural, maupun substantif, dan
akuntabilitas yudisial – baik berupa akuntabilitas politik, sosial
atau publik, dan akuntabilitas hukum. Yang tak kalah pentingnya
adalah akuntabilitas vertikal: Tuhan!
d. Adanya jaminan yang luas bagi warga negara untuk memperoleh
keadilan (access to justice) apabila terlanjur menjadi korban akibat
malpraktek dalam penegakan hukum, baik berupa
25
“maladministration” maupun “miscarriage of justice” yang dilakukan
oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga publik. Di samping
melalui lembaga-lembaga pengadilan, lembaga semacam
“Ombudsman” dan Komnas HAM menjadi sangat strategis
keberadaannya.
e. Diperlukan perundang-undangan yang demokratis dan aspiratif;
melalui koridor akademis, birokratis, sosial dan politik, akan
terjaring secara proporsional aspirasi suprastruktur , infrastruktur
dan aspirasi kepakaran. Selanjutnya dalam era globalisasi harus
diperhatikan pula aspirasi global yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab. Khusus dalam kerangka aspirasi lintas struktural, dalam
kerangka otonomi daerah dan Tap.MPR RI No. III/MPR/2000,
perlu diperhatikan aspirasi daerah dalan kerangka Perda. Dalam
rangka menghadapi “kondisi-kondisi yang luar biasa” seperti
korupsi yang sistemik dan endemik, tidak mustahil diperlukan
pula instrumen-instrumen yang luar biasa untuk
menanggulanginya, seperti pendekatan sistem “pembuktian
terbalik” (omkering van bewijslast) yang akan segera diberlakukan.
Begitu pula masalah lembaga paksa badan (gijzeling) terhadap
debitur yang beritikad buruk.
f. Adanya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana
ini mencakup aspek material, finansial, dan kelembagaan yang betulbetul
memadai. Sebagai contoh adalah akan segera dibentuknya
“Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dan keberadaan
“Pengadilan HAM” yang akan mengadili pelanggaran HAM berat,
seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada pula
usul untuk membentuk pengadilan khusus korupsi (corruption court).
Hal yang secara khusus berkaitan dengan peran serta masyarakat
yang terorganisasi dan tertata dengan baik serta kualitas SDM yang
diperlukan secara khusus akan diuraikan di bawah.
Rambu-rambu Peran Serta Masyarakat
Dari uraian tentang indeks demokrasi di atas, khususnya sepanjang
berkaitan dengan indikator kinerja dalam kerangka sub-piramid
keempat (society with self- confidence citizens) telah digambarkan betapa
pentingnya hal ini ditumbuhkan di dalam kehidupan yang demokratis.
Semangat ini tergambar di dalam pelbagai perundang-undangan yang
muncul setelah tahun 1998 (Pasca Orde Baru), yang sejak semula
26
dimaksudkan sebagai reaksi terhadap masa lalu yang lebih menekankan
pendekatan mobilisasi daripada partisipasi. Ketentuan yang mencakup
hal ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1999 tentang
“Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Negara”.
Apabila digambarkan abstraksinya secara umum, “peran serta
masyarakat” dalam konteks penyelenggaraan negara mengandung
hak-hak dan kewajiban sebagai berikut:
a. hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai
penyelenggaraan negara (lihat FOIA di atas);
b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
penyelenggara negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab
terhadap kebijakan penyelenggara negara;
d. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal
melaksanakan haknya, dan apabila diminta hadir dalam proses
penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi
pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Hak-hak tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dengan mantaati norma
agama dan norma sosial lainnya. Hal ini dimaksudkan dalam rangka
menghindari fitnah dan laporan yang tidak bertanggungjawab. (Di
beberapa negara pelakunya justru dapat dipidana).
Dari sisi HAM, hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan
masuk kategori “Generasi HAM III”, yaitu “hak untuk
pembangunan” (right to development). Di samping peran serta yang
bersifat individual, secara khusus perlu ditonjolkan peranan civil
society yang dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi
kehidupan sosial yang bersifat terbuka, sukarela, “self generating”
atau sekurangnya “self supportjng”, otonom terhadap negara, dan
terikat pada suatu tertib hukum, berdiri di antara lingkungan
swasta dan negara. Organisasi atau lembaga-lembaga bergerak
dalam lingkup soal-soal publik yang beragam, mulai dari hukum,
ekonomi, lingkungan, budaya, dan sebagainya.
Gerakan civil society pada dasarnya bukanlah dimaksudkan
untuk bersaing untuk mengalahkan negara, atau memupuk
kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan negara secara
27
menyeluruh. Yang diharapkan oleh para aktor pendukungnya
adalah semacam konsesi, kemanfaatan, perubahan kebijakan,
pembaharuan kelembagaan, keadilan, dan akuntabilitas, yang
kesemuanya diorientasikan bagi pemenuhan hak-hak atau urusan
publik dan bukan orang per orang atau kelompok eksklusif.
f. Kesadaran hukum masyarakat dan para penegak hukum dalam
semangat yang interaktif, antara kesadaran hukum versi penguasa
si satu sisi, dan perasaan hukum khususnya persepsi keadilan yang
bersifat spontan dari masyarakat di sisi lain.
Kesimpulan
Efektivitas penegakan hukum sedikit banyak tergantung pada
faktor-faktor di atas. Namun secara umum ada tiga faktor yang
mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Pertama, adanya
strategi penegakan hukum yang tepat dan dirumuskan secara
komprehensif dan integral; kedua, adanya kehendak politik untuk
melaksanakan strategi tersebut; dan ketiga, adanya pressure dalam
bentuk pengawasan masyarakat.
Di samping tiga faktor di atas, selain diperlukan adanya faktor
kepemimpinan yang committed terhadap supremasi hukum, juga etik
kepemimpinan yang mencakup standar-standar sebagai berikut :
a. Responsibility and Accountability; hal ini memungkinkan yang
bersangkutan dapat melakukan identifikasi secara terus menerus
terhadap kekuatan dan kelemahannya;
b. Commitment; mencakup dedikasi, antusiasme terhadap perannya
dalam organisasi, komitmen terhadap hukum dan peraturan
perundang- undangan lain, serta standar profesi;
c. Responsiveness; sifat peka dan fleksibel terhadap perubahan sosial
dan kebutuhan publik;
d. Knowledge and skills; dibangun melalui pendidikan dan pelatihan
untuk menjawab kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang bergerak secara dinamik;
e. Conflicts of interest; dalam arti peka terhadap kemungkian benturan
kepentingan, terutama antara kepentingan pribadi dan
kepentingan organisasi;
f. Professional Ethics; harus selalu melakukan evaluasi untuk
mendeteksi seberapa jauh keputusan yang telah diambil sejalan
dengan standar etika. n
28
Reformasi hukum di Indonesia harus dipandang sebagai bagian
integral dari proses demokratisasi yang tak boleh henti. Peralihan
dari rezim pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan Habibie –
disebut sebagai Kabinet Reformasi — yang berumur singkat sangatlah
dramatik. Hal ini ditandai dengan peralihan rezim yang tidak
demokratis, yang telah berkuasa selama 32 tahun kepada suatu sistem
politik yang demokratis sebagai hasil gerakan reformasi yang dipicu
oleh merosotnya perekonomian pada triwulan pertama tahun 1998.
Kemerosotan di bidang ekonomi pada gilirannya mendelegitimasi
hampir seluruh basis sosial dan politik Orde Baru. Maka dalam tempo
yang sangat singkat, krisis ekonomi itupun segera berubah menjadi
krisis multi dimensi yang teramat kompleks.
Pada waktu itu tingkat inflasi mencapai 78%; nilai tukar rupiah
berada pada tingkat terendah, menembus angka Rp. 15.000,- untuk
setiap dollar AS; nilai suku bunga berada di atas 80%; dan kerusuhan
secara sporadis terjadi di sepanjang jalur distribusi utama di Jawa
dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.
Secara mendasar, gerakan reformasi harus diinterpretasikan
sebagai suatu upaya yang terorganisir dan sistematis dari bangsa
Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi, yang
di sepanjang kekuasaan rezim Orde Baru terlanjur telah
dimanipulasikan dan diselewengkan. Berdasarkan interpretasi
reformasi tersebut, maka agenda nasional harus difokuskan pada
upaya pengembangan yang terus ‘indeks demokrasi’ (indices of
democracy). Indeks ini dapat dikelompokan ke dalam empat aspek ke
kehidupan berbangsa dan bernegara: Pertama, keberadaan sistem
Reformasi Hukum dan
Proses Demokratisasi di Indonesia
29
pemililihan umum yang bebas dan adil; kedua, keberadaan
pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif; ketiga, pemajuan
dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga tanpa
kecuali; dan keempat, keberadaan masyarakat yang memiliki rasa
percaya diri yang penuh.
Dalam hubungannya dengan reformasi hukum dalam kerangka
empat aspek dasar demokrasi di atas, pemerintah harus secara
sistematis menerapkan reformasi yang didasarkan kepada elemenelemen
konsep sistem hukum yaitu; (1) struktur hukum (semacam suatu
lembaga, mesin lintas sektoral dari sistem hukum, seperti potret yang
membuat suatu gerakan menjadi beku atau diam); (2) elemen substansi
hukum (produk dari mesin yaitu hukum, aturan-aturan yang aktual,
norma dan pola perilaku dari orang-orang dalam suatu sistem); dan
(3) elemen budaya hukum (perilaku orang terhadap hukum dan sistem
hukum; iklim dari pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau
disalahgunakan).
Dengan mempertimbangkan konsep sistem hukum di atas, dan
setelah mempertimbangkan pula arti dari reformasi serta kondisi
domestik yang spesifik, pemerintah dan badan pembentuk undangundang
memusatkan perhatian reformasi hukum terhadap lima
kepentingan hukum berikut ini.
Pertama, peraturan perundang-udangan di bidang sosial politik
harus sedapat mungkin mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi,
contohnya undang-undang tentang pemilihan umum yang jujur dan
adil. Pemilihan umum harus didasarkan pada kompetisi terbuka, hak
pilih yang universal, pemungutan suara yang rahasia dan bebas. Hal
ini harus didukung oleh undang-undang tentang kebebasan
berekspresi, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan pers,
netralitas politik dari pegawai negeri, polisi dan militer. Dalam
konteks ini, pendirian suatu Komisi Pemilihan Umum yang lebih
independen di masa mendatang mutlak diperlukan untuk memberikan
jaminan dari segala kemungkinan manipulasi dan bentuk-bentuk
kecurangan lain yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Kedua, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
upaya pemulihan ekonomi, yang menekankan pada persiapan untuk
menghadapi kecenderungan ekonomi pasar internasional yang tak
terhindarkan, seperti Undang-undang tentang Bank Sentral yang
30
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menjalankan
kebijakan moneter secara independen, undang-undang perlindungan
konsumen, undang-undang anti monopoli, undang-undang kepailitan
(yang juga berisikan ketentuan pendirian Pengadilan Niaga yang
didasari prinsip pengadilan cepat), dan inisiatif untuk membangun
program-program ekonomi yang bekerjasama dengan berbagai
organisasi internasional.
Ketiga, peraturan perundang-undangan tentang pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia, seperti Undang-undang HAM,
Undang-undang Pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran berat
HAM, ratifikasi berbagai instrumen hak asasi manusia seperti
“Konvensi PBB tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat”, atau
“Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Ras”, serta berbagai konvensi organisasi perburuhan internasional.
Keempat, peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan
yang bersih, akuntabel dan responsif. Dalam hal ini termasuk di
dalamnya pembaharuan undang-undang pemberantasan korupsi,
undang-undang tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas
dari KKN (yang antara lain mencakup kewajiban penyelenggara
negara untuk mengumumkan kekayaan dan aset-asetnya).
Pembaharuan ‘Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman’ yang
menyatukan kekuasaan mengadili dan penyelenggaraan administrasi
peradilan di bawah satu atap (Mahkamah Agung), harus dapat
dilakukan dalam rangka menegakkan prinsip independensi kekuasaan
peradilan eksekutif.
Komitmen untuk memajukan dan memberdayakan parlemen
adalah untuk menghindari adanya kemungkinan campur tangan dari
eksekutif dan untuk mendorong terciptanya sistem check and balances.
Keputusan Presiden tentang Ombudsman juga telah dikeluarkan
untuk mengawasi kegagalan pejabat pemerintah dalam melaksanakan
tanggungjawabnya secara hukum (maladministration).
Beberapa waktu yang lalu sejumlah rancangan undang-undang
untuk memperkuat penghapusan korupsi telah disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat RI, beban pembuktian terbalik, Rancangan
Undang-undang tentang Pencucian Uang, dan yang terakhir adalah
tentang Pembentukan Komisi Independen Untuk Memberantas
Korupsi. Komisi ini akan memiliki fungsi multidimensi, yaitu
31
melakukan fungsi-fungsi investigasi dan penuntutan, pendidikan,
pencegahan dan legislasi.
Kelima, peraturan perundang-undangan untuk melindungi dan
memperkuat masyarakat yang demokratis sebagai masyarakat yang
memiliki rasa percaya diri. Dalam hal ini, termasuk undang-undang
yang memajukan dan melindungi kebebasan pers, pluralisme media
komunikasi dan kebebasan berekspresi. Pembatasan dan larangan
terhadap pembentukan dan pengendalian organisasi profesi,
termasuk serikat buruh, asosiasi jurnalis, dan asosiasi-asosiasi
masyarakat sipil lainnya juga telah dicabut.
Konsep “masyarakat madani” harus dikembangkan bukan untuk
mendapatkan kendali atau posisi dalam negara, dan bukan pula untuk
mengatur pemerintahan secara keseluruhan, melainkan bertindak atas
konsesi dari negara yang secara kritis berjuang untuk kepentingan
perubahan kebijakan, reformasi kelembagaan, pemulihan, keadilan
dan akuntabilitas. Dengan kata lain hendak ditekankan di sini bahwa
terdapat perbedaan khusus antara reformasi hukum pada kondisi
yang normal (sebagai upaya untuk menggantikan hukum kolonial
dengan hukum nasional) dan reformasi hukum dalam arti gerakan
reformasi yang harus diinterpretasikan sebagai demokratisasi hukum.
Selama pemerintahan Habibie (22 Mei 1998 sampai dengan 14
Oktober 1999), telah dikeluarkan 67 Undang-undang, 3 Peraturan
Pemerintah, 263 Keputusan Presiden dan 31 Instruksi Presiden.
Keseluruhan kebijakan itu dimaksudkan sebagai bagian dari solusi
untuk mengatasi problem yang berlangsung dalam situasi krisis tadi.
Disadari atau tidak, banyak kemajuan yang telah dicapai, sehingga
pada waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari Presiden Habibie
kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999), pemulihan
ekonomi berlangsung dengan baik, yang ditandai dengan peningkatan
berbagai indikator ekonomi, seperti tingkat inflasi 2 %, nilai tukar
rupiah sebesar Rp. 6.700,- per dollar AS, dan suku bunga 12 %.
Secara jujur harus diakui, bahwa kerusakan sistemik dan multi
dimensional warisan Orde Baru tidak mudah untuk diselesaikan
dalam waktu singkat. Namun rezim baru yang menggantikan akan
terasa tidak bijaksana jika setiap kali masih terus menyalahkan Orde
Baru dengan motif untuk menyembunyikan ketidakmampuannya.
Konflik regional dan horizontal, gerakan disintegrasi, kekerasan
politik, berlanjutnya krisis ekonomi dan keuangan, kesenjangan antara
32
pusat dan daerah, disharmoni sosial, tingginya tingkat kejahatan,
krisis kepercayaan dari para donor dan investor internal dan eksternal,
meningkat dan berlanjutnya praktek korupsi baik secara kuantitas
maupun kualitas, berlanjutnya praktek mafia di pengadilan,
amandemen Undang-undang Dasar 1945, harus dianggap sebagai
proses yang tidak terhindarkan dalam iklim demokrasi. Sekurangnya
begitulah fakta yang dapat kita saksikan.
Di masa yang akan datang, agar gerakan reformasi dapat
dilakukan secara lebih komprehensif, agaknya penting untuk
mempertimbangkan beberapa persyaratan sehingga gerakan
reformasi tidak identik dengan memunculkan gejala euforia, yang
belakangan justru lebih banyak menimbulkan perasaan tidak menentu
ketimbang harapan yang menjanjikan. Pertama, harus segera
dirumuskan suatu strategi reformasi dan pemulihan yang terintegrasi
dan komprehensif. Kedua, terdapat kemauan politik yang kuat —
khususnya dari para elite – untuk segera keluar dari krisis yang amat
melelahkan ini. Ketiga, harus selalu ada “tekanan sosial” (dalam arti
positif) baik secara nasional maupun internasional. Keempat, didukung
oleh watak kepemimpinan yang profesional dan beretika pada semua
tingkatan pemerintahan. Kelima, keinginan dari organisasi
internasional untuk mendukung reformasi harus sepenuhnya
didasarkan atas semangat kemitraan. Keenam, rekonsiliasi nasional
untuk menyelesaikan berbagai masalah dan kasus-kasus yang
dilakukan oleh rezim Orde Baru. Ketujuh, komitmen untuk
menjunjung prinsip supremasi hukum dan pemerintahan yang baik
guna menjamin keadilan, keamanan dan kepastian berdasarkan
hukum.
Dalam hal penegakan supremasi hukum, ada beberapa langkah
sistemik yang harus dilakukan:
1. Pengadopsian semua aspirasi hukum sebagai sumber daya dalam
upaya untuk melakukan reformasi hukum, yang meliputi aspirasi
suprastruktur, aspirasi infrastruktur, aspirasi kepakaran dan
aspirasi internasional yang telah diterima oleh bangsa-bangsa
beradab;
2. Menjunjung prinsip kebebasan dan ketidak berpihakan lembaga
peradilan, bebas dari campur tangan kekuatan internal maupun
eksternal;
3. Meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia;
33
4. Meningkatkan semangat profesionalisme aparat penegak hukum;
5. Pembentukan Komisi Yudisial dengan keanggotaan yang
komprehensif dalam rangka untuk mengawasi perilaku hakim
dan pejabat peradilan, menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan yang berkelanjutan bagi para hakim, dan menangani
pengaduan terhadap hakim dan aparat peradilan;
6. Mendorong fungsi kontrol masyarakat terhadap lembaga
peradilan (semacam Judicial Watch);
7. Meningkatkan pengimplementasian prinsip sistem lembaga
peradilan terpadu;
8. Secara sistematis memerangi korupsi di pengadilan dan dalam
sistem peradilan;
9. Rekrutmen kepemimpinan di bidang hukum atas dasar merit
system. n
34
Pendahuluan
Wacana tentang peradilan terpadu mengemuka sehubungan
dengan adanya TAP MPR-RI No. VIII/MPR/2000 tentang Laporan
Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan
MPR RI tahun 2000. Tap MPR itu antara lain menekankan bahwa MA
perlu melaksanakan asas-asas sistem peradilan terpadu. Peringatan
ini menyadarkan kepada kita tentang kondisi obyektif sistem
peradilan pidana yang tidak hanya terkesan fragmentaris dan
berorientasi sektoral, tetapi juga cenderung mengganggu terhadap
sistem secara keseluruhan.
Sistem peradilan pidana (terpadu) bisa berdimensi internal namun
bisa juga berdimensi eksternal. Berdimensi internal apabila perhatian
ditujukan kepada keterpaduan subsistem peradilan, seperti kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Sedangkan dimensi
eksternal lebih karena kaitannya yang hampir tidak bisa dipisahkan
dari sistem sosial yang lebih luas. Yang terakhir ini akan sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan sistem peradilan dalam
pencapaian tujuannya, termasuk di sini budaya hukum kekuasaan
dan masyarakat, perkembangan politik, ekonomi, sosial, iptek,
pendidikan dan sebagainya. Contoh budaya hukum kekuasaan adalah
kecenderungan terjadinya politisasi hukum atau instrumentalisasi
hukum baik dalam proses pembuatan UU maupun dalam praktek
penegakan hukum. (Tate and Vallinder, 1995)
Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap
mengikuti karakter sistem yang bersifat umum, yaitu kerjasama secara
terpadu antara pelbagai subsistem untuk mencapai tujuan yang sama.
Peranan Administrasi Peradilan
Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
35
Dalam kerangka itu secara internal dan eksternal sistem peradilan
harus berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior),
pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat
fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar,
operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu
(value transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem,
dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara
terpadu.
Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan
sekaligus koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses
pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai (shared norms
and values). Sebagai contoh, adalah kenyataan bahwa sistem peradilan
pidana selalu bekerja atas dasar sistem informasi yang berjenjang.
Karena itu apabila muncul informasi yang menyesatkan akan dengan
sendirinya berdampak luas terhadap kinerja pengadilan, misalnya
berupa kegagalan dalam menciptakan keadilan. Untuk dapat
mengevaluasi atau mengaudit sampai seberapa jauh sistem peradilan
pidana sudah bekerja dengan baik, perlu dirumuskan indeks sistem
peradilan pidana yang pada hakekatnya merupakan indikator kinerja
sistem peradilan pidana, baik dalam tataran idiil, tataran asas maupun
tataran operasional dan tataran penunjang.
Pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu:
keberhasilan sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan
resosialisasi bagi terpidana; keberhasilan sistem peradilan pidana
untuk mencegah terjadinya kejahatan; dan keberhasilan sistem
peradilan pidana untuk menciptakan kesejahteraan sosial. Indeks pada
tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka, promosi dan perlindungan HAM, berorientasi tidak
hanya kepada model rehabilitatif tetapi juga kepada model restoratif.
Pada level operasional, pelbagai indeks yang semakin konkrit
mencakup antara lain; keberadaan “UU payung” (umbrella act) yang
dapat menciptakan sinergi positif antar subsistem (semacam Wet RO,
1928 di masa lalu); berorientasi baik kepada tindak pidana, pelaku
tindak pidana maupun pada korban tindak pidana; keterukuran dari
clearance rate, conviction rate, rate of recall to prison. Selanjutnya juga
tingkat terjadinya disparitas pidana, tersedianya pelbagai sistem
sanksi pidana alternatif, dan tingkat kecepatan penanganan perkara
baik di lingkungan subsistem maupun sistem secara keseluruhan.
36
Pada tataran penunjang indeks terpenting nampak pada kualitas
sumber daya manusia yang dimiliki, seperti SDM yang terlatih dan
terorganisasi dengan baik, kepemimpinan yang bertanggungjawab,
partisipasi masyarakat terhadap sistem peradilan pidana, dan sistem
pelatihan terpadu antar penegak hukum.
Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan bisa bermakna ganda. Pertama, bisa
diartikan sebagai court administration, dalam arti pengelolaan yang
berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial
badan-badan peradilan. Kedua, dalam arti administration of justice yang
mencakup proses penanganan perkara (caseflow management) dan
prosedur serta praktek litigasi dalam kerangka kekuasaan mengadili
(judicial power). Kekuasaan mengadili ini berhubungan erat dengan
proses penegakan hukum. Dua makna tersebut berkaitan erat dengan
kesatuan tanggungjawab yudisial yang mengandung tiga dimensi
yaitu; (a) tanggungjawab administratif yang menuntut kualitas
pengelolaan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial; (b)
tanggungjawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi
hukum acara yang digunakan; dan (c) tanggungjawab substantif yang
berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum
yang berlaku. Tanggungjawab mengandung dimensi hal-hal yang
harus dipertanggungjawabkan atau akuntabilitas yang bisa bersifat
responsif (peka terhadap kebutuhan masyarakat), bersifat
representatif (yang menuntut sikap jujur dan tidak diskriminatif) dan
bersifat ekonomis (kesadaran adanya pengawasan publik, khususnya
berkaitan dengan dana-dana masyarakat yang digunakan). (Shetreet
and Deschenes, 1985)
Pada era reformasi, kewenangan penguasaan dua dimensi makna
administrasi peradilan di atas sangat dipersoalkan (sampai saat ini
implementasinya belum selesai) sebab berkaitan dengan kebiasaan
kekuasaan di era Orde Baru yang sering mengooptasi kekuasaan
kehakiman sehingga tidak pernah tumbuh sebagai lembaga
independen. Padahal, independensinya lembaga kehakiman di negara
manapun merupakan salah satu ukuran yang paling menonjol untuk
melihat apakah sebuah sistem kekuasaan demokratis atau otoriter.
Betapa pentingnya prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka ini
nampak dari pernyataan-pernyataan sebagai berikut:
37
“The principle of complete independence of the judiciary from the executive is
the foundation of many things in our island life…..the judge has not only to do
justice between man and man. He also has to do justice between the citizens and
the state. He has to ensure that the administration conforms with the law and to
adjudicate upon the legality of the exercise by the executive of its power.”
(Sir Winston Churchil).
“Fundamental rights and liberties can best be preserved in a society where the
legal profession and the judiciary enjoy freedom from interference and pressure
(Louis Joined, UN Rapporteur on the Independence of Judiciary).”
Atas dasar pengalaman dan praktek demokrasi di pelbagai negara,
terdapat suatu hipotesa bahwa kualitas demokrasi suatu bangsa yang
antara lain ditandai dengan menjunjung asas kekuasaan kehakiman yang
merdeka, akan lebih efektif daripada usaha untuk menghindari kooptasi
kekuasaan kehakiman oleh eksekutif dengan cara menyatukan
“administrasi peradilan” dan “kekuasaan pengadilan” dalam satu
kekuasaan: Mahkamah Agung. Pengalaman di Indonesia sejak
kemerdekaan, kemudian disusul Orde Lama dan Orde Baru, menunjukkan
bahwa pemisahan dua kekuasaan tersebut di dua lembaga yaitu di lembaga
eksekutif (Departemen Kehakiman, Departemen Hankam dan
Departemen Agama) untuk aspek “administrasi peradilan” (organisasi,
administrasi dan finansial) dan di lembaga yudikatif (Mahkamah Agung)
untuk aspek judicial power, sangat rawan terhadap gangguan bagi asas
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Seperti diutarakan pada bagian
awal, asas kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu
karakteristik sistem peradilan terpadu pada tataran asas.
Dari uraian selanjutnya akan nampak bahwa mengingat budaya
hukum demokrasi yang belum melembaga di Indonesia, maka
menempatkan hukum sebagai instrumen (instrumentalisasi hukum)
untuk melindungi kekuasaan kehakiman yang merdeka akan lebih
efisien dan efektif daripada mempercayakan mekanisme
perlindungannya kepada budaya hukum yang masih diragukan.
Dalam hal ini ada pendapat yang menarik, dan ada baiknya
dikemukakan, yaitu usul perluasan prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka agar diperluas mencakup perlindungan integritas
keseluruhan sistem peradilan pidana yang mencakup independensi
administrasi peradilan, termasuk independensi penyelidik, penyidik
dan penuntut umum sebagai penegak hukum.
38
Di samping keterkaitannya dengan prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka, maka baik buruknya kinerja administrasi peradilan
akan merupakan variabel independen terhadap promosi dan
perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana. Dalam hal
ini penghayatan terhadap pedoman yang tersurat dan tersirat dalam
pelbagai instrumen internasional tak dapat dihindarkan.
Fungsionalisasi Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan, baik dalam arti court administration
maupun sebagai refleksi judicial power, hanya akan berperan maksimal
dan bermakna terhadap sistem peradilan pidana terpadu apabila dapat
mengelola jati dirinya sebagai pendukung prinsip kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan berhasil mempromosikan serta
melindungi HAM dalam administrasi peradilan pidana.
Dalam konteks court administration guna menegakkan prinsip
kekuasaan kehakiman yang merdeka di era reformasi, maka atas dasar
amanat TAP MPR RI No. X/MPR/1998 yang mengamanatkan pemisahan
yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif dengan
mengalihkan organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan
yang semula berada di bawah departemen-departemen menjadi berada
di bawah MA, maka diundangkan UU No. 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas UU No. 14 Th. 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Untuk pelaksanaannya secara bertahap, paling
lama 5 (lima) tahun sejak UU tersebut berlaku (31 Agustus 1999).
Menyadari di masa lalu MA boleh dikatakan telah mengalami
kerusakan sistemik, maka usaha untuk memperbaikinya harus
dilakukan secara sistemik pula guna menyongsong dua wewenang
yang di masa datang akan berada di bawah kekuasaannya.
Selanjutnya dalam ruang lingkup pemahaman administrasi peradilan
sebagai adminstration of justice maka pengamanan harus dilakukan
dengan melakukan kriminalisasi terhadap beberapa perbuatan yang
dapat mencederai integritas administrasi peradilan pidana tersebut.
Kelompok tindak pidana yang masuk kategori offences against
the administration of justice antara lain mencakup tindak-tindak pidana
seperti; menolak untuk membantu polisi, lari dari penjara, membuang
atau menggelapkan alat atau barang bukti, menghalangi penahanan
atau penuntutan, sumpah dan kesaksian palsu, menyampaikan buktibukti
palsu, mempengaruhi saksi dengan penyuapan (koruptif),
39
menghambat atau menggangggu proses kesaksian, melakukan
pembalasan terhadap saksi, melakukan intimidasi, menyuap untuk
mempengaruhi pejabat pengadilan dengan tujuan untuk memaksa
pejabat yang bersangkutan untuk tidak melakukan atau melakukan
tugasnya secara tidak benar (termasuk pula di sini pejabat pengadilan
yang menerima suap), melakukan pembalasan terhadap pejabat
pengadilan sehubungan dengan pelaksanaan tugas pejabat yang lain,
melakukan perbuatan tidak patut di depan pengadilan, dan
merendahkan martabat pengadilan (contempt of court).
Khusus mengenai promosi dan perlindungan HAM dalam
administrasi peradilan pidana, mencakup di dalamnya usaha untuk
selalu mencapai atau mendekati standar umum kemajuan sebagaimana
ditentukan oleh pelbagai instrumen internasional yang mencakup antara
lain, penegakan persamaan hukum dan pencegahan diskriminasi baik
secara tertulis maupun praktis, perlindungan asas legalitas, hak untuk
hidup dan bebas dari pemidanaan yang kejam dan tidak biasa, hakhak
kebebasan dan hak terpidana (prisoners rights), hak untuk diadili
secara adil, administrasi peradilan bagi anak remaja (Administration of
Juvenile Justice), kekuasaan kehakiman yang merdeka; pelbagai Kode
Etik untuk para penegak hukum; dan lain sebagainya.
Kesimpulan
1. Kualitas administrasi peradilan baik dalam bentuknya sebagai court
administration maupun sebagai administration of justice dalam
kerangka kekuasaan mengadili (judicial power) sangat berarti bagi
terciptanya sistem peradilan pidana terpadu;
2. Untuk dapat berperan efektif dan maksimal terhadap sistem
peradilan pidana terpadu, dua dimensi makna administrasi
peradilan harus dapat mncerminkan pelbagai indeks sistem
peradilan pidana terpadu pada umumnya baik yang berada pada
tataran ideal, tataran asas, tataran operasional dan tataran
penunjang, maupun promosi dan perlindungan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan HAM pada khususnya;
3. Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu, khususnya untuk
menghindari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif, maka
dua dimensi administrasi peradilan harus berada dalam satu
kekuasaan yaitu MA. Dengan demikian UU No. 35 Tahun 1999
harus dilaksanakan secara sistematik dan konsisten;
40
4. Untuk dapat menerima tugasnya yang berat dalam rangka
menyatukan kekuasaan mengadili, dan court administration, MA
dengan segala jajarannya harus membenahi diri secara sistemik
yang mencakup perbaikan struktural, substantif, kultural,
kepemimpinan, keterbukaan akan kritik dan peningkatan
kesejahteraan pejabat-pejabat pengadilan;
5. Mengingat makna dari administrasi peradilan yang mencakup pula
‘administration of justice’ dalam arti luas, maka di samping
dukungan legislasi yang memadai (UU No. 35/1999 dan
kriminalisasi perbuatan yang mengganggu), diperlukan semangat
para pemegang peran di dalamnya untuk memperluas pengertian
‘the independence of judiciary’ menjadi ‘the independence of the
administration of justice’;
6. Di samping kualitas penguasaan konseptual, perlu diperhatikan
pelbagai faktor-faktor decisive lain seperti kualitas perundangundangan,
ketersediaan prasarana penunjang, kualitas SDM,
partisipasi masyarakat, kualitas kepemimpinan di bidang hukum,
dan kondisi sosial ekonomi yang kondusif. n
41
Pendahuluan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1964 dan
No.2 Tahun 1975 telah memerintahkan kepada Ketua Pengadilan dan
Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan
mengenai gijzeling (upaya paksa badan) yang diatur dalam Pasal 209
sampai dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui
(RIB/HIR), dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum
Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (RBg) karena dianggap
bertentangan dengan perikemanusiaan.
Seperti diketahui, surat edaran di atas sempat menimbulkan
kontroversi karena landasan hukum pembekuan ketentuan HIR dan
RBg tentang gijzeling melalui SEMA dianggap tidak memadai dan
bisa menimbulkan preseden hukum yang buruk. Mestinya
pertimbangan kebutuhan hukum, keadilan, perikemanusiaan dan hak
asasi manusia harus dijadikan semangat bagi para hakim untuk
mengembangkan dan menggali nilai-nilai keadilan masyarakat dalam
penerapan hukum. Dengan demikian tercermin upaya lebih serius
untuk melaksanakan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka
(the independece of judiciary) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24
dan Pasal 25 UUD 1945 Melalui Peraturan Mahkamah Agung No.1
Tahun 2000, kedua SEMA di atas dinyatakan tidak berlaku lagi atas
dasar pertimbangan bahwa pembekuan lembaga gijzeling dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan untuk
penegakan hukum dan keadilan dalam konteks pembangunan bangsa
Indonesia. Selanjutnya pertimbangan Mahkamah Agung dalam
Peraturan MA (PERMA) No. 1 Tahun 2000 untuk tidak lagi
Analisis Gijzeling dari Sisi Hukum Pidana
dan Hak Asasi Manusia
42
mengartikan gijzeling sebagai sandera (hostage) atau penyanderaan
(taking of hostages) dan diganti dengan paksa badan (imprisonment for
civil debts) sangat tepat. Sesuai dengan prinsip universal, imprisonment
harus diartikan sebagai lawful imprisonment. Menggunakan penjelasan
Black: “penahanan seseorang bertentangan dengan keinginannya.
Undang-undang menempatkan atau membatasi seseorang dalam
penjara. Pengekangan atas kebebasan pribadi seseorang; paksaan yang
dilakukan atas seseorang untuk mencegah penggunaan kebebasan
bergerak. (Black, 1998).
Istilah sandera atau penyanderaan selalu mengandung konotasi
negatif dalam arti false imprisonment yang di dalamnya terkandung
unsur tidak mengindahkan hukum, tanpa surat perintah, dan dengan
paksaan. Di Amerika Serikat, penyanderaan diperlakukan sebagai
federal crime. Dalam KUHP Indonesia hal semacam ini diatur dalam
pasal-pasal yang menyangkut kejahatan terhadap kemerdekaan orang
(Bab XVIII).
Gijzeling dalam Kerangka Hukum Pidana
Istilah imprisonment for civil debt akan memberi kesan terjadinya
intervensi hukum pidana sebagai bagian hukum publik terhadap
masalah-masalah perdata dalam batas-batas tertentu memang bisa
dibenarkan, mengingat sikap komplementer yang demikian itu bukan
sesuatu yang asing lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia. Sebagai
contoh adalah sanksi berupa pembayaran uang pengganti dalam
tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 34 c UU no.3 tahun
1971, yang kemudian dilanjutkan dalam Pasal 18 ayat (10 huruf b UU
no.31) Tahun 1999 yang keduanya mengatur tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dalam RUU KUHP (2000) disebutkan
pengaturan pidana tambahan berupa ganti rugi.
Sifat komplementer juga terjadi antara hukum pidana dan hukum
administrasi dalam bentuk “administrative penal law” yang semakin
marak dalam kehidupan modern. Dalam hal ini nampak semakin
intensifnya kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang
sebenarnya masuk wilayah hukum administrasi. Dalam konteks ini
dibutuhkan sanksi pidana untuk memperkuat sanksi administrasi dalam
rangka mendorong seseorang untuk tetap taat terhadap norma-norma
yang mendasarinya, seperti dalam masalah lingkungan hidup,
perpajakan, kearsipan, perlindungan konsumen, dan sebagainya.
43
Di dalam hukum pidana sering kali orang sulit membedakan
antara persoalan hukum perdata dengan persoalan hukum pidana.
Definisi tentang kejahatan ekonomi yang digunakan oleh The American
Bar Association dapat dijadikan acuan, mengingat salah satu
karakteristik kejahatan ekonomi adalah tindak pidana yang dilakukan
dalam lingkup kegiatan ekonomi, yang dengan sendirinya merupakan,
atau paling tidak dianggap sebagai kegiatan bisnis yang legal dan
normal. Disebutkan bahwa tindak pidana ekonomi adalah kegiatan
ilegal dan tanpa kekerasan yang pada dasarnya mengandung unsur
penipuan, mispresentasi, penyembunyian, manipulasi, pelanggaran
kepercayaan, pengelakan atau penggunaan dalih yang tidak sah
menurut hukum. Dengan demikian keberadaan unsur-unsur tadi
merupakan kata-kata kunci untuk menentukan apakah suatu
perbuatan di bidang ekonomi merupakan perbuatan yang
mengandung unsur sifat melawan hukum (pidana) ataukah perbuatan
melanggar hukum yang bersifat perdata (Clinard and Yeager, 1989).
Apabila hukum perdata dengan sanksi berupa ganti rugi berusaha
untuk melindungi hak-hak sipil/privat, maka hukum pidana melalui
proses kriminalisasi dan sanksi yang lebih berat (pidana mati, penjara,
kurungan dan atau denda serta pidana tambahan) berusaha untuk
melindungi tidak hanya kepentingan pribadi, tetapi juga kepentingan
pribadi dalam kaitannya dengan kepentingan masyarakat luas, seperti
kepentingan umum dan kepentingan negara. Dalam hal ini dikenal
istilah mala in se (suatu perbuatan yang salah dan immoral pada
dirinya) dan mala prohibita (hal-hal yang dilarang undang-undang
sebagai pelanggaran hak orang lain hanya karena hal-hal tersebut
dilarang). Yang terakhir ini menunjukkan kemungkinan bergesernya
pandangan tradisional hukum pidana tentang unsur kebejatan moral.
Dengan perkembangan di atas, sekalipun agak aneh, tetapi atas
dasar asas komplementer antara hukum perdata dan hukum pidana,
pendayaguaan imprisonment (yang merupakan sanksi hukum pidana)
sebagai upaya paksa badan (gijzeling) terhadap debitur yang beritikad
tidak baik, masih dapat dibenarkan sejauh didasarkan atas alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemberlakukan upaya paksa
badan tadi pada dasarnya merupakan kriminalisasi terbatas. Disebut
kriminalisasi terbatas sebab dalam hal ini muncul istilah atau jenis
kejahatan baru yakni civil offenses sebagaimana diatur di Arizona,
yakni ketika misalnya seseorang atau orang tua gagal untuk
44
membayar bantuan terhadap anak yang ditetapkan oleh pengadilan
(Child Support Arrest Warrant).
Kriminalisasi dapat diartikan sebagai berikut; (a) proses
menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana
menjadi sebuah tindak pidana; (b) mengaktualisasikan ketentuan
hukum pidana yang semula dianggap sebagai ultimum remedium
menjadi primum remedium; (c) perluasan subjek hukum pidana
mencakup pidana atas dasar prinsip komplementer terhadap
pelanggaran norma-norma hukum perdata (civil offense) dan hukum
administrasi (Muladi, 1990).
Salah satu syarat kriminalisasi adalah keberadaan korban, baik
korban aktual maupun korban potensial. Imprisonment for debts jelas
mengandung dua jenis korban tersebut. Syarat lain adalah apakah
fungsi subsidair dipenuhi, dalam arti tidak adanya cara lain yang
lebih efektif dan penggunaan cost and benefit analysis. Kapasitas atau
kelayakannya untuk diterapkan merupakan faktor penting yang harus
diperhitungkan sehingga tidak menimbulkan kesan adanya
overkriminalisasi. Kriminalisasi tidak boleh bersifat adhoc dan terlebih
lagi dimaksudkan sebagai tindakan pembalasan semata-mata.
Ringkasnya, kriminalisasi tetap harus berpijak pada tujuan-tujuan
positif. (Mc Lean, 1999)
Khusus mengenai fungsi subsidair, gijzeling merupakan reaksi
terhadap sistem alternative dispute resolution yang tidak memuaskan
dan proses hukum perdata yang berlarut-larut dan bertentangan
dengan prinsip pengadilan yang cepat. Alasan penolakan terhadap
imprisonment for debts seperti yang terjadi di Texas, berkaitan dengan
pemikiran bahwa memenjarakan, mengurung, atau bahkan
mengancam pemenjaraan dan pengurungan terhadap proses
penyelesaian hutang seorang debitur yang beritikad baik, adalah
langkah yang tidak beradab dan sama sekali tidak dibenarkan. Alasan
lain, dikaitkan dengan pengalaman empiris, bahwa sekalipun
penerapan hukum pidana dalam kasus-kasus perdata didasarkan atas
keinginan penuntut umum untuk menyatakan perang melawan
pengusaha yang terlibat dalam perselisihan kontrak demi mencari
keadilan, namun ternyata eksesnya adalah pemerasan (exortion)
terhadap pengusaha yang jujur yang tidak mampu untuk menerima
stigma atau noda akibat pemenjaraan.
Di samping itu alasan kemampuan atau ketidakmampuan debitur
45
untuk memenuhi kewajibannya yang terkait dengan persoalan
finansial, seringkali menimbulkan penegakan hukum pidana yang
diskriminatif yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi. Hal
ini sangat mungkin terjadi apabila kinerja debitur didasarkan pada
unjustifiable standard dan arbitrary classification. Bagi mereka yang
terkena, langkah pemenjaraan akan dianggap sebagai tindakan hukum
yang tiranik dari sebuah sistem kekuasaan yang arogan akibat
penerapan teori rekayasa sosial yang berlebihan.
Di beberapa negara bagian Amerika Serikat memang terdapat
Constitutional and Statutory Restriction untuk tidak menerapkan
penahanan seseorang atas dasar masalah perdata, kecuali atas dasar
dua hal. Pertama, kasus-kasus yang mengandung unsur penipuan
atau kecurangan atau yang secara sengaja ingin menimbulkan
kerugian terhadap orang lain, yang seringkali antara keduanya
dipisahkan atau dibedakan satu sama lain. Jika pemahaman terhadap
unsur “kecurangan” dapat mengacu pada definisi kejahatan ekonomi
dari American Bar Association di atas, maka unsur “dengan sengaja”
yang biasa digunakan dalam hukum pidana mencakup tujuan atau
kesengajaan untuk melakukan perbuatan. Sekalipun tidak mengandung
kesengajaan jahat, orang yang bersangkutan menghendaki dan
mengetahui segala sesuatu yang akan dilakukan termasuk akibatnya,
sebagai seseorang yang bebas. Unsur “dengan sengaja” tadi
menjadikan perbuatan seorang debitur sebagai kejahatan, misalnya
seseorang sebenarnya mampu untuk membayar, tetapi dengan sengaja
(menghendaki dan mengetahui) menolak kewajiban tersebut, meskipun
ia tahu menyangkut hak orang lain. Dalam hal ini perbuatan seorang
debitur melebihi batas dan masuk ke dalam lingkup pidana.
Kedua, Hutang debitur yang termasuk dalam kategori not ordinary
debts, yaitu apabila dengan itikad buruk ia sengaja tidak ingin dibayar,
akan bertentangan dengan kesejahteraan umum atau bertentangan
dengan good morals and fair dealing atau dengan sengaja ingin merugikan
hak orang lain atau berlawanan dengan norma-norma sosial yang
fundamental. Mungkin “kondisi negara dalam keadaan krisis
multidimensional” masuk dalam kategori ini. (Androphy, 2001).
Gijzeling dalam konteks HAM
Sejak gerakan reformasi bergulir, yang ditandai dengan
lengsernya rezim Orde Baru (Mei 1998), maka segala indeks
46
demokrasi seolah-olah berlomba untuk diaktualisasikan. Pelbagai
indeks tersebut pada dasarnya bersumber pada empat hal yaitu; (a)
pemilihan umum yang jujur dan adil; (b) pemerintahan yang terbuka,
akuntabel, dan responsif; (c) penghormatan terhadap hak-hak sipil
dan politik; (d) pemenuhan terhadap ciri-ciri yang diperlukan bagi
masyarakat yang demokratis (Beetham, 1999).
Kekuasaan di Indonesia pasca Orde Baru nampaknya sangat serius
terhadap promosi dan perlindungan HAM. Hal ini nampak dari produk
perundang-undangan yang dihasilkannya tegas-tegas mengakomodasi
elemen-elemen HAM yang penting, seperi sebagai berikut:
Pertama, Pasal 3 Piagam HAM PBB (the Universal Declaration of
Human Rights) yang mengatur bahwa “setiap orang berhak atas
penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang”; Gijzeling
pada dasarnya adalah perampasan kemerdekaan yang tidak boleh
diingkari dengan semena-mena. Ini diperkuat dengan penjelasan Pasal
9 Piagam HAM PBB bahwa “tidak seorangpun boleh ditangkap,
ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang”.
Kedua, Pada Pasal 11 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa
“setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak
pidana dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya
menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang
terbuka, dan di dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu
untuk pembelaannya”.
Gijzeling yang masuk kategori imprisonment for civil debt
merupakan bagian dari kriminalisasi terbatas. Apabila pelaksanaannya
tidak didasarkan atas keputusan pengadilan maka merupakan
pelanggaran HAM. Hal ini nampaknya sudah diantisipasi oleh
perumus Perma No.1 Tahun 2000. Pasal 6 Perma tersebut mengatur
bahwa putusan tentang “paksa badan”, ditetapkan bersama-sama
dengan putusan pokok perkara terhadap debitur yang beritikad tidak
baik dan mempunyai hutang kepada negara atau yang dijamin oleh
negara, dan dilaksanakan secara serta merta. Pelaksanaan putusan
yang menyangkut “paksa badan” dilakukan dengan Penetapan Ketua
Pengadilan Negeri. Dalam hal ini perlu dipikirkan agar dengan syaratsyarat
tertentu, perbuatan debitur yang tidak memenuhi
kewajibannya dijadikan tindak pidana (kriminalisasi penuh). Syaratsyarat
tersebut antara lain berkaitan dengan unsur penipuan dan
kecurangan disertai unsur kesengajaan dilengkapi dengan standar
47
kejahatan ekonomi dari The American Bar Association; hutang debitur
nakal yang bersangkutan termasuk kategori “utang yang tidak biasa”
dan dipenuhinya dengan syarat-syarat kriminalisasi yang lain.
Ketiga, Pasal 29 ayat (2) Piagam Ham PBB yang secara tegas
menyatakan bahwa di dalam menjalankan hak dan kewajibannya yang
ditetapkan oleh undang-undang, setiap orang tunduk hanya pada
batasan-batasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang
layak bagi hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syaratsyarat
kesusilaan, kesejahteraan umum yang adil dalam suatu
masyarakat demokrasi. Hal seperti ini juga diatur dalam Pasal 73 UU
No.39 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa hak dan kebebasan yang
diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Kovenan Internasional Tentang Hakhak
Sipil dan Politik, maka masalah kemerdekaan dan kebebasan tidak
termasuk dalam non derogable rights, sehingga dapat dibatasi dengan
undang-undang atas dasar alasan-alasan yang didasarkan pada baik
Pasal 29 ayat (2) piagam HAM PBB atau Pasal 73 UU No. 29 Th 1999.
Dengan demikian perkeculian tertera dalam Pasal 2 PERMA no.1 tahun
2000 bahwa di samping gijzeling harus didasarkan pada ketentuan Pasal
209 sampai dengan Pasal 224 HIR, dan Pasal 242 sampai dengan Pasal
2558 RBg, masih mungkin dikecualikan dalam hal yang diatur secara
khusus dalam PERMA tersebut perlu dipertanyakan.
Keempat, Pasal 11 Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil
dan Politik menegaskan bahwa “tidak seorangpun atas putusan
pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas
alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam
perjanjian utang piutang”. Mengingat sifat hak kemerdekaan
merupakan derogable rights, maka dapat diperlakukan kemungkinan
restriksi dan limitasi atas dasar Pasal 29 ayat (2) Piagam HAM PBB
dan Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999. Dengan demikian pertimbangan
normatif dari PERMA No. 1 Tahun 2000 (keadaan dan kebutuhan
hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta
pembangunan ekonomi bangsa Indonesia) harus kompatibel dengan
istilah “debitur yang beritikad tidak baik” sebagaimana beberapa
48
kali disebut dalam batang tubuh Perma, konsep empiris yang berkaitan
dengan syarat penerapan imprisonment for debts, standar pengecualian
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Piagam HAM PBB, dan Pasal 73
UU No.39 tahun 1999.
Kesimpulan dan Rekomendasi
(1) Dengan persyaratan teoritik dan konseptual yang jelas,
keberadaan lembaga gijzeling (lembaga paksa badan) atau
imprisonment for debts dapat dibenarkan.
(2) Pendayagunaan sanksi pidana perampasan kemerdekaan
(imprisonment) secara konseptual tidak bertentangan dengan prinsip
hukum atas dasar asas komplementer (principle of complimentary)
dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan di masyarakat.
(3) Gijzeling atau lembaga paksa badan atau imprisonment for debt pada
hakekatnya merupakan proses kriminalisasi terbatas.
Peningkatannya menjadi kriminalisasi penuh untuk memenuhi asas
legalitas dalam bentuk civil offence dapat dilakukan dengan
menggabungkan persyaratan kriminalisasi yang bersifat umum
(adanya korban, analisa biaya dan hasil, efektivitas penerapan, tidak
bersifat ad hoc dan bukan pembalasan semata-mata, fungsi subsidair
hukum pidana dan tidak menimbulkan kesan “overcriminalization”
dengan standar yang telah ada (seperti menggunakan acuan definisi
economic crimes dari the American Bar Association).
(4) Persyaratan yang tersebut dalam butir (3) harus sesuai dengan
pertimbangan diterbitkannya Perma No.1 Tahun 2000 dan
ratifikasi dan limitasi HAM yang tecantum dalam Pasal 29 ayat
(2) Piagam HAM PBB dan Pasal 73 UU No. 39 tahun 1999.
(5) Sebagai hak asasi, kemerdekaan seseorang bisa dibatasi dengan
syarat-syarat tersebut pada butir (4), karena liberty tidak termasuk
kategori non derogable rights. Sehubungan dengan itu sebenarnya
langkah administratif yang hanya dibatasi pada hutang kepada
negara atau yang dijamin oleh negara tidak perlu dilakukan,
sepanjang persyaratan tersebut pada butir (3) dan (4) bisa dipenuhi.
(6) Sesuai dengan persyaratan restriksi dan limitasi yang hanya bisa
dilakukan atas dasar Undang-undang, maka pengaturan
pelaksanaan paksa badan terhadap debitur yang beritikad tidak
baik, tidak boleh diatur secara khusus dalam Perma dan
menyimpang dari ketentuan HIR dan RBg. (lihat Pasal 2 Perma
No.1 tahun 2000). n
49
Mengkaji dan mengamati perkembangan hukum sejak pasca
kemerdekaan sampai dengan perkembangannya saat ini memberikan
sumber inspirasi dan mengandung pelajaran yang mendalam. Tanpa
terasa, sejak kemerdekaan Bangsa Indonesia telah mengalami 3 (tiga)
orde dengan masing-masing karakteristiknya sendiri yaitu, Orde
Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Hipotesis bahwa suatu orde
atau suatu tatanan politik akan mempengaruhi sistem hukum yang
berlaku, baik secara substantif, struktural, maupun kultural banyak
benarnya.
Orde Lama yang merupakan kelanjutan dari orde pemerintahan
pasca kemerdekaan, sarat dengan spirit untuk mencari bentuk
pemerintahan yang cocok untuk Negara Republik Indonesia. Spirit
pencarian itu dilatarbelakangi oleh pelbagai usaha untuk menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa yang tengah diuji oleh pelbagai
gerakan separatis dan subversif. Perubahan konstitusi, mulai dari
UUD 1945, Konstitusi RIS, UUD 1950, dan kembali lagi ke UUD 1945
melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 memberikan gambaran
utuh tentang proses pencarian jati diri tersebut. Pada masa pencarian
itu tak dapat dihindari terjadinya euphoria kemerdekaan yang
seringkali menimbulkan efek kebiasaan menerabas hukum dengan
alasan bahwa pelbagai hukum yang ada merupakan produk kolonial.
Dalam situasi dan kondisi semacam itu nampak pelbagai gejala
yang mengambarkan praktek-praktek pelanggaran prinsip hukum,
seperti kecenderungan kekuasaan eksekutif melakukan kooptasi
terhadap kekuasaan yudikatif dan legislatif. Contohnya adalah
keberadaan UU No.19 Tahun 1964 yang memungkinkan campur
Usaha Keluar dari Lingkaran Abu-abu
di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia
50
tangan Presiden terhadap kekuasaan kehakiman demi kepentingan
revolusi, dan pembiaran kedudukan MPR dan DPR yang bersifat
sementara dalam kurun waktu yang relatif lama. Demikian pula
dengan keberadaan UU No.11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi yang penuh dengan nuansa pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM), meningkatnya peraturan-peraturan hukum pidana
yang represif, dan bayang-bayang kegiatan intelijen yang bersifat
eksesif karena kemungkinannya dapat terlibat melakukan crimes by
government dengan dalih keamanan, ketertiban, dan seterusnya.
Setelah Orde Lama jatuh, muncul Orde Baru yang diwarnai oleh
semangat untuk menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni
dan konsekuen, suatu semangat yang lama diabaikan dan dipandang
menjadi sebab paling penting kejatuhan Orde Lama pada tahun 1966.
Dekade pertama dari Orde Baru ini diwarnai oleh semangat promosi
dan perlindungan HAM, supremasi hukum dan demokratisasi melalui
Pemilu 1971. Tetapi nampaknya spirit tersebut tak berlangsung lama,
karena segera setelah itu, yang dapat kita saksikan adalah
beroperasinya sebuah sistem kekuasaan dan kepemimpinan nasional
yang bersifat tertutup, melupakan tekad awal untuk menjalankan
UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, dan di atas
segalanya, merebaknya praktek-praktek KKN yang berlangsung
begitu luas dan dalam jangka waktu yang lama pula. Usaha untuk
merumuskan TAP MPRS tentang HAM sejak tahun 1966 gagal
dilakukan, dan supremasi hukum tinggal kenangan akibat korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Kekuasaan kehakiman yang merdeka
tidak berhasil diwujudkan, karena UU No.14 Tahun 1970 yang
diundangkan membuka kemungkinan untuk campur tangan eksekutif
terhadap kekuasaan kehakiman melalui kewenangan Menteri
Kehakiman, Menteri Hankam dan Menteri Agama untuk tetap campur
tangan di bidang administrasi peradilan (administrasi, finansial dan
personal). Pemilu 1971 dan seterusnya sulit dikatakan “jujur dan adil”
– meskipun istilah ini menjadi semboyan resmi di sepanjang pemilu
Orde Baru — karena ditandai oleh pelbagai rekayasa untuk
kepentingan politik penguasa saat itu. Apa yang disebut praktek KKN
ternyata sudah demikian sistemik dan endemik sifatnya.
Yang sangat mengherankan adalah munculnya usaha untuk
melestarikan UU No.11 tahun 1963 (melalui UU No.5 tahun 1969
menjadi UU No.11 PNPS tahun 1963), yang ternyata menimbulkan
51
ekses luar biasa mahal berupa “kematian” hak-hak politik dan kemudian
membawa banyak korban dalam bentuk meningkatnya jumlah tahanan
politik dan narapidana politik. Padahal undang-undang tersebut pada
masa Orde Lama telah banyak mengantarkan tokoh-tokoh Orde Baru
ke penjara. Kelak, dengan praktek-praktek semacam itu, Orde Baru
yang pada mulanya ditunggu hasil positifnya dengan penuh harapan,
pada akhirnya menampakkan bentuknya sebagai orde yang hampir
selalu diliputi oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan
banyak terlibat dalam praktek pelanggaran HAM.
Pada mulanya langkah-Iangkah yang menekan hak-hak sipil dan
politik dengan dalih perlunya keamanan dan ketertiban masyarakat
demi pembangunan ekonomi tidak terlalu dirasakan karena didukung
oleh kondisi ekonomi yang baik. Namun begitu krisis ekonomi terjadi
pada tahun 1997, maka tuntutan-tuntutan untuk menegakkan hak-hak
sipil dan politik melalui gerakan reformasi meledak tak tertahankan
dan berujung pada jatuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998.
Orde Reformasi yang dimulai pada Mei 1998 belajar banyak dari
orde-orde sebelumnya. Langkah sistematis dilakukan untuk bangkit
kembali dari krisis multidimensional yang mengawali kekuasaannya.
Reformasi diletakkan makna operasionalnya sebagai usaha sistematis
bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar
demokrasi. Reformasi hukum yang pada orde-orde sebelumnya
diartikan sebagai usaha untuk menggantikan pelbagal perundangundangan
kolonial dengan hukum nasional, diposisikan sebagai
proses demokratisasi hukum dengan memperhatikan baik aspirasi
nasional maupun global. Konsentrasi pembaharuan hukum diarahkan
pada pelbagai kelemahan pada masa lalu yang mencakup sistem hukum
dan kehidupan sosial, politik dan HAM, pemberantasan KKN, dan
yang mengatur bidang ekonomi untuk menghadapi era pasar bebas.
Undang-undang yang mengatur Pemilu dan Partai Politik disesuaikan
dengan dengan cara mengakomodasi aspirasi demokrasi yang
berkembang. UU tentang HAM dirumuskan, diikuti dengan ratifikasi
terhadap HAM Internasional. UU tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi diperbaiki, dan penciptaan pemerintahan yang bersih
dan bebas KKN terus diusahakan. Undang-undang anti monopoli,
kepailitan, perlindungan konsumen, perbankan — yang antara lain
mengatur independensi Bank Indonesia dan lain-lain dibentuk —
juga disempurnakan. Yang tak kalah pentingnya adalah UU No.35
52
Tahun 1999 yang mengatur “kekuasaan kehakiman” di bawah satu
atap Mahkamah Agung juga diundangkan, dengan maksud utama
untuk menghalangi kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan
yudikatif. Belum lagi yang mengatur kebebasan pers serta pencabutan
UU Pemberantasan Kegiatan Subversi yang disusul dengan
pembebasan ratusan tahan politik dan narapidana politik.
Tetapi, seperti kita tahu, oleh sebab-sebab politik yang tak
terhindarkan berupa gugatan-gugatan terhadap legitimasi yang
menopangnya terutama menyangkut UUD 45, selain karena kasus
skandal perbankan dan soal jajak pendapat Timor Timur, Orde
Reformasi ini pada akhirnya jatuh juga. Orde Reformasi lanjutan di
bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid – dikenal dengan Kabinet
Persatuannya — yang dimulai pada bulan Oktober 1999 berusaha
terus untuk melanjutkan dan mengoreksi Orde Reformasi sebelumnya.
Tetapi, kabinet inipun tidak berlangsung lama. Abdurrahman Wahid
dilengserkan pada bulan Juli 2001 akibat tuduhan KKN terutama
dalam skandal Bulogate I dan juga faktor krisis multidimensional
yang hampir tidak menunjukkan tanda perbaikan di sepanjang masa
kepemimpinannya.
Untuk keluar dari kemelut di atas, agaknya sulit dibayangkan
tanpa mengandalkan suatu sistem pemerintahan yang memiliki basis
legitimasi yang luas dan dipilih secara langsung melalui pemilu yang
terbuka, jujur dan demokratis, baik untuk Presiden dan wakil
Presiden, maupun bagi anggota DPR dan DPRD. Sistem yang demikian
lebih memungkinkan bagi terciptanya pemerintahan yang terbuka,
bertanggungjawab dan responsif dalam kerangka penegakan negara
hukum, promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama hakhak
sipil dan politik yang pada masa lalu banyak terabaikan. Partisipasi
masyarakat dalam rangka pembentukan masyarakat madani yang
ditandai dengan apa yang disebut “self confidence citizens”, juga sejalan
karena sistem pemilu yang bersifat langsung memberikan akses
langsung bagi hak politik rakyat untuk mengontrol pemerintahannya,
baik yang di lembaga legislatif, yudikatif maupun di eksekutif.
Khusus di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia, diperlukan
kepemimpinan di bidang hukum yang moralis dan kuat, disamping
dibutuhkan adanya strategi kebijakan yang komprehensif dan
profesional, kehendak politik dan pengawasan masyarakat yang
berkelanjutan.
53
Pada akhirnya hasil-hasil amandemen terhadap UUD 1945 (IIV)
— yang belakangan sempat memicu kontroversi — secara
sistematis dan profesional harus dilaksanakan mengingat sebagian
sumber dari segala kemelut bangsa ini, termasuk di bidang hukum
dan Hak Asasi Manusia terkait dengan sifat UUD 1945 yang terlalu
singkat dan umum sehingga mudah diberikan interpretasi atau
bahkan dimanipulasi sesuai dengan selera dan kepentingan tertentu.
Tanpa ada langkah-langkah terobosan yang lebih konkrit dan
menyeluruh serta tahapan-tahapan yang jelas, sulit dibayangkan
dapat segera keluar dari lingkaran yang serba samar ini. n
54
Proses globalisasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi tetapi
juga di bidang sosial budaya, iptek, politik, dan sebagainya.
Globalisasi di bidang politik antara lain ditandai dengan merebaknya
isu tentang transparansi, demokratisasi, hak asasi manusia, keadilan
gender, dan sebagainya. Dalam konteks kita di Indonesia, karena
alasan-alasan kekuasaan isu-isu seperti itu sempat tertahankan di
zaman Orde Baru, tetapi baru kemudian muncul sebagai isu atau
tuntutan yang terbuka segera setelah sistem kekuasaan Orde Baru
itu runtuh. Selanjutnya, yang dapat kita saksikan adalah serangkaian
kontroversi-kontroversi, karena era pemerintahan yang
menggantikannya sering tidak memiliki perangkat yang memadai
(SDM, hukum, UU, dsb) untuk memberikan jawaban terhadap
tuntutan-tuntutan tersebut.
Salah satu dari sekian banyak kontroversi itu adalah tentang
pengaturan hak asasi manusia terhadap wanita, yang belakangan
sempat ramai diperdebatkan. Sejumlah pihak berpandangan bahwa
“konvensi khusus” tentang hak-hak wanita sebagai hal yang tidak
ada urgensinya mengingat hak-hak tersebut sudah tercakup dan
dilindungi oleh instrumen-instrumen internasional yang ada yang
bersumber dari ‘The International Bill of Human Rights’. Sementara
itu, terdapat kelompok lain yang secara bersemangat memandang
sebaliknya, bahwa konvensi khusus itu perlu diadakan justru karena
instrumen-instruemn HAM yang ada terlalu umum dan tidak rinci.
Apabila membicarakan konvensi HAM tentang wanita (The
International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
against Woman/ CEDAW yang diratifikasi dengan UU No.7 Tahun 1984
Diskriminasi Terhadap Wanita,
Suatu Perspektif Hak Asasi Manusia
55
dan ‘Convention on the Political Rights of Woman’ yang diratifikasi dengan
UU No.68 Tahun 1958), secara komprehensif harus dikaitkan pula
dengan Piagam PBB dan dokumen-dokumen HAM Internasional lain
seperti: Convention on the Rights of Child (CRC); The Vienna Declaration
and Programme of Action (1993) yang antara lain menegaskan bahwa
“hak asasi manusia wanita/perempuan merupakan bagian integral yang
tak terpisahkan dari hak asasi manusia; ‘Beijing Declaration and Platform
for Action’ (1995); Declaration on the Protection of Woman and Children in
Emergency and Armed Conflict; Convention Consent to Marriage, minimum
Age for Marriage and Registration of Marriage; Perjanjian tentang Persamaan
pembayaran Gaji Bagi Wanita dan Pria untuk Pekerjaan yang Sama, di
Jenewa (diratifikasi dengan UU No.80 tahun 1957).
Di samping itu, sebagai konsekuensi dari negara berdaulat maka
segala pembicaraan tentang hak-hak wanita harus mengacu pula pada
hukum positif nasional seperti:
• Pasal 27 UUD 1945, memberikan landasan pemikiran bahwa
wanita dan pria memiliki hak dan kewajiban (rights and duties)
yang sama dalam keluarga, masyarakat dan pembangunan;
• GBHN 1993 (Tap MPR/II/1993) yang menegaskan bahwa wanita,
baik sebagai warga negara maupun sebagai daya insani
pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan
yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang;
• Kebijaksanaan mengenai peranan wanita dalam Repelita VI yakni
peningkatan kualitas wanita sebagai insan maupun sumber daya
pembangunan;
• UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pembangunan Nasional,
khususnya yang mengatur tentang wajib belajar pendidikan dasar
9 tahun yang dimulai tahun 1994, menegaskan bahwa orang tua
dianjurkan menyekolahkan anaknya baik wanita ataupun pria
sekurang-kurangnya sampai menyelesaikan SLTP;
• Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-O3/MEN/1989 dan
No.PER-O4/MEN/1989, masing-masing mengenai larangan
pemberhentian hubungan kerja bagi wanita karena perkawinan,
hamil dan melahirkan dan aturan (tata cara) untuk melindungi
tenaga kerja wanita yang bekerja pada malam hari.
Aturan-aturan hukum positif seperti dikemukakan di atas penting
untuk dijadikan acuan, sebab sekalipun HAM memiliki sifat universal,
56
namun — sebagaimana negara-negara berkembang yang lain — dalam
implementasinya dikenal pula “asas relativisme kultural” yang secara
universal juga sudah mendapatkan pengakuan, tentu sejauh
penggunaan asas “relativisme kultural” tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip dan hakekat HAM yang universal. Pentingnya untuk
tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu bangsa
atau masyarakat dalam penerapan HAM, nampak pada contoh sebagai
berikut:
1. The Jakarta Message (1992), butir 18 antara lain menegaskan bahwa:
“No country however, should use its power dictate its concept of
democracy and human rights or impose conditionalities on others..”.
2. Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang HAM yang dirumuskan
oleh ‘Asean Inter Parliamentary Organization’ (AIPO) antara lain
menegaskan:
“the peoples of Asean accept that human rights exist in a dynamic and
envolving context and that each country has inherent historical
experiences, and changing economic, social, political and cultural realities
and value system which should be taken into account”.
3. Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia
yang menyatakan bahwa:
“while human rights are universal in nature, they must be considered in
the context of a dynamic and evolving process of international normsetting,
bearing in mind the significance of national and regional
peculiaritiers and various historical, cultural and religious backgrounds.”
4. Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh
Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang merumuskan
bahwa:
“All human rights are universal, indivisible and interdependent and
interrelated While the significant of national and regional particularities
and various historical, cultural and religious background must be borne
in mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic
and cultural systems, to promote and protect all human rights and
fundamental freedoms.”
Apapun rumusannya, pelbagai negara di dunia sepakat bahwa
HAM adalah hak yang melekat (inherent) secara alamiah pada diri
manusia sejak manusia lahir dan tanpa hak tersebut manusia tidak
dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh. Tanpa
57
HAM, manusia tak dapat mengembangkan bakat-bakat dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, meliputi hak-hak sipil dan
politik, hak-hak sosial, ekonomi, budaya serta hak untuk berkembang.
Sepanjang menyangkut diskriminasi terhadap wanita, pelbagai
data baik nasional maupun internasional menunjukkan bahwa
perjuangan untuk menegakkan HAM wanita masih merupakan
perjuangan yang berat, sebab masih terdapat kesenjangan yang cukup
memprihatinkan antara “hukum dalam buku” dan “hukum dalam
praktek”. Ratifikasi terhadap konvensi internasional tentang wanita
tidak secara otomatis akan mengakhiri pelbagai tindak diskriminatif.
Implementasinya masih harus menuntut perjuangan secara
berkelanjutan, sebab masalah yang terkandung di dalamnya tidak
sekedar melulu persoalan yuridis tetapi juga mengandung aspek
politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya.
Pengertian diskriminasi sendiri dapat dikaji dari Pasal 1
‘Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Woman’ (1979) yang menyatakan bahwa:
“For the purpose of the present convention, the term “discrimination against
woman” shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis
of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition,
enjoyment or exercise by woman, irrespective of their marital status, on a basis
of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in
the political, economic, social, cultural, civil or any other field”.
Secara universal diskriminasi diidentifikasikan sebagai praktekpraktek
yang meliputi; aborsi selektif dengan teknik-teknik cangggih
untuk memperbaiki rasio laki-laki dan wanita (China, India dan Korea
Utara); pembunuhan bayi wanita (India Selatan); penyunatan yang
sangat kejam (Afrika); diskriminasi kesehatan terhadap anak-anak
wanita (Bangladesh); kawin muda; penyimpangan seksual dan
perkosaan; pelacuran anak-anak; diskriminasi wanita di bidang
penguasaan hak pekerjaan, pendidikan, upah, perlindungan kerja;
dan sebagainya.
Kemudian dalam Fourth World Conference on Woman di Beijing
tanggal 4-15 September 1995, diidentifikasikan beberapa “wilayah
kritis” yang berkaitan dengan wanita dan harus secara berkelanjutan
diperjuangkan, meliputi; wanita dan kemiskinan, pendidikan dan
pelatihan bagi wanita, wanita dan kesehatan, kekerasan terhadap
wanita, wanita dan konflik bersenjata, wanita dan ekonomi, wanita
dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, mekanisme
58
kelembagaan bagi peningkatan wanita; hak asasi wanita; wanita dan
lingkungan, dan termasuk wanita yang masih anak-anak.
Secara nasional, diskriminasi terhadap wanita di Indonesia
nampak pada ‘Hasil Survei Sosial Ekonomi’ (Susenas) 1994 yang
dilakukan oleh Biro Pusat Statistik yang antara lain mengambarkan;
tingkat buta huruf wanita lebih tinggi daripada pria; kemampuan
berbahasa Indonesia lebih rendah dari laki-laki; jam kerja wanita lebih
pendek daripada pria; jumlah pegawai negeri sipil wanita sepertiga
dari jumlah seluruh pegawai negeri sipil; pegawai negeri sipil wanita
yang mempunyai kedudukan tinggi masih sedikit; jumlah wanita yang
menjadi anggota lembaga tinggi negara masih sedikit; pengurus partai
sebagian besar adalah pria; pengurus maupun anggota organisasi
profesi lebih sedikit dari pada pria; penegak hukum wanita jauh lebih
sedikit dibandingkan penegak hukum pria.
Selanjutnya dari riset yang dilakukan oleh “Convention Watch”,
suatu kelompok kerja yang dibentuk di Program Studi Kajian Wanita
(PSW) Pasca Sarjana Universitas Indonesia, memuat penjelasan adanya
sejumlah diskriminasi terhadap tenaga kerja wanita, seperti; hak
kesempatan kerja yang sama antara perempuan dan laki-laki; kebebasan
memilih profesi, pekerjaan, promosi dan pelatihan; hak dalam
memperoleh upah yang sama terhadap pekerjaan yang sama nilai
(perempuan selalu dianggap lajang); hak dalam menikmati jaminan
sosial; hak terhadap kesehatan dan keselamatan kerja; hak untuk tidak
diberhentikan dari pekerjaan (dan mendapat tunjangan) karena kawin
dan melahirkan; hak haid, hamil dan melahirkan; hak untuk mendapat
fasilitas umum dan sosial, khususnya tempat penitipan anak.
Dalam kerangka untuk melakukan akselerasi tercapainya
pemenuhan hak-hak wanita sebagaimana tercantum di dalam dua
Konvensi Internasional dan hukum positif Indonesia, maka perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Perlu ditingkatkan sosialisasi Konvensi Internasional tentang
wanita serta peraturan-peraturan hukum positif yang menunjang;
b. Perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatan penelitian kondusif untuk
meningkatkan perlindungan atas hak-hak kewajiban wanita;
c. Perlu ditingkatkan usaha untuk menyusun Buku Pedoman Latihan
Sosialisasi Konvensi Wanita;
d. Perlu ditingkatkan peranan NGO’s untuk mengkaji, mendesiminasi
dan mengimplementasikan HAM wanita;
59
e. Perlu ditingkatkan kerjasama pelbagai pihak untuk melakukan
perlindungan terhadap Wanita;
f. Meningkatkan kepeloporan Pusat-pusat Kajian Wanita di
Perguruan Tinggi dalam rangka menegakkan HAM Wanita;
g. Perlu ditingkatkan usaha untuk melakukan pembaharuan hukum
dan harmonisasi hukum nasional sehingga sejalan dengan
dokumen-dokumen internasional tentang HAM Wanita;
h. Perlu ditingkatkan kerjasama regional dan internasional untuk
meningkatkan penghayatan terhadap HAM Wanita baik yang
menyangkut “institutional arrangement” maupun “financial
arrangement”.
i. Perlunya pula sosialisasi dari “Beijing Declaration and Platform for
Action” yang dihasilkan oleh Fourth World Conference on Woman di
Beijing (1995). n
60
Masalah kekerasan terhadap wanita saat ini tidak hanya
merupakan masalah individual atau masalah nasional, tetapi sudah
merupakan masalah global. Dalam hal-hal tertentu bahkan dapat
dikatakan sebagai masalah transnasional. Banyak istilah-istilah yang
digunakan untuk melukiskan perhatian terhadap problem ini, seperti
“violence against woman”, “gender-based violence”, “gender violence”,
“female-focused violence”, “domestic violence”, dan sebagainya. Disebut
sebagai masalah global karena terkait di sini isu global tentang hakhak
asasi manusia (HAM), yang per definisi diartikan sebagai hakhak
yang melekat (inherent) secara alamiah sejak manusia dilahirkan
dan tanpa itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar.
Hak-hak tersebut meliputi hak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial,
ekonomi dan budaya serta hak untuk berkembang.
Kaitannya dengan HAM nampak dari pelbagai pernyataan,
antara lain bahwa kekerasan terhadap wanita merupakan rintangan
(barrier) terhadap pembangunan, sebab kekerasan itu dapat
menimbulkan akibat kumulatif yang tidak sederhana, seperti dapat
mengurangi kepercayaan diri kaum wanita, menghambat
kemampuan wanita untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan sosial,
mengganggu kesehatan wanita, mengurangi otonomi wanita baik
dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan seterusnya. Dalam
pelbagai pertemuan internasional bahkan dikatakan hal ini ada
hubungannya dengan “indeks perkembangan manusia” (human
development index). Dokumen-dokumen HAM yang terkait antara
lain: Piagam HAM PBB, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sosial Ekonomi
Perlindungan Wanita Terhadap
Tindak Kekerasan
61
dan Budaya, Konvensi Internasional untuk Menghapuskan (eliminasi)
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (1979), Deklarasi
terhadap Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita (1993).
Pertemuan-pertemuan internasional untuk membahas
penanggulangan kekerasan terhadap wanita juga semakin banyak
dilakukan di berbagai negara, seperti; seminar di Den Haag pada
tahun 1993 dengan tema “Calling for Change: International Strategies to
End Violence Against Woman”; Workshop Internasional di China (1990);
Pertemuan Internasional tentang Kesehatan Reproduksi Wanita di
Indonesia (disponsori oleh the Population Council and the Epidemiology
Network) yang mengidentifikasi kekerasan terhadap wanita sebagai
salah satu bidang prioritas; Konferensi (dua tahunan) yang
diselenggarakan oleh the Association of Woman in Development (1991),
yang mengidentifikasi kekerasan terhadap wanita sebagai salah satu
masalah kesehatan yang penting; Pertemuan yang disponsori oleh
the National Council for Woman’s Rights di Brazil (1986) dan Konferensi
Internasional HAM PBB di Wina pada tahun 1993, yang mengakui
kekerasan terhadap wanita sebagai pengingkaran HAM wanita.
Beberapa pertemuan atau konferensi lain, meskipun sebagian
tidak secara langsung berhubungan dengan tema kekerasan terhadap
wanita tetapi sangat relevan, di antaranya; Pertemuan tingkat Menteri
di Napoli tentang kejahatan transnasional yang terorganisasi di
Napoli; Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan
Pidana di Kairo, serta Sidang keempat Komisi Pencegahan Kejahatan
dan Peradilan Pidana (semuanya pada tahun 1994). Demikian pula
Forty-Seventh World Health Assembly (1994), Forth UN World Conference
on Woman, Action for Equality, Development and Peace di Beijing (1995).
Kekerasan terhadap wanita juga menjadi substansi utama dalam Final
Declaration dari Konferensi Internasional tentang Perlindungan
terhadap korban perang di Jenewa (1993), yang berkaitan dengan
hukum humaniter.
Pelbagai peristiwa di atas semakin menjadi jelas bahwa
pergeseran pandangan telah terjadi secara drastis dalam masalah
kekerasan terhadap wanita. Semula masalah kekerasan terhadap
wanita dilihat sebagai kejahatan terhadap badan dan mungkin nyawa
sebagai bentuk kejahatan penganiayaan dan pembunuhan biasa;
demikian pula tentang pelecehan seksual dan sebagainya. Dalam
perkembangannya kemudian nampak bahwa kekerasan terhadap
62
wanita tidak hanya merupakan persoalan yuridis semata-mata, tetapi
di belakangnya ada suatu spirit yang besar yang berkaitan dengan
HAM. Seperti diketahui, HAM mencakup dimensi politik, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan dan sebagainya yang harus ditelaah secara
komprehensif dan integral.
Anatomi Kekerasan Terhadap Wanita
Pada tahun 1993, Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang
menentang kekerasan terhadap wanita yang dirumuskan pada tahun
1992 oleh Komisi Status Wanita PBB. Pada Pasal 1 dinyatakan bahwa
kekerasan terhadap wanita mencakup: setiap perbuatan kekerasan atas
dasar perbedaan kelamin yang mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap wanita baik fisik,
seksual atau psikis, termasuk ancaman perbuatan tersebut; dan paksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang
terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat. Pasal 2
Deklarasi menyatakan bahwa definisi tersebut hendaknya dipahami
untuk meliputi, dan tidak terbatas pada kekerasan fisik, seksual dan
psikis yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat, termasuk
penganiayaan, perlakuan seksual secara salah terhadap anak wanita,
kekerasan yang berkaitan dengan mas kawin (dowry related violence),
perkosaan dalam perkawinan (marital rape), penyunatan wanita yang
mengganggu kesehatan (female genital mutilation) dan praktek-praktek
tradisional lain yang merugikan wanita, kekerasan di luar hubungan
perkawinan, kekerasan yang bersifat eksploitatif, pelecehan wanita
secara seksual (sexual harrasment) dan intimidasi di lingkungan kerja,
dalam lembaga pendidikan, perdagangan wanita, pemaksaan untuk
melacur, dan kekerasan yang dilakukan oleh penguasa.
Definisi ini secara tegas menunjuk akar kekerasan pada hubungan
gender (gender-based roots). Lalu sejumlah aktivis LSM wanita
mengembangkan lebih lanjut definisi tersebut secara lebih luas, yakni
mencakup akses yang terbatas dalam bidang sumber daya sosial
ekonomi, seperti lapangan kerja, dan sejenisnya sebagai bentukbentuk
lain dari kekerasan yang memang berkaitan dengan HAM
(sipil, politik, sosial ekonomi dan budaya serta hak untuk
berkembang).
Bentuk-bentuk yang lebih spesifik di pelbagai negara adalah incest,
serangan seksual, perkosaan, pembunuhan, penganiayaan, “foot63
binding” di China pada masa lalu, “stove death” dengan cara dibakar di
Pakistan, penganiayaan karena mahar di India dan Bangladesh serta
Pakistan baik di desa maupun di kota. Di Bangladesh dikenal adanya
perusakan muka wanita dengan melempar bahan kimia. Di Afrika
terjadi penyunatan wanita yang melebihi batas toleransi kesehatan,
perdagangan wanita untuk pelacuran termasuk anak-anak di bawah
umur (white slavery), penganiayaan isteri, perkosaan dan kekerasan
lain di lingkungan keluarga (domestic violence), kekerasan terhadap
karyawan wanita, pornografi, kawin paksa (force marriage), seranganserangan
psikis dan emosional lain, diskriminasi ekonomis, pelecehan
seksual, intimidasi di lingkungan kerja.
Dari sisi siklus kehidupan manusia kekerasan terhadap wanita
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
- Sebelum kelahiran: aborsi (Cina, atas India, dasar seleksi kelamin
Korea), penganiayaan pada saat hamil, pemaksaan kehamilan
seperti perkosaan masal pada saat perang.
- Pada saat bayi: pembunuhan bayi (wanita), perlakuan salah baik
emosional dan psikis, perbedaan perlakuan dalam bidang makanan
dan kesehatan terhadap anak wanita.
- Pada usia anak: kawin anak, penyunatan, perlakuan seksual baik
oleh keluarga maupun orang lain, pelacuran anak.
- Pada usia remaja: kekerasan pada saat bercumbuan (date rape),
perlakuan seks terpaksa karena tekanan ekonomi, pelecehan
seksual di tempat kerja, perkosaan, pelacuran dipaksa,
perdagangan wanita.
- Masa reproduksi: Kekerasan oleh pasangan intim, marital rape,
pembunuhan atau kekerasan karena mahar, pembunuhan oleh
pasangan, perlakuan salah psikis, pelecehan seksual di tempat kerja,
perkosaan, kekerasan terhadap wanita cacat.
- Usia tua: Kekerasan terhadap janda, kekerasan terhadap orang
tua.
Identifikasi Kausa
Pada dasarnya secara umum dapat dikatakan bahwa akar kausa
terjadinya kekerasan terhadap wanita adalah “budaya dominasi lakilaki”
atau “budaya patriakhi”. Dalam struktur dominasi ini kekerasan
seringkali digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan
pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan kadangkala untuk
64
mendemonstrasikan dominasi semata-mata. Segala bentuk kekerasan
seringkali tanpa disadari merupakan refleksi dari sistem patriarkhi
tersebut.
Pendekatan “akar budaya” tentang praktek-praktek merugikan
terhadap wanita (culture-bound practices harmful to women), seringkali
digunakan untuk menggantikan istilah yang lebih dangkal yang
digunakan PBB, yakni apa yang disebut “praktek- praktek tradisional
yang merugikan wanita” (traditional practices harmful to woman).
Sebagai contoh, penghargaan terhadap “keperawanan”,
diidentifikasikan sebagai sebab pendorong terjadinya perkawinan
pada usia sangat muda. Begitu pula tentang “penyunatan” (dilakukan
dengan cara yang dapat mengganggu kesehatan) diarahkan untuk
cepat kawin muda. Di beberapa negara Afrika penyunatan yang
sangat kejam dengan mengangkat sebagian klitoris dilakukan dengan
motivasi menghindarkan penyelewengan wanita. Hal ini dapat
mengakibatkan infeksi, tetanus keracunan darah karena digunakannya
alat-alat pemotong yang tidak steril. Seringkali di Sierra Leonne hal
ini dilakukan tanpa anastesi dan mengakibatkan shock. Bedah plastik
dan diet patologis, serta pelbagai tindakan lain yang sering tanpa
disadari hanya dimaksudkan untuk pemuasan kaum laki-laki, sering
menimbulkan deritanya sendiri bagi kaum wanita.
Di beberapa negara konsep tentang kehormatan seringkali
menstimulasi terjadinya kekerasan terhadap wanita. Bagi suatu
masyarakat tertentu, karena alasan-alasan tradisional yang terlanjur
melekat, kehilangan keperawanan hanya dapat ditebus dengan darah.
Di Mesir misalnya sekalipun hilangnya keperawanan itu terjadi karena
perkosaan, kehormatan keluarga diangap lebih penting daripada
keadilan individual wanita. Di Bangladesh dan India, korban perkosaan
seringkali dipaksa kawin dengan pemerkosanya. Di Pakistan perkosaan
dianggap sebagai jinah (etramarital sex). Dalam hukum Islam, perkosaan
harus dapat dibuktikan dengan keterangan 4 saksi laki-laki, kalau tidak,
si wanita dapat dipidana karena dianggap jinah.
Kekerasan terhadap wanita seringkali tidak dianggap sebagai
masalah besar karena beberapa alasan: pertama, ketiadaan data
statistik yang akurat; kedua, ada anggapan bahwa kekerasan tersebut
adalah masalah “tempat tidur” yang sangat pribadi dan berkaitan
dengan kesucian rumah; ketiga, berkaitan dengan keterkaitan dengan
budaya (cultural sovereignity) seperti telah diuraikan di atas; dan
65
keempat karena ketakutan terhadap suami. Seringkali faktor-faktor
tersebut terpadu satu sama lain.
Sejumlah kalangan berpendapat bahwa tindak kekerasan
terhadap wanita seringkali berkaitan pula dengan instabilitas di rumah
dan di masyarakat. Hal ini nampak dari tiga kategori sebagai berikut;
Pertama, kondisi kemiskinan cenderung mendorong perilaku agresif
dan sasarannya hampir selalu diarahkan kepada kelompok yang
lemah, yakni wanita dan anak-anak. Kedua, dalam masyarakat yang
penuh instabilitas, budaya kekerasan akan mudah berkembang.
Ketiga, dalam masyarakat yang bergolak kekerasan merupakan bagian
senjata yang digunakan untuk perang.
Kondisi-kondisi seperti di atas menggambarkan bahwa isu
kekerasan terhadap wanita bergeser, yang semula lebih bersifat
individual berubah menjadi isu kolektif dan politis. Namun demikian,
dari segi pandangan hukum pidana, kriminologis dan viktimologis,
pendekatan yang berorientasi pada hubungan pelaku dan korban
(offender victim oriented) harus dilakukan. Dalam kerangka ini
identifikasi tentang korban kekerasan dapat dikategorikan sebagai
berikut:
(a) Korban serta merta (unrelated victim), karena nasib.
(b) Korban yang turut memprovokasi (provocative victim).
(c) Korban yang turut mendorong, tanpa harus memprovokasi
(precipitative victim).
(d) Korban yang secara fisik lemah (biologically weak victim), seperti
anak, wanita, orang cacat.
(e) Korban yang lemah secara sosial (socially weak victim), misalnya
kelompok imigran, minoritas.
(f) Korban politis
(g) Korban laten, yakni mereka yang mempunyai karakter perilaku
yang selalu menjadikannya korban.
Dalam tipologi semacam itu tidak mustahil terjadi tanggungjawab
renteng (shared responsibility) baik yang bersifat individual maupun
sosial.
Penanggulangan
Dari uraian di atas nampak bahwa permasalahan kekerasan
terhadap wanita merupakan masalah interdisipliner, baik politis, sosial
budaya, ekonomis maupun aspek-aspek lainnya. Atas dasar kajian66
kajian lintas disiplin, misalnya saja dapat diprediksi bahwa kekerasan
akan banyak terjadi jika; dimana ada kesenjangan ekonomis antara
laki-laki dan wanita, dominasi laki-laki dalam ekonomi keluarga dan
pengambilan keputusan yang berbasis pada laki-laki. Sebaliknya
dalam kondisi dimana perempuan mempunyai aktivitas di luar rumah,
berkembangnya perlindungan sosial, keluarga dan kawan terhadap
kekerasan, kemungkinan terjadinya kekerasan sangat dapat
diprediksi akan rendah. Dari pengalaman pelbagai negara dalam
menanggulangi tindak kekerasan terhadap wanita, pada umumnya
mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1) Peningkatan kesadaran wanita terhadap hak dan kewajibannya
di dalam hukum melalui latihan dan penyuluhan (legal training).
Pendidikan sebagai sarana pemberdayaan wanita dilakukan
dalam tema yang universal.
(2) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang betapa pentingnya
usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap wanita,
baik dalam konteks individual, sosial maupun institusional.
(3) Mengingat masalah kekerasan terhadap wanita sudah merupakan
isu global, maka perlu koordinasi antar negara untuk melakukan
kerjasama penanggulangan.
(4) Meningkatkan kesadaran para penegak hukum, agar bertindak
cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap wanita, dalam satu
spirit bahwa masalahnya telah bergeser menjadi masalah global.
(5) Peningkatan bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan
terhadap wanita.
(6) Peningkatan kesadaran masyarakat secara nasional dengan
kampanye yang sistematis didukung jaringan yang mantap.
(7) Meningkatkan peranan media massa.
(8) Perbaikan sistem peradilan pidana, dimulai dari pembaharuan
hukum yang kondusif terhadap terjadinya kekerasan.
(9) Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif untuk
penanggulangan kekerasan terhadap wanita.
(10) Secara terpadu meningkatkan program pembinaan korban dan
pelaku. n
67
Penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan
HAM menyatakan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of
International Criminal Court (ICC), Pasal 6 dan Pasal 7. Dengan demikian
untuk memahami kedua jenis tindak pidana tersebut mau tidak mau
harus mengkaji dengan teliti legal spirits dari genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan, khususnya menyangkut elemen-elemen
kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam ICC. Hal ini akan
berdampak dalam pembuktian nantinya, baik yang bersentuhan
dengan hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
Mengingat dugaan kejahatan yang terjadi dalam kasus Timor
Timur hanya berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan,
maka uraian selanjutnya akan diarahkan lebih berkaitan dengan jenis
kejahatan ini. Uraian secara singkat akan dititikberatkan pada
persoalan-persoalan pembuktian, baik yang berkaitan dengan hukum
pidana materiil maupun hukum pidana formil. Sebab dalam
pembuktian, yang harus dibuktikan adalah sampai seberapa jauh
terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
(pembuktian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan
dalam undang-undang) atas dasar tata cara dan penilaian alat-alat
bukti yang ditentukan undang-undang.
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menegaskan bahwa “Dalam hal
tidak ditentukan lain dalam UU ini, hukum acara atas perkara
pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan
hukum acara pidana”. Dengan demikian apabila tidak ditentukan
lain, maka hukum acara yang berlaku adalah Kitab UU Hukum Acara
Beberapa Catatan Tentang
Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia
68
Pidana (UU No. 8 tahun 1981 beserta Peraturan Pelaksanaannya serta
perundang-undangan positif lain yang terkait). Namun demikian,
apabila KUHAP dll. dan UU No. 26 Th.2000 tidak mengatur, tidak
ada salahnya kita, atas dasar International Customary Law mengadopsi
hal-hal yang diatur dalam ICC beserta segenap aturan dan prosedur
sebagai lampirannya.
Unsur-unsur Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Secara umum unsur-unsur kejahatan ini mencakup unsur obyektif
dan unsur subyektif. Unsur obyektif (criminal act, actus reus) berupa
adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan
bersifat melawan hukum serta tidak adanya alasan pembenar. Unsur
subyektif (criminal responsibility, mens rea) meliputi unsur kesalahan
dalam arti luas, yang meliputi unsur kemampuan bertanggungjawab
dan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan
pemaaf. Khusus mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan
kejahatan HAM berat yang lain, terdapat prinsip umum bahwa unsurunsur
kejahatan terdiri atas : (a) unsur material yang berfokus pada
perbuatan (conduct), akibat (consequences) dan keadaan-keadaan
(circumstances) yang menyertai perbuatan; (b) unsur mental yang
relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge)
atau keduanya. Ada kesengajaan apabila sehubungan dengan
perbuatan tersebut si pelaku berniat untuk melakukan/turut serta
melakukan perbuatan tersebut, dan berkaitan dengan akibat si pelaku
berniat untuk menimbulkan akibat tersebut secara sadar bahwa pada
umumnya akibat akan terjadi dalam kaitannya dengan perbuatan
tersebut. Sedangkan “pengetahuan” diartikan sebagai kesadaran
bahwa suatu keadaan terjadi, atau akibat pada umumnya akan timbul
sebagai akibat kejadian tersebut. Tahu dan mengetahui harus
ditafsirkan dalam kerangka tersebut. (Dalam hukum pidana kita
secara doktriner dirumuskan sebagai unsur “menghendaki” dan
“mengetahui”).
Yang harus mendapat perhatian khusus dalam setiap kejahatan
terhadap kemanusiaan (dalam UU No. 26 Th. 2000 terdapat 10 jenis
tindak pidana, ICC 11 jenis), adalah dua elemen terakhir yang harus
ada dan harus dibuktikan dari setiap kejahatan terhadap kemanusiaan
yang manggambarkan konteks dalam hal mana perbuatan terjadi.
Dua elemen tersebut adalah (a) perbuatan tersebut dilakukan sebagai
69
bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) atau sistematik
(systematic) dan ditujukan pada penduduk sipil; dan (b) keharusan
adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan
merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian
serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil.
Hal lain yang harus dicermati adalah bahwa telah ditegaskan
adanya eliminasi secara tegas hubungan antara kejahatan terhadap
kemanusiaan dengan konflik bersenjata (armed conflict), karena dalam
hukum kebiasaan internasional kejahatan kemanusiaan dapat juga
terjadi di masa damai. Hal ini dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB
pada saat merumuskan Statuta Tribunal Internasional untuk Rwanda
(ICTR) dan selanjutnya diakui pula oleh Majelis Banding dari
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) dalam kasus
Tadic.
Perkembangan ini dilembagakan oleh Statuta Roma 1987 Art. 7
yang diawali dengan paragraph yang menyatakan: ”For the purpose of
this Statute, “crimes against humanity” means any of the following act
when committed as part of a widespread or systematic attack directed against
any civilian population, with the knowledge of the attack”.
Pengertian “attack” tersurat dan tersirat pada Art. 7.2.a. yang
menyatakan bahwa “the term of attack is defined as a course of conduct
involving the multiple commission of acts referred to in paragraph 1 against
any civilian population, pursuant to or in furtherance of a State or
organizational policy to commit such attack”. Dengan demikian secara
implisit dapat disimpulkan bahwa serangan tersebut tidak
memerlukan karakter sebagai suatu serangan militer. Selanjutnya dari
kata ‘organizational policy’ dapat disimpulkan bahwa kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh
“aktor non negara”. Demikian pula mengenai korban, sekalipun ada
istilah meluas atau sistematik, korbannya bisa hanya satu dan tidak
harus lebih dari satu, asalkan syarat lain dipenuhi. Mengenai ‘policy
to commit such attack’, harus dipahami bahwa negara atau organisasi
aktif mempromosikan dan mendorong serangan terhadap penduduk
sipil tersebut.
Selanjutnya adanya persyaratan bagi pelaku yang harus memiliki
“pengetahuan tentang penyerangan”, harus diartikan sebagai
kesengajaan khusus (specific intent). Misalnya seseorang yang turut
serta melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa
70
pembunuhan, tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan
bagian dari suatu serangan yang meluas atau sistematis terhadap
penduduk sipil, tetap dapat dinyatakan salah telah melakukan
pembunuhan tetapi tidak dalam kerangka kejahatan terhadap
kemanusiaan melainkan merupakan kejahatan biasa (ordinary crime)
sebagaimana diatur dalam Pasal 338 dan 340 KUHP.
Perlu pula diingat bahwa untuk dapat dipidana karena melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak disyaratkan bahwa si pelaku
telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian
pasti dari perencanaan atau dari negara atau organisasi tersebut.
Persyaratan yang berkaitan dengan alasan/sebab kejahatan,
sekalipun tidak tercantum dalam definisi kejahatan terhadap
kemanusiaan, hal ini tetap relevan sebagai indikator kesalahan, di
samping untuk menentukan sanksi pidana yang tepat atau
proporsional. Contohnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan
berupa penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan, dicantumkan motif berupa perbedaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional.
Tanggungjawab Individual dan Umum
Sesuai dengan kerangka teoritik tentang penyertaan tindak
pidana, maka tanggungjawab individual tidak hanya menyangkut
pelaku yang secara langsung melakukan kejahatan, tetapi berlaku
juga bagi setiap orang yang secara tidak langsung berpartisipasi dalam
perencanaan persiapan atau pelaksanaan kejahatan. Pasal 55 dan 56
KUHP mengenal istilah “pelaku”, “menyuruhlakukan”, “turut serta
melakukan”, “penganjuran” dan “pembantuan”. Hal ini sejalan
dengan hukum kebiasaan internasional. Persyaratan yang berkaitan
dengan ‘actus reus’ adalah bahwa partisipasi tersebut haruslah bersifat
langsung dan mengandung efek substansial. Selanjutnya persyaratan
yang berkaitan dengan ‘mens rea’ adalah “there must be awareness of
the act of participation coupled with a conscious decision to participate by
planning, instigating, ordering, committing or otherwise aiding and abetting
in the commission of a crime”.
Sepanjang mengenai “command and superior responsibility”, bisa
dalam bentuk perbuatan positif (direct command responsibility) atau
71
dalam bentuk ‘culpable omissions’. Dengan demikian atasan dapat
dimintai pertanggungjawaban tidak hanya karena telah
memerintahkan, menganjurkan atau merencanakan tindak pidana
yang dilakukan bawahan, tetapi juga apabila atasan tersebut gagal
mengambil tindakan untuk mencegah atau menghentikan perbuatan
yang melawan hukum yang dilakukan bawahan. Seorang komandan
militer dianggap berpartisipasi atau menganjurkan kejahatan apabila
tidak mengambil tindakan terhadap bawahan yang melakukan
kejahatan, atau membiarkan bawahannya melakukan kejahatan. Tiga
persyaratan yang harus terbukti adalah; (a) adanya hubungan atasan
bawahan baik langsung atau tak langsung, baik de jure maupun de
facto; (b) atasan tahu atau seharusnya beralasan untuk mengetahui
bahwa tindak pidana sedang dilakukan atau telah dilakukan dan; (c)
atasan gagal mengambil tindakan yang perlu dan beralasan untuk
mencegah tindak pidana atau menghukum si pelaku (lihat Ps 42 UU
No. 26 Th. 2000).
Perlindungan
Perlindungan terhadap korban dan saksi, sekalipun sudah diatur
dalam Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000, tetapi pengaturannya tidak
tuntas dan diserahkan lebih lanjut kepada Peraturan Pemerintah. Di
dalam Statuta Roma 1998 dimungkinkan adanya penyimpangan dari
asas terbuka untuk umum demi kepentingan saksi dan korban atau
untuk melindungi informasi konfidensial atau sensitif yang diajukan
sebagai alat bukti dalam bentuk kamera (audio visual dan sejenisnya
yang berhubungan teknologi) atau mengijinkan ‘the presentation of
evidence by electronic or other special means’ (recorded audio or video
testimony of witness). Dalam hal ini sidang juga dapat dinyatakan
tertutup.
Sesuai dengan stelsel pembuktian berdasarkan undang-undang
yang bersifat negatif yang kita anut, maka atas dasar Pasal 183
KUHAP ditentukan bahwa kesalahan terbukti dengan sekurangkurangnya
dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh keyakinan
bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang melakukannya. Hal ini secara konsisten juga dianut oleh ICC,
sekalipun di dalamnya dimasukkan lembaga Common Law berupa
lembaga ‘guilty plea’, tetapi tidak diartikan sebagai ganti berupa
komitmen dari jaksa untuk tidak mempidana berat dan bentuk
72
dakwaan. Dalam pengertian Continental Law hal ini harus dipandang
dengan hati-hati dan curiga, sebab yang dicari adalah kebenaran
materiil. Kesalahan atau tidak harus didasarkan pada alat bukti
minimum yang cukup (menurut Ps.184 ayat (1) KUHAP, keterangan
terdakwa baru merupakan salah satu alat bukti). Dalam hal ini berlaku
prinsip yang disebut ‘beyond reasonable doubt’.
Beberapa prinsip ICC lain yang perlu diperhatikan dalam
pengadilan HAM sebagai hukum kebiasaan atau hukum konvensi
internasional adalah:
• Tidak dikenal peradilan ‘in absentia’ kecuali terdakwa mengacaukan
jalannya persidangan (dalam hal ini dapat digunakan teknologi
komunikasi jika dipandang perlu);
• Hak-hak terdakwa, saksi dan korban harus dilindungi dan
dihormati;
• Memberikan perlindungan informasi yang bersifat peka dan
rahasia, contohnya untuk keamanan nasional;
• Pembuktian terbalik tidak diperbolehkan;
• Larangan permaksaan untuk memberikan kesaksian yang
memberatkan dirinya , untuk diam (right to silence) atau mengaku
bersalah.;
• Sepanjang relevan dan diperlukan, atas dasar prinsip kepercayaan,
maka tidak ada larangan untuk menyampaikan ‘hearsay or indirect
evidence’;
• Apabila terdakwa nekad tidak mau didampingi pengacara (a
stubborn defendant) maka pengadilan dapat menunjuk seorang
‘amicus curiae’ (friend of the court) untuk menjamin bahwa keadilan
akan ditegakkan, dengan cara menyampaikan hasil observasi baik
tertulis atau lisan.
• Dimungkinkan demi efektivitas atau kepentingan korban, korban
dapat menunjuk legal representatives yang wajib hadir dan
berpartisipasi dalam persidangan.
• Larangan ‘self incrimination by a witness’. n
73
Pendahuluan
Asas legalitas tumbuh menjadi asas fundamental hukum pidana
di sebagian besar sistem peradilan pidana di dunia dimulai pada akhir
tahun 1800-an sebagai akibat perubahan pemikiran politik di Eropa
dan filsafat hukum yang berkembang pada abad pencerahan. Asas
tersebut terdiri atas : (1) nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa
undang-undang); (2) nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undangundang);
dan (3) nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa
kejahatan). Asas ini mencakup pula asas derivatif seperti ‘nullum
crimen sine lege praevia’ (tiada kejahatan tanpa undang-undang
sebelumnya) dan ‘nullum crimen sine poena legali’ (tiada kejahatan
tanpa pidana). Asas lain yang terkait di sini adalah larangan untuk
menerapkan ‘ex post facto criminal law’ dan kaitannya dengan
pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (non retroactive
application of criminal laws and criminal sanctions). (Bassiouni, 1992)
Sekalipun asas legalitas berkaitan dengan pembatas legislatif
(legislative constraint), hal tersebut menyentuh pula aturan tentang
penafsiran yudisial, yakni larangan atau pembatasan penggunaan
analogi. Dalam pelbagai kesempatan para sarjana hukum menegaskan
pula berlakunya asas ‘lex-certa’, bahwa undang-undang harus
dirumuskan sejelas dan setajam mungkin serta harus dapat dipercaya.
Dalam hal ini terkait dua fungsi sekaligus; yakni fungsi melindungi
(maksudnya melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan yang
tanpa batas), dan fungsi instrumental (dalam batas-batas yang
ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah
tegas-tegas diperbolehkan). (Schaffmeister dkk, 1995)
Asas Legalitas dan
Pengadilan Hak Asasi Manusia
74
Secara keseluruhan tujuan dari asas legalitas adalah: (1)
memperkuat kepastian hukum; (2) menciptakan keadilan dan
kejujuran bagi terdakwa; (3) mengefektifkan fungsi pencegahan
(deterrent funtion) dari sanksi pidana; (4) mencegah penyalahgunaan
kekuasaan; dan (5) memperkokoh penerapan rule of law.
Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional
Penerapan asas legalitas memiliki variasi yang beragam antar
satu negara dengan negara lainnya, tergantung apakah sistem
pemerintahan yang berlaku di negara bersangkutan bersifat
demokratis atau tiranis. Variasi juga tergantung pada keluarga hukum
yang dianut. Sistem Eropa Kontinental cenderung menerapkan asaas
legalitas lebih kaku daripada penerapannya di negara-negara yang
menganut sistem Common Law , karena di negara-negara Eropa
Kontinental asas legalitas menjadi alat untuk membatasi kekuasaan
negara. Di pelbagai negara, berkembang ragam diskresi peradilan
yang memungkinkan analogi untuk tindak pidana ringan bagi pelaku
remaja, ekstradisi sehubungan dengan asas “double criminality” dan
diskresi dalam penerapan pidana yang berorientasi pada pelaku dan
pidana alternatif.
Di negara-negara yang menggunakan sistem Common Law asas
legalitas tidak begitu menonjol, karena prinsip-prinsip rule of law telah
tercapai dengan berkembangnya konsep due process of law yang
didukung oleh hukum acara yang baik (bahkan sudah dimulai pada
tahun 1215 dengan dirumuskannya Magna Carta). Dalam hal ini,
analogi tidak hanya diijinkan tetapi bahkan menjadi basis
pembaharuan Common Law. Amerika Serikat lebih ketat dalam
membatasi analogi dan berlakunya asas retroaktif hanya dalam
hukum acara, khususnya hukum pembuktian.
Uni Soviet (Sosialisme Marxist) sebelum tahun 1976 menerapkan
apa yang disebut “socialist justice” yang menolak asas legalitas,
khususnya untuk tindak-tindak pidana yang dikategorikan “socially
dangerous”. Tetapi sejak 1976 negara ini sudah mulai menyesuaikan
diri dengan negara-negara Eropa Barat. Walaupun sudah menjadi
prinsip hukum yang berlaku umum, di negara-negara Asia dan Afrika
yang tidak dijajah oleh negara-negara Eropa Barat, dalam praktek
asas legalitas tersebut masih banyak disimpangi.
75
Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Internasional
Hukum internasional di samping berasal dari produk kebiasaankebiasaan
yang sering dipraktekkan oleh negara-negara, juga berasal
dari apa yang dinamakan certain basic national principles, kaidah-kaidah
dasar yang masuk kategori “asas-asas umum” (general principles).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan asas legalitas
tidak sama ketatnya antara hukum nasional dan hukum internasional
mengingat kekhasan masing-masing negara. Yang menonjol dari
hukum internasional adalah proses kriminalisasi yang terjadi jauh
dari kebijakan dan standar legislatif. Hukum pidana internasional
lebih bersifat konvensional, biasanya dalam bentuk ratusan instrumen
yang dibangun oleh organisasi-organisasi internasional yang pada
kenyataannya tidak luput dan bahkan banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan politik. Lebih dari itu, dalam praktek
seringkali tanpa disertai dengan teknik perancangan yang konsisten,
sehingga dapat berakibat tidak memenuhi standar legalitas. Para
perancang pada umumnya terdiri dari diplomat-diplomat yang
seringkali bukan ahli hukum pidana internasional dan hukum pidana
perbandingan. Penting untuk diperhatikan bahwa produk formulasi
norma-norma yang dihasilkannya tidak langsung diarahkan untuk
diterapkan pada individu-individu melalui pengadilan pidana
internasional. Dengan demikian norma-norma tersebut lebih
merupakan rangkaian kewajiban bagi negara-negara untuk
menggunakannya sebagai bahan pembaharuan hukum pidana nasional
di masing-masing negara.
Perumusan kejahatan internasional biasanya dilukiskan dengan
sangat umum dan luas dan acap melupakan elemen-elemen tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana sebagaimana tercantum
dalam bagian umum hukum pidana nasional. Seringkali juga dijumpai
bahwa hukum pidana internasional tidak mengatur sanksi pidana.
Oleh karenanya, praktek hukum kebiasaan internasional tidak
memasukkan asas nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undangundang).
Disini nampak adanya artikulasi dari asas nullum crimen
sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang) menjadi nullum
crimen sine iure (tiada kejahatan tanpa hukum) yang menjadi inti asas
legalitas dalam hukum pidana internasional, seperti nampak dalam
banyak konvensi-konvensi hukum pidana internasional. Dalam
konteks ini, dimungkinkan penggunaan analogi dipertautkan dengan
76
hukum nasional negara yang terkait. Asas larangan berlaku surut
juga diakui dalam hukum pidana internasional sebagai hasil interaksi
antara traktat dan praktek diplomatik serta yudisial. Khusus mengenai
kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang banyak berkaitan dengan
pelanggaran HAM dianggap tidak melanggar standar asas legalitas
di dalam hukum pidana international, sebab kejahatan tersebut
semata-mata merupakan perluasan yuridiksi dari kejahatan perang,
dan hukum international melarang perbuatan tersebut. Apa yang
dilakukan oleh International Military Tribunal di Nuremberg tidak akan
menimbulkan preseden karena hal tersebut tidak menciptakan hukum
baru, tetapi semata-mata menerapkan hukum yang sudah ada di
dalam Kesepakatan Internasional tentang kejahatan perang.
Argumen lain yang akan muncul adalah bahwa asas nullum
crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang) tidak
merupakan batasan kedaulatan, tetapi harus dipandang sebagai
“prinsip keadilan” yang harus ditegakkan. Sebab, adalah tidak adil
apabila orang yang nyata-nyata bersalah dibiarkan bebas (impunity).
Dalam hukum pidana internasional, sejak 1946 perkembangan
asas legalitas terjadi melalui pelbagai instrumen dan bahkan dapat
dikatakan telah memperoleh pengakuan independen. Hal ini nampak
dari pelbagai instrumen sebagai berikut:
a. Artikel II, para 2 Deklarasi HAM PBB (1948) : “Seseorang tidak
dapat dituduh bersalah dengan kesalahan pidana atas dasar
tindakan atau kelalaian yang tidak termasuk kejahatan pidana,
baik di bawah hukum nasional maupun internasional, pada saat
dilakukan. Hukuman yang lebih berat juga tidak bisa dijatuhkan
dibanding hukuman yang yang bisa diterapkan pada saat
kejahatan pidana dilakukan”.
b. Artikel 15, Kovenan Inetrnasional tentang Hak-hak Politik dan
Sipil: (1) Seseorang tidak dapat dituduh bersalah dengan
kesalahan tindak pidana atas dasar tindakan atau kelalaian yang
tidak termasuk kejahatan pidana, baik di bawah hukum nasional
maupun internasional, pada saat dilakukan. (2) Tidak ada dalam
artikel ini yang menganggap adanya pengendalian dan hukuman
bagi seseorang karena sebuah tindakan mapun kelalaian yang,
pada waktu hal tersebut dilakukan, merupakan kejahatan
menurut asas hukum umum yang diakui oleh komunitas sebuah
negara.
77
c. Artikel 99 dari Konvensi Jenewa Ketiga, 12 Agustus 1949:
“Seorang tawanan perang tidak boleh diadili atau dipidana karena
perbuatan yang tidak dilarang oleh hukum atau oleh hukum
internasional yang berlaku pada saat tindakan tersebut
dilakukan”. Demikian pula yang tercantum dalam Article 2 ©
Protocol additional to Geneve Convention 1945 (Protocol I) dan Article
6 © Protocol II.
(Kedua yang terakhir juga melarang penggunaan hukum secara ex
post facto atau pemberlakuan hukum surut).
Sejak pengadilan Nuremberg dan Tokyo, beberapa negara telah
mengatur secara nasional untuk mengadili kasus-kasus kejahatan
terhadap kemanusiaan. Israel menuntut Adolf Eichmann pada tahun
1960, Perancis mengadili Klaus Barbie pada tahun 1988, Kanada
mengadili Imre Finta pada tahun 1989. Dalam hal ini para ahli ada
yang menolak terhadap praktek pemberlakukan hukum secara surut
dalam mengadili kasus-kasus tadi. Argumen untuk menolak kritik
tersebut adalah bahwa tidak ada hukum kejahatan baru; yang
diterapkan adalah hukum pidana yang terdapat dalam hukum
internasional. Disebutkan: “it has not violated any prohibition against
the ex post facto application of criminal laws which may exist in international
law”. (Bassiouni, 1992). n
78
Istilah etika keilmuan mengantarkan kita untuk melakukan
kontemplasi mengenai hakekat, proses pembentukan, lembaga yang
memproduksi ilmu, lingkungan yang kondusif dalam pengembangan
ilmu, serta moralitas dalam memperoleh dan mendayagunakan ilmu
tersebut. Semuanya harus dicermati mengingat fenomena global
bahwa perkembangan dunia serta perubahan sosial yang cepat
sebenarnya merupakan akibat perkembangan pengetahuan, dan
setiap bangsa dan negara, baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif
(transnasional) sadar betul bahwa keunggulan komparasi dan
keunggulan kompetitif hanya dapat dicapai dengan bantuan dan
penguasaan pengetahuan (knowledge based development), baik
pengetahuan alam (natural science) maupun pengetahuan sosial (social
science). Ilmu harus dilihat sebagai cabang pengetahuan yang
mendasarkan pada logika tentang apa yang benar dan salah. Cabang
pengetahuan yang lain mencakup pengetahuan tentang baik dan
buruk (etika) dan pengetahuan tentang indah dan jelek (estetika).
Dengan demikian istilah etika keilmuan sekaligus merupakan
kombinasi antara dua kategori pengetahuan yaitu ilmu yang berbasis
pada logika, ilmu yang berbasis pada etika atau moralitas yang
mempersoalkan baik atau buruk.
Sejak lama disadari bahwa keberadaan Perguruan Tinggi dan
lembaga-lembaga riset, menempati kedudukan yang strategis untuk
bertindak sebagai produsen ilmu. Namun demikian, dalam
prakteknya, karena kompleksitas ilmu dan keilmuan menyebabkan
bidang ini tidak hanya bersentuhan dengan lembaga-lembaga
pendidikan tinggi dengan segala kedaulatan yang dimilikinya,
Perspektif Hak Asasi Manusia
Tentang Ilmu dan Etika Keilmuan
79
masyarakat akademis, kebebasan akademik (academic freedom) dan
budaya akademik, tetapi juga menyentuh bidang-bidang lain yang
lebih luas. Era reformasi menyadarkan kepada kita bahwa masalah
keilmuan, dengan segala kompleksitasnya itu, akan bersentuhan
secara langsung dan tidak langsung dengan bangunan yang besar,
yaitu nilai–nilai dasar atau indeks demokrasi.
Sejak bergulirnya gerakan reformasi di Indonesia di penghujung
tahun 1988, seluruh elemen bangsa Indonesia, baik individual maupun
kolektif, berusaha mengkaitkan diri atau kelompoknya — dalam arti
introspeksi — dengan mulai mempertanyakan apakah reformasi perlu
pula dilakukan di lingkungannya, mengingat reformasi mengandung
nuansa multi dimensional, seiring dengan reaksinya terhadap
kompleksitas krisis yang melanda bangsa Indonesia. Namun
demikian perlu disepakati terlebih dahulu makna reformasi itu
sendiri. Reformasi pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari
seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk mengaktualisasikan
kembali indeks atau nilai-nilai dasar demokrasi yang telah mengalami
distorsi yang berat pada era Orde Baru dengan diterapkannya ideologi
pembangunan. (Muladi, 1977).
Indeks demokrasi tersebut sekalipun cukup banyak, namun pada
dasarnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori elemen sebagai
berikut: 1). Keberadaan sistem pemilihan umum yang jujur dan adil;
2). Adanya pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif;
3). Adanya kemauan dan langkah politik untuk selalu melakukan
promosi dan perlindungan HAM, khususnya hak-hak sipil dan politik;
4). Adanya masyarakat demokratik yang terrefleksi dalam sikap
percaya diri, antara lain dalam bentuk pelbagai assosiasi masyarakat
madani (Beetham, 1999)
Elemen butir 2, 3 dan 4 terkait secara fundamental dengan topik
pembicaraan tentang etika keilmuan, karena akan terbukti bahwa
etika keilmuan tidak dapat dilepaskan dari hakekat ilmu sendiri yang
pada dasarnya merupakan bangunan terorganisasi tentang
pengetahuan (the organized body of knowledge), yang seharusnya
mencakup pula perilaku dan metoda yang membentuk ilmu
pengetahuan tersebut. Pengalaman di pelbagai negara yang pernah
mengalami pemerintahan yang otoriter membuktikan, bahwa
perkembangan ilmu dan keilmuan tidak mungkin bisa terbentuk dan
tumbuh dengan baik bilamana kehidupan politik tidak kondusif,
80
kebebasan akademik ditekan, kultur akademik yang mendambakan
kebenaran terancam.
Kaitan ilmu/keilmuan, kebebasan akademik dan kultur akademik
dengan HAM tidak dapat dihindari dan bahkan memperoleh
pengakuan universal. Karena, ilmu pada akhirnya harus diekspresikan
dan diinformasikan untuk kemaslahatan manusia. Terkait di sini apa
yang dinamakan “kebebasan untuk berekspresi” atau “menyatakan
pendapat” yang diatur di dalam Deklarasi HAM PBB tahun 1948
dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966)
Pasal 19, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan
memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa
memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun
tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut
pilihannya.
Selanjutnya di dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966) Pasal 15 ditegaskan bahwa, para
negara peserta perjanjian (state parties) harus mengakui hak setiap
orang untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu dan
penerapannya serta memperoleh manfaat perlindungan atas
kepentingan moral dan material yang terdapat pada segala karya
ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya, termasuk langkahlangkah
yang diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan
menyebarkan ilmu dan kebudayaan. Yang tak kalah pentingnya
adalah adanya janji untuk menghormati kebebasan yang mutlak yang
diperlukan untuk peneliti ilmiah dan kegiatan yang kreatif untuk
menghindarkan praktek-praktek diskriminasi yang dapat merusak
hakekat pendidikan. Pada tahun 1960 telah dirumuskan konvensi
melawan diskriminasi dalam pendidikan.
Sebenarnya masih dapat disebutkan instrumen-instrumen HAM
— baik nasional maupun internasional — yang memberikan
perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan proses untuk
membentuk ilmu tersebut, seperti “Deklarasi Wina” (Program Aksi)
tentang HAM, yang dirumuskan dalam “Konferensi Dunia tentang
HAM” tahun 1993, dan sebagainya. Yang selalu harus diingat dalam
hal ini adalah pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat akademis
sebagai konsumen sekaligus produsen dan disseminator ilmu, sangat
rentan terhadap pelbagai tekanan politik maupun ekonomi.
Pada Era Orde Baru, sebagai insan Perguruan Tinggi kita tidak
81
pernah bisa lupa terhadap pelbagai restriksi terhadap aktivitas
akademik dan kebebasan berekspresi, seperti keharusan untuk
memperoleh ijin riset yang berbelit-belit baik dari lingkungan
Perguruan Tinggi maupun dari Direktorat Sospol jajaran Depdagri,
keharusan untuk memperoleh ijin dari Polri baik daerah maupun
pusat apabila akan menyelenggarakan seminar atau konferensi. Istilah
“blacklist” dari aparat militer dan intelijen sangat populer saat itu.
Sensor preventif dari rektor terhadap topik-topik tertentu yang akan
diangkat dalam seminar sangat lazim dilakukan, bahkan seringkali
berujung pada penundaan atau pembatalan. Interogasi, intimidasi
yang bersifat ekstra yudisial sering terjadi, apalagi bila menyangkut
pembicara asing. Di era demokrasi, pembatasan-pembatasan tersebut
tidak selayaknya lagi dilakukan, sebab bukan tanpa alasan hukum
jika tindakan demikian dianggap sebagai “kejahatan yang dilakukan
oleh penguasa”. (baca: “Academic Freedom in Indonesia, Dismantling
Soeharto-Era Barriers” dalam Human Right Watch 1998).
Khusus mengenai indeks demokrasi berupa keberadaan
“masyarakat yang penuh percaya diri”, sebagian tercermin dalam
bentuk assosiasi-assosiasi, seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia),
PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia), dan sebagainya, bisa
saja beberapa jenis assosiasi tersebut akan berperan tidak saja menjaga
standardisasi kualitas ilmu, tetapi juga sebagai kompetitor bagi
lembaga-lembaga pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di
bidangnya masing-masing, baik secara konseptual maupun praktis.
Dalam kerangka “kebebasan akademik” dikenal pula istilah “hak
kebebasan berserikat” (the right to freedom association).
Sesuai dengan hakekat ilmu yang berbasis logika untuk
menyatakan benar atau salah, sudah seharusnya “bahasa ilmu” tidak
perlu dibebani dengan segala bentuk tata krama pengucapan
(euphemisme) yang sama sekali tidak ada relevansinya. Watak ilmu
harus berburu “kebenaran” dan menentang “pembenaran” yang tidak
didukung oleh logika yang rasional. Inilah yang dinamakan kejujuran
ilmiah (academic honesty), sekalipun seseorang ilmuwan yang
profesional misalnya saja bekerja pada suatu lingkungan korporasi
atau pemerintah (organic intellectual), dan bukan sebagai ilmuwan
murni (traditional intellectual). Seorang ilmuwan yang beneran harus
siap berdiri diantara kesepian (loneliness) dan keberpihakan
(alignment).
82
Selanjutnya ilmuwan acap pula digambarkan sebagai sosok yang
tidak memiliki kantor untuk berlindung atau teritori untuk melakukan
konsolidasi. Dalam kehidupan modern ilmuwan tidak lagi dipandang
semata-mata hidup di menara gading yang bertugas hanya untuk
pengembangan ilmu atau sering disebut “ilmuwan kutu buku” yang
hanya mau terikat dengan literatur (closed literature scientist), tetapi
juga harus berperan pula sebagai agen perubahan sosial. Dalam hal
terakhir ini, yang membedakan antara kebenaran dan pembenaran
adalah kemampuan untuk memberikan alternatif-alternatif
pemecahan, bukan satu pemecahan yang bersifat mutlak, seolah-olah
paling benar. Sebab, yang demikian itu bertentangan dengan hakekat
ilmu yang watak dasarnya dinamis dan anti “status quo”. Dalam hal
ini patut dikutip pernyataan dari salah seorang pemenang Hadiah
Nobel untuk DNA, Francis Crick, yang menyatakan bahwa sopan
santun (politeness) merupakan racun (poison) bagi semua kerjasama
yang baik di bidang ilmu. Jiwa kerjasama adalah kejujuran dan
keterusterangan (candor), dan bila perlu kasar (rudeness). Di dalam
ilmu, kritik merupakan pertanda tingginya ukuran persahabatan.
Di dalam Dekralasi Lima tentang Kebebasan Akademik dan
Otonomi Lembaga Pendidikan Tinggi yang dirumuskan dan diterima
dalam Sidang Umum ke 68 “World University Service” pada tahun
1988, di samping memuat penjelasan pelbagai kebebasan dan hak
dari Pendidikan Tinggi, secara tersurat dan tersirat tercantum
pelbagai prakondisi yang diperlukan bagi keberadaan etika keilmuan,
seperti: perkembangan paripurna kepribadian manusia, harga diri,
penghormatan terhadap HAM, kebebasan asasi dan perdamaian,
semangat toleransi, anti-diskriminasi, perlindungan lingkungan,
instrumen perubahan sosial yang positif, kebebasan berpikir,
berkontemplasi, beragama, berekspresi, berkumpul dan berserikat,
hak atas kebebasan dan keamanan seseorang dan kebebasan bergerak,
akses pada komunitas akademis, hak untuk mengadakan kerja
penelitian tanpa campur tangan, mengikuti prinsip-prinsip universal
dan metode penelitian saintifik, hak mengkomunikasikan hasil
penelitian secara bebas dan mempublikasikannya tanpa sensor,
kebebasan untuk berhubungan dengan koleganya di belahan dunia
manapun, merespon masyarakat kontemporer, menjalankan
pelaksanaan HAM masyarakat, berusaha untuk mencegah
penyalahgunaan sains dan teknologi, memberikan solidaritas bagi
83
institusi lain dan anggota komunitas akdemis, partnership yang setara
dalam mencari dan menggunakan pengetahuan, mendorong
korporasi akademis dan tingkat otonomi institusi yang tinggi.
Uraian di atas sekali lagi menggambarkan bahwa etika keilmuan
penuh dengan nuansa “hak” dan “tugas”. Suatu lembaga yang
bernama “Inter Action Council” yang anggota-anggotanya secara
selektif terdiri dari mantan-mantan Presiden dan Kepala Pemerintahan
(mantan Presiden BJ. Habibie, termasuk di dalamnya) telah
merumuskan sebuah draft, “the Draft Universal Declaration of Human
Responsibilities”, sebagai pasangan dari UN Declaration of Human
Right. Di dalam pasal 13 dinyatakan bahwa:
“Tidak satupun politisi, pegawai negri, pimpinan bisnis, saintis, penulis
atau seniman dikecualikan dari standar etika umum. Begitu juga dengan
ahli fisika, pengacara dan profesional lain yang memiliki tugas khusus
bagi klien. Profesional dan kode etik lain harus mencerminkan prioritas
standar umum seperti standar kebenaran dan keadilan.”
Sejalan dengan itu, ketentuan tentang “kebebasan menyatakan
pendapat” sebagaimana telah diuraikan di atas, mengandung pula
batasan-batasan dan moralitas untuk selalu menghormati hak-hak
dan reputasi orang-orang lain serta perlindungan terhadap keamanan
nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan umum dan kesusilaan.
Di dalam seminar di Lund disinggung batasan-batasan seperti
larangan riset yang merusak lingkungan hidup dan membahayakan
kehidupan manusia dan riset yang menunjang terciptanya senjatasenjata
yang terlarang dan melanggar hukum. Selanjutnya di dalam
Deklarasi Lima tersebut di atas secara eksklusif diwajibkan menjaga
standar profesional dan standar ilmiah yang tertinggi. Kemudian di
dalam Deklarasi Dar es Salaam (1990) ditegaskan adanya batasanbatasan
bahwa kebebasan akademik tidak boleh melakukan
diskriminasi dan mengobarkan kebencian agama, etnik, nasionalitas
dan gender. Selanjutnya dirumuskan pula bahwa usaha-usaha
pencegahan penyalahgunaan sain dan teknologi, keharusan untuk
memecahkan masalah-masalah actual dan kontemporer, menjaga
kemampuan, integritas, semangat toleransi melalui debat dan diskusi
yang demokratis serta menjaga asas-asas dan standar etik dan profesi.
Di dalam Deklarasi Kampala (1990) juga ditegaskan betapa pentingnya
semangat kesetaraan, non diskriminasi, dan demokrasi. n
84
Diskursus tentang masalah “pertahanan” dan “keamanan”
(hankam) negara betapapun secara konseptual sulit dilepaskan dari
kajian tentang konstitusi. Lebih dari itu, hakekat “hankam” itu sendiri,
meskipun sudah menjadi istilah yang lazim digunakan, dalam arti
seperti memiliki pengertiannya yang baku, tetapi untuk benar-benar
bisa memahaminya secara lebih konseptual ia harus dimulai dengan
kajian tentang hakekat “pertahanan dan keamanan nasional” (national
defense and security). Dalam hal yang disebut terakhir ini (keamanan
nasional) sungguh bukan hal yang mudah untuk memberikan batasan
pengertian yang bersifat baku mengingat dinamika pengukuran
(security yardstick) yang begitu cepat berubah, baik secara nasional,
regional maupun global. Di lain pihak istilah pertahanan dan keamanan
nasional merupakan konsekuensi logis yang harus dikaji apabila secara
konseptual hakekat dan kondisi pertahanan dan keamanan suatu
negara sudah dirumuskan secara jelas.
Kajian terhadap konstitusi akan dapat memberikan gambaran
betapa pentingnya aspek pertahanan dan keamanan bagi suatu bangsa,
terutama bagi bangsa-bangsa tertentu yang karena sebab-sebab historis
yang dimilikinya masing-masing diwarnai perjuangan dan bahkan
konflik bersenjata, seperti Indonesia, Vietnam, Aljazair dan Amerika
Serikat. Bagi bangsa-bangsa dengan latar belakang seperti ini – atau
bangsa-bangsa pada umumnya di dunia – kewajiban warga negara
untuk menjaga dan mempertahankan keamanan nasional, lebih dari
kewajiban-kewajiban lainnya, sangat fundamental sifatnya. Contohnya
adalah Amerika Serikat. Dalam bagian pembukaan Konstitusi negara
tersebut dinyatakan bahwa salah satu dari tujuan Pemerintah Federal
Format Penyelenggaraan Negara
di Bidang Pertahanan dan Keamanan
85
yang baru adalah “menciptakan pertahanan bersama” (common defence).
Perlu ditegaskan di sini, bahwa penetapan tujuan tersebut mendahului
tujuan lain yang bahkan sebenarnya juga sangat penting, yaitu
“memajukan kesejahteraan umum” (general welfare). Pada saat tujuan
tersebut dirumuskan, kita yakin bahwa yang ada di balik para perumus
konstitusi tersebut adalah bayangan bahaya atau ancaman fisik dari
kekuatan-kekuatan Eropa yang bermusuhan dengan Amerika Serikat
dan masih mempunyai tempat berpijak di Amerika Utara.
Demikian pula dengan konstitusi Indonesia (UUD 1945). Dalam
bagian Pembukaan ditegaskan: “Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia….”.
Perumusan ini juga mendahului tujuan lain yang pada dasarnya juga
berkaitan dengan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Penyebutan
fungsi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia” lebih dahulu daripada “membentuk pemerintah
Indonesia”, bukanlah hal yang kebetulan. Seperti halnya di Amerika
Serikat, para pendiri Republik ini secara rasional dan emosional telah
dengan sadar menempatkan aspek yang bernuansa “keamanan
nasional” dan bahkan “keamanan bangsa-bangsa di dunia” dalam
kedudukannya yang strategis, kalau bukan paling strategis.
Seperti diketahui, aspek pertahanan dan keamanan nasional yang
secara riil dihadapi Indonesia saat itu (sebelum dan sesudah
proklamasi kemerdekaan) banyak bersentuhan dengan perjuangan
fisik baik untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, maupun
menghadapi bahaya disintegrasi bangsa sebagai wilayah kesatuan
dan persatuan RI. Jika saja fungsi “pertahanan dan keamanan” itu
diberikan tafsir berdasar konteks situasi sekarang maka hampir pasti
elemen-elemen kebijakan yang harus dihadapi akan jauh lebih
komprehensif dan luas. Perumusan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 bahwa
tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha bela
negara, adalah refleksi nuansa kejiwaan saat itu. Bela negara, bukan
saja dihayati sebagai hak, tetapi sudah merupakan kewajiban dan
bahkan kehormatan. Dengan perspektif konstitusi seperti ini maka
dapat disimpulkan bahwa soal pertahanan dan keamanan nasional,
faktor perekatnya terletak pada Pembukaan UUD 1945.
86
Faktor perekat lain yang bersifat internal tetapi juga sekaligus
universal adalah komitmen untuk melindungi dan mempromosikan
nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Tak bisa dipungkiri bahwa setiap
bentuk pengingkaran dan pelanggaran HAM, tidak saja merupakan
tragedi yang dirasakan secara individual tetapi juga merupakan atau
dapat menimbulkan derita sosial dan politik yang luas, seperti
tersemainya benih-benih konflik dan kekerasan di segala tingkatan:
lokal, nasional dan bahkan internasional. Karena itu tak dapat
diragukan kebenaran salah satu bunyi pernyataan Piagam HAM PBB,
1948, bahwa: “menghormati hak asasi dan martabat manusia adalah
landasan bagi terciptanya kebebasan, keadilan, dan kedamaian di
dunia”. Kajian terhadap Pembukaan UUD 1945 mengantarkan pada
suatu kesimpulan pasti bahwa perjuangan gigih merebut kemerdekaan
Indonesia adalah reaksi terhadap pelanggaran HAM yang berat:
penjajahan, dengan segenap kekerasan yang ada di dalamnya.
Piagam HAM PBB, 1948, yang kemudian dielaborasi ke dalam
Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966),
dengan tegas menyatakan bahwa hidup, kebebasan, dan keamanan
seseorang merupakan hak absolut yang harus dihormati bahkan
dalam kondisi darurat sekalipun. Betapa pentingnya arti keamanan
nasional juga nampak dalam pelbagai instrumen HAM internasional,
yang bahkan dalam beberapa hal digunakan sebagai syarat restriksi
dan limitasi bagai penerapan hak asasi yang lain. Hal ini antara lain
nampak dalam beberapa artikel dari kovenan internasional tentang
hak-hak sipil dan politik, yakni bahwa restriksi terhadap beberapa
hak dapat saja dilakukan dengan undang-undang atas pertimbangan
untuk melindungi keamanan nasional.
Aktualisasi analisis terhadap ancaman keamanan nasional di atas
sangat penting untuk melakukan generalisasi terhadap elemen-elemen
kebijakan pertahanan dan keamanan nasional seakurat dan
seantisipatif mungkin. Selanjutnya, untuk mengimplementasikan
kebijakan tersebut perlu dirumuskan manajemen dan organisasinya
melalui Departemen Pertahanan dan MABES POLRI yang secara
konseptual berfungsi untuk merumuskan doktrin, strategi,
rekrutmen, pelatihan, sistem penunjang apabila terjadi konflik
bersenjata dan perang, penggelaran dan pemeliharaan kekuatan,
pengadaan dan pemeliharaan materiil. Dalam banyak hal sulit untuk
melepaskan diri dari dukungan terhadap kebijakan luar negeri dan
87
kebijakan departemen lain. Selanjutnya, sebagai negara yang
menganut prinsip demokrasi, maka praktek konsultasi dan penjelasan
yang lebih persuasif kepada masyarakat luas tak dapat dihindari,
seperti media massa, kalangan LSM, parlemen, kalangan Perguruan
Tinggi, dan kelompok-kelompok sosial yang tertarik pada masalah
kajian keamanan nasional.
Untuk menentukan unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam
menentukan kebijakan pertahanan dan keamanan nasional harus
secara akurat dan komprehensif diidentifikasikan pelbagai kendala
signifikan yang secara aktual dan potensial dapat membahayakan
keamanan nasional, baik secara geografis maupun fungsional. Setelah
itu barulah dapat dikaji faktor-faktor organisasional dan manajerial
dalam rangka memformulasikan dan melaksanakan kebijakan hankam
nasional.
Indonesia, tentu tidak dapat begitu saja meniru kebijakan Amerika
Serikat yang karena kekuatan nasionalnya menerapkan wawasan
global. Mengkaji pengalaman negara adidaya itu, kita melihat bahwa
elemen-elemen kebijakan keamanan nasional yang ditempuh tidak
hanya mendasarkan diri pada kepentingan militer, tetapi juga
kepentingan politik, ekonomi, dan kepentingan-kepentingan lainnya
yang dinilai strategis. Elemen-elemen tesebut meliputi:
1. Identifikasi terhadap negara-negara yang dapat dikategorikan
sebagai “musuh utama” dalam kancah internasional, baik secara
militer maupun kemungkinan terjadinya intimidasi politik;
dengan sendirinya menggunakan standar kekuatan politik,
ekonomi dan militer.
2. Hal-hal yang dapat membahayakan kondisi ekonomi Amerika
serikat, termasuk kemungkinan gangguan terhadap penyediaan
energi dari negara lain yang bagi AS dipandang sangat strategis
bagi keamanan nasional.
3. Masalah perkembangan bahaya persenjataan nuklir di negaranegara
lain.
4. Pengembangan dan pembagian tanggungjawab dengan sekutusekutu
militer, seperti NATO.
5. Efisiensi dan efektivitas manajemen dan organisasi Departemen
Pertahanan.
6. Basis politik domestik yang kondusif untuk menunjang
perumusan dan pelaksanaan kebijakan keamanan nasional.
88
7. Strategi politik, militer dan ekonomi secara terpadu dalam
kebijakan pengendalian persenjataan.
8. Kemampuan militer.
9. Kepentingan keamanan di pelbagai wilayah di dunia, seperti di
Asia Timur, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin
10. Penemuan-penemuan baru di bidang industri strategis dan
industri persenjataan.
11. Kehandalan diplomasi internasional.
12. Kemampuan untuk mengontrol perbatasan wilayah nasional
(Amerika sampai saat ini sangat disibukkan oleh imigran-imigran
gelap dari negara-negara lain).
13. Pembinaan sumberdaya manusia secara memadai. Kebijakan
keamanan nasional mensyaratkan strategi militer yang
membutuhkan struktur militer yang harus dibiayai, dilengkapi
dan diperkuat dengan staf serta personil yang profesional.
14. Kualitas pemimpin sipil dan militer yang handal dan mempunyai
komitmen terhadap kebijakan keamanan nasional.
Dengan demikian — menggunakan rumusan Brown (1977) —
secara umum apa yang dinamakan keamanan nasional dapat diartikan:
“the ability to preserve the national physical integrity and territory; to
maintain it’s economic relations with the rest of the world on reasonable
terms; to protect its nature, institution, and governance from disruption
from out side, and to control its border”
Melihat perkembangan konseptual dan empiris, baik internal
maupun eksternal saat ini, Indonesia yang tengah berada dalam situasi
reformasi menuju masyarakat yang lebih demokratis, sungguh
memerlukan pengujian terhadap doktrin dan kebijakan
hankamnasnya selama ini sebagai langkah adaptasi menghadapi
fenomena sebagai berikut:
1. Proses globalisasi yang antara lain memunculkan fenomena “new
global players” berupa organisasi-organisasi “quasi regional” atau
“quasi supranasional” seperti NATO, WTO, IMF, Euro Union,
dan sebagainya, yang disadari atau tidak turut menentukan
kebijakan nasional suatu bangsa. Pengalaman menunjukkan bahwa
proses kematian industri-industri strategis Indonesia, antara lain
diakibatkan oleh adanya larangan lembaga donor internasional
untuk menggunakan bantuan/pinjaman finansial bagi pembiayaan
89
industri-industri tersebut. Padahal pada proporsinya yang benar
industri-industri strategis itu sangat diperlukan untuk menunjang
kebijakan keamanan nasional.
2. Munculnya gerakan-gerakan separatis dengan pelbagai latar
belakang dengan menyalahtafsirkan prinsip HAM: “hak untuk
menentukan nasib sendiri” sebagai tertera dalam kovenan
internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Padahal hak
tersebut hanya bisa diterapkan dalam konteks rakyat yng berada
di bawah dominasi asing dan sama sekali tidak dapat diterapkan
kepada bagian dari warga/rakyat suatu bangsa yang merdeka
dan berdaulat yang merupakan inti dari keutuhan bangsa.
Perkembangan internasional memang menunjukkan bahwa
implikasi dari hak tersebut dapat dipahami dalam konteks
“otonomi” dalam lingkup “domestic constitutional arrangement”.
Gerakan separatis tersebut antara lain bermula dari rasa
ketidakadilan, baik ekonomi, politik maupun yang lainnya.
3. Basis politik dalam negeri yang kurang kondusif dan diliputi
kecurigaan terhadap TNI/Polri akibat terkooptasinya kedua
institusi tersebut ke dalam sistem kekuasaan yang tidak
demokratis di masa lalu sehingga mudah dituduh misalnya terlibat
dalam kegiatan politik praktis, penyalahgunaan kekuasaan, dan
melakukan pelanggaran HAM.
4. Peralatan militer yang sudah tidak memadai, baik jumlah maupun
mutunya (penting dicermati keluhan korps marinis kepada
Presiden baru-baru ini ihwal peralatan militer tahun 1960 yang
masih digunakan).
5. Kurangnya kemampuan untuk mengawasi wilayah perbatasan
yang memang sangat luas (salah satunya karena peralatan tadi).
Banyak infiltrasi asing tak mudah dideteksi, dan ini sungguh
berbahaya terutama bagi sejumlah wilayah yang sedang bergolak,
seperti Aceh, Maluku, dan sebagainya yang rawan bagi terhadap
penyelundupan senjata dari luar.
6. Krisis ekonomi yang belum kunjung dapat dipulihkan sering
menimbulkan kerawanan sosial dan politik. Lebih dari itu juga
menimbulkan ketidakmampuan untuk meningkatkan kualitas
SDM TNI dan Polri. Lalu rendahnya tingkat kesejahteraan
cenderung mendorong mereka pada perbuatan-perbuatan tercela.
7. Proses reformasi dan reposisi di tubuh TNI/Polri yang tidak
90
tuntas seringkali dapat menimbulkan fragmentasi pemikiran dan
langkah keduanya.
8. Pemahaman terhadap hukum humaniter dan hukum hak asasi
manusia yang masih rendah, dapat dengan mudah menjebak
mereka (anggota TNI/Polri) untuk melakukan tindak
pelanggaran HAM, atau sekurangnya menimbulkan kegamangan
yang sering menimbulkan kesan tidak profesional.
9. Pengamanan yang belum memadai terhadap kekayaan sumber
daya alam, sehingga potensial mengganggu keamanan nasional.
10. Khusus mengenai Polri, kelemahan yang terasa adalah
menonjolnya fungsi authoritative intervention dan symbolic justice.
Pemahaman keduanya di segala tingkatan harus diperluas ke arah
“management of crime” yang menempatkan kedua fungsi tadi di
bawah “crime prevention”. n
91
Beberapa dekade terakhir ini, tindak pidana lingkungan hidup
semakin marak menjadi isu sosial ekonomi dan bahkan juga politik.
Tindak pidana lingkungan hidup, apabila dikaitkan dengan masalah
hak-hak asasi manusia, tidak saja merupakan persoalan negara per
negara, tetapi juga menjadi persoalan regional bahkan internasional
(antar bangsa). Hal ini nampak dari program kerja The Commission on
Crime Prevention and Criminal Justice 1992-1996 yang menyoroti secara
khusus keterkaitan antara masalah lingkungan hidup dengan sistem
peradilan pidana. Atas dasar itulah, Kongres ke 9 PBB tentang
Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku pada tanggal 29
April-8 Mei 1995 di Kairo, menjadikan masalah lingkungan hidup
sebagai salah satu agenda utama. Di dalam draft resolusi yang
diajukan, yang kemudian menjadi resolusi, sepanjang menyangkut
“perlindungan lingkungan” diajukan beberapa proposal sebagai
berikut:
(a) The right to enjoy an adequate environment and the duty to preserve
the environment should be established in all legislations at the national
level;
(b) A chapter concerning environmental offenses should be included in penal
codes;
(c) The neccesary measures should be introduced to ensure that damage to
the environment is repaired, either by the transgressors themselves or by
the State;
(d) Cooperation agreements should be established between states, including
provisions for the exchange of experiences on prevention programmes
and legislative effectiveness;
Proses Aktualisasi
Hukum Pidana Lingkungan
di Indonesia
92
(e) Subject of environmental protection should be included at all educational
level, and specifically in curriculla for the study of criminal law, and
human resources should also be developed to deal with these new problems,
by means of degree courses, post-graduate courses, seminars and any
other form of training;
(f) Not only should environment offences be established as a class of offence
in penal codes, but also, in the administrative area, offending enterprises
should be subject to financial penalties;
(g) Regarding penal sanctions themselves, the principle of subjective
culpability should be maintained.
Sehubungan dengan itu, para anggota PBB diminta untuk:
(a) To consider enacting environmental protection legislation reflecting the
importance of a healthy environment, in order to preserve and protect
the environment;
((b) To consider enacting penal provisions on the protection of the
environment and to consider the protection of endangered species and
cultural property under similar provisions;
(c) To consider the creation of special bodies in the protection of the environment,
such as special prosecutors or specialized investigative bodies,
bearing in mind the role such bodies can play in developing skills and
raising public awareness;
(d) To consider encouraging the inclusions of the role of criminal law in the
protection of the environment as a subject in curricula for the study of
criminal law and the training of law enforcement and criminal justice
personnel;
Hal di atas tidak berkelebihan, sebab hak untuk memperoleh
lingkungan hidup yang sehat merupakan salah satu hak asasi yang
diatur di dalam Universal Declaration of Human Right, 1948 (Art. 25)
jo. Art. 11 International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights
(1966). Demikian pula di dalam Paragraf 1 UN Conference on the
Environment di Stockholm th. 1972, The Optional Protocol dari
International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights, Art.
12, dan Laporan Akhir (1985) dari the World Expert Group on
Environmental Law kepada the Brundtland Commission (Art. 1 dan 2),
hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat selalu
ditegaskan. Penegasan secara global terjadi pada The UN Conference
93
on Environment and Development di Rio de Janeiro, pada tahun 1992.
Kaitan antara masalah lingkungan hidup dengan HAM secara
lebih mendalam tercantum dalam laporan akhir tentang “Human
Rights and the Environment” dari Commission on Human Rights, Ecosoc,
PBB (Doc. E/CN.4/sub.2/1994/9, 6 Juli 1994). Dalam laporan ini
ditegaskan bahwa efek lingkungan hidup terhadap HAM berkaitan
dengan: (a) Right to self-determination and permanent sovereignity over
natural resources; (b) Right to life; (c) Right to health; (d) Right to food;
(e) Right to safe and healthy working conditions; (f) Right to housing;
(g) Right to information; (h) Popular participation; (i) Freedom of association;
(j) Cultural rights.
Latar belakang legislatif lain yang dapat dikemukakan di sini adalah
apa yang tercantum di dalam Guiding Principle for Crime Prevention and
Criminal Justice in the Context of Development and a New International
Economic Order (UN, 1985) yang menegaskan bahwa: “7. In view of the
characteristics of contemporary post industrial’ society and the role played by
growing industrialization, technology and scientific progress, special protection
against criminal negligence should be ensured in matters pertaining to public
health, labour conditions, the explotation of natural resources and the environment
and the provision of goods and services to consumers”.
The Council of Europe Resolution 77 (28) juga menegaskan perlunya
kontribusi hukum pidana dalam rangka proteksi terhadap lingkungan
hidup. Demikian pula UN General Assembly Resolution No. 45/121
tahun 1990 yang menerima resolusi tentang proteksi lingkungan hidup
dengan hukum pidana yang diajukan oleh the Eighth UN Congress on
the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
Rekomendasi dari the AIDP Preparatory Colloquium on the
Application of Criminal Law to Crime Against the Environment yang
diselenggarakan di Ottawa, Kanada (2-6 Nopember 1992) menegaskan
perlunya dipertimbangkan penggunaan hukum pidana untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup.
Selanjutnya di dalam The Vienna Declaration and Programme of
Action yang dirumuskan pada World Conference on Human Rights
dinyatakan bahwa: “11. The right to development should be fulfilled so as
to meet equitably the developmental and environmental needs of present
and future generations. The World Conference on Human Rights recognizes
that illicit dumping of toxic and dangerous substances and waste potentially
constitutes a serious threat to human rights to life and health of everyone”.
94
Pada bulan Maret 1994, di Portland, Oregon, USA, telah
diselenggarakan International Meeting of Experts on Environmental
Crime. Dalam pertemuan itu dibahas tentang penggunaan sanksi
kriminal dalam kerangka perlindungan lingkungan dalam lingkup
internasional, regional dan domestik yang kemudian menghasilkan
‘The Portland Draft’.
Yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kejahatan lingkungan
dalam bentuk illegal disposal of dangerous waste di pelbagai negara sudah
menjurus ke arah kejahatan transnasional yang terorganisasi dan
secara serius hal ini dibahas dalam The World Ministerial Conference
on Organized Transnational Crimes di Napoli pada 21-23 Nopember
1994. Secara konseptual hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa
tindak pidana yang melanggar ketentuan tentang perlindungan
lingkungan merupakan salah satu kejahatan kriminal di samping 21
kejahatan yang lain. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa
kejahatan lingkungan seringkali mempunyai dampak internasional
atau transnasional. Dalam hukum internasional, unsur internasional
dalam hal ini sering berkaitan dengan kategorisasi delik lingkungan
sebagai perbuatan yang menyebabkan “indirect threat to world peace
and security, conduct affecting more than one state, conduct including or
affecting citizens of more than one state”, sehingga memerlukan metode
kerjasama antar negara untuk penanggulangannya.
Sebelumnya di Rio de Janeiro, Brazil, sejak tanggal 5 sampai 10
September 1994 telah diselenggarakan The XVth. International Congress
of Penal Law yang antara lain secara khusus membahas crimes against
environment. Dalam kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan
Pembinaan para Pelaku ke-9 sebagaimana tersebut di atas, United
Nations Interregional Crime and Justice Research Institute (UNICRI), telah
menampilkan hasil riset tentang Environmental Protection at National
and International Levels: Potentials and Limits of Criminal Justice (Case
Studies).
Sebagaimana masalah nasional, secara yuridis persoalan kejahatan
lingkungan dikategorikan sebagai tindak pidana administratif atau
tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat. Tindak
pidana ini semakin populer dengan diundangkannya UU No. 4 Th.
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Jangka waktu pemberlakuan selama 12 tahun menunjukkan
kepada bangsa Indonesia bahwa pengaturan tindak pidana
95
lingkungan hidup yang secara idiil dimaksudkan untuk dapat
melakukan rekayasa sosial, masih memerlukan penyempurnaan
ditinjau dari seluruh permasalahan pokok hukum pidana, yakni:
perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi
baik yang merupakan pidana maupun tindakan tata tertib.
Di lain pihak, usaha untuk memperbaharui kodifikasi hukum
pidana nasional (menggantikan WvS) terus dilakukan dan ada
kesepakatan dari Tim Perumus untuk memberikan muatan-muatan
hukum pidana nasional dengan elemen-elemen: (1) cita-cita nasional
sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Ideologi Bangsa; (2) kondisi
manusia, alam dan tradisi bangsa dan (3) kecenderungankecenderungan
internasional yang diakui oleh masyarakat beradab.
Mengingat konsep Rancangan KUHP tersebut sudah merupakan
draft akademis, maka sudah selayaknya apabila segala pembicaraan
tentang perencanaan peraturan pidana (termasuk aspek hukum
pidana dalam pengelolaan lingkungan) secara sistemik membahas
pula Konsep Rancangan KUHP tersebut, khususnya sepanjang
berkaitan dengan Ketentuan Umumnya yang akan berlaku tidak
hanya ke dalam tetapi juga keluar KUHP. Tentu saja perkembangan
internasional yang berkembang harus dijadikan acuan, mengingat
secara konseptual Rancangan KUHP baru yang disusun sejak lama
bisa juga ketinggalan zaman.
Secara umum pembaharuan hukum dapat dilakukan dengan 3
(tiga) pendekatan yakni (a) pendekatan global (global approach), yang
mengatur secara tersendiri materi hukum di luar kodifikasi yang ada,
dengan kemungkinan terjadinya banyak penyimpangan; (b)
Pendekatan evolusioner (evolusionary approach), dengan cara
menyempurnakan atau menambahkan pasal-pasal tertentu dalam
KUHP yang ada; (c) Pendekatan kompromis (compromise approach)
dengan menambahkan suatu Bab baru dalam kodifikasi yang ada.
Beberapa Permasalahan
(1) Perlunya penegasan secara konsisten asas-asas dasar (general
principles) yang dapat memberikan pembenaran terhadap
penggunaan hukum pidana dalam rangka perlindungan dan
pelestarian lingkungan hidup.
(2) Perlunya penegasan tentang konsep korban dalam tindak pidana
lingkungan, untuk memberikan pembenaran tentang
96
kemungkinan penjatuhan pidana yang lebih proporsional bagi
pelaku tindak pidana lingkungan. Di samping itu perlu penegasan
tentang konsep kerugian dan kerusakan (harm) sebagai akibat
tindak pidana lingkungan.
(3) Perlunya arahan tentang stelsel dan sistem sanksi tindak pidana
lingkungan, baik yang merupakan pidana (punishment) maupun
tindakan tata tertib (treatment). Dalam hal sanksi pidana, sejauh
mungkin mencakup jenis pidana (strafsoort) berat ringannya
(strafmaat) dan cara pelaksanaan (strafmodus) pidana tersebut.
(4) Sampai seberapa jauh konsep pertanggungjawaban korporasi
dalam tindak pidana lingkungan. Dalam hal ini timbul masalah
apakah korporasi mencakup pula organisasi yang tidak berbentuk
badan hukum.
(5) Usaha untuk merumuskan kembali tindak pidana lingkungan atas
dasar asas legalitas yang menuntut adanya kepastian dan kejelasan
(lex certa). Perlukah dibedakan antara generic crimes dan specific
crimes.
(6) Menegaskan kedudukan tindak pidana lingkungan dalam sistem
hukum pidana. Apakah tindakan pidana lingkungan merupakan
tindak pidana yang berdiri sendiri atau tergantung pada bidang
hukum lain.
Asas-asas Umum
Asas pertama yang menonjol adalah asas legalitas, yang di
dalamnya terkandung asas kepastian hukum dan kejelasan serta
ketajaman dalam merumuskan peraturan dalam hukum pidana,
khususnya sepanjang berkaitan dengan definition of crimes against the
environment dan sanksi yang perlu dijatuhkan agar si pelaku mentaati
normanya. Dalam hal ini terkait akurasi proses kriminalisasi dengan
segala persyaratannya. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah
adanya korban/kerugian yang jelas dan sifat enforceable dari
perumusan tersebut.
Asas yang kedua adalah asas pembangunan yang
berkesinambungan, yang diterima oleh The General Assembly PBB pada
tahun 1992 yang menegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangan
sampai mengorbankan hak generasi yang akan datang untuk
menikmati lingkungan hidup yang sehat.
Asas yang ketiga adalah asas pencegahan, yang dikemukakan
97
dalam Konperensi PBB tentang lingkungan hidup dan pembangunan
tahun 1992 di Rio de Janeiro dan kemudian diadopsi oleh Sidang
Umum PBB. Asas ini menegaskan bahwa apabila terjadi bahaya atau
ancaman terjadinya kerusakan yang serius dan irreversible, maka
kekurangsempurnaan kepastian ilmiah hendaknya jangan dijadikan
alasan untuk menunda cost effective measures dalam rangka mencegah
terjadinya degradasi lingkungan hidup.
Asas yang keempat adalah asas pengendalian yang juga
merupakan salah satu syarat kriminalisasi, yang menyatakan bahwa
sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan apabila sanksi-sanksi
perdata dan administrasi dan sarana-sarana lain ternyata tidak tepat
dan tidak efektif untuk menangani tindak-tindak pidana lingkungan
tertentu. Dalam hukum pidana, dalam hal ini dikenal asas subsidiaritas
atau “ultima ratio principle” atau asas “ultimum remedium”.
Pendayagunaan peradilan administrasi dan hukum pidana tidak
akan merupakan “ne bis in idem”, tetapi sebaiknya hal tersebut
dilakukan setelah mempertimbangkan tingkat kesalahan si pelaku
dan berat ringannya kerusakan terhadap lingkungan akibat tindak
pidana yang dilakukan. Di sinilah letak pentingnya peranan penyidik
pegawai negeri sipil (PPNS).
Konsep Korban Dalam Tindak Pidana Lingkungan
Untuk memahami konsep “korban” yang bersifat khusus ini,
pertama-tama harus dikaji makna korban sebagaimana dirumuskan
dalam Declaration on Basic Principles of Justice for Victims of Crime and
Abuse of Power, yang telah diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada
tahun 1985. Dijelaskan bahwa yang dinamakan korban (victims)
adalah: “persons who, individually or collectively, have suffered harm,
including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or
substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions
that are in violation of criminal laws operative within Member States,
including those laws proscribing criminal abuse of power.”
Pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat juga bersifat
perorangan atau kolektif, bahkan bentuknya dapat merupakan
kejahatan korporasi (corporate crimes). Sorotan terhadap kejahatan dari
aspek korban (victim oriented analysis) sangat penting sehubungan
dengan pertumbuhan viktimologi sejak tahun 1947. Dalam hukum
pidana modern perhatian terhadap korban kejahatan tidak hanya
98
ditekankan terhadap proses kriminalisasi, tetapi juga berkaitan erat
dengan pedoman pemidanaan, konsep pertanggungjawaban pidana,
dan usaha untuk mencantumkan ganti rugi (restitution) sebagai sanksi
pidana. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, antara lain muncul
konsep shared responsibility apabila si korban juga turut berperan untuk
terjadinya kejahatan tersebut.
Analisis terhadap korban kejahatan sangat penting untuk
menentukan politik kriminal yang paling tepat dalam rangka
penanggulangan kejahatan.
Dalam tindak pidana lingkungan, hal yang paling mendasar adalah
kualifikasinya sebagai tindak pidana ekonomi (economic crimes) yang
secara umum dirumuskan sebagai “any non-violent, illegal activity which
principally involves deceit, misrepresentation, concealment, manipulation,
breach of trust, subterfuge or illegal circumvention”. Istilah non-violent
sendiri sangat relatif, karena tindak pidana lingkungan hidup dapat
menyebabkan orang luka, mati, pingsan atau tidak berdaya, yang
secara yuridis disamakan dengan kekerasan. Dalam konotasi politis
tindak pidana ekonomi diistilahkan sebagai white collar crime dan secara
sosial disebut sebagai socio-economic crime. Apapun istilahnya, di sini
nampak korban pertama dari tindak pidana lingkungan sebagai tindak
pidana ekonomi adalah kepentingan negara dan kepentingan
masyarakat, karena tindak pidana ekonomi selaku berkaitan dengan
sistem ekonomi suatu bangsa. Dengan demikian tindak pidana ekonomi
sering disebut juga sebagai crimes against constitution.
Kemungkinan korban kedua adalah manusia perorangan atau
kolektif yang menderita baik fisik maupun mental, dan korban
selanjutnya adalah perusahaan saingan yang kalah efisien karena taat
pada peraturan lingkungan yang mengharuskan adanya pengolahan
limbah dengan biaya yang besar. Korban potensial lain adalah
karyawan, karena bekerja pada suatu lingkungan yang tidak aman/
tidak sehat.
Apabila hal-hal di atas merupakan korban yang bersifat langsung
maka ada pula proses viktimisasi akibat tindak pidana lingkungan
yang bersifat tidak langsung dalam bentuk kerugian negara berupa
biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan peradilan
pidana, yang tentu saja lebih kompleks dan otomatis lebih mahal
dibanding dengan tindak pidana biasa. Di samping itu dapat berupa
kerugian sosial, karena sebagai tindak pidana ekonomi mengandung
99
pula apa yang dinamakan corrosive effect terhadap standar moral yang
seharusnya ditaati dalam menjalankan usaha.
Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks. Tidak hanya
bersifat praktis atau konseptual ekonomi saja tetapi juga merupakan
masalah etika baik sosial maupun bisnis. Yang dilindungi oleh hukum
(pidana) tidak hanya alam, flora dan fauna (the ecological approach),
tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita
akibat degradasi lingkungan hidup (the anthropocentric approach).
Dengan demikian muncul istilah “the environmental laws carry penal
sanctions that protect a multitude of interest”.
Konsep korban dalam tindak pidana lingkungan berkaitan erat
dengan konsep tentang kerugian dan kerusakan lingkungan. Hal ini
meliputi kerugian dan kerusakan nyata (actual harm) dan ancaman
kerusakan (threatened harm). Sebab harus dipahami bahwa kerugian
atau kerusakan dalam tindak pidana lingkungan seringkali tidak terjadi
seketika atau dapat dikuantifikasi dengan mudah. Dengan demikian
ada kategori korban yang bersifat konkrit dan ada korban yang bersifat
abstrak. Di sinilah pembicaraan sering bersinggungan dengan tindak
pidana formil dan tindak pidana materiil; tindak pidana spesifik dan
tindak pidana generik. Masalahnya perbuatan seseorang tidak hanya
“causes impairment of the quality of the natural environment”, tetapi juga
“is likely to cause impairment of the quality of the natural environment”.
Stelsel dan Sistem Sanksi Tindak Pidana Lingkungan
Berbicara tentang pemidanaan, pertama kali harus dikaji falsafah
suatu bangsa tentang pemidanaan. Dengan falsafah pengayoman yang
dianut oleh sistem pemasyarakatan saat ini, maka pemidanaan di
Indonesia tidak boleh menderitakan dan merendahkan martabat
manusia. Untuk menerjemahkan asas-asas dan tujuan pemidanaan
yang dianut oleh pelbagai negara (protection of the public, retribution
or punishment, rehabilitation and reform and deterrence), masyarakat
hukum Indonesia telah merumuskan tujuan pemidanaan dalam
Konsep Rancangan KUHP sebagai berikut:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
100
c. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga mejadi orang yang baik dan berguna; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Untuk memenuhi tujuan integratif di atas, perlu disediakan
pelbagai alternatif yang dapat dipilih oleh hakim dalam menentukan
jenis-jenis pidana yang pantas diterapkan kepada si pelaku dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan
perbuatannya, orangnya, kesan masyarakat terhadap kejahatan, berat
ringannya korban/kerugian, dan proyeksi efektivitas pemidanaan.
Dalam tindak pidana lingkungan, beberapa tujuan yang hendak
dicapai dalam pemidanaan adalah; pertama, untuk mendidik
masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan
dengan perilaku yang dilarang; kedua, mencegah atau menghalangi
pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak
bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian
secara antisipatif sebenarnya secara konseptual tidak ada masalah
seandainya ancaman pidana dalam tindak pidana lingkungan akan
dikembangkan dan tidak hanya mencakup pidana penjara dan atau
denda sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 UU No. 4 Th. 1982.
Atas dasar kecenderungan internasional, di samping pidana
kemerdekaan, perlu diperhatikan jenis sanksi-sanksi finansial, seperti
denda, sanksi bisnis misalnya penutupan perusahaan, dan sanksi
alternatif misalnya kompensasi terhadap korban dan perbaikan yang
harus dilakukan atas kerusakan. Hal ini didasarkan atas pengalaman
bahwa tindak pidana lingkungan biasanya dilakukan atas dasar
alasan-alasan ekonomis dan dalam kerangka aktivitas bisnis.
Pertanggungjawaban Korporasi
Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana sudah diatur
dalam hukum positif Indonesia, khususnya dalam beberapa tindak
pidana di luar KUHP. Dalam ius constituendum, pertanggungjawaban
korporasi ini ditingkatkan kedudukannya menjadi ketentuan yang
brsifat umum (masuk Buku I KUHP).
Di dalam UU No. 4 Th. 1982, pertanggungjawaban korporasi
juga dikenal walaupun dari segi teknik legislative drafting kurang baik.
Hal ini nampak dari pencantumannya yang hanya ditempatkan dalam
penjelasan Pasal 55 UU tersebut. Di samping itu pengaturannya terlalu
sederhana, yang seringkali menimbulkan pelbagai penafsiran. Atas
101
dasar pengalaman pengaturan hukum positif, dan pemikiran yang
berkembang pada saat penyusunan Rancangan KUHP serta
memperhatikan pula kecenderungan internasional, maka
pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Korporasi mencakup baik badan hukum maupun non badan
hukum seperti organisasi dan sebagainya;
b. Korporasi dapat bersifat privat dan dapat pula bersifat publik;
c. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan
dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah
(managers, agents, employees) dan korporasi dapat dipidana baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-punishment provision);
d. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa
yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision;
e. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari
apakah orang-orang yang bertanggungjawab di dalam badan
hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan
pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara;
g. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan
kesalahan perorangan;
h. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan
kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui
kebijakan pengurus atau para pengurus yang memiliki kekuasaan
untuk memutuskan dan keputusan tersebut telah diterima oleh
korporasi tersebut.
Perumusan dan Kedudukan Tindak Pidana Lingkungan dalam
Hukum Pidana
Atas dasar UU NO. 4 Tahun 1982 beserta pelbagai peraturan
pelaksanaannya nampak bahwa karakteristik yang nyata adalah
bahwa kategori suatu tindakan sebagai tindak pidana lingkungan
erat hubungannya dengan tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban
administrasi, seperti tercantum di dalam izin atau lisensi. Masalah
yang sering terlontar adalah, apakah hukum pidana lingkungan hanya
berfungsi apabila kepentingan hukum administrasi terganggu ataukah
hukum pidana harus lebih aktif melindungi lingkungan hidup sebagai
kepentingan hukum yang strategis. Hal ini misalnya saja dengan
102
mengatur delik lingkungan dalam KUHP, apakah dalam bentuknya
sebagai tindak pidana yang membahayakan keamanan umum bagi
orang, barang dan lingkungan hidup ataukah sebagai Bab tersendiri
yang memuat tindak pidana lingkungan hidup secara sistematis dan
lengkap.
Tindak pidana lingkungan di Indonesia saat ini dapat
dikategorikan sebagai administrative penal law atau public welfare offenses
(Ordnungswidrigkeiten) yang memberi kesan ringannya perbuatan
tersebut. Dalam hal ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang
sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma hukum
administrasi. Dengan demikian keberadaan tindak pidana lingkungan
sepenuhnya tergantung pada hukum lain.
Kondisi semacam itu wajar, namun mengingat betapa pentingnya
lingkungan hidup yang sehat dan baik dan kedudukannya sebagai
tindak pidana ekonomi serta kompleksitas kepentingan yang
dilindungi tersebut di atas baik yang bersifat antroposentris maupun
ekosentris, maka ketentuan khusus (specific crimes) perlu dilengkapi
dengan tindak pidana lingkungan yang bersifat umum dan mandiri
terlepas dari hukum lain (delictum sui generis), yang dinamakan generic
crimes atau core crimes.
Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan, hendaknya selalu
diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya
yang bersifat nyata, tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan
potensial, baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum.
Hal ini disebabkan karena kerusakan tersebut seringkali tidak seketika
timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikuantifikasi.
Sehubungan dengan ini untuk generic crime yang relatif berat
sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam
hal mana akibat merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan.
Namun untuk tindak pidana yang bersifat khusus yang melekat
pada hukum adminstratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan
yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi
dapat dilakukan. Sikap batin yang menjadi elemen tindak pidana
tersebut dapat mencakup perbuatan sengaja (dolus, knowingly), sengaja
dengan kemungkinan (dolus eventualis, recklesness), dan kealpaan
(culpa, negligence). Pengkajian terhadap Pasal 22 UU No. 4 Th. 1982
menunjukkan bahwa pasal tersebut banyak kelemahannya ditinjau
dari ukuran-ukuran di atas.
103
Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan hendaknya selalu
dipertimbangkan adanya dua macam elemen yakni elemen material
dan elemen mental. Elemen material mencakup: (1) adanya perbuatan
atau tidak berbuat sesuatu yang menyebabkan terjadinya tindak
pidana; atau (2) perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar atau
bertentangan dengan standar lingkungan yang ada.
Elemen mental mencakup pengertian bahwa berbuat atau tidak
berbuat tersebut dilakukan dengan sengaja, recklessness (dolus
eventualis atau culpa gravis) atau kealpaan (negligence). Pembagian ini
biasa dikenal dalam Sistem Hukum Anglo Saxon. Sedangkan hukum
kita yang banyak dipengaruhi oleh Sistem Hukum Kontinental
membedakan kategori-kategori kesengajaan (dolus) dan kealpaan
(culpa).
Ditinjau dari perkembangan internasional, perumusan di atas
perlu disempurnakan, karena masih kelihatan bahwa lingkungan
hidup sebagai kepentingan hukum belum memperoleh perlindungan
secara eksplisit. Kesehatan umum dan nyawa manusia jauh lebih
sempit apabila dibandingkan dengan pengertian lingkungan hidup
yang luas. Karena itu, pada masa mendatang, pengaturan tindak
pidana lingkungan hidup, hendaknya menyesuaikan diri dengan
kecenderungan internasional (AIDP Preparatory Colloquium on the
Application of Criminal Law to Crimes Against the Environment di Ottawa
pada 2-6 Nopember 1992, International Meeting of Experts on
Environmental Crime di Oregon 19-23 Maret 1994 yang menghasilkan
The Portland Draft, dan XVth International Congress of Penal Law di Rio
de Janeiro pada tanggal 5-19 September 1994) yang membedakan antara
“Generic Crimes” dan “Specific Crimes”.
Seperti dinyatakan di atas, sifat dari “generic crimes” adalah
independen (otonom) dan perumusannya merupakan delik materiil,
dalam hal mana akibat merupakan unsur yang hakiki (material
endangerment offences atau concrete gevaarzettings-delicten). Dalam hal
ini teori kausalitas sangat penting. Selanjutnya karakteristik “specific
crime” adalah sifatnya yang dependent terhadap aturan-aturan lain
dan perumusannya bersifat formil dalam hal mana akibat bukan
merupakan unsur hakiki (abstract endangerment offenses atau abstracte
gevaarzettings-delicten) dan teori kausalitas tidak menjadi penting.
104
Perkembangan Hukum Pidana Lingkungan dalam UU No. 23
tahun 1997
Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, khususnya pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 sepanjang
mengenai tindak pidana lingkungan dirumuskan jauh lebih baik
daripada perumusan semacam dalam UU No. 4 tahun 1982. Beberapa
perkembangan yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana lingkungan tidak mengatur tentang “strict liability”
karena semua tindak pidana lingkungan dilihat sebagai kejahatan.
Dengan demikian unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan dan
kealpaan) merupakan unsur yang hakiki (liability based on fault);
2. Tindak pidana lingkungan terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu
tindak pidana generik yang merupakan delik materiil (Pasal 41 dan
Pasal 42) dan tindak pidana spesifik yang merupakan delik formil
(Pasal 43 dan Pasal 44). Perumusan delik materiil didasarkan atas
konsep viktimisasi yang bersifat aktual, sedangkan perumusan delik
formil dilandasi konsep viktimisasi yang bersifat potensial (potential
harm atau threatened harm); Dalam proses pembuktian delik materiil
teori hukum pidana tentang kausalitas menjadi sangat penting.
3. Baik delik materiil maupun delik formil dapat berupa delik
kesengajaan dan delik kealpaan dan khusus mengenai delik formil
(yang merupakan kejahatan spesifik), mensyaratkan adanya
pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada
terlebih dahulu;
4. Jenis-jenis delik materiil meliputi perbuatan baik sengaja maupun
alpa yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Akibat berupa orang mati atau luka berat
merupakan alasan pemberatan pidana;
5. Jenis delik-delik formil mencakup pelbagai perbuatan baik sengaja
maupun alpa berupa: (1) melepaskan atau membuang zat, energi,
dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di
atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air
permukaan; (2) melakukan impor, ekspor, memperdagangkan,
mengangkut; (3) menyimpan bahan tersebut; (4) menjalankan
instalasi yang berbahaya; Di samping terdapat syarat perlunya
melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terdapat
perumusan unsur yang dikulpakan (pro parte dolus pro parte culpa)
yaitu si pelaku mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga
105
bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/
atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan
umum atau nyawa orang lain;
6. Dalam delik formil yang berupa delik kesengajaan diatur pula
delik berupa dengan sengaja memberikan informasi palsu atau
menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi
yang diperlukan dalam kaitannya dengan delik kesengajaan
tersebut dalam butir (5) di atas, padahal mengetahui atau sangat
beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain;
7. Sanksi pidana penjara dan denda dirumuskan secara kumulatif,
yang secara imperatif harus diterapkan hakim;
8. Definisi “pencemaran lingkungan hidup” diatur dalam Pasal 1 butir
(12) yaitu “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain di dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya; Dalam Pasal 1 butir (14)
“perusakan lingkungan hidup” dirumuskan sebagai tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap
sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup
tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan; catatan: ada keluhan dari penegak hukum bahwa
kalimat “yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi
lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan” terlalu
abstrak dan bersifat akademis, sehingga menimbulkan kendala
terhadap penegakan hukum;
9. UU No. 23 tahun 1997 secara eksklusif mengatur pertanggung–
jawaban korporasi dalam hukum pidana (corporate criminal
responsibility), yaitu dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 47. Dengan
demikian, korporasi (yang meliputi badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain) tidak hanya dipandang
dapat melakukan tindak pidana, tetapi juga dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana serta dapat dijatuhi
pidana dan/atau tindakan. Catatan: Penjelasan tentang hal ihwal
pertanggungjawaban korporasi dapat dikaji dari bagian lain buku
ini;
106
10.Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melakukan
tindak pidana, di samping denda yang diperberat dengan
sepertiga (Pasal 45), juga sanksi berupa tindakan tata tertib
(tuchtmaatregel) seperti: perampasan keuntungan yang diperoleh
dari tindak pidana; dan atau penutupan seluruhnya atau sebagian
perusahaan; dan atau perbaikan akibat tindak pidana; dan atau
mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau menempatkan
perusahaan di bawah pengampunan paling lama 3 (tiga) tahun.
Penutup
Mengingat semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap
konsep pembangunan yang berkelanjutan, maka peranan hukum
pidana dalam melindungi lingkungan hidup semakin penting. Bahkan
dalam kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang
berat, sifatnya sebagai “pimum remedium” semakin nampak. Sekalipun
demikian, efektivikasinya akan banyak tergantung pada kualitas
mental dan intelektual para penegak hukumnya, terutama untuk
memahami spirit dan substansi hukum pidana lingkungan yang cukup
kompleks.
Pemahaman ini antara lain dilakukan denga mengadakan studi
banding dengan penerapan hukum pidana lingkungan di negara lain
yang sudah banyak pengalaman dalam penegakan hukum pidana
lingkungan. Pendayagunaan saksi ahli akan sangat membantu untuk
selalu menjaga keseimbangan antara kepastian hukum, kemanfaatan,
kebenaran dan keadilan. n
107
bagian 2
FAKTOR-FAKTOR GLOBAL DAN
KETEGANGAN HUKUM NASIONAL
108
109
Ide untuk mengadili mereka yang telah terlibat melakukan
kekejaman dan pelanggaran HAM berat telah dikenal sejak zaman
Yunani kuno. Pada zaman itu telah terjadi penuntutan terhadap
mereka yang melakukan kekejaman dalam konflik bersenjata yang
brutal atas dasar standar nilai dan norma kemanusiaan yang
bersumber pada filsafat dan agama. Pada tahun 1474 hukuman mati
bahkan telah dijatuhkan kepada Peter von Hagenbach, pelaku
kekejaman pada saat pendudukan Breisach, oleh suatu pengadilan
internasional. Dalam sejarah perang saudara di Amerika, Abraham
Lincoln telah melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam
dengan sanksi berat, termasuk pidana mati terhadap pelakunya.
(Schabas, 2001)
Setelah perjanjian perdamaian Wesphalia tahun 1648, secara gradual
desakan untuk melakukan proses penuntutan internasional terhadap
para pelaku pelanggaran hukum humaniter mulai berkembang.
Kodifikasi penting dalam bentuk perjanjian internasional yang
mengatur hukum perang terjadi pada tahun 1889 dan 1907, yaitu
Konvensi Den Haag (the Haque Convention) yang menegaskan betapa
pentingnya perlindungan terhadap penduduk sipil, kehidupan manusia,
hak milik pribadi, hak dan kehormatan keluarga, serta keyakinan
agama. Baik penduduk maupun pihak yang berperang tetap harus
mendapatkan perlindungan atas dasar asas-asas hukum internasional
yang berlaku sebagai kebiasaan di masyarakat yang beradab, hukum
kemanusiaan, dan hati nurani. Konvensi tersebut lebih diarahkan pada
kewajiban dan tugas-tugas negara, dan tidak dimaksudkan untuk
mengatur pertanggungjawaban pidana secara individual.
International Criminal Court
Sebagai Karya Agung Antar Bangsa
110
Perkembangan untuk merumuskan kejahatan perang yang
memungkinkan para pelakunya untuk dituntut semakin melembaga
setelah Perang Dunia I sampai dengan terbentuknya Pengadilan
Pidana Internasional (International Criminal Law) dalam bentuk Statuta
Roma pada tahun 1998. Dari sisi hukum pidana internasional,
terbentuknya statuta ini sangat menarik, sebab sampai saat ini, dalam
penegakan hukum secara umum berlaku ‘indirect enforcement method’
atas dasar konvensi internasional, yang mengharuskan negara-negara
untuk melakukan ratifikasi konvensi tersebut dan menerapkannya
melalui hukum nasional. Penegakan hukum yang bersifat langsung
(direct enforcement model), hingga saat ini, secara eksplisit hanya
diterapkan secara adhoc dengan tempos dan locus tertentu. Statuta
Roma 1998 tentang ICC justru mengembangkan ‘direct enforcement
model’ dalam pengadilan yang bersifat permanen. (Bassiouni, 1993)
Proses Pembentukan Pengadilan Internasional
Pada tanggal 17 Juli 1998, di gedung markas besar FAO (Food
and Agriculture Organization) PBB di Roma, delegasi 120 negara, melalui
pemungutan suara sepakat untuk mengadopsi Rome Statute of
Internbational Criminal Court (ICC). Perjanjian yang bersifat kompleks
dan terperinci ini menetapkan pembentukan “Pengadilan Pidana
Internasional” dengan wewenang dan kekuasaan untuk mengadili
dan memidana pelanggaran HAM yang sangat berat dalam kasuskasus
apabila sistem peradilan pidana nasional gagal menjalankan
peranannya.
ICC berkedudukan di Den Haag, ibu kota Kerajaan Belanda,
berdampingan dengan pasangannya yang telah lama berdiri, yaitu
Mahkamah Internasional (ICJ: the International Court of Justice). ICJ
merupakan pengadilan dimana negara-negara mengajukan perkara
yang berkaitan dengan perselisihan dengan negara lain (Art.34).
Peranan individu di depan ICJ terlalu kecil. ICC melakukan
penuntutan dan pemidanaan terhadap individu, di samping itu juga
menghargai peran serta yang sah dari individu sebagai korban,
khususnya dalam kasus pelanggaran HAM berat. Sementara itu ICJ
banyak sekali mengadili perselisihan antar negara yang berkaitan
dengan penetapan batas antar negara dan zona perikanan dan kasuskasus
semacamnya. Dalam perkembangannya, ICJ juga melibatkan
diri dalam kasus-kasus yang bernuansa HAM seperti genocide di bekas
111
Yugoslavia, penggunaan senjata nuklir, hak menentukan nasib sendiri
di Timor Timur, imunitas dari para penyelidik HAM internasional
dan penerapan pidana mati di Amerika.
Apabila ICC dibentuk atas dasar Statuta Roma 1998, maka ICJ
dibentuk atas dasar Piagam HAM PBB sebagai “principal judicial organ”
PBB. Apabila yurisdiksi dari ICC menyangkut perkara pokok
pelanggaran berat HAM, seperti kejahatan perang, genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi, maka yurisdiksi ICJ
menyangkut pelbagai perselisihan hukum (legal disputes) mengenai:
the interpretation of a treaty; any question of international law; the existence
of any fact which, if established, would constitute a breach of an international
obligation; the nature or extent of the reparation to be made for the breach of
an international obligation (Art.36). Sebagai contoh adalah perselisihan
antara Indonesia dan Malaysia mengenai kedaulatan (sovereignty) atas
pulau Ligitan dan pulau Sipadan.
Tentang hukum yang digunakan (applicable law), dalam Pasal 38
Statuta ICJ ditentukan sebagai berikut: (a) international convention,
whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the
contesting states; (b) international custom, as evidence of a general practice
accepted as law; (c) the generals principles of law recognized by civilized
nations; (d) subject to the provisions of Art. 59, judicial decisions and the
teachings of most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary
means for the determination of rules of law.
Pada ICC, hukum yang diterapkan diatur dalam Pasal 21 Statuta
Roma, yaitu: (a) in the first place, this Statue, Elements of Crime and its
Rules of Procedure and Evidence; (b) in the second place, where appropriate,
applicable treaties and the principles and rules of international law or armed
conflict; (c) Failing that, general principle of law derived by Court from
national laws of legal systems of the world including, as appropriate, the
national laws of states that would normally exercise jurisdiction over the
crime, provided that those principles are not inconsistency with this Statute
and with international law and internationally recognized norms and
standards.
Terbentuknya ICC pada tahun 1998 merupakan buah dari usaha
yang panjang dan sarat dengan kendala, bahkan tragedi-tragedi
kemanusiaan di dunia. Usaha tersebut dimulai pada tiga perempat
abad yang lalu, yaitu pada tahun 1919 di Versailles saat berakhirnya
Perang Dunia I, yang sebenanrnya diharapkan sebagai “the war to
112
end all wars”. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu
meledaknya Perang Dunia II yang menimbulkan akibat lebih dahsyat
dan mengerikan dari sisi kemanusiaan. Sejak itu boleh dikatakan telah
terjadi kurang lebih 250 konflik dalam segala bentuknya dan proses
viktimisasi yang dilakukan oleh rezim-rezim tiranis yang
mengorbankan lebih kurang 170 juta orang. Yang teramat
mengejutkan adalah bahwa sebagian besar pelaku genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang diuntungkan melalui
praktek “impunity” (membebaskan tanpa memberikan hukuman).
Dalam kurun waktu sejak tahun 1919 masyarakat internasional
sudah mendesak untuk dibentuknya “Pengadilan Pidana Internasional”
(ICC) yang bersifat permanen. Bahkan dalam kurun waktu 50 tahun
terakhir telah terbentuk 4 tribunal adhoc dan 5 “komisi pemeriksa”
(investigatory commissions). Keempat tribunal ad hoc tersebut adalah;
a). the International Military Tribunal (IMT) yang berkedudukan di
Nuremberg; b). the International Military Tribunal for the Far East (IMTFE)
yang berkedudukan di Tokyo; c). the International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia di Den Haag, dan d). the International Criminal
Tribunal untuk Rwanda (ICTR) di Arusha.
(Sebagai tambahan dapat dikemukakan bahwa di samping
pengadilan militer di Nuremberg dan di Tokyo pasca Perang Dunia
II, langkah-langkah penuntutan yang bersifat nasional atas dasar
Control Council Law No. 10 juga terjadi di Republik Federal Jerman,
Kanada, Perancis dan Israel. Australia dan Inggris juga melakukannya
sekalipun hanya satu orang yang diadili. Apa yang terjadi di Tokyo
dan Nuremberg sangat berarti karena berhasil diciptakan sebagai
preseden dalam sistem peradilan pidana internasional, yakni dalam
bentuk norma-norma hukum baru dan standar pertanggungjawaban
pidana kepala negara atau kepala pemerintahan).
Sedangkan kelima Komisi Pemeriksa di atas terdiri dari: a). the 1919
Commission on the Responsibilities of the Authors of War and on Enforcement
of Penalties, yang menginvestigasi pelbagai kejahatan yang terjadi selama
PD I; b). the 1943 UN War Crime Commission, yang menginvestigasi
kejahatan perang Jerman selama PD II; c) the 1946 Far Eastern Commission,
yang menginvestigasi kejahatan perang Jepang selama PD II; d). the
Commission of Expert Established Pursuant to Security Council Resolution
780, yang menginvestigasi pelanggaran hukum humaniter di bekas
negara Yugoslavia; dan e). the Independence Council Resolution 935, the
113
Rwanda Commission , yang menginvestigasi pelanggaran yang dilakukan
selama perang saudara (civil war) di Rwanda.
Sebenarnya setelah PD I the Treaty of Versailles menetapkan pula
keberadaan tribunal ad hoc, namun tidak pernah terlaksana dan atas
persetujuan tentara sekutu penuntutan dilakukan secara nasional di
Jerman. Baru setelah 75 tahun kehendak masyarakat internasional
untuk membentuk pengadilan pidana permanen terlaksana, sekalipun
hanya terbatas pada pertanggungjawaban kriminal secara individual.
Konsep tentang ‘state criminal responsibility’ belum pernah diterapkan
(kecuali dalam peradilan Nuremberg). Dalam hal ini faktor political
will sangat menonjol. Apabila setelah PD I terjadi kompromi untuk
kepentingan kebijaksanaan politik, maka pasca PD II kehendak politik
—terutama negara-negara pemenang perang-- sangat berkeinginan
untuk menciptakan keadilan internasional yang efektif. Hal ini sering
dinamakan “victor justice over the defeated’ sekalipun bisa dibuktikan
bahwa pengadilan tersebut “were not unjust” dan bahkan bisa
mendemonstrasikan peranannya sebagai lambang keadilan
internasional dan kejujuran.
Terbentuknya ICC boleh dikatakan sepenuhnya merupakan buah
perjuangan baik individu, NGO’s, pemerintah negara-negara maupun
lembaga-lembaga lainnya yang semuanya mengharapkan terciptanya
rule of law di level inetrnasional. Tahun 1989 – 1998 merupakan saatsaat
yang paling dramatis. Harapan yang sudah tipis untuk
membentuk ICC antara tahun 1989 – 1992 (kurun berakhirnya perang
dingin antara Blok Barat dan Blok Timur), dengan terjadinya peristiwa
yang mengerikan di Yugoslavia dan Rwanda, kemudian digalakkan
lagi yang disusul dengan langkah Dewan Keamanan PBB untuk
membentuk Tribunal Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili
pelanggaran HAM berat di kedua wilayah tersebut. Dalam kurun
waktu itu pula, dalam suasana dan iklim dukungan publik
internasional yang kuat, akhirnya terbentuk pengadilan permanen
ICC pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma.
Yurisdiksi ICC
Yurisdiksi ICC berkaitan dengan pelbagai parameter hukum sebagai
berikut:
1. Yurisdiksi yang berkaitan dengan pokok perkara; ini mencakup
pelbagai kejahatan yang sangat berat seperti genosida (genocide),
114
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity),
kejahatan perang (war crime) dan agresi. Sepanjang menyangkut
kejahatan agresi, pengadilan hanya akan menerapkan
yurisdiksinya setelah ada kesepakatan terhadap definisi kejahatan
agresi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan pengadilan
menerapkan konsisten dengan Piagam PBB (Pasal 5) dalam
kerangka Pasal 121 dan 123 Statuta, yang mengatur amandemen
melalui “Review Conference” yang dapat dilakukan setelah 7 tahun
sejak berlakunya Statuta secara efektif.
2. Yurisdiksi yang berkaitan dengan waktu (temporal jurisdiction);
ditegaskan bahwa ICC merupakan lembaga prospektif yang tidak
dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan
yang dilakukan sebelum Statuta ICC berlaku (entry into force).
Dalam hal ini asas “nullum crimen nulla poena sibe lege” tetap
dipandang sebagai asas fundamental. Terhadap kejahatankejahatan
yang terjadi sebelumnya, maka penyelesaiannya
diserahkan kepada hukum nasional masing-masing. Apabila
negara–negara tersebut menolak maka mekanisme universal
dapat ditetapkan. Berlakunya asas legalitas tersebut mengandung
perkecualian, yaitu apabila negara yang bersangkutan telah
membuat suatu pernyataan (adhoc declaration) bahwa negara
tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan
yang berkaitan dengan kejahatan bersangkutan yang dilakukan
di masa lalu. Terhadap kejahatan-kejahatan yang sudah dimulai
sebelum Statuta berlaku secara efektif dan berlanjut sesudahnya
(continues crimes), penyelesaian diserahkan sepenuhnya kepada
pertimbangan pengadilan.
3. Yurisdiksi teritorial (space/territorial jurisdiction); pengadilan
mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di
dalam wilayah negara peserta, tanpa mempertimbangkan
kewarganegaraan si pelaku, termasuk pula kejahatan di wilayah
negara yang menerima yurisdiksi atas dasar pernyataan ad hoc
dan di atas wilayah yang ditentukan oleh Dewan Keamanan.
Wilayah dalam hal ini mencakup pula kapal dan pesawat terbang
yang didaftarkan di negara peserta.
4. Yurisdiksi personal/individual; ditentukan bahwa ICC
mempunyai yurisdiksi terhadap warganegara negara peserta yang
dituntut atas suatu kejahatan. ICC dapat juga mempunyai
115
yurisdiksi warga negara bukan negara peserta yang telah
menerima yurisdiksi yang bersifat ad hoc atau mengikuti Dewan
Keamanan PBB. Prinsip “equally to all persons”, “irrelevance of official
capacity” diterapkan, termasuk mereka yang berkedudukan
sebagai “kepala negara” atau “kepala pemerintahan”. Imunitas
atas dasar hukum internasional tidak menghalangi yurisdiksi ICC.
Selanjutnya diatur pula apa yang disebut “responsibility of
commanders and the superiors”, termasuk di sini perbuatan berupa
“disregarded information” yang menjurus pada kejahatan omisionis
(pembiaran).
Hubungan ICC dengan Pengadilan Nasional
Hubungan ICC dengan yurisdiksi sistem peradilan pidana
nasional bersifat komplimenter. Hal ini mengandung arti, bahwa
suatu kasus tidak dapat diterima (inadmissible) apabila:
a) kasus tersebut sedang disidik dan dituntut oleh negara yang
memiliki yurisdiksi, kecuali negara tersebut sungguh-sungguh
tidak mau atau tidak mampu melakukan penyidikan dan
penuntutan;
b) kasus tersebut telah disidik oleh negara yang memiliki yurisdiksi
dan negara tersebut telah memutuskan untuk tidak menuntut si
pelaku, kecuali keputusan tersebut sebagai akibat ketidakmauan
atau ketidakmampuan negara yang sungguh-sungguh untuk
menuntut;
c) si pelaku telah diadili atas dasar perbuatan yang sama, kecualui
terjadi apa yang dinamakan “peradilan pura-pura” (sham
proceeding): proses peradilan dimaksudkan untuk tujuan
melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana atas
kejahatan di bawah yurisdiksi ICC; atau proses peradilan tidak
dilaksanakan secara merdeka atau bersifat imparsial sesuai dengan
norma-norma “due process” yang diakui oleh hukum internasional
serta tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili si pelaku);
d0. kasus tersebut tidak cukup memadai untuk memberikan
pembenaran langkah-langkah lanjutan.
Selanjutnya, ukuran yang digunakan untuk menentukan
“ketidakmauan” (unwillingness) meliputi: (a) proses peradilan yang
telah atau sedang dilakukan atau diputuskan, ditujukan untuk
116
melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana; (b) terjadi
keterlambatan proses peradilan yang dasarnya tidak dapat
dibenarkan (unjustified delay); (c) proses peradilan tidak dilaksanakan
secara merdeka. Sedangkan ukuran untuk menentukan
“ketidakmampuan” (inability) dalam kasus-kasus tertentu, yakni
apabila pengadilan (ICC) mempertimbangkan bahwa telah terjadi
kegagalan secara menyeluruh atau substansial atau ketiadaan/
ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan
tersangka, atau bukti-bukti dan kesaksian, atau tidak mampu untuk
menyelenggarakan proses peradilan.
Urgensi Keberadaan ICC
Dalam rangka operasionalisasinya, efektivitas ICC tidak dapat
dilepaskan dari legal spirit yang melatarbelakangi mengapa ICC
diperlukan. Secara umum spirit itu berupa semangat universal untuk
mengamankan penghormatan terhadap HAM dan kebebasan dasar,
terutama dalam situasi konflik. Sedangkan spiritnya yang bersifat
khusus mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Menciptakan keadilan bagi semuanya. Hal ini dilandasi oleh
kenyataan bahwa ICC sebenarnya merupakan “the missing link”
dalam sistem hukum internasional yang sampai saat terbentuknya
ICC didominasi oleh Mahkamah Internasional (ICJ).
b. Untuk mengakhiri praktek impunity. Dalam hal ini konsep individual
crime responsibility diterapkan secara merata dan tanpa perkecualian
karena hirarki, baik di lingkungan sipil maupun militer.
c. ICC merupakan mekanisme yang diperlukan guna membantu
mengakhiri konflik. Keberadaan ICC – sebagimana pelbagai
tribunal ad hoc yang ada – diharapkan dapat menimbulkan efek
pencegahan (deterrent effect) dan mengakhiri pelbagai konflik yang
terjadi yang sering kali disertai kekerasan dan kekejaman, misalnya
pembersihan etnik.
d. Berusaha memperbaiki kekurangan dan kelemahan dari
pengadilan atau tribunal ad hoc, yang sering dituduh menerapkan
keadilan selektif dengan locus dan tempos delik tertentu; di samping
itu diharapkan mengakhiri apa yang disebut “tribunal fatigue”
setelah Tribunal Rwanda yang memakan waktu dan energi yang
cukup signifikan.
e. Mengambil alih, seandainya atas dasar prinsip komplementer
117
lembaga pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu berbuat
atau tidak berdaya.
f. Untuk mencegah terjadinya kejadian serupa di masa datang;
effective deterrence ini merupakan salah satu tujuan utama
pembentukan ICC.
g. Dengan mengkombinasikan antara nilai-nilai kemanusiaan dan
pertimbangan kebijakan, maka ICC diharapkan tidak hanya
penting untuk pencapaian keadilan, perbaikan dan pencegahan,
tetapi juga berusaha untuk meberikan perlindungan, restorasi, dan
pemeliharaan perdamaian.
h. Karena perhatiannya yang terfokus pada pada perlindungan dan
restorasi korban, termasuk pemberian restitusi, kompensasi dan
rehabilitasi, maka ICC dapat dikatakan tidak hanya merupakan
simbol keadilan tetapi juga merupakan yudisial yang efektif, yakni
secara adil menerapkan keadilan retributif dan restoratif sekaligus.
i. ICC diharapkan merupakan warisan moral ( moral legacy) bagi mereka
yang mendambakan sistem peradilan pidana internasional yang
permanen, efektif dan secara politik tidak mengenal kompromi.
j. ICC merupakan “landmark” dalam hukum internasional yang
penting dalam hubungan internasional. Dalam hal ini Sekjen PBB
(Kofi Annan) menggambarkannya sebagai “a gift of hope to future
generations, and a giant step forward in the march forward universal
human right and the rule of law”. Bahkan seorang penulis seperti
Robert C. Johansen menyebutnya sebagai ‘the most important
institutional innovation since the founding of the United Nations”.
Tetapi, penting dikemukakan bahwa akhir-akhir ini muncul
perkembangan yang kurang menguntungkan bagi kewibawaan ICC.
Dalam rangka melindungi tentaranya yang melakukan tugas bantuan
internasional (peacekeeping operations) dari kemungkinan penuntutan
ICC, secara mengejutkan Presiden Amerika, George W. Bush,
menyetujui suatu undang-undang yang berjudul “the American Service
Members Protection Act of 2002”, yang pada intinya mengandung
substansi sebagai berikut:
1. Tidak ada lembaga pemerintahan Amerika Serikat boleh
bekerjasama dengan ICC.
2. Tidak ada agen ICC boleh melakukan kegiatan investigasi di
Amerika Serikat.
118
3. Presiden akan menjamin bahwa semua resolusi Dewan Keamanan
PBB yang membentuk “peacekeeping operations” secara permanen
mengecualikan anggota-anggota angkatan bersenjata Amerika
Serikat dari penuntutan oleh ICC.
4. Amerika Serikat tidak akan berpartsipasi pada setiap misi
perdamaian kecuali Presiden menyatakan kepada Kongres bahwa
personil militer Amerika Serikat dikecualikan dari penuntutan ICC.
5. Tidak ada informasi keamanan nasional yang bersifat rahasia dapat
ditransfer langsung atau tidak langsung kepada ICC atau kepada
negara yang menjadi pihak dari Statuta Roma.
6. Amerika Serikat tidak akan memberikan bantuan militer, termasuk
pelatihan, kepada negara-negara yang meratifikasi perjanjian ICC,
kecuali negara-negara anggota NATO, dan “major non NATO allies”
(Australia, Mesir, Israel, Jepang, Republik Korea, Taiwan, dan New
Zeland).
7. Presiden diberi wewenang untuk menggunakan “segala yang
diperlukan dan tepat” (all means necessary and appropriate) untuk
membebaskan personil Amerika Serikat atau sekutunya yang
ditahan atau dipidana bertentangan dengan kehendaknya oleh
atau atas nama ICC. Secara tradisional bahasa ini meliputi kekuatan
militer, termasuk ancaman eksplisit untuk menginvasi Belanda,
sekutu NATO.
8. Pengecualian dimungkinkannya dengan syarat-syarat yang sangat
ketat (misalnya atas dasar kepentingan nasional).
Keberadaan undang-undang di atas dirasakan sangat
meresahkan karena dianggap bertentangan dengan kehendak
masyarakat internasional untuk menegakkan supermasi hukum. Di
samping itu merupakan kenyataan bahwa sebagian besar pendukung
adalah negara-negara yang demokrasinya masih rentan dan baru
bangkit dari krisis pelanggaran HAM. Yang menarik adalah bahwa
Amerika Serikat tetap akan membantu usaha internasional untuk
membawa ke pengadilan para pelaku genosida, kejahatan perang,
dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk usaha dari ICC.
Menanggapi perkembangan di atas, nampaknya Dewan
Keamanan PBB tetap konsisten terhadap keberadaan ICC. Pada
tanggal 12 Juli 2002, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi untuk
menolak pengecualian permanen Amerika Serikat terhadap yurisdiksi
119
ICC, dengan cara menunda hanya satu tahun setiap investigasi dan
penuntutan ICC terhadap pasukan perdamaian (peacekeepers) dari
negara-negara yang belum meratifikasi perjanjian ICC. Hal ini sesuai
dengan Pasal 16 ICC, walaupun pasal ini sebenarnya berlaku terhadap
“a particular case” dan bukan “category of people” seperti pasukan
perdamaian.
Kesimpulan
• ICC hanya dapat memenuhi misi yang diembannya, baik yang
berupa “general spirit” maupun “specific spirit”, apabila ICC tetap
bersifat independen, efektif, tidak memihak, jujur dan adil.
• Adopsi terhadap Statuta ICC pada tanggal 17 Juli 1998, di samping
merupakan berakhirnya perjuangan yang panjang untuk
pembentukannya, juga merupakan titik awal pencapaian sasaran
yang baru, yakni berlakunya ICC secara efektif setelah diratifikasi
oleh 60 negara (dapat dikemukakan bahwa sejak 31 Desember
2000 sebanyak 130 negara, kecuali Indonesia, telah
menandatangani Statuta Roma dan 52 negara telah
meratifikasinya).
• Statuta Roma merupakan bentuk keseimbangan antara peranan
lembaga nasional dan lembaga internasional atas dasar prinsip
insentif dan komplementer. Sebagai perjanjian multilateral Statuta
Roma membutuhkan dukungan luas tanpa mengorbankan
efektivitas dan keadilan.
• Memahami Statuta Roma 1998 tentang Pengadilan Pidana
Internasional (ICC), secara simultan harus dilakukan pula
pemahaman terhadap 2 dokumen yang terkait dalam satu
kesatuan, yaitu dokumen yang menguraikan “the elements of
crimes” dan dokumen yang mengatur “rule of procedures and
evidence”. n
120
Pendahuluan
Perubahan sosial yang cepat akibat proses modernisasi sudah
dirasakan sebagai sesuatu yang secara potensial dapat menimbulkan
keresahan dan bahkan ketegangan sosial. Perubahan sistem nilai
dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru,
yang menyibukkan badan legislatif, lembaga-lembaga penyelesaian
sengketa dan segenap usaha untuk melakukan sosialisasi hukum.
Sinisme masyarakat yang meluas terhadap dunia hukum muncul dalam
ragam pandangan, seperti hukum dituduh telah ketinggalan zaman,
tidak memenuhi rasa keadilan, penegak hukum dianggap tidak
profesional, sasaran (adressat) norma dianggap tidak sadar hukum,
lembaga peradilan didakwa tidak dapat menggali nilai-nilai dalam
masyarakat, diskresi-diskresi muncul secara tidak terkendali, DPR
dilecehkan, hakim didakwa menyalahgunakan kebebasan, delegated
legislation semakin merebak, doktrin dasar terdesak oleh
pragmatisme, otonomi profesional berjuang melawan legislasi, dan
sebagainya.
Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat
ditemukannya alat-alat komunikasi modern, alat transportasi dan
teknologi informatika modern, isu modernisasi menjadi mendunia dan
memunculkan fenomena baru berupa globalisasi yang menuntut
perubahan struktur hubungan hukum, substansi-substansi baru
pengaturan hukum dan budaya hukum yang sering sama sekali baru.
Tanpa adanya perubahan sistem hukum tersebut, akibat-akibat
selanjutnya yang lebih rumit dapat dipastikan akan muncul. Misalnya,
persepsi publik yang terlanjur menganggap bahwa penguasa tidak
Menjamin Kepastian, Ketertiban,
Penegakan dan Perlindungan Hukum
Dalam Era Globalisasi
121
dapat menjamin kepastian hukum akan dapat menimbulkan bahaya
lenyapnya ketenteraman dalam pelbagai kehidupan sosial. Segalanya
terasa serba tidak pasti. Praktek penegakan hukum yang terjadi semakin
jauh dari penegakan hukum yang diidealkan, dan hukum hanya akan
berpihak melindungi orang-orang yang berkuasa dan para pelanggar
hak asasi manusia, dan seterusnya. Di sinilah masalah kepastian hukum,
ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai
kebutuhan yang pada dasarnya mengandung dua hal sekaligus, yakni,
rasa aman (jasmaniah) dan tentram (batiniah), yang keduanya tercakup
dalam tujuan hukum: kedamaian!.
Tiga Konsep Hukum
Penegakan hukum tidak bisa lain harus diartikan dalam kerangka
tiga konsep yang saling berhubungan, yakni (1) konsep penegakan hukum
yang bersifat total ( total enforcement concept), yang menuntut agar semua
nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa
kecuali; (2) yang bersifat penuh ( full enforcement concept), yang menyadari
bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya
demi perlindungan kepentingan individual; dan (3) konsep penegakan
hukum aktual (actual enforcement concept), yang muncul setelah diyakini
adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasanketerbatasan,
baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas
sumberdaya manusia, kualitas perundang-undangannya, dan miskinnya
partisipasi masyarakat.
Apapun konotasinya, perubahan sosial akibat modernisasi dan
globalisasi tidak merupakan sesuatu yang bersifat fakultatif dan tidak
dapat dihindari. Keduanya, modernisasi dan globalisasi, merupakan
sesuatu yang alamiah yang timbul serta merta akibat kompleksitas
dan heterogenitas hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial,
terutama di abad teknologi modern seeperti sekarang ini.
Globalisasi mengandung makna dan implikasi yang dalam.
Dalam perdagangan misalnya, globalisasi tidak hanya sekedar
melakukan praktek perdagangan di beberapa negara di dunia, tetapi
ia harus ditafsirkan sebagai berdagang di seluruh dunia dengan cara
baru, menjaga keseimbangan kualitas global hasil produksi atau
pelayanan dengan kebutuhan-kebutuhan yang khas (unique needs)
yang berbasis pada pelbagai macam konsumen lokal. Lebih jauh lagi
globalisasi mematahkan kualitas-kualitas yang melekat pada bisnis
122
yang sudah terbentuk atas dasar pandangan-pandangan kultural
etnosentrik yang sempit tanpa memandang nasionalitasnya.
Globalisasi melibatkan tenaga-tenaga tertentu yang memiliki keahlian
khusus dari perusahaan yang beroperasi di seluruh dunia, tanpa
melihat kewarganegaraannya. Penghargaan terhadap staf tersebut
sepenuhnya didasarkan atas semata-mata karyanya yang hebat serta
usahanya untuk menciptakan kemajuan perusahaan yang tanpa batas.
Melakukan bisnis dalam nuansa ini mau tidak mau mengharuskan
para pelaku bisnis mempertimbangkan pendekatan global terhadap
hasil produksi dan jasa untuk melayani konsumen atau langganan,
yang kemungkinan juga beroperasi (dalam bentuk kontrak-kontrak)
di seluruh dunia. Mereka, baik secara individual maupun kolektif,
melalui sistem informasi yang canggih mengharapkan standar
produksi dan pelayanan yang sama, di manapun mereka berada (the
global traveler). Dalam kondisi global seperti ini terbuka kemungkinan
yang luas bagi mereka untuk berkompetisi, mengikuti perkembangan
teknologi, dan menggali keuntungan dari pelbagai kesempatan bisnis
yang ada.
Dari segi hukum, hal-hal di atas tidak dapat dibiarkan begitu
saja. Kehidupan umat manusia yang didasarkan atas pemikiran yang
bersifat global dengan segala kompleksitasnya, tidak dapat dibiarkan
berjalan tanpa norma dan tanpa rule of law. Persiapan masing-masing
negara, baik secara internal maupun eksternal harus dilakukan apabila
bangsa dan negara tersebut ingin menjadi independent variable dalam
era globalisasi.
Harus segera dikatakan bahwa apa yang dinamakan globalisasi
tidak hanya terjadi di bidang ekonomi (Uruguay Round, NAFTA,
APEC dan sebagainya). Globalisasi juga terjadi di bidang-bidang iptek
(ISO 9000), pendidikan dalam bentuk kelas-kelas paralel pendidikan
jarak jauh (distance education) yang menempatkan aktivitas pendidikan
sebagai komoditi perdagangan, sistem informasi melalui internet yang
sering dinamakan “library in the sky”, masalah sosial budaya (misalnya
isu tentang lingkungan hidup), masalah politik (demokratisasi dan
HAM), dan sebagainya. Nampaknya usaha untuk mempertahankan
pola-pola kehidupan yang bersifat domestik, jargon-jargon politik
yang bersifat nasional, dan aktivitas ekonomi yang eksklusif tidak
dapat dipertahankan lagi. Kecenderungan global di pelbagai
kehidupan di atas tidak berdiri tetapi saling terkait satu sama lain.
123
Yang menjadi pertanyaan kunci adalah seberapa jauh doktrindoktrin
dasar setiap bangsa (Untuk Indonesia: Pancasila dan UUD
dengan segala refleksi pengaturannya) dalam konteks kehidupan
global tidak dianggap justru sebagai kendala globalisasi. Sebaliknya,
seberapa jauh pula aspirasi-aspirasi global dalam pelbagai kehidupan
tersebut dapat dimanfaatkan tanpa harus mengorbankan jati diri
bangsa. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini, apakah kejahatan
ekonomi pada masa mendatang masih dapat dikualifikasikan sebagai
“kejahatan melawan konstitusi” (ingat Ps. 33 UUD 1945) atau malah
justru sebaliknya menjadi “kejahatan melawan sistem ekonomi
global”. Di sinilah hukum ditantang untuk berperanan sebagai
mekanisme pengintegrasi, mempersatukan pelbagai dimensi
kepentingan; seperti antar kepentingan internal bangsa, antara
kepentingan nasional dengan kepentingan internasional, antar sektor
kehidupan nasional, dan sebagainya.
Kepentingan internal bangsa mencakup; (1) kepentingan
individual yang berkaitan dengan kepribadian (fisik, kebebasan,
reputasi dan kehormatan, rahasia pribadi, kepercayaan dan
pendapat), hubungan domestik (perkawinan, keluarga), kepentingan
substantif (hak milik, kebebasan industri, kontrak, hubungan dengan
orang lain, kebebasan berkumpul, pekerjaan); (2) kepentingan umum
yang terdiri atas kepentingan negara sebagai badan hukum
(intergritas dan kebebasan serta kehormatan bangsa, kedudukan
sebagai organisasi politik, korporasi dengan tujuan-tujuan tertentu)
dan negara sebagai pelindung kepentingan sosial; (3) kepentingan
masyarakat yang terdiri atas keamanan umum (keamanan, kesehatan,
kedamaian dan ketertiban, transaksi umum), keamanan lembagalembaga
sosial (lembaga domestik, lembaga keagamaan, lembaga
politik dan lembaga ekonomi), moral masyarakat, perlindungan
sumberdaya sosial (sumber daya alam, perlindungan bagi yang
lemah), kemajuan umum (ekonomi: penggunaan hak milik,
perdagangan, industri, hak milik intelektual), kemajuan politik
(kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi), kemajuan
kultural (kebebasan iptek, surat-menyurat, seni, promosi pendidikan
dan belajar, keindahan) dan kehidupan individual (tuntutan,
kesempatan dan kondisi kehidupan).
124
Integrasi Antara Kepentingan Nasional dan Internasional
Integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan
internasional sangat penting sebagai bahan pertimbangan akademis
mengingat interdependensi, interaksi dan interkoneksi antar negara
cenderung semakin meningkat dalam pelbagai aspek kehidupan.
Pendekatan partikularistik relatif harus lebih dikembangkan dalam
bentuk strategi yang tetap berpijak pada jati diri bangsa, tanpa
mengesampingkan kecenderungan global sepanjang tidak bertolak
belakang dengan pandangan hidup bangsa. Kepentingan internasional
tersebut tersurat dan tersirat dalam instrumen-instrumen dan
dokumen-dokumen internasional berupa konvensi, model treaties,
standar minimum rules, resolusi, deklarasi, dan sebagainya yang
dihasilkan oleh organisasi-organisasi internasional terutama PBB.
Kebutuhan ini dapat diatasi dengan ratifikasi, perjanjian bilateral,
regional, harmonisasi hukum dan seterusnya. Dalam konteks ini
relevan dengan salah satu tujuan nasional bangsa yaitu ikut serta
dalam menciptakan ketertiban dunia. Tetapi, di atas segalanya yang
lebih penting adalah keberanian para penegak hukum untuk
menjadikan instrumen-instrumen dan dokumen-dokumen
internasional tersebut sebagai acuan penegakan hukum, di samping
perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin.
Integrasi antar pelbagai aspek kehidupan nasional merupakan atau
harus dipandang sebagai refleksi dari Doktrin Ketahanan Nasional.
Pemahaman terhadap refleksi ketahanan nasional dalam kaitannya
dengan integrasi dan harmonisasi antar pelbagai aspek kehidupan akan
lebih mudah dipahami dalam hubungan sentral antara hukum dan
politik dalam kehidupan masyarakat. Seni untuk menyerasikan
aktualisasi nilai-nilai atau karakteristik pelbagai bentuk masyarakat,
pada dasarnya merupakan usaha untuk menyerasikan hubungan antara
kesejahteraan dan keamanan dalam pelbagai aspek kehidupan nasional.
Di bawah ini adalah table karakteristik dari suatu sistem sosial tertentu.
Kristalisasi dari uraian di atas adalah bahwa yang disebut hukum
nasional dalam era globalisasi di samping mengandung karakteristik
lokal, seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan
tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungankecenderungan
internasional yang diakui oleh masyarakat dunia yang
beradab. Yang menjadi masalah adalah sampai seberapa jauh
kecenderungan-kecenderungan internasional ini memberikan warna
125
dalam kehidupan hukum nasional baik dalam pembentukan hukum,
penegakan hukum maupun kesadaran hukum.
Dalam pembentukan dan pembaharuan hukum, aspirasi yang
perlu diperhatikan adalah aspirasi suprastruktur, infrastruktur,
ekpertis dan aspirasi masyarakat internasional, di samping tentu saja
proses legal drafting yang berkualitas harus dapat dipenuhi.
Untuk penegakan hukum sudah seharusnya ada transparasi antar
keluarga-keluarga hukum (legal family) dengan maksud agar tidak
diikuti lagi secara kaku. Keluarga-keluarga hukum tersebut antara
lain keluarga hukum Anglo-Saxon, keluarga hukum Kontinental,
keluarga hukum Sosialis, keluarga hukum Timur Tengah dan keluarga
hukum Timur Jauh. Yurisprudensi misalnya, sudah saatnya menjadi
sumber hukum yang representatif, tanpa harus memandangnya
sebagai tradisi yang hanya ada di sistem Common Law. Selanjutnya
Doktrin-doktrin hukum dari para pakar kiranya dapat mengisi
kekosongan hukum yang ada. Persepsi teoritik di samping dapat
menggambarkan, menjelaskan, mengungkap, juga dapat memprediksi
secara lebih akurat apa yang akan terjadi di masa depan.
Dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum harus
tergambar pula karakteristik hukum modern, yang merupakan
landasan sistem hukum dalam menyongsong globalisasi yang semakin
meningkat di masa datang. Tidak mustahil sasaran (adressat) norma
hukum nasional suatu bangsa, karena aktivitas transnasional, adalah
bangsa lain yang ada di negara yang berlainan sebagaimana
tergambar dalam hakekat globalisasi di atas.
Karakteristik hukum modern adalah bahwa hukum harus (a)
seragam dalam dalam aplikasi; (b) transaksional; (c) universalistik;
(d) hirarkis; (e) organized bureau-critically; (f) rasional; (g) profesional;
(h) dapat diamandemen; (i) politik; (j) pemisahan lembaga legislatif,
yudikatif dan eksekutif.
Aspirasi infrastruktur baik dalam pembentukan hukum maupun
penegakan hukum harus diperhitungkan sebagai salah satu aspek
penentu efektivitas hukum. Sebagai illustrasi dapat dikemukakan di
sini hasil riset di pelbagai negara yang menyimpulkan, bahwa
seringkali pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana ekonomi tidak
dapat efektif karena mereka merasa dirinya bukan penjahat. Hanya
karena kesalahan yang tidak seberapa mereka harus masuk penjara.
Tidak ada stigma sosial yang diberikan oleh lingkungannya.
126
Dalam kehidupan global yang saat ini dan di masa datang akan
banyak ditandai oleh profesionalisme, maka dituntut adanya sistem
pendidikan hukum yang semakin menunjang berupa sekolah-sekolah
profesional yang terdiversifikasikan secara baik, semakin spesialis,
pendidikan penegak hukum yang terintegrasi, badan-badan dan
lembaga-lembaga khusus yang menangani kasus-kasus yang sarat
dengan kerumitan dan sarat iptek. Pengembangan para legal
nampaknya harus dilihat sebagai tuntutan yang tidak berlebihan.
Dalam kerangka ini pula muncul kode etik, yang keberadaannya sudah
merupakan tuntutan nasional maupun internasional.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini bahwa di tingkat
internasional saat ini terdapat: (a) kode etik untuk perusahaan
transnasional; (b) kode etik untuk untuk para penegak hukum; (c)
prinsip-prinsip dasar bagi peran pengacara; (d) panduan tentang Jaksa
Penuntut; dan sebagainya. Ketaatan seseorang pada kode etik harus
mendapatkan penghargaan yang memadai, mengingat sanksi dalam
masalah norma susila sangat lemah dibanding sanksi hukum. Yang
harus dihayati adalah bahwa dalam hal ini terkait tiga komponen
sekaligus, yakni komponen mental, intelektual dan semangat alruistik
yang memadai.
Standar-standar tersebut sangat penting (apalagi bila didukung
oleh peradilan disiplin dan organisasi profesi yang handal), di samping
dapat memperkuat, memperlemah atau menghapuskan sifat melawan
hukum dalam suatu kasus perbuatan, standar-standar tersebut juga
dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi
malpraktek profesional atau tidak. Dikatakan ada malpraktek apabila
seorang profesional, dalam menjalankan kewajibannya telah bertindak
di bawah standar (substandar) profesinya sehingga menimbulkan
kerugian terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya (causation).
Perlu disadari pula bahwa menegakkan hukum dengan semangat
dan jiwa yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, secara
konseptual merupakan malpraktek juga. Dalam hal ini harus dibedakan
antara jiwa undang-undang (the legal spirit) sebagaimana tersurat dan
tersirat dalam konsiderans dan penjelasan umum perundang-undangan
tersebut, dengan jiwa penegakan hukum (the spirit of law enforcement)
yang berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UU no. 14 th 1970 yang harus selalu
digali oleh hakim pada saat mengadili perkara tersebut di dalam
masyarakat. Semangat ini harus mewarnai juga segala sub sistem
127
peradilan pidana lain. Doktrin yang menyatakan bahwa apabila terjadi
benturan antara hukum dan keadilan maka keadilanlah yang harus
diutamakan atas dasar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan
atas dasar ajaran sifat melawan hukum materiil.
Dalam era globalisasi orang tidak mungkin lagi hanya
mengoperasionalkan nilai-nilai domestik. Sebagai contoh adalah usaha
dunia internasional melalui PBB untuk melindungi apa yang
dinamakan jural postulates of civilization (JPC) yang mendasari
pernyataan bahwa ada 22 kejahatan yang dipertimbangkan sebagai
kejahatan international. JPCs tersebut adalah : (a) Ancaman langsung
terhadap kedamaian dan keamanan dunia; (b) Ancaman tidak
langsung terhadap kedamaian dan keamanan dunia; (c) Shocking to
the conscience of humanity; (d) Conduct affecting more than one state; (e)
Conduct including or affecting citizens of more than one state; (f) Means or
methods transcend national boundaries; (g) Cooperation of States Necessary
to enforce.
Dalam aktivitas manusia maupun kelembagaan yang bersifat
global, khususnya globalisasi politik yang bernuansa perlindungan
HAM dan demokratisasi. Manusia dan lembaga tersebut harus sadar
bahwa segala bentuk norma-norma HAM, baik hak-hak sipil dan
politik, hak-hak sosial, ekonomi dan kultural serta hak kolektif untuk
berkembang mengenal restriksi-restriksi dan limitasi yang diakui
secara universal. Restriksi dan limitasi tersebut adalah harus
menghormati hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan
moral umum, menghormati ketertiban umum, menghormati
kesejahteraan umum, menghormati keamanan umum, menghormati
keamanan nasional dan keamanan masyarakat, menghormati
kesehatan umum, menghindari penyalahgunaan hak, menghormati
asas-asas demokrasi dan menghormati hukum positif.
Sebaliknya, hak negara untuk mengurus dan mengatur serta
menyelenggarakan pemerintahan, juga dihadapkan pada restriksi dan
limitasi, seperti asas legalitas, asas negara hukum, martabat
kemanusiaan, asas bahwa pembatasan merupakan perkecualian, asas
persamaan dan non diskriminasi, asas non retroaktif dan asas
personalitas. Restriksi dan limitasi baik bagi negara maupun warga
negara dan penduduk suatu negara, menunjukkan kepada kita bahwa
sesuai dengan isyarat yang terkandung dalam Pasal 27 ayat 1 UUD
1945, setiap orang tidak hanya memiliki hak persamaan di depan
128
hukum tetapi juga sama-sama mempunyai kewajiban untuk
menjunjung hukum dan pemerintahan, tanpa ada pengecualian.
Di samping penegakan hukum yang bersifat represif dan preventif
yang sudah banyak diuraikan di atas dengan pelbagai asas
pembatasnya, dekade terakhir diwarnai oleh munculnya dimensi baru
dalam peradilan, yakni dimensi korban khususnya dalam kasus-kasus
pidana. Dimensi baru ini tidak hanya menimbulkan gerakan untuk
lebih memperhatikan korban untuk mendapatkan akses keadilan, tetapi
muncul gerakan untuk menumbuhkan apa yang dinamakan restorative
justice yang menempatkan peradilan pada posisi mediator. Model
konsensus dianggap menimbulkan konflik baru dan harus digantikan
dengan acensus model yang mementingkan dialog antara yang berselisih
untuk menyelesaikan masalahnya. Lalu muncul istilah ADR ( alternative
dispute resolution), yang dalam hal-hal tertentu dianggap lebih
memenuhi tuntutan keadilan dan efisiensi.
Akhirnya secara umum dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
penegakan hukum yang dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban
dan perlindungan hukum pada zaman modern dan era globalisasi ini,
hanya dapat terlaksana apabila pelbagai dimensi kehidupan hukum selalu
menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas
sosial, moralitas kelembagaan dan moralitas sipil yang didasarkan oleh
nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab, baik nasional maupun
internasional. Dengan demikian kerjasama internasional sangat
dibutuhkan, tidak hanya untuk membuat rambu-rambu pergaulan
internasional, tetapi juga untuk mengatasi secara bersama-sama apabila
terjadi perbuatan-perbuatan menyimpang yang berdimensi transnasional
dan mungkin juga ekstrateritorial.
Suasana nasional sangata kondusif untuk memberikan peranan
terhadap hukum dalam era globalisasi. Hukum saat ini ditempatkan
secara terhormat sebagai Bidang pembangunan dalam GBHN dan tidak
sekedar sebagai sektor pembangunan politik seperti pada masa lalu.
Globalisasi harus dilihat sebagai suatu sistem, baik sebagai sistem
abstrak yang penuh dengan sistem nilai baru maupun sebagai sistem
fisik dalam bentuk mobilitas barang, orang dan jasa yang
menggunakan standar-standar baku yang bersifat global. Untuk itu
sistem hukum, baik struktur, substansi maupun kulturnya harus
disiapkan untuk menghadapinya. n
129
Pendahuluan
Pada saat orang membicarakan proses modernisasi dan dampak
serta perubahan sosial yang diakibatkannya dua dekade yang lalu,
banyak orang diliputi rasa keprihatinan yang mendalam. Sistem
hukum baik substantif, struktural maupun kultural dirasakan sangat
ketinggalan dibandingkan dengan pelbagai kebutuhan hukum yang
berkembang akibat perubahan sosial. Diskrepansi tersebut cenderung
menumbuhkan kritik yang tajam terhadap lembaga-lembaga hukum,
baik yang terlibat langsung dalam proses pembuatan undang-undang,
yang melaksanakan proses penegakan hukum, maupun lembaga
peradilan yang harus menerapkan hukum dalam peristiwa yang
konkrit dalam kerangka kehidupan nasional sehari-hari.
Kemudian, pada dekade terakhir orang juga nyaris semakin
terpana oleh fenomena proses globalisasi sebagai dampak dari
perkembangan teknologi komunikasi, informatika dan transportasi
modern yang dahsyat. Proses globalisasi antara lain memunculkan
fenomena berupa erosi kedaulatan nasional, munculnya konsepkonsep
kesejahteraan regional dan global, berlakunya pelbagai
standar baku di pelbagai bidang yang bersifat global seperti rezim
WTO, HAM dan sebagainya. Sementara itu mobilitas sosial yang
semakin tinggi yang ditandai munculnya global travellers, juga
memunculkan serangkaian akibat-akibat lain yang tak terbayangkan
sebelumnya, seperti melemahnya ikatan-ikatan etnosentrik, peranan
swasta yang semakin besar yang beriringan dengan meningkatnya
peranan dan pemanfaatan informasi yang luar biasa (Daniels, 1994).
Globalisasi sebagai proses perubahan sosial yang tak
terhindarkan, di samping membawa kemaslahatan manusia di dunia
Hukum Positif Indonesia
Dalam Penanggulangan Kejahatan
Lintas Negara
130
dalam bentuk pelbagai kenikmatan dan kemudahan, ternyata juga
menimbulkan mudarat yang bersifat eksesif dalam bentuk kehancuran
bagi negara-negara yang tidak siap, perusakan lingkungan hidup,
runtuhnya tradisi-tradisi nasional yang bersifat partikularistik,
berkembangnya jenis-jenis kejahatan baru yang bersifat transnasional
dengan memanfaatkan perkembangan alat transportasi, komunikasi
dan informatika modern dan sebagainya.
Reaksi-reaksi keras yang terjadi terhadap globalisasi yang dilakukan
oleh sejumlah kalangan NGO’s akhir-akhir ini, pada dasarnya menuntut
agar globalisasi juga menghormati supremasi hukum dan HAM.
Ringkasnya, globalisasi tidak hanya mengandung kesempatan emas,
tetapi juga mengandung pelbagai bahaya dan ancaman bagi kehidupan
manusia. Banyak orang beranggapan bahwa dengan ekonomi global
berarti semakin mudahnya perdagangan wanita dan anak-anak untuk
kerja paksa dan prostitusi, semakin mudahnya penyelundupan narkotik
dan senjata, semakin mudahnya menghindari pengadilan, dan lebih
banyak bisnis yang menghasilkan penyuapan. (Handelman, 2000).
Globalisasi tidak hanya bersifat kriminogin yang menimbulkan
bentuk kejahatan-kejahatan lintas negara dan munculnya jenis-jenis
kejahatan baru, tetapi juga memicu berkembangnya kejahatan yang
terorganisasi (organized crimes), bahkan yang bersifat transnasional
(organized transnational crimes). Problem yang ditimbulkan oleh kejahatan
yang disebut terakhir ini (transnasional) semakin meningkat dan harus
dicermati betul, karena dari pelbagai riset nampak terbukti adanya kaitan
erat antara kejahatan terorisme dengan kejahatan terorganisasi.
PBB menganggap fenomena di atas sebagai sesuatu yang terlalu
serius untuk diabaikan karena akan membahayakan keamanan,
stabilitas nasional dan internasional, dan tertib hukum serta HAM.
Beberapa kriteria untuk melakukan kategorisasi adanya kejahatan
internasional adalah bahaya yang ditimbulkannya baik langsung
maupun tidak langsung terhadap perdamaian dan keamanan,
pelanggaran terhadap nurani kemanusiaan, pengaruhnya terhadap
warga lebih dari satu negara, cara dan alatnya yang bersifat lintas
batas, dan kerjasama antar negara yang menangani (Bassiouni, 1990).
Perkembangan kejahatan lintas negara yang terorganisasi tersebut
begitu meresahkan pelbagai negara mengingat dimensi-dimensi
keorganisasiannya yang begitu canggih dan motifnya yang bersifat
multidimensional seperti motif ekonomis, politis atau kombinasi antara
131
keduanya. Untuk itu cara penanggulangannya tidak bisa lain harus
pula dilakukan secara transnasional dalam bentuk kerjasama yang
komprehensif antar negara (internasional, regional, bilateral dan
multilateral) baik preventif maupun represif, baik dengan sarana penal
(melalui sistem peradilan pidana) maupun dengan sarana non penal.
Kejahatan Lintas Negara
Kejahatan lintas negara baik yang bersifat individual maupun
yang terorganisasi dapat berupa: pemalsuan dan penipuan, korupsi
yang terkait dengan kejahatan terorganisasi, penyelundupan berlian,
rentenir, perdagangan dan penyelundupan imigran gelap, pencucian
uang, penipuan dalam telemarketing, pemalsuan melalui internet,
terorisme, perdagangan manusia (wanita dan anak-anak) untuk kerja
paksa dan prostitusi, penyelundupan obat dan senjata api,
perdagangan ilegal spesis hewan dan tumbuh-tumbuhan yang
membahayakan, pelanggaran atas warisan budaya, agresi, kejahatan
perang, apartheid, penyadapan kabel bawah laut, dan lain-lain.
Untuk membedakannya dengan kejahatan individual, kejahatan
terorganisasi mempunyai karakteristik sebagai berikut: kelompok
tersebut memiliki sedikit banyak struktur yang hirarkis dengan
komposisi yang relatif konstan; sistem kontrol yang diberlakukan
bersifat paksaan; pada batas tertentu, sebagian keuntungan dari hasil
kejahatan diinvestasikan pada kegiatan-kegiatan legal; tindak pidana
yang dilakukan lebih dari satu atau sejenis; menyuap pegawai
pemerintah atau perusahaan swasta. (Nilson, 1995).
Di dalam Naples Political Declaration and Global Action Plan against
Organized Transnational Crimes yang disetujui oleh SU PBB 23 Desember
1994 kejahatan terorganisasi (transnasional) dirumuskan sebagai berikut:
“ ….organisasi/kelompok untuk melakukan kejahatan; hubungan
hirarkis atau personal yang memungkinkan para pemimpin mengontrol
kelompok (kekerasan, intimidasi dan kerupsi digunakan untuk
mendapatkan keuntungan atau mengontrol wilayah atau pasar);
pencucian hasil tindakan ilegal baik untuk kegiatan kejahatan maupun
untuk menginfiltrasi kegiatan ekonomi yang legal; potensial untuk
melakukan ekspansi ke dalam kegiatan-kegiatan baru di luar batasbatas
negara; dan terbuka untuk kerja sama dengan dengan organisasi
kelompok kejahatan transnasional”.
Dari sisi normatif dan penegakan hukum, ada usaha untuk
menyederhanakan pengertian kejahatan terorganisasi — agar para
132
penegak hukum lebih fleksibel — mengingat definisi yang ada terlalu
kriminologis, kompleks dan seringkali sempit. Sebagai contoh, di
Kanada, perubahan yang dilakukan menyangkut ciri-ciri kejahatan
terorganisasi antara lain mencakup: (1) mengurangi jumlah orang yang
terorganisasi dari lima menjadi tiga orang; (2) Jaksa tidak lagi
diwajibkan untuk menunjukkan bahwa organisasi kejahatan tersebut
terlibat dalam pelaksanaan serangkaian kejahatan untuk kepentingan
organisasi tersebut selama lima tahun terakhir; (3) memperluas ruang
lingkup kejahatan yang didefinisikan dalam organisasi kejahatan dan
meliputi semua kejahatan berat. Padahal sebelumnya hanya mencakup
serangan atau tindakan yang dapat dituduhkan (indictable offenses)
yang dipidana maksimum lima tahun atau lebih.
Definisi tentang “kelompok kejahatan yang terorganisasi” dan
“kejahatan transnasional terorganisasi” (transnational organized crime)
menjadi semakin mantap dengan diadopsinya konvensi PBB untuk
memerangi kejahatan transnasional yang terorganisasi, di Palermo
(disebut Konvensi Palermo), oleh the General Assembly pada bulan
Nopember 2000 dan terbuka untuk ditandatangani di Palermo,
Desember 2000. Konvensi ini berlaku setelah diratifikasi oleh 40
negara. Dalam Konvensi ini, Organized Criminal Group dirumuskan
sebagai: “kelompok terstruktur yang terdiri dari tiga orang atau lebih,
berada untuk suatu masa dan berbuat dalam satu kesatuan dengan
tujuan untuk melakukan lebih dari satu kejahatan serius yang diatur
dalam konvensi, untuk memperoleh, langsung atau tidak langsung,
keuntungan finansial atau materi yang lain”.
Sedangkan ruang lingkup penerapan konvensi tersebut mencakup
pencegahan, investigasi dan penuntutan meliputi kejahatan-kejahatan
sebagai berikut: (a) berpartisipasi dalam organisasi kelompok
kejahatan; (b) pencucian hasil tindak kejahatan; (c) korupsi; (d)
mengganggu proses untuk mendapatkan keadilan; (e) tindak pidana
berat sebagaimana didefinisikan dalam Artikel 2 Konvensi tersebut.
Selanjutnya di dalam Artikel 3.2. dinyatakan bahwa kejahatan
tersebut dikategorikan bersifat transnasional apabila: (a) dilakukan di
lebih dari satu negara; (b) dilakukan di sebuah negara tetapi persiapan
dan pengendaliannya dilakukan dari negara lain; (c) dilakukan di sebuah
negara, tetapi melibatkan kelompok organisasi kejahatan yang terlibat
dalam tindak kejahatan di lebih dari satu negara; atau (d) dilakukan di
satu negara tetapi menimbulkan efek substansial di negara lain.
133
Di samping pelbagai kejahatan di atas, terdapat tiga protokol, yakni;
(1) protokol yang menentang penyelundupan migran melalui darat,
udara dan laut; (2) protokol untuk mencegah, memberantas dan
memidana perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak; dan (3)
protokol yang menentang pembuatan dan perdagangan senjata api,
bagian-bagian atau komponen dan amunisinya. Hanya saja dalam Pasal
37 ditegaskan bahwa suatu negara harus terlebih dahulu meratifikasi
Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi sebelum
menjadi peserta suatu protokol di atas. Hal ini berarti bahwa setiap
protokol harus dibaca dan diterapkan dalam kerangka Konvensi Utama.
Kasus di Indonesia
Data yang tercatat pada Mabes POLRI pada tahun 2000/2001
tentang keterlibatan orang asing dalam tindak pidana menunjukkan
fakta-fakta sebagai berikut:
No Tindak Pidana Kasus Keterangan
1 Penipuan 25 Pasal 378 KUHP
2 Penggelapan 17 Pasal 372 KUHP
3 Perbuatan tidak menyenangkan 5 Pasal 335 KUHP
4 Keimigrasian/imigran gelap 68 UU No.9 Th 1992
5 Narkotika 32
6 Pencurian/pencurian dg. pemberatan 23
7 Penganiayaan 11
8 Penghinaan 3
9 Pengrusakan 2
10 Pemerasan 2
11 Uang palsu 5
12 Unjuk rasa 2
13 Kesusilaan ?
14 Lalu lintas 1 Psl. 359 KUHP
15 Perlindungan konsumen 1
16 Pembunuhan 1
17 Pemalsuan 2
18 Perjudian 3
19 Penyelundupan 3
20 Pengrusakan 2
21 Pembakaran rumah 1
22 Janji palsu 1 Psl.328 KUHP
23 Pemilikan senjata api secara ilegal 1
24 Mempekerjakan anak di bawah umur 1
J u m l a h 212
134
Data di atas secara sekilas menunjukkan bahwa pelbagai
kejahatan yang melibatkan orang asing di Indonesia lebih bersifat
perorangan. Sekalipun ada kemungkinan bahwa tindak pidana
keimigrasian, imigran gelap, tindak pidana narkotika dan tindak
pidana uang palsu kemungkinan berkaitan dengan kejahatan
transnasional yang terorganisasi, namun nampaknya hal ini belum
pernah terungkap. (Karena keterbatasan waktu, penulis belum
memperoleh data tentang keterlibatan warga negara Indonesia dalam
tindak pidana di luar negeri, yang kemungkinan berkaitan dengan
kejahatan transnasional yang terorganisasi).
Dengan semakin meningkatnya kejahatan lintas negara terutama
yang terorganisasi dalam bentuk sindikat baik regional maupun global,
maka di samping usaha peningkatan kebijakan kriminal domestik (baik
preventif maupun represif), masih diperlukan kerjasama antar negara
yang intensif. Kerjasama tersebut bisa bersifat bilateral (mis. perjanjian
ekstradisi antara dua negara, bahkan forum seperti The Canada—US
Cross-Border Crime Forum) dan bisa pula bersifat multilateral. Yang
terakhir ini bisa bersifat global (atas dasar UN Convention Against
Transnational Organized Crimes, Interpol) dan bisa pula bersifat regional
(mis. The Asean Plan of Action to Combat Transnational Crime dan
SARPCCO: the Southern African Police Chiefs Cooperation Organization
yang salah satu tujuannya adalah memerangi kejahatan lintas negara
yang terorganisasi. Demikian pula keberadaan Aseanapol).
Kerjasama tersebut mencakup ruang lingkup yang luas seperti
pertukaran informasi, kerjasama di bidang hukum seperti kriminalisasi
dan harmonisasi hukum, kerjasama di bidang penegakan hukum seperti
ekstradisi, mutual assistance, transfer of proceeding, investigasi bersama,
pelatihan, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan kerjasama ekstra
regional. Dalam hal ini berlaku doktrin bahwa “tak satupun suatu
bangsa dapat menyelesaikan soal kejahatan secara sendirian!”
Kesiapan hukum positif
Berbicara tentang kaitan antara kejahatan lintas negara —
khususnya yang terorganisasi— dengan hukum positif, mau tidak mau
akan mengantarkan kita pada hakekat hukum pidana dengan tiga
permasalahan pokoknya, yaitu; adanya perbuatan yang bersifat
melawan hukum (actus reus) yang dilakukan baik oleh orang dan atau
korporasi; adanya kesalahan yang melekat pada si pelaku (mens rea);
135
dan adanya sanksi baik pidana (punishment) maupun tindakan
(treatment). Dalam hal ini akan terkait pula persoalan kriminalisasi,
baik dalam arti perumusan tindak pidana baru, maupun perluasan
berlakunya hukum pidana seperti pengaturan corporate criminal liability.
Dalam Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional terorganisasi,
liability of legal persons tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana,
tetapi juga hukum perdata dan hukum administratif (Art. 10).
Dalam konteks Indonesia, persoalan yang perlu diajukan adalah
sampai seberapa jauh telah dilakukan kriminalisasi terhadap tindak
pidana dalam kategori sebagai berikut: tindak pidana berupa turut
berpartisipasi dalam kelompok organisasi kejahatan; tindak pidana
pencucian uang hasil kejahatan (money laundering) dan tindak pidana
korupsi; tindak pidana gangguan terhadap proses untuk memperoleh
keadilan; dan pelbagai kejahatan berat (yang diancam dengan pidana
perampasan kemerdekaan paling sedikit empat tahun atau lebih berat)
yang bersifat transnasional dan melibatkan kelompok organisasi
kejahatan. Jawabannya adalah Indonesia secara eksplisit belum
mempunyai perundang-undangan yang mengkriminalisasikan
kejahatan-kejahatan berpartisipasi dalam kelompok organisasi
kejahatan dan kejahatan “obstruction of justice”. Untuk tindak pidana
korupsi relatif telah diatur secara lengkap dalam UU. no 31 th. 1999,
namun di luar kaitannya dengan sifat transnasional dan dengan
kelompok kejahatan terorganisasi. Sedangkan tindak pidana “money
laundering” (UU. no 15 th, 2002) masih harus diuji seberapa jauh
kesesuaiannya dengan dengan standar internasional.
Sepanjang menyangkut kejahatan penyelundupan imigran (human
cargo), trafficking in persons dan trafficking in firearms sekalipun jauh
dari memadai, kita mempunyai Pasal 324 KUHP, Pasal 297 KUHP
dan UU No.1 Drt. Th. 1951. Namun sekali lagi nuansa transnasional
dan kaitannya dengan organisasi kejahatan belum ada pengaturannya.
Terhadap tindak-tindak pidana berat yang lain, juga banyak yang
belum dikriminalisasikan, apalagi jika dikaitkan dengan kelompok
kejahatan terorganisasi dan sifat transnasional. Dari pelbagai contoh
kejahatan lintas negara sebagaimana tersebut di atas, secara domestik
sudah banyak diatur (sekalipun ancaman pidananya ada yang lebih
ringan dari empat tahun penjara), tetapi sekali lagi itu tidak terkait
dengan sifat transnasional dan hubungannya dengan organisasi
kejahatan. Belum lagi menyangkut jenis-jenis kejahatan serius lain,
136
seperti “kejahatan maya” (cybercrimes) yang ruang lingkup
pengaturannya begitu luas seperti tercermin secara tersurat dan
tersirat dalam Konvensi Eropa tentang Kejahatan Maya tahun 2001
(European Convention on Cybercrime 2001), dan terorisme (hanya
beberapa dari 12 Konvensi Internasional yang menentang terorisme
telah diratifikasi).
Selanjutnya, dengan sendirinya persoalan akan bersentuhan
dengan hukum pidana formil, yakni tata cara untuk mempertahankan
hukum pidana materiil. Yang perlu dicermati di sini adalah ketentuan
tentang perlindungan saksi dan perlindungan korban, mulai dari
perlindungan fisik, relokasi, sampai dengan penyembunyian identitas.
Korban dalam hal ini harus dilihat pula sebagai saksi, di samping
ketentuan tentang “obstruction of justice”.
Pada akhirnya yang harus diperhatikan adalah hukum
pelaksanaan pidana yang berkaitan dengan jenis pidananya (strafsoort),
kemudian berat ringannya pidana (strafmaat), dan cara bagaimana
pidana dilaksanakan (strafmodus). Contoh yang menarik adalah
Kanada. Pada bulan April 1997, terjadi amandemen KUHP yang
mengatur anti gang measure yang memidana maksimum 14 tahun
penjara terhadap mereka yang berpartisipasi terhadap organisasi
kriminal. Selanjutnya terdapat ketentuan dalam Corrections and
Conditional Act (CCRA), yang menentukan bahwa terpidana kejahatan
yang berkaitan dengan organisasi kejahatan tidak berhak mengajukan
parole, semacam pelepasan bersyarat. Dalam UU tentang ekstradisi
yang baru ditentukan kemungkinan bagi saksi untuk menggunakan
video and audio-link technology dalam memberikan kesaksian baik yang
ada di Kanada maupun di luar Kanada.
Kesimpulan
Dalam rangka penanggulangan kejahatan lintas negara yang
terorganisasi yang membahayakan keamanan dan kehidupan nasional,
regional maupun internasional diperlukan langkah-Iangkah strategis
dan kerjasama baik domestik, bilateral, regional maupun internasional.
Dari sisi kehidupan masing-masing negara paling sedikit diperlukan
langkah-langkah strategis sebagai berikut:
a. Melakukan kajian dan ratifikasi terhadap UN Conventions Against
Transnational Organized Crime, disusul kriminalisasi dan
harmonisasi pengaturan tentang tindak-tindak pidana terkait.
137
b. Memperluas jangkauan perjanjian ekstradisi dan kerjasama yang
lain.
c. Melakukan usaha perlindungan saksi dan korban secara
maksimal.
d. Mendorong dan mempererat kerjasama domestik, bilateral,
regional dan internasional untuk mengefektifkan
penanggulangan kejahatan transnasional terorganisasi kejahatan
terkait.
e. Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui sosialisasi substansi
Konvensi termasuk dimensi bahaya yang ditimbulkan kejahatan
transnasional terorganisasi.
f. Merumuskan kebijakan kriminal yang komprehensif, baik
preventif maupun represif. n
138
Dalam uraian di bawah ini, pengertian tindak pidana ekonomi
dimaksudkan dalam pengertiannya yang luas, tidak hanya terbatas pada
pengertiannya sebagaimana diatur dalam UU No.7 Drt.tahun 1955, yang
dengan UU Pabean baru semakin kehilangan pamornya. Dalam tulisan
ini tindak pidana ekonomi lebih diartikan sebagai “kegiatan ilegal tanpa
kekerasan yang pada dasarnya melibatkan unsur penipuan,
mispresentasi, penyembunyian, manipulasi, pelanggaran kepercayaan,
pengingkaran atau penggunaan dalih tidak sah” (Andenaes, 1977).
Istilah “tiadanya unsur kekerasan” (non violent) bukan hanya
kabur pengertiannya tetapi juga problematis jika dihubungkan dengan
munculnya gejala malpraktek yang terkait dengan perusahaanperusahaan
multi nasional dengan segala dampak buruk yang
ditimbulkannya; contohnya, kecelakaan mobil akibat kesalahan desain
yang mengakibatkan matinya ribuan orang; ribuan orang mati karena
pengaruh rokok (cigarette-induced disease); ribuan orang mati karena
asbestos-related cancer, meningkatnya sakit paru coklat (brown-lung)
pada buruh-buruh pabrik tekstil; meningkatnya penyakit paru-hitam
(black lung) pada buruh-buruh tambang; kasus union carbide yang
menyebabkan ribuan orang mati dan luka-luka; kasus Thalidomide
yang mengakibatkan ribuan bayi mengalami cacat; kasus agent orange
yang mencederai veteran perang Vietnam. Belum lagi kasus-kasus
tindak pidana berupa pencemaran lingkungan yang semakin merebak
(Mokhiber, 1988).
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa dalam pengertiannya
yang luas, tindak pidana ekonomi pada hakikatnya mengandung
paling kurang tiga elemen sebagai berikut:
Korporasi Transnasional dan Pengaruhnya
Terhadap Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia
139
a) Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana yang dilakukan
dalam lingkup kegiatan ekonomi, yang dengan sendirinya
merupakan, atau paling tidak dianggap, sebagai kegiatan bisnis
yang legal dan wajar. Tidak termasuk di dalamnya kegiatan
ekonomi yang bersifat ilegal, seperti perjudian ilegal, perdagangan
narkotik, atau prostitusi yang terorganisasi.
b) Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana yang bukan hanya
individu yang menjadi korban, tetapi juga merugikan kepentingan
negara atau masyarakat secara umum. Kejahatan ekonomi adalah
kejahatan bisnis, meski tidak berarti semua kejahatan bisnis adalah
kejahatan ekonomi. Kasus-kasus penipuan atau penggelapan biasa
tidak termasuk dalam kategori ini.
c) Tindak pidana ekonomi mencakup pula di dalamnya tindak pidana
yang dilakukan dunia bisnis atas perusahaan bisnis yang lain, atau
individu-individu, atau sekurangnya beberapa tindak pidana yang
sejenis. (Andenaes, 1977).
Mengaitkan korporasi transnasional dengan tindak pidana
ekonomi memerlukan kesepakatan-kesepakatan dalam mengartikan
terminologi yang digunakan. Istilah yang biasa digunakan di tingkat
organisasi internasional adalah Multinasional Enterprises (MNEs) yang
secara yuridis dirumuskan sebagai “perusahaan-perusahaan asing
yang dikendalikan dari negara asal dan terlibat dalam kegiatankegiatan
ekonomi yang penting di negara lain, yang disebut negaranegara
tuan rumah” (Galbraith, 1988).
Yang membedakannya dari aktivitas bisnis dari perusahaan yang
lain adalah kemampuannya untuk menerapkan kekuatan pasar dan
mempengaruhi negara-negara tuan rumah melalui apa yang
dinamakan remote control. Di dalam dunia yang terbagi-bagi dalam
kedaulatan teritorial dan yurisdiksi, penerapan pengaruh kekuatan
pasar yang bersifat ekstrateritorial tadi memerlukan pengaturan
tersendiri dan berbeda dengan pengaturan perusahan domestik.
Kondisi semacam itulah yang mendorong organisasi-organisasi
internasional seperti PBB (ECOSOC) dan OECD (organization for
Economic Cooperation and Development) untuk mengatur kode etik
tersendiri bagi MNEs. Kode ini, yang oleh UNECOSOC dirumuskan
pada 1979 (Horn, 1980), memuat antara lain aspek-aspek dan
ketentuan sebagai berikut:
140
1. Kegiatan Perusahaan Transnasional.
a. Umum dan Politik; menghormati kedaulatan negara dan patuh
pada hukum, peraturan dan praktek-praktek administratif negara
setempat; berpegang pada tujuan-tujuan ekonomi dan sasaransasaran
serta prioritas kebijakan pembangunan; berpegang pada
nilai sosio kultural; menghormati HAM; tidak campur tangan
urusan politik intern; dan tidak terlibat dalam praktek korupsi.
b. Ekonomi, Finansial, dan Sosial; meliputi ketentuan kepemilikan
dan pengawasan; neraca pembayaran dan keuangan; transfer
pricing, perpajakan; persaingan dan praktek-praktek bisnis
terbatas; transfer tekonologi; lapangan kerja dan pekerjaan;
perlindungan konsumen; dan perlindungan terhadap
lingkungan.
c. Penyingkapan Informasi.
2. Perlakuan Terhadap Perusahaan Transnasional.
Hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam ketegori
ini di antaranya; perlakuan umum Perusahaan Transnasional oleh
negara-negara tuan rumah; nasionalisasi dan kompensasi; yurisdiksi.
3. Kerjasama antar Negara.
Keberadaan kode tersebut merefleksikan hasil riset bahwa
perusahaan-perusahaan besar yang tetap survive sampai ratusan tahun
pada umumnya adalah perusahaan-perusahaan yang patuh pada etika
bisnis. Dalam konteks ini penting disadari bahwa setiap aspek memiliki
disiplin dan logikanya sendiri-sendiri; misalnya soal teknik dasarnya
adalah fakta, ilmu pengetahuan dan logika; ekonomi didasarkan atas
kebutuhan dan penawaran; sosial tidak dapat dilepaskan dari
kebutuhan kelompok dan lembaga-lembaga; segi-segi psikologis
berdasarkan kebutuhan kesejahteraan umum dari negara; estetika
didasarkan atas keindahan; etika didasarkan atas apa yang dianggap
benar; dan spiritual didasarkan atas wahyu. (Blomstrom, 1990).
Apabila MNEs di atas lebih dikaitkan dalam pengertiannya yang
positif atau sah (legalized), maka istilah tersebut bisa pula dikaitkan
dengan sesuatu yang negatif, yakni kejahatan korporasi yang
dilakukan secara terorganisasi. Dengan kata lain, pengertian tindak
pidana ekonomi (UU No.7 Drt. Th. 1955) dalam kaitan dengan
korporasi, istilah korporasi diartikan lebih luas daripada pengertian
korporasi dari segi hukum perdata.
141
Dalam hukum pidana, korporasi bisa berbentuk badan hukum
atau non badan hukum. Dalam pasal 15 UU No.7 Drt. Th 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi ayat (1) dinyatakan bahwa “Jika suatu tindak
pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka…”.
Dengan demikian bisa terjadi bahwa pengertian korporasi dalam
tindak pidana ekonomi, bisa mengandung organisasi yang sah dan
bisa pula yang bersifat tidak sah. Yang pertama dapat dikategorikan
sebagai crimes for corporation, sedang yang terakhir ini bisa disebut
corporate criminal, yakni korporasi yang dibentuk untuk melakukan
kejahatan. Tetapi secara transnasional, yang terlibat dalam kejahatan
terorganisir bisa juga mencakup kedua-duanya asalkan memenuhi
karakteristik sebagaimana dirumuskan di dalam Rencana Aksi Global
Melawan Organisasi Kejahatan Transnasional yang dihasilkan oleh
Konferensi Tingkat Menteri Dunia tentang Organisasi Kejahatan, di
Napoli (November, 1994), yang rumusannya sebagai berikut:
“Untuk memerangi organisasi kejahatan dengan efektif, negara harus
mempertimbangkan karakteristik struktural dan modus operandinya
dalam merumuskan strategi, kebijakan, perundang-undangan dan
langkah-langkah lainnya. Meskipun tidak mencerminkan definisi legal
yang komprehensif atas fenomena tersebut, sifat-sifat berikut merupakan
bagian dari karakteristiknya, yaitu; organisasi kelompok untuk
melakukan tindak pidana; hubungan hirarkis atau hubungan personal
yang memungkinkan seseorang yang disebut pemimpin dapat
mengontrol kelompok; kekerasan, intimidasi dan korupsi yang
dilakukan untuk untuk mendapatkan keuntungan atau mengontrol
wilayah dan pasar; pencucian uang hasil kejahatan dengan dalam
rangka menjalankan kegiatan tindak pidana dan untuk menyusup
kedalam kegiatan ekonomi yang legal; potensi untuk ekspansi ke dalam
kegiatan-kegiatan baru dan di luar perbatasan negara; serta kerjasama
dengan kelompok-kelompok organisai kejahatan transnasional yang
lain”.(General Assembly, UN, 1994: hal 9-10).
Dalam Konvensi Palermo Th. 2000 tentang Kejahatan
Transnasional yang Terorganisasi, terdapat sejumlah jenis kejahatan
yang diidentifikasi masuk dalam kategori “transnational organizes
crimes” yaitu: korupsi, pencucian uang, berpartisipasi dalam kelompok
kejahatan, dan obstruction of justice. Disebut bersifat transnasional
kejahatan itu memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) perbuatan
dilakukan di lebih dari satu negara; (2) dilakukan di satu negara
142
tetapi bagian substantif dari persiapan, perencanaan, dan
pengendaliannya dilakukan dari negara lain; (3) dilakukan di satu
negara tetapi melibatkan suatu kelompok organisasi kejahatan di lebih
dari satu negara; atau (4) dilakukan di satu negara tetapi efek
substansialnya mengimbas ke negara-negara lain.
Jadi, sepanjang MNEs terlibat dalam usaha-usaha dengan
karakteristik di atas, maka ia memenuhi syarat untuk disebut sebagai
telah melakukan kejahatan transnasional yang terorganisasi.
Konsekuensinya adalah berlakunya corporate liability, baik bagi pejabat
eksekutif korporasi maupun korporasinya sendiri, sejauh memenuhi
prasyarat dalam kaitannya dengan functional criminal liability of natural
persons. Keterlibatan MNEs di atas, antara lain bisa dalam bentuk
pencucian uang hasil kejahatan, khususnya dalam bentuk integration
(Waling dkk., 1994: hal 1072-1073). Dalam hal ini tentu saja asas legalitas
tetap harus diperhatikan. Dan agar tetap dapat dipertanggungjawabkan,
undang-undang harus secara eksplisit mengaturnya.
Di samping kemungkinan terlibat secara langsung dengan
kejahatan transnasional terorganisasi, secara kolektif dan mandiri
MNEs dapat pula melakukan tindak pidana ekonomi secara tidak
langsung di negara di mana MNEs beroperasi, seperti menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup, pelanggaran pajak, hak milik intelektual
(lihat UU Pabean yang baru), perburuhan, perlindungan konsumen,
korupsi dan sebagainya.
Khusus dalam kaitannya dengan korupsi, ada kasus yang
menarik, yakni apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam rangka
menanggulangi pembayaran-pembayaran yang tidak sah yang
dilakukan oleh MNEs Amerika di negara-negara di mana mereka
beroperasi, termasuk penyuapan terhadap pejabat-pejabat setempat
dalam bentuk penyuapan, pemerasan, pembayaran kembali, biaya
siluman untuk korupsi politik, dan sebagainya. Banyak negara-negara
maju semula menganggap bahwa perbuatan-perbuatan tersebut
merupakan bagian dari strategi kompetisi dengan MNEs negaranegara
lain yang beroperasi di negara-negara berkembang, sehingga
tindakan yang demikian cenderung dianggap bukan merupakan
kewajiban negara bersangkutan (tuan rumah) untuk menegakkan
integritas pegawai-pegawai negara lain.
Amerika serikat sejak semula menganggap bahwa perbuatan
seperti disinggung di atas merupakan perbuatan tercela. Di dalam Tax
143
Reform Act 1976, penyuapan terhadap pejabat asing (trading in influence)
di negara asing oleh MNEs dapat mengakibatkan konsekuensi pajak
yang berat. Selanjutnya di dalam Foreign Corrupt Practices Act (FCPA)
yang ditandatangani pada tahun 1977 (bab 103 dan 104), pelaku
penyuapan tersebut (untuk perusahaan) dapat dijatuhi denda 1 juta
dollar dan bagi individu denda 10.000 dollar dan pidana 5 tahun.
(Seymour, 1977; hal 220-223). Langkah ini secara global memperoleh
tanggapan, yang ditandai dengan disusunnya kode etik untuk MNEs
dan diterimanya resolusi tentang “Tindakan Memerangi Korupsi”,
yang telah mengadopsi Kode Etik Internasional untuk Para Pejabat
Publik pada sidang kelima Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan
Pidana di Wina, 21-31 Mei 1996 yang lalu. Yang perlu dikemukakan di
sini bahwa “penyuapan untuk pejabat publik asing” (bribery of foreign
public officials) bersama-sama dengan tindak pidana lingkungan,
pemalsuan dan sebagainya, termasuk kategori kejahatan internasional
(Bassiouni, 1989). Beberapa konvensi internasional terkait dalam hal
ini antara lain: EU Convention on the Fight Againts Corruption (1977),
Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999), dan
OECD Anti-Bribery Convention (2000).
Keberadaan standar-standar internasional mendampingi
aktivitas manusia yang juga semakin mengglobal akibat kemajuan
teknologi komunikasi, transportasi dan informatika modern. Sulit
dapat dibayangkan betapa kacaunya tatanan dunia ini (karena
globalisasi ekonomi yang ditandai oleh meningkatnya peranan modal
swasta, interdepedensi perusahaan-perusahaan swasta antar negara,
peranan modal asing yang semakin besar, tumbuhnya perusahaanperusahaan
raksasa) apabila tidak dibarengi dengan tegaknya hukum
(Ohmae, 1995). Dalam kerangka ini semua negara harus segera
menyadari bahwa tidak ada satu negara pun secara sendiri-sendiri
dapat secara efektif mengatasi kejahatan yang berkaitan dengan
negara lain. Untuk itu diperlukan jaringan kerjasama internasional
untuk pencegahan kejahatan dan peradilan pidana.
Korban Kejahatan Korporasi
Istilah kejahatan pada judul di atas mengandung makna yang
khas, karena cakupan pengertiannya lebih luas dari pada sekedar
hanya mengaitkannya dengan hukum pidana dan kriminologi. Dalam
hal ini Clinard dan Yeager menyatakan bahwa “kejahatan korporasi
144
adalah tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam
hukuman di bawah hukum pidana, perdata atau administratif”
(Clinard and Yeager, 1980). Dalam pengertian yang kurang lebih sama
juga dinyatakan oleh Box sebagai berikut:
“Kejahatan korporasi adalah kejahatan, terlepas dari apakah yang
hanya diancam hukuman di bawah badan administratif, atau apakah
hanya sekedar melanggar hak-hak sipil…mungkin menjadi pertanyaan
mengapa banyak kejahatan korporasi ditangani badan-badan
administratif bukan pengadilan pidana. Tetapi itu tidak menjastifikasi
pengecualian tindakan-tindakan korporasi yang diatur oleh badanbadan
administratif dari kajian kejahatan korporasi. (Box, 1983).
Hal di atas nampaknya berkaitan erat dengan penyataan bahwa
dalam “kejahatan kerah putih”, baik perumusan hukum maupun status
kriminal si pelaku bersifat mendua. Ini berarti bahwa dalam kejahatan
tersebut (yang mencakup pula kejahatan korporasi), terdapat batas
yang sempit antara legalitas, ilegalitas dan kriminalitas. Pada kejahatan
organisasional, landasan nasional dalam penggunaan hukum pidana
bukan semata-mata didasarkan atas pertimbangan bahwa perbuatan
tersebut secara moral salah, tetapi demi perlindungan hukum pidana
tindak pidana semacam itu disebut mala prohibita dan bukan mala in se.
Croal menyatakan bahwa tindakan yang demikian sering dipandang
sebagai “nyata-nyata pidana”, dan tersangka dapat mengklaim bahwa
kejahatan tersebut merupakan hasil kesalahan yang tidak disengaja
atau semacam keteledoran teknis, sehingga dapat dibedakan dengan
tindak pidana yang sebenarnya (Croall, 1992).
Permohonan di atas secara menarik dinyatakan oleh Clinard
dalam kaitannya dengan pembelaan diri dari pelaku kejahatan
korporasi yang mengakibatkan efektivitas sanksi hukum menjadi
berkurang. Ia mengutip hasil riset dari Silk dan Vogel (1976),
khususnya tentang keyakinan pada level atas manajer korporasi,
sebagai berikut:
1. Semua tindakan hukum yang diusulkan menggambarkan campur
tangan pemerintah dalam sistem perdagangan bebas;
2. Peraturan-peraturan pemerintah tidak dapat dibenarkan karena
biaya tambahan dengan adanya peraturan dan prosedur birokrasi
akan mengurangi keuntungan;
3. Peraturan cacat karena kebanyakan peraturan pemerintah tidak
mudah dipahami dan sangat kompleks;
145
4. Peraturan tidak perlu karena menyangkut masalah-masalah yang
tidak penting;
5. Terdapat unsur kesengajaan yang ringan dalam penyelewengan
korporasi; banyak diantaranya berupa kesalahan omisionis karena
kelalaian ketimbang kesalahan yang disadari;
6. Masalah lain yang berkaitan dengan bisnis adalah pelanggaran
hukum, dan jika pemerintah tidak bisa mencegah situasi ini, tidak
ada alasan mengapa perusahaan yang bersaing juga tidak boleh
mengambil keuntungan melalui tindakannya yang serupa;
7. Meskipun benar, seperti dalam kasus price fixing, bahwa sejumlah
penyelewengan korporasi melibatkan jutaan dolar, kerugian
begitu menyebar di kalangan konsumen sehingga secara
individual kerugian tersebut sangat kecil;
8. Jika tidak ada penambahan keuntungan bagi perusahaan,
pelanggaran dianggap tidak salah;
9. Perusahaan pada hakekatnya dimiliki oleh warga negara biasa,
sehingga klaim bahwa bisnis besar dapat mendominasi masyarakat
dan melanggar hukum dengan bebas adalah tidak benar;
10. Pelanggaran disebabkan oleh kebutuhan ekonomi: tujuan untuk
melindungi nilai saham, untuk memastikan pengembalian yang
memadai bagi pemegang saham dan untuk melindungi kepastian
pekerjaan bagi para pekerja dengan menjamin stabilitas finansial
perusahaan. (Clinard, 180)
Pemahaman di atas akan berkaitan erat dengan pelbagai usaha untuk
menghentikan viktimasi yang terus akan terjadi — karena sulit
diharapkan adanya kesadaran si pelaku terhadap kesalahannya —
selama credo and belief semacam itu masih tetap bersemayam dalam
sanubari pimpinan-pimpinan korporasi.
Budaya korporasi yang bersifat negatif menampakkan diri berupa
penekanan prioritas keuntungan dalam bentuk pertumbuhan,
pengendalian pasar sebagai tujuan organisasional, ambisi pribadi dari
pimpinan korporasi yang tanpa batas, penegakan hukum yang lemah,
pengawasan yang kendur, subkultur tidak bermoral yang melanda
masyarakat, merupakan serangkaian gejala yang akan menambah
maraknya kejahatan korporasi di masyarakat modern. (Box, 1983)
Berdasarkan hasil riset terhadap perilaku top management, sederet
pemicu kejahatan korporasi masih dapat disebut di sini, misalnya
kompetisi dan kerakusan, tipe industri dengan margin keuntungan
146
yang rendah atau tipe industri yang sangat kompetitif, riwayat sosial
korporasi, praktek dagang yang tidak jujur dari perusahaan saingan,
budaya korporasi, adalah faktor-faktor kriminogen dari kejahatan
korporasi. (Clinard, 1983)
Jika hendak dikaji lebih jauh, apa yang dinamakan “kejahatan
kerah putih” pada umumnya, dan kejahatan korporasi pada
khususnya, biasanya melukiskan karakteristik sebagai berikut: tingkat
kelayakan yang rendah, kompleks, difusi tanggungjawab, difusi
viktimisasi, sulit untuk mendeteksi dan mengusut, sanksi yang lemah,
hukum yang mendua, dan status pidana yang ambivalen (Croal, 1992).
Khusus yang disebut “difusi viktimisasi”, penting dicermati karena
menunjukkan perbedaannya dengan korban kejahatan konvensional
yang biasanya dengan mudah dapat diidentifikasikan. Pada kejahatan
korporasi seringkali sosok korban bersifat abstrak dan tidak mudah
diidentifikasi, seperti pemerintah, perusahaan, atau konsumen yang
jumlahnya banyak — sedangkan secara individual kerugiannya
mungkin sangat sedikit. Para korban kejahatan korporasi, demikian
kata Clinard dan Yeager, acap tidak menyadari bahwa mereka menjadi
korban, seperti pada contoh pemegang saham yang menerima balance
sheet palsu, konsumen yang membayar tinggi sebuah produk karena
kolusi anti trust, atau kerugian yang ditanggung konsumen (biaya,
kesehatan) karena sebuah iklan produk yang menyesatkan.
Kompleksitas masalah yang berkaitan dengan pelaku, korban
dan kejahatan korporasi tersebut tidak boleh menyurutkan langkah
atau kebijakan kriminal dalam rangka menanggulangi kejahatan
korporasi yang dampaknya sangat luas. Secara internasional hal ini
juga diwaspadai, seperti tercermin pada ‘Guiding Principles for Crime
Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a new
International Economic Order’ yang kemudian diadopsi oleh Kongres
PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku ke
VII di Milan (1985), yang antara lain menegaskan sebagai berikut:
“Due consideration should be given by Member States to making criminally
responsible not only those persons who have acted on behalf of an institution,
corporation or enterprise, or who are in a policy-making or executive capacity,
but also the institution, corporation or enterprise itself, by devising appropriate
measures that would prevent or sanction the furtherance of criminal activities”.
Perhatian masyarakat internasional terhadap kejahatan korporasi,
secara jelas nampak pula dari usaha dunia internasional untuk
menangkal perilaku negatif dari perusahaan-perusahaan
147
multinasional. Usaha tersebut merupakan hasil kerjasama
internasional dalam bentuk ‘Code of Conduct of Transnational
Corporations’ (UN, Ecosoc, 1979), yang antara lain mengatur : (1)
Aktivitas kerjasama transnasional; 2) Treatment kerjasama
transnasional; dan (3) Kerjasama antar pemerintah (Horn, 1980).
Dari uraian di atas semakin disadari bahwa persoalan kejahatan
korporasi tidak sekedar merupakan masalah hukum belaka (pidana,
perdata, administrasi), tetapi juga masalah etika berbangsa dan
bernegara dan hubungan antar bangsa. Secara ideal, di dalam
masyarakat modern, kegiatan bisnis yang diharapkan oleh
masyarakat seharusnya memenuhi harapan-harapan sebagai berikut:
1. Tempat yang baik bagi kegiatan investasi;
2. Tempat yang baik untuk bekerja;
3. Dukungan yang kuat bagi etika yang luhur;
4. Perusahaan yang baik untuk menjual;
5. Perusahaan yang baik untuk membeli;
6. Pembayar pajak yang baik dan pendukung pemerintah;
7. Tetangga yang baik di dalam masyarakat;
8. Penyumbang yang baik bagi kebutuhan-kebutuhasn sosial,
kepentingan publik dan kemajuan manusia. (Blomstrom, 1985).
Penanganan yang fragmentaris, setengah-setengah dan tidak
sistematis terhadap kejahatan korporasi dengan dampak yang sangat
luas dapat dinilai sebagai kedunguan (collective ignorance) yang tak
termaafkan. Seperti diungkapkan Box (1983):
“ .... by corporate crime, and amongs the “knowledgeable” minority, majority
of those interviewed were not familiar with the extent of, or damaged caused,
few were able to define it with any precision. Public awareness of corporate
crimes has certainly increased recently, but none the less there is still more
misinformation and mystification about this type of crime than conventional
crime.”
Dalam kondisi semacam itu, korban tindak pidana korporasi tidak
lagi dapat dikualifikasikan sebagai korban yang tidak ada kaitannya
dengan pelaku, tetapi dapat diidentifikasi sebagai korban yang
berpartisipasi (participating victims) terhadap terjadinya kejahatan
korporasi dengan sifat perilaku yang pasif (collective ignorance); atau
dapat disebut pula sebagai precititative victims, yakni karena
perilakunya yang sembrono dan pasif mendorong terjadinya
kejahatan korporasi. Dalam kondisi semacam ini terjadi apa yang
148
dinamakan “keterbagian tanggungjawab” (shared responsibility) antara
pelaku dengan korban baik individual maupun kolektif. (Karmen,
1984, Separovic, 1985).
Pemahaman terhadap spektrum korban tindak pidana korporasi
dapat dikaji langsung dari pihak-pihak yang mempunyai tujuan dan
kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan korporasi yang
bersifat menyimpang, yakni tujuan dan kepentingan organisasional
berupa prioritization of profit. Sebab dari kontradiksi kepentingan inilah
muncul jenis-jenis tindak pidana yang sangat kompleks (Box, 1983 ).
Pihak-pihak tersebut adalah :
1. Perusahaan saingan (competitors) sebagai akibat kejahatan dari
kejahatan spionase industri yang melanggar hak milik intelektual,
kompetisi yang tidak sehat, praktek-praktek monopoli. Tindakan
merugikan perusahaan lain tersebut akan menjadi semakin parah
dengan berkembangnya pemikiran untuk menerapkan strategi
perang dalam persaingan korporasi (corporate conflict) yang
berintikan ciri-ciri seperti, menyerang musuh (pesaing), unsur
kejutan, melakukan manuver, dan ciri-ciri lainya sebagai yang biasa
dijumpai dalam peperangan. (Ramsey, 1987 )
2. Negara (State) sebagai akibat kejahatan korporasi seperti informasi
palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana
ekonomi, tindak pidana subversi.
3. Karyawan (Employees), sebagai akibat kejahatan korporasi berupa
lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan
hak untuk membentuk organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah
minimum, PHK yang melanggar hukum.
4. Konsumen (Consumers), sebagai akibat advertensi yang
menyesatkan menciptakan hasil produksi yang beracun dan
berbahaya.
5. Masyarakat (Public), sebagai akibat pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup, penggelapan, dan penghindaran pajak.
Kerugian-kerugian dalam kaitannya dengan pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup ini dapat bersifat penderitaan fisik
sampai kematian. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran
definisi “kejahatan ekonomi” atau “kejahatan kerah putih” dan
termasuk “kejahatan korporasi”. Unsur non violent menjadi sama
sekali kabur pengertiannya. Demikian pula dalam hal keamanan
dan kesehatan kerja ini semua dikenal dengan apa yang dinamakan
149
corporate violence yang oleh Clinard dan Yeager (1980) dirumuskan
sebagai: “behavior producing an unreasonable risk of physical harm to
consumers, employees, or other persons as a result of deliberate decision
making by corporate executives or culpable negligence on their part
Apabila proses viktimisasi di atas bersifat langsung (direct
victimization) maka terdapat pula proses viktimisasi yang bersifat tidak
langsung (indirect victimization) dalam bentuk, (1) Kerugian negara berupa
biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan peradilan
pidana (cost of criminal justice) terhadap kejahatan korporasi yang sangat
kompleks lebih besar daripada biaya peradilan pidana kejahatan
konvensional; (2) Kerugian sosial (social damages) dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam hal ini Conklin
menggambarkan, “such offenses are the most threatening of all - not just
because they are so expensive, but because of their corrosive effect on the moral
standards by which business is conducted. ( Box, 1983). Sebagai catatan, di
Australia, korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan dapat
dijatuhi pidana untuk mengganti biaya-biaya penyidikan.
Ringkasnya, terdapat perbedaan antara kejahatan biasa dengan
kejahatan ekonomi. Kejahatan ekonomi selalu berkaitan dengan sistem
ekonomi yang dianut oleh suatu bangsa dan karena itu kejahatan
ekonomi dianggap menyerang secara langsung ekonomi nasional.
Akibat lebih lanjut pada akhirnya akan mempengaruhi kepercayaan
masyarakat terhadap korporasi dan kehidupan bisnis. Atas dasar
kerugian-kerugian baik fisik, sosial maupun ekonomi dari kejahatan
korporasi, maka sangat sangat beralasan jika kebijakan kriminal
(criminal policy) diorganisasikan secara sistematis guna penanggulangan
kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus menggunakan secara
berpasangan baik langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum
perdata, hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkahlangkah
non-yuridis, yakni dalam bentuk tindakan-tindakan
pencegahan dalam rangka mengatasi kendala-kendala di atas.
Dalam kerangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada
umumnya pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi
merupakan primum remedium dan hukum pidana sebagai ultimum
remedium, namun diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan
hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan halhal
sebagai berikut :
150
(1) Tingkat kerugian yang diderita publik;
(2) Tingkat keterlibatan corporate managers;
(3) Lamanya masa pelanggaran;
(4) Frekuensi pelanggaran oleh korporasi;
(5) Bukti-bukti kesengajaan tindak pidana;
(6) Bukti telah terjadinya penyuapan;
(7) Reaksi negatif dari media massa;
(8) Preseden dalam hukum;
(9) Riwayat kejahatan serius yang dilakukan korporasi;
(10) Kemungkinan pengaruh pencegahan;
(11) Tingkat kerjasama yang ditunjukkan oleh korporasi (Clinard and
Yeager, 1980).
Dalam hal hukum pidana yang dipilih, sepanjang hukum positif
memungkinkan, maka sanksi-sanksi yang dapat dimanfaatkan adalah
sebagai berikut: (1) denda; (2) pidana bersyarat/pidana pengawasan;
(3) pidana kerja sosial; (4) pengumuman keputusan hakim (5) ganti
rugi; dan (6) pelbagai sistem tindakan tata tertib. n
151
Untuk dapat memahami hakekat “kejahatan ekonomi” (economic
crime) dikenal pelbagai pendekatan. Apabila yang digunakan adalah
pendekatan teknis (technical approach), maka batasan sebagaimana
dirumuskan oleh “Pengadilan Khusus” tentang kejahatan ekonomi
di Jerman (Gerichtsverfassungsgesetz) akan terasa relevan. Pelbagai
perundang-undangan yang mengatur hal ini menyebutkan beberapa
jenis tindak pidana yang tercakup di dalamnya, seperti: kejahatan
kepailitan (bankruptcy crime), pelanggaran pajak, pelanggaran statuta
tentang perusahaan, penipuan, pencurian, serta kejahatan-kejahatan
tradisional lain yang menyangkut harta benda yang sejauh terkait
dengan kehidupan bisnis.
Perumusan yang lebih menonjolkan istilah “business crime”
daripada “economic crime” tersebut juga secara lebih luas dilakukan
oleh “American Bar Association” yang menyatakan bahwa: “kejahatan
ekonomi adalah bentuk kegiatan ilegal dan tanpa kekerasan yang
pada dasarnya melibatkan unsur penipuan, misrepresentasi,
penyembunyian, manipulasi, pelanggaran kepercayaan, pengingkaran
atau dalih tidak sah”. Definisi ini mirip dengan definisi “kejahatan
kerah putih” (white collar crime) sebagaimana dirumuskan dalam
“Handbook on White Colar Crime”. Yang perlu ditegaskan dalam hal ini
adalah, bahwa istilah “economic crime” lebih banyak digunakan untuk
menghindari konotasi politik yang melekat pada “white collar crime”.
Kejahatan ini antara lain adalah korupsi, penipuan dan pemalsuan,
kejahatan komputer, penggelapan pajak, kejahatan terhadap
konsumen, kejahatan yang menyangkut persaingan jujur, polusi,
keamanan kerja, dan “insider trading” di Bursa Efek.
Penanggulangan Kejahatan Ekonomi
dan Kejahatan Profesi dalam Mengantisipasi
Era Globalisasi
152
Pendekatan lain yang bisa digunakan adalah pendekatan moral atau
politik (moral and political approach). Pendekatan ini lebih menitikberatkan
pada kepentingan kejahatan, yakni melanggar kepentingan negara atau
masyarakat secara umum, tidak hanya individu saja yang menjadi
korbannya. Di samping dua pendekatan di atas, ada pula yang memperluas
elemen kejahatan ekonomi dengan memasukkan kejahatan-kejahatan yang
dilakukan di dalam kehidupan bisnis terhadap perusahaan atau perorangan
yang lain, misalnya penipuan terhadap masyarakat dengan menggunakan
prospektus yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Dengan demikian dalam merumuskan kejahatan ekonomi paling
tidak harus memperhatikan elemen-elemen sebagai berikut:
a. Kejahatan ekonomi dilakukan dalam rangka aktivitas ekonomi
yang pada dasarnya merupakan aktivitas bisnis normal dan sah;
b. Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang melanggar
kepentingan negara dan masyarakat secara umum, tidak hanya
korban individual;
c. Termasuk pula dalam hal ini kejahatan di lingkungan bisnis
terhadap perusahaan lain atau terhadap perorangan.
Dibandingkan dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya
yang menyangkut kejahatan terhadap harta benda, kejahatan ekonomi
mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi lebih banyak
bergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu
masyarakat. Baik sistem ekonomi kapitalis yang lebih menekankan
kompetisi bebas dan campur tangan minimum dari negara, maupun
sistem ekonomi sosialis yang mengatur bahwa semua perusahaan
merupakan milik negara, atau model gabungan antara keduanya, akan
memiliki pengaturan tersendiri tentang apa yang dinamakan kejahatan.
Tipologi kejahatan ekonomi akan berkaitan dengan dua hal:
tujuan pengaturan, dan struktur motivasi dilakukannya kejahatan.
Dalam hal yang pertama (tujuan pengaturan), dapat dibedakan empat
hal sebagai berikut: 1). Pengaturan tidak dimaksudkan untuk
mencampuri ekonomi pasar, tetapi mencoba menjadikan kompetisi
jujur dan efektif serta mencegah penyalahgunaan, seperti UU anti
monopoli, perlindungan konsumen, perlindungan lingkungan hidup
dan buruh; 2). Pengaturan yang mencampuri ekonomi pasar, seperti
pengawasan harga, pengawasan uang, dan pengawasan impor ekspor;
3). Kejahatan fiskal; dan 4). Korupsi, misalnya suap menyuap.
153
Dalam hal yang kedua (struktur motivasi) terdapat kategorikategori
sebagai berikut:
• Kajahatan atas dasar basis individual, misalnya penipuan kartu
kredit, pelanggaran pajak pendapatan;
• Kajahatan jabatan yang menghianati kepercayaan seperti,
pelanggaran perbankan, pemalsuan biaya perjalanan;
• Kejahatan insidental dalam bisnis, tetapi tidak berkaitan dengan
tujuan utama bisnis, misalnya korupsi, pencemaran lingkungan;
• Kejahatan ekonomi sebagai bisnis atau sebagai aktivitas sentral,
contohnya penipuan asuransi, penyelundupan.
Kejahatan ekonomi atau “white collar crime” mencakup pula
kejahatan korporasi, yakni setiap perbuatan yang dilakukan oleh
korporasi yang diancam sanksi, baik itu hukum administrasi, hukum
perdata atau hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat
berupa “crimes for corporations” atau “corporate criminal”. Sedangkan
“crimes against corporations” lebih bersifat “kejahatan okupasional”
untuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang perusahaan.
Kejahatan okupasioanal ini bisa pula dilakukan oleh lebih dari satu
orang. Bisa pula terjadi kejahatan korporasi dilakukan dengan
kombinasi okupasional.
Yang menarik adalah bahwa dalam kejahatan ekonomi seringkali
terdapat batas yang sempit antara legalitas, ilegalitas dan kriminalitas
(mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya
bukan “sungguh-sungguh jahat” tetapi lebih karena kesialan ( unfortunate
mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa yang diharuskan (technical
omission). Perumusan tindak pidana cenderung dianggap sebagai campur
tangan pemerintah yang terlalu luas dalam perdagangan bebas,
pendekatannya tidak komprehensif, dan pengaturan yang terlalu ketat
memperberat beban perusahaan. Ringkasnya adalah terjadi
“overkriminalisasi” atau kriminalisasi yang berlebihan.
Kejahatan ekonomi, khususnya kejahatan korporasi, telah menjadi
perhatian nasional maupun internasional karena dimensinya cukup
luas dilihat dari sudut korban yang menanggung akibatnya
(viktimologi), seperti perusahaan saingan, negara, karyawan,
konsumen, masyarakat, dan pemegang saham. Belum lagi kerugian
tidak langsung seperti biaya sistem peradilan yang mahal, karena
biasanya kasus dan sasaran korbannya juga sangat kompleks. Bahkan
154
beberapa kejahatan ekonomi telah dikategorikan sebagai “kejahatan
internasional”, seperti kejahatan lingkungan, pemalsuan dan penipuan,
penyuapan di luar negeri, sehingga tunduk pada “universal
jurisdiction”. Faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya
kejahatan ekonomi karena ciri-ciri sebagai berikut: kompleks, difusi
tanggung jawab, difusi korban, sulit dideteksi, sanksi kurang berat
serta hukum dan status pelaku yang mendua.
Hakekat Kejahatan Profesional
Di dalam kriminologi apabila kita berbicara tentang kejahatan di
bidang ekonomi dan bisnis, di samping “white collar crime” seperti
disinggung di atas, terdapat jenis kejahatan lain yang tak kalah
berbahayanya (victimizing), yakni kejahatan di lingkungan profesional
(the professional fringe violator). Profesional di bidang ekonomi dapat
mencakup akuntan dalam kasus “pencucian uang” atau bersekongkol
dengan wajib pajak, notaris yang melakukan penipuan, lawyer dalam
“kejahatan yang terorganisasi”, ahli komputer dalam cyber crimes dan
kejahatan perbankan, korupsi, dan sebagainya. Jenis-jenis kejahatan
ini sangat menarik karena beberapa cirinya yang khas, seperti; pelaku
kejahatan merupakan anggota profesi yang sah; oleh anggota lain
perbuatan tersebut dianggap tidak dapat diterima; perbuatan dilakukan
dengan bersekongkol dengan kalangan profesional lain; pelaku
menganggap dirinya melakukan pelayanan kepentingan umum; dan
sanksi organisasinya bersifat ambivalen demi alasan kesetiakawanan.
Dari sudut pandang viktimologi, korban dari kejahatan
profesional tidak hanya terbatas pada klien, tetapi juga masyarakat
(kepercayaan), negara (kebijakan publik) dan organisasi profesi itu
sendiri. Seorang profesional yang melakukan kejahatan pada dasarnya
melakukan “professional malpractice” yang harus ditangani, baik dari
segi hukum disiplin, kode etik, maupun hukum (legal responsibility),
baik hukum pidana, perdata maupun administratif. Seorang
professional mempunyai karakteristik; 1) adanya persyaratan “latihan
yang ekstensif” sehingga menghasilkan kemampuan yang didasari
pengetahuan teoritik yang baik; 2) latihan tersebut menghasilkan segisegi
intelektual yang signifikan; 3) semangat mengabdi masyarakat
(altruistic service); dan 4) tunduk kepada kode etik profesi. Karena
itu malpraktek profesional harus dibuktikan dalam bentuk: “duty,
breach of duty damage/harm/injury and causation”.
155
Sebagaimana pelaku kejahatan ekonomi, penjahat profesional
melakukan perbuatannya atas dasar tujuan keuntungan — baik pribadi
maupun organisasi — atas dasar karakteristik individual yang
semuanya menciptakan subkultur immoral, tidak bertanggungjawab,
dan merasa bahwa segalanya bisa diselesaikan dengan uang (crimes
of the powerful). Kejahatan jenis ini muncul karena beberapa sebab,
seperti lemahnya “law enforcement’ akibat korbannya tidak peduli,
pidana yang ringan, ketiadaan stigma, reaksi sosial yang lemah, dan
lemahnya pengawasan.
Hakekat Globalisasi dan Perkembangan Kejahatan
Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat
ditemukannya alat-alat komunikasi, transportasi dan informatika
modern, hal ini menuntut nilai-nilai dan norma-norma baru dalam
kehidupan nasional dan antar bangsa. Di bidang ekonomi pendorong
utama globalisasi adalah meningkatnya arus informasi, uang dan
barang serta komunikasi dan konsumerisme melalui perusahaanperusahaan
multinasional yang bergerak cepat melalui pasar bebas,
arus modal dan penanaman modal dari luar negeri. Yang jelas dapat
dikatakan bahwa globalisasi tidak bersifat fakultatif (change is not
optional). Globalisasi bukan lagi merupakan sebuah fenomena yang
ada “di seberang sana” tetapi sudah merupakan fenomena “di
seberang sini” yang mempengaruhi identitas personal manusia. Orang
tentu lebih mengenal Ronaldo, pemain bola kesohor asal Brazil
daripada tetangganya sendiri.
Globalisasi mengandung implikasi makna yang dalam di segala
aspek kehidupan. Dalam dunia bisnis, globalisasi tidak hanya sekedar
berdagang di beberapa negara di dunia, tetapi berdagang dengan
cara yang sama sekali baru, yang menjaga keseimbangan antara
kualitas global dengan kebutuhan khas lokal. Saling ketergantungan
antar bangsa meningkat. Standar-standar baku antar bangsa
diberlakukan. Peran perusahaan-perusahaan swasta (MNC) semakin
meningkat ikatan-ikatan ethnosentrik, nasional mengalami pelemahan
dan muncul ikatan regional atau global. Informasi muncul sebagai
kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Maka, dapat dibayangkan
globalisasi tanpa rule of law?.
Globalisasi di samping membawa manfaat bagi umat manusia,
juga membawa masalah serius baru, antara lain dalam bentuk
156
kejahatan-kejahatan ekonomi yang lebih canggih. Mobilitas sosial
yang cepat menimbulkan masalah sistem pengamanan, kompleksitas
dalam pemasaran dan distribusi. Kemakmuran yang melimpah
membuat orang semakin ingin melindungi hartanya, karena kemajuan
teknologi juga berakibat munculnya kejahatan berbasis teknologi
tinggi, seperti cyber crimes, pemalsuan uang, pemalsuan kartu kredit
dan sebagainya, penyelundupan dan pencurian pasir laut dengan kapal
canggih, money laundering, dan pelbagai jenis kejahatan-kejahatan
canggih lainnya yang belum pernah ada presedennya. Belum lagi
pengaturan yang kompleks dan birokratis di banyak negara,
mengundang suap dan perbuatan menyimpang. Pelbagai kejahatan
canggih tersebut tidak mungkin terjadi tanpa bantuan dari mereka
yang memiliki profesionalisme yang tinggi.
Politik Kriminal
Apapun bentuknya, politik kriminal yang dapat dilakukan adalah
dengan menggunakan baik sarana penal maupun sarana non penal
(prevention without punishment). Sarana penal berarti penggunaan
sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi sampai dengan
pelaksanaan pidana. Sedangkan sarana non penal pada dasarnya
merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik
sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi.
Klasifikasi pencegahan kejahatan biasanya dibedakan dalam
kategori berikut:
1. Primary prevention; suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan
publik, khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar
kejahatan, dengan target masyarakat umum.
2. Secondary prevention; targetnya adalah calon-calon pelaku.
3. Tertiary prevention; targetnya mereka yang telah melakukan
kejahatan.
Mengingat dalam era globalisasi jenis-jenis kejahatan memiliki
dimensi internasional dan transnasional, maka untuk
menanggulanginya diperlukan kerjasama internasional yang intensif.
Kerjasama internasional tersebut bisa dalam bentuk pelatihan teknis,
ekstradisi, mutual legal assistance, transfer of proceeding, transfer of
prisoners, penyidikan bersama, dan sebagainya. n
157
Pada saat dirumuskan, para penyusun KUHP (1886) menerima
asas apa yang disebut “societas/universitas delinquere non potest” yang
artinya badan hukum/perkumpulan tidak dapat melakukan tindak
pidana. Hal ini merupakan reaksi terhadap praktek-praktek
kekuasaan yang absolut sebelum Revolusi Perancis 1789, yang
memungkinkan terjadinya “collective responsibility” terhadap kesalahan
seseorang. Dengan demikian menurut konsep dasar KUHP, bahwa
suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah
(natuurlijke persoon). Dalam hal ini terkandung dua hal: pertama,
menyangkut apakah korporasi dapat melakukan tindak pidana; kedua,
menyangkut dapat dipertanggungjawabkannya korporasi dalam
hukum pidana dan dapat dijatuhi sanksi, apakah pidana dan/atau
tindakan (Sudarto,1981).
Prinsip di atas secara tersurat dan tersirat tercantum dalam Pasal
51 (lama) WvS Belanda atau Pasal 59 KUHP yang berbunyi: “Jika
ditentukan pidana karena pelanggaran bagi pengurus, anggota badan
pengurus atau komisaris, maka pidana itu tidaklah dijatuhkan atas
anggota pengurus atau komisaris, jika terang bahwa pelanggaran itu
terjadi bukan karena kesalahannya”. Baik Aliran Klasik (Daad-
Strafrecht), Aliran Modern (Dader-Strafrecht), maupun Aliran Neo-
Klasik (Daad-daderstrafrecht) melihat individu sebagai pelaku atau
subyek hukum sentral (Muladi,1984).
Dalam perkembangannya kemudian timbul kesulitan dalam
praktek, sebab di dalam pelbagai tindak pidana khusus timbul
perkembangan yang pada dasarnya menganggap bahwa tindak
pidana juga dapat dilakukan oleh korporasi, mengingat kualitas
Penerapan Tanggungjawab Korporasi
Dalam Hukum Pidana
158
keadaan yang hanya dimiliki oleh badan hukum atau korporasi
tersebut. Hal ini dimungkinkan atas dasar Pasal 91 KUHP Belanda
atau Pasal 103 KUHP Indonesia yang memungkinkan peraturan di
luar kodifikasi menyimpang dari Ketentuan Umum Buku I.
Pasal 15 ayat (1) Wet Economische Delicten (WED) 1950 Belanda
(kemudian ditiru Indonesia melalui UU No.7 Drt. Tahun 1955)
mengatur bahwa dalam tindak pidana ekonomi, korporasi dapat
melakukan tindak pidana dan dapat dipidana. Prof.BVA. Roling pada
tahun itu juga mendesak untuk memperluas sistem tersebut agar
berlaku untuk semua tindak pidana, sehubungan dengan fungsi sosial
korporasi dalam masyarakat (theorie van het functioneel daderschap).
RAV van Haersolte dalam bukunya “Personifikatie van Sociale
Systemen” (1971) menyatakan bahwa setelah beberapa individu hidup
bersama, bekerja bersama, dan berjuang bersama demi kepentingan
tertentu atau untuk memenuhi beberapa keinginan tertentu untuk
bertahan dalam penghidupan, dengan sendirinya lahir sistem kerjasama
dan sebagainya (misalnya keluarga, marga, suku, bangsa, dsb.) yang
dapat melaksanakan dengan bersama tindakan tertentu, dan juga dapat
dilakukan oleh individu sendirian dan kepadanya hukum
menghubungkannya dengan konsekuensi menurut peraturan-peraturan
hukum tertentu. Karena para individu bertindak bersama dalam
berbagai perikatan dan korporasi, mereka merasakan hubungan itu
sebagai suatu kesatuan khusus, dalam wujud personifikasi dari sistem
yang kemudian juga memasuki bidang hukum (van Bammelen, 1983).
Kelompok yang menentang (misal Remmelink) mengajukan
argumentasi yang melekat pada sifat dasar manusia alamiah, seperti
kesengajaan dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan.
Argumentasi yang lain adalah kemungkinan pemidanaan korporasi
dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan
kesulitan menentukan batas antara pengurus dan korporasi.
Alasan-alasan lain berkaitan dengan pendapat bahwa teori hukum
pidana dibangun atas dasar manusia alamiah sebagai pembuat tindak
pidana hanya sebagian sistem pemidanaan yang dapat diterapkan,
terjadi pergeseran “tanggung akibat” orang ke korporasi, melanggar
asas ne bis in idem, dan membahayakan para pegawai korporasi. Baru
pada tahun 1976 melalui UU tanggal 23 Juni 1976, Stb.377 yang
disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan baru Pasal
51 Sr.Bld. yang berbunyi:
159
1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan
hukum;
2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat
dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat
dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam
undang-undang terhadap: badan hukum atau terhadap yang
“memerintahkan” melakukan perbuatan itu; terhadap mereka yang
bertindak sebagai “pemimpin” melakukan tindakan yang dilarang
itu; atau terhadap “badan hukum” dan “yang memerintahkan
melakukan perbuatan” di atas bersama-sama.
3. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum:
perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
Dengan diundangkanya undang-undang di atas, semua peraturan
dalam undang-undang khusus mengenai dapat dipidananya korporasi
dan pengurusnya (misalnya Pasal 15 WED Belanda), dihapus karena
dipandang tidak perlu lagi (overbodig vervallen).
Menurut Prof.Dr. S. Schaffmehter, UU. tahun 1976 disebut sebagai
“telah menghentikan pertumbuhan secara liar dari peraturanperaturan
yang timbul dalam tahap-tahap sebelumnya (sesudah PD I
1976). Hal ini merupakan sumbangan nyata dalam memajukan
kesatuan hukum” (Schaffmether dkk., 1985).
Persoalan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana
juga terjadi di negara-negara yang menganut sistem Common Law. Di
pelbagai negara tersebut aspek viktimologis yang besar (misalnya
kerugian terhadap negara, masyarakat, konsumen, perusahaan
saingan, karyawan, pemegang saham, dan penegakan hukum yang
sangat mahal) mendorong penguasa untuk mengatur apa yang disebut
“criminal liability of corporation”. Kejahatan korporasi baik dalam bentuk
kejahatan bagi korporasi maupun kejahatan korporasi mengandung
korban potensial yang luas seperti tersebut di atas.
Perkembangan hukum posistif di Indonesia menampakkan halhal
yang sama, yaitu melalui 3 (tiga) tahap perkembangan yang
berkisar pada: hal dapat dipidananya perbuatan oleh korporasi; hal
dapat dipertanggungjawabkannya korporasi; dan kemungkinan dapat
dipidananya korporasi. Perkembangan pada tahap pertama
menunjukkan bahwa keduanya hanya dapat dilakukan oleh manusia
alamiah. Pada tahap kedua, korporasi dapat melakukan tindak pidana,
160
tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya manusia alamiah.
Dan dalam tahap ketiga, baik manusia alamiah maupun korporasi
dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan
serta dipidana. Hal yang terakhir nampak antara lain dalam UU No.
11 PNPS 1963, UU No. 7 Drt th. 1955, dan UU No. 31 th. 1999.
Sebenarnya (menurut penulis) terdapat perkembangan tahap ke
empat, seperti juga di Belanda, yaitu melembagakan perkembangan
yang ada di luar KUHP, dengan mengatur pertanggungjawaban
korporasi secara umum dalam Buku I KUHP, sehingga berlaku untuk
semua tindak pidana.
Pembicara korporasi sebagai subyek hukum (Normadressat) akan
menyentuh persoalan utama, yaitu kapan dan apa ukurannya untuk
dapat mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana.
Sekalipun ada pendapat bahwa hal yang demikian harus dilihat secara
kasus per kasus, sesuai dengan sifat kekhasan delik tertentu (misalnya
delik fungsional yang lebih bersifat administratif dan delik non
fungsional yang lebih bersifat fisik), namun sebagai pedoman dapat
dikemukakan pelbagai pemikiran sebagai berikut:
1. Perbuatan dari perorangan dapat dibebankan pada badan hukum,
apabila perbuatan-perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas
sosial sebagai perbuatan-perbuatan badan hukum.
2. Apabila sifat dan tujuan dari pengaturan telah menunjukkan
indikasi untuk perbuatan pidana, untuk pembuktian akhir pembuat
pidana, di samping apakah perbuatan tersebut sesuai dengan tujuan
statuta dari badan hukum dan atau sesuai dengan kebijaksanaan
perusahaan, maka yang terpenting adalah apabila tindakan
tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari badan hukum.
3. Badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana
bilamana perbuatan yang terlarang yang untuk
pertanggungjawabannya dibebankan atas badan hukum dilakukan
dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuantujuan
badan hukum tersebut.
4. Badan hukum baru dapat diberlakukan sebagai pelaku tindak
pidana apabila badan tersebut “berwenang untuk melakukannya
terlepas dari terjadi atau tidak terjadinya tindakan, dan di mana
tindakan dilakukan atau terjadi dalam operasi usaha pada
umumnya” dan “diterima atau biasanya diterima secara demikian”
oleh badan hukum (Ijzerdraad-arrest HR. 1954). Syarat kekuasaan
161
(machtsvereiste) mencakup: wewenang mengatur/menguasai dan/
atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindakan
terlarang tersebut; mampu melaksanakan kewenangannya dan pada
dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan tentang hal yang
bersangkutan; dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan
pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan
terlarang; Selanjutnya syarat penerimaan (aanvaardingsvereiste), hal
ini terjadi apabila ada kaitan erat antara proses pengambilan atau
pembentukan keputusan di dalam badan hukum dengan tindakan
terlarang tersebut. Juga apabila ada kemampuan untuk mengawasi
secara cukup.
5. Kesengajaan badan hukum terjadi apabila kesengajaan itu pada
kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada
dalam kegiatan yang nyata dari perusahaan, atau berada dalam
kegiatan yang nyata dari perusahaan tertentu. Dalam kejadiankejadian
lain penyelesaian harus dilakukan dengan konstruksi
pertanggungjawaban, kesengajaan dari perorangan (natuurlijk
persoon) yang berbuat atas nama korporasi sehingga dianggap juga
dapat menimbulkan kesengajaan badan hukum;
6. Kesengajaan suatu organ dari badan hukum dapat dipertanggung–
jawabkan secara hukum. Dalam hal-hal tertentu, kesengajaan dari
seorang bawahan, bahkan dari orang ketiga, dapat mengakibatkan
kesengajaan badan hukum;
7. Pertanggungjawaban juga bergantung dari organisasi internal
dalam korporasi dan cara bagaimana tanggungjawab dibagi;
demikian pula apabila berkaitan dengan kealpaan;
8. Pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat
dianggap sebagai kesengajaan badan hukum; bahkan sampai pada
kesengajaan kemungkinan.
Di Amerika Serikat, “Model Penal Code” menentukan syarat
bahwa untuk adanya “corporate liability” maka “ the commission of the
offense was authorized, requested, commanded, performed or recklessly tolerated
by board of directors or by a high managerial agent acting in behalf of
the corporations within the scope of his office or employment”. Di dalam
hal ini berlaku doktrin “respondent superior rule: let the master answer.
Hal ini bisa bersifat “vicarious liability” apabila dilakukan oleh pegawai
yang bertindak dalam kerangka kewenangannya dan atas nama
162
korporasi, tetapi bisa juga bersifat “non-vicarious liability” apabila
pelakunya adalah “directors and managers who represent the directing
mind and will of the company and control what it does”. Limitasi didasarkan
atas doktrin “ultra virez”, yakni apabila perbuatan dilakukan di luar
ruang lingkup kekuasaan korporasi.
Ada pula istilah “statutory liability of officers”, apabila tindak pidana
tersebut terjadi/dilakukan dengan persetujuan atau kerjasama atau
diakibatkan oleh keteledoran seorang manajer, direktur atau pejabat
lain yang sederajat, sehingga orang-orang tersebut dan korporasi
dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Termasuk di
sini “failure to supervise the subordinate appropriately and an omission to
discharge a specific duty of affirmative performance imposed on corporations
by law”.
Di dalam “Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption
(1999) ditegaskan bahwa:
“legal persons can be held liable for the criminal offence….committed for their
benefit by any natural person, acting either individually or as part of an organ
of the legal person, who has a leading position within the legal person, based
on: a power of representation; or an authority to take decisions on behalf of the
legal person; or an authority to exercise control within the legal person as well
as for involvement of such a natural person as accessory or instigator in the
above-mentioned offence”.
Dalam rangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada
umumnya pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi
merupakan “primum remedium” dan hukum pidana sebagai “ultimum
remedium”, namun diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan
hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan halhal
yang dikemukakan Clinard dan Yeager (1980) sebagai berikut:
1. the degree of loss to the public;
2. the level of complicity by high corporate managers;
3. the duration of the violation;
4. the frequency of the violation by the corporations;
5. Evidence of intent to violate;
6. Evidence of extortion, as in bribery cases;
7. the degree of notoriety engendered by the media;
8. Prcedent in law;
9. the history of serious violation by the corporation;
10. Deterrence potential;
11. the degree of cooperation evinced by the corporation”.
163
Sering dikatakan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan
kepada korporasi hanyalah pidana denda (fine), tetapi apabila
dijatuhkan sanksi berupa penutupan seluruh korporasi, maka pada
dasarnya merupakan “corporate death penalty”. Sedangkan sanksi
berupa segala bentuk pembatasan terhadap aktivitas korporasi, maka
sebenarnya mempunyai hakekat yang sama dengan pidana penjara
atau kurungan, sehingga ada istilah “corporate imprisonment”. Pidana
tambahan dalam hal ini tetap bisa dijatuhkan. Bahkan pidana tambahan
berupa pengumuman keputusan hakim, merupakan sanksi yang
sangat ditakuti oleh korporasi. (Brickey, 1995).
Prospek pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam
hukum pidana di Indonesia nampaknya cukup positif. Dalam RUU
KUHP th. 1999/2000 yang dipublikasikan oleh Departemen Kumdang,
pertanggungjawaban tersebut akan diintegrasikan dalam Buku I
KUHP (Ketentuan Umum) sebagaimana yang telah terjadi di Belanda
pada than 1976. Dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49 berturutturut
dirumuskan bahwa:
1. Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
tindak pidana (Pasal 44);
2. Jika tindak pidana dilakukan oleh atau untuk korporasi, penjatuhan
pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya (Pasal 45);
3. Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama
korporasi, apabila perbuatan tersebut tidak termasuk dalam
lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar
atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan (Pasal 46);
4. Pertanggungjawaban pidana korporasi dibatasi sepanjang
pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi korporasi (Pasal 47);
5. Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus
dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan
perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana
terhadap suatu korporasi (Pasal 48, ayat (1));
6. Pertimbangan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dinyatakan
dalam putusan hakim (Pasal 48 ayat (2));
7. Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh
164
pembuat yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi,
dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung
berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan pada korporasi
(Pasal 49).
(Dalam Pasal 161 ditegaskan bahwa “setiap orang adalah orang
perseorangan, termasuk korporasi”. Sedangkan dalam Pasal 162
disebutkan bahwa “korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari
orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum”). n
165
Pendahuluan
Wacana dan praktek pengaturan untuk mencegah dan memerangi
terorisme baik secara internasional, regional maupun negara per
negara tidak hanya terjadi setelah peristiwa 11 September 2001 yang
meluluhlantakkan World Trade Centre. Jauh sebelum peristiwa itu, baik
masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah
berusaha untuk melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai
kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan
yang dikategorikan sebagai terorisme. Usaha untuk melakukan
kebijakan kriminal dan kriminalisasi secara sistematik dan
komprehensif tersebut didasari oleh kenyataan terjadinya proses
viktimisasi perbuatan terorisme, yang secara faktual dan potensial
sangat besar dan bahkan mengorbankan orang-orang yang tidak
bersalah, termasuk wanita dan anak-anak sebagai kelompok yang
paling rentan.
Persyaratan kriminalisasi yang lain sudah cukup memadai,
seperti; kedudukan hukum pidana sebagai “ultimum remedium” (ultima
ratio principle) terpenuhi mengingat alternatif usaha lain yang tidak
memadai; analisa biaya dan hasil yang didapat; dukungan publik
yang kuat baik nasional maupun internasional; prediksi penegakan
hukum yang memadai (enforceability) mengingat jaringan kerjasama
internasional dan sifat terorisame yang dapat dikategorikan
mengandung bahaya terhadap demokrasi, supremasi hukum, HAM
dan stabilitas. (Kofi Anan, 2001). Dalam ‘SAARC Regional Convention
on Suppression of Terrorism’ (1988), terorisme bahkan dikategorikan
sebagai perbuatan yang dapat menimbulkan dampak yang merugikan
Hakekat Terorisme dan
Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi
166
terhadap perdamaian, kerjasama, persahabatan, hubungan baik
bertetangga, dan dapat mencederai kedaulatan dan integritas suatu
negara.
Yang patut menjadi pertimbangan kriminalisasi yang lain adalah
pertimbangan yang ditegaskan dalam ‘Convention of the Organisation
of the Islamic Conference on Combating International Terrorism ‘(1999)
yang menyatakan “Recoqnizing the growing links between terrorism and
organized crime, including illicit trafficking in arms, narcotics, human beings
and money laundering”. Dari sisi kebijakan kriminal, dengan mengingat
kompleksitas dan hakekat terorisme yang bersifat multidimensional,
maka istilah ‘memerangi terorisme’, ‘membasmi terorisme’ dan
‘eliminasi terorisme’ yang bersifat represif harus disertai dengan
langkah-langkah pencegahan yang memadai seperti pengamanan
wilayah teritorial dari pemanfaatan praktek terorisme, kerjasama
antar negara, menyempurnakan sistem deteksi terhadap sarana
terorisme, memperkuat sistem dan prosedur pengawasan,
memperkuat mekanisme pengamanan orang-orang penting dan
instalasi vital, peningkatan perlindungan diplomat dan konsul atau
misi internasional yang lain, peningkatan sistem koordinasi dan
pengamanan serta informasi, dan sebagainya. Langkah-langkah
preventif atas dasar kenyataan sosial di bawah ini juga perlu
diperhatikan.
Sebagai ilustrasi dapat digambarkan hubungan antara hak asasi
manusia, kewajiban asasi manusia (human responsibility) dan keamanan
asasi manusia (human security). Dikatakan bahwa penghormatan
terhadap HAM dan kebebasan dasar serta martabat manusia
merupakan landasan terciptanya kemerdekaan, keadilan dan
perdamaian di dunia. Namun demikian HAM dan kebebasan dasar
yang bersifat relatif (derogable), dapat dibatasi dengan undang-undang
demi penghormatan HAM orang lain, ketertiban umum, keamanan
nasional dan kesejahteraan umum di dalam masyarakat demokratis.
Namun demikian realisasi penuh dan keseimbangan antara HAM
dan kewajiban asasi memerlukan prakondisi yang disebut keamanan
asasi manusia, yang harus dipertimbangkan sebagai “sasaran antara”.
Keamanan asasi merupakan segala usaha dan langkah-langkah yang
sistematik dan sungguh-sungguh untuk mengeliminasi pelanggaran
HAM yang secara nyata masih banyak terjadi, baik yang bersifat
individual maupun kolektif, dan bahkan dapat saja pelanggaran itu
167
dilakukan oleh suatu bangsa atau negara terhadap bangsa yang lain.
Diskriminasi, rasialisme, kolonialisme, dominasi dan pendudukan
asing, agresi, campur tangan asing, ancaman terhadap kedaulatan,
kesatuan, dan integritas nasional, ancaman perang dan penolakan
terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri akan menyebabkan
tidak hanya tragedi perorangan, tetapi juga dapat memicu keresahan
sosial dan politik, kekerasan serta konflik di dalam dan antar
masyarakat dan bangsa. Apabila hal-hal semacam ini masih terjadi,
maka dalam pengertian keadilan yang bersifat universal, dalam halhal
tertentu dapat dipahami bahwa pengertian teroris dan terorisme
tetap merupakan pengertian yang subyektif dan relatif.
Pemikiran seperti di atas tidak jarang menumbuhkan sikap
ambivalen dan standar ganda. Bagi suatu negara yang berdaulat,
apakah pemerintahan bersifat fasis atau demokratis, akan memandang
kombatan melawan pemerintah cenderung sebagai teroris (crime
against government). Sebaliknya, dari sudut pandangan kombatan yang
menentang pemerintah yang rasial, tindakan represif dari penguasa
akan dilihat sebagai kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah (crime
by government or state crime or state-organized crime). Penting untuk
diperhatikan bahwa pada tahun 1973 Majelis Umum PBB menyetujui
suatu asas yang melindungi HAM para “pejuang kebebasan” yang
menjadi kombatan terhadap pemerintahan kolonial dan rezim yang
fasis. Kombatan yang tertangkap harus diberi status sebagai tawanan
perang atas dasar Konvensi Jenewa Ketiga (1949). Dalam hal ini, maka
tidak heran bahwa seseorang, bagi suatu negara tertentu disebut
teroris tetapi bagi negara lain ia dianggap sebagai pahlawan. Suicide
bomber Palestina bagi Israel adalah teroris, tetapi bagi orang Palestina
mereka adalah pahlawan.
Beberapa waktu yang lalu, Presiden Libanon Emile Lahoud
menolak keras daftar yang dipublikasikan Washington yang
memasukkan Hezbollah sebagai kelompok teroris dan aset globalnya
harus dibekukan di AS. Hezbollah dan yang lain dianggap sangat
berjasa membebaskan wilayah Libanon yang diduduki Israel.
(Lembah Bekka, Arab News, 18 November 2001).
Fenomena berupa kasus-kasus terorisme yang terjadi di dunia
membenarkan pendapat bahwa terorisme tidak identik dengan
aktivitas agama tertentu (Islam). Di samping kelompok-kelompok
yang dikategorikan sebagai teroris yang berbau agama, maka terdapat
168
pula kelompok teroris yang bersifat ‘non agama’ seperti “African
National Congress” (Afrika Selatan) yang semula berjuang di dalam
sistem untuk memperjuangkan hak-hak kulit hitam, tetapi akhirnya
menempuh jalan teror; “Armed Forces for National Liberation “
(FALN:US) yang memperjuangkan lepasnya Puerto Rico dari US
dominion; “Armed Revulutionary Forces of Columbia” (FARC:Columbia)
yang merupakan sayap militer partai komunis; “Armed Revolutionary
Nuclear” (NAR: Italy) yang berjuang untuk mengembalikan fasisme
di Itali; “Basque Fatherland and Liberty” (ETA) gerilya marxist untuk
memerdekakan Basque dari Spanyol; IRA (Irish Republican Army) yang
merupakan refleksi konflik berdarah antara Katolik dan Protestan;
“Japanese Red Army” (JRA) yang merupakan kelompok teroris
internasional yang memperjuangkan revolusi dunia dan meruntuhkan
monarki Jepang.
Dari pelbagai instrumen yang berkaitan dengan pencegahan dan
perang terhadap terorisme, terbukti bahwa dunia Islam juga sangat
konsisten mengutuk terorisme. The Arab Convention on the Suppression
of Terrorism (Cairo, 1998) dan Convention of the Organisation of the Islamic
Conference on Combating International Terrorism (Ougadougou, 1999),
merupakan dua peristiwa penting untuk membuktikan kepedulian
dunia Islam – wilayah yang kerap mendapat stigma sebagai “sarang”
atau sekurangnya acuh dalam masalah terorisme — terhadap masalah
terorisme.
Dalam perkembangannya, terorisme memang dikategorikan
sebagai pelanggaran HAM yang berat, sehingga dikategorikan juga
sebagai kejahatan internasional dan bahkan transnasional. Dalam
diskusi-diskusi pembentukan “the International Criminal Court” (ICC,
Statuta Roma 1998), setelah tujuh tahun berlaku efektif, dalam ‘Review
Conference’, banyak negara yang mengusulkan agar kejahatan
terorisme dimasukkan sebagai salah satu yurisdiksi materi ICC, di
samping kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan agresi. Terorisme merupakan kejahatan
internasional di antara 22 kejahatan yang masuk kategori tersebut
karena dinilai dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia,
menggoncangkan hati nurani manusia, mempengaruhi lebih dari suatu
negara atau warga negara lebih dari satu negara, alat dan caranya
melalui batas negara, dan memerlukan kerjasama antar negara untuk
mengatasinya (Bassiouni, 1985).
169
Dalam Konvensi Palermo, 2000, tentang “kejahatan transnasional
yang terorganisasi” dinyatakan, bahwa suatu kejahatan dapat disebut
bersifat transnasional apabila memiliki karakteristik; (1) dilakukan
di lebih dari satu negara; (2) dilakukan di satu negara tetapi persiapan,
perencanaan dan pengendaliannya mengambil tempat di negara lain;
(3) dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok
kejahatan terorganisasi yang memiliki jaringan kegiatan di banyak
negara, atau; (4) dilakukan di satu negara tetapi secara substansial
efeknya mengimbas sampai ke negara lain.
Di samping terorisme yang bersifat internasional dan
transnasional, terdapat pula terorisme yang bersifat nasional atau
domestik, termasuk di dalamnya apa yang dinamakan “single issue
terrorist”, yang menunjuk pada kelompok yang menggunakan taktik
ekstrimis untuk mendukung satu isu tertentu. Contohnya adalah “the
unabomber” di Amerika Serikat (1995), yang menempatkan Universitas
dan Airlines sebagai target sasaran dengan motif ketidaksenangan
terhadap teknologi. Di samping itu, ada pula yang dinamakan “hate
crime”, yaitu serangan terhadap sasaran berupa orang atau
kekayaannya atas dasar ras korban, warna kulit, agama, asal usul
nasional, etnik, jenis kelamin atau orientasi seksual, seperti “skinheads”
dan Neo Nazi.
Sejarah dan Tipologi Terorisme
Sebelum Perang Dunia II, hampir semua tindakan terorisme
(bentuk pertama) terdiri atas pembunuhan politik terhadap pejabat
pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair di tahun
limapuluhan, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan
yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa.
Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang mereka (Algerian
nationalist) sebut sebagai “terorisme negara”. Menurut mereka,
pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah
soal yang harus dirisaukan, bahkan sasarannya adalah mereka yang
tidak berdosa.
Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan
terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau
random terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. “The Bush
Commission” (Wakil Presiden AS, 1986) menyebutnya sebagai “teater
politik”, contoh dari “propaganda by deed”. Dalam masyarakat yang
170
sebagian besar buta huruf dan apatis, seruan atau perjuangan melalui
huruf-huruf tertulis dampaknya sangat kecil, sehingga lebih efektif
menerapkan “filsafat bom”, yakni bersifat eksplosif dan sangat sulit
untuk mengabaikannya.
Seorang Brazilia, Carlos Marighela, menulis buku tentang teori
modern tentang teror yang berjudul “Minimanual of the Urban Guerilla”
yang kemudian dijadikan buku pegangan gerakan teror di seluruh
dunia. Dia mengatakan bahwa untuk memberikan informasi tentang
aksi-aksi revolusioner cukup dengan menjadikan media massa
modern sebagai sarana penting untuk propaganda. Bahwa perang
psikologis, lanjut Carlos, merupakan suatu teknik untuk berjuang atas
dasar penggunaan langsung atau tidak langsung media massa.
Bentuk ketiga (terorisme media) ini berkembang melalui tiga
sumber; pertama, kecenderungan sejarah yang semakin menentang
kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta
HAM; kedua, pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan
fundamentalisme agama, radikalisasi setelah era perang Vietnam dan
munculnya ide perang gerilya kota; dan ketiga, kemajuan teknologi
seperti satelit, peningkatan lalu lintas udara dan penemuan senjatasenjata
canggih.
Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah versi penjelasan,
diantaranya tipologi yang dirumuskan oleh “National Advisory
Committee” dalam The Report of the Task Force on Disorders and Terrrorism
(1996), yang mengemukakan sebagai berikut:
1. Terorisme politik; mencakup perilaku kriminal yang dilakukan
dengan kekerasan yang didisain terutama untuk menimbulkan
ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis.
2. Terorisme non politik; dilakukan untuk tujuan-tujuan keuntungan
pribadi, termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi.
3. Quasi terorisme; menggambarkan aktivitas yang bersifat
insidental untuk melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan
caranya menyerupai terorisme, tetapi tidak mempunyai unsur
esensialnya. Dalam kasus pembajakan udara atau penyanderaan
misalnya, para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan daripada
motivasi ideologis.
4. Terorisme politik terbatas; menunjuk kepada perbuatan terorisme
yang dilakukan untuk tujuan atau motif politik, tetapi tidak
merupakan bagian dari suatu kampanye bersama untuk
171
menguasai pengendalian negara. Contohnya adalah perbuatan
teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam (vendetta-type
executions).
5. Terorisme pejabat atau negara (official or state terrorism); terjadi di
suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan.
Yang terakhir ini (official or state terrorism) harus dibedakan dengan
“state-sponsored terrorism” yang dapat diartikan bahwa negara
mendukung terorisme sebagai bagian atau taktik “war on the cheap”,
seperti dituduhkan Amerika kepada Irak, Suriah, Afganistan (Taliban)
Libia, Kuba, Korea Utara, Sudan dan sebagainya (tetapi ironisnya
bahwa mereka yang dituduh sebagai teroris adalah mereka yang
semasa perang dingin mendapatkan latihan ‘counterinsurgency skills’
di Fort Benning, Georgia Amerika yang terkenal sebagai ‘school for
dictators’. Pada saat itu Amerika banyak mendukung rezim yang
represif karena mereka anti komunis).
Dalam hal ini perlu diperhatikan “UN Resolution 2625 (XXV)”
yang antara lain mengharuskan setiap negara untuk menahan diri
dari perbuatan mengorganisasi, menggerakkan, membantu atau
berperanserta dalam perbuatan perang saudara, atau perbuatan
teroris di negara lain, atau secara diam-diam terlibat dalam aktivitas
terorganisasi di dalam wilayahnya ditujukan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini ditegaskan kembali di dalam
Declaration on Measures to Eliminate International Terrorsim, 1994.
Definisi dan Unsur Tindak Pidana Terorism
Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (mala
per se) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala
prohibita). Kriminalisasi tindak pidana terorisme sebagai bagian dari
perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara,
seperti; (a) melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasalpasal
KUHP; (b)melalui sistem global melalui pengaturan yang
lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya; dan
(c) sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam
KUHP tentang “kejahatan terorisme”. Untuk memahami makna
terorisme, kiranya perlu dikaji terlebih dulu makna atau definisi
terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun
beberapa penulis, yaitu:
172
1. US Central Intelligence Agency (CIA).
Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan
dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan
untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintahan asing
2. US Federal Bureau of Investigation (FBI).
Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan
atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah
pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik.
3. US Departments of State and Defense.
Terorisme adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan
oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran
kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk
mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme
yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.
4. Black’s Law Dictionary.
Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan
atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang
melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika,
dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii)
mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi
penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.
5. States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC)
Regional Convention on Suppression of Terrorism.
a. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian
Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”,
ditandatangani di Hague pada 16 Dsember 1970;
b. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian
Perampasan Tidak Sah atas Penerbangan Sipil”,
ditandatangani di Montreal pada tanggal 23 September 1971;
c. Kejahatan dalam lingkup ”Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-orang yang
Secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-agen
Diplomatik”, ditandatangani di Newyork, 14 Desember 1973;
d. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negaranegara
anggota SAARC adalah pihak-pihak yang
mengharuskan angota-anggotanya untuk menuntut atau
melakukan ekstradisi;
173
e. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan,
penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api,
senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan
untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka
yang serius atau kerusakan berat pada harta milik;
f. Usaha untuk melakukan kejahatan, atau turut sebagai kaki
tangan seseorang yang melakukan atau berusaha melakukan
kejahatan tersebut;
g. Usaha atau konspirasi untuk melakukan kejahatan (yang
dijabarkan pada bagian (f) membantu, memudahkan atau
menganjurkan kejahatan tersebut atau berpartisipasi sebagai
kaki tangan dalam kejahatan yang digambarkan.
6. The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998)
Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun
motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda
tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror
di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, atau
mengancm kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau
bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta
publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau
bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.
Disebut juga bahwa tindak kejahatan terorisme adalah tindak
kejahatan dalam rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara
yang menjalin kontak, atau melawan warga negara, harta milik
atau kepentingannya, yang diancam hukuman dengan hukuman
domestik. Tindak kejahatan yang ditetapkan dalam konvensikonvensi
berikut, kecuali yang belum diratifikasi oleh negaranegara
yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan
tersebut dikecualikan oleh perundang-undangan mereka, juga
dianggap sebagai tindak kejahatan teroris:
a. Konvensi Tokyo tentang Tindak Kejahatan dan Tindakan-Tindakan
tertentu Lain yang Dilakukan di Kabin Pesawat, September 1963;
b. Konvensi Hague untuk Pembasmian Perampasan Pesawat
Tidak Sah, pada 16 Desember 1970;
c. Konvensi Montreal untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah
atas Keselamatan Penerbangan Sipil, pada tanggal 23 September
1971, dan Protokolnya pada 10 Mei 1984;
174
d. Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Tindak Kejahatan
terhadap Orang-Orang yang Dilindungi Secara Internasional,
termasuk Agen-Agen Diplomatik, pada 14 Desember 1973;
e. Konvensi Internasional terhadap Penyanderaan, pada
Desember 1979;
f. Ketetapan-Ketetapan Konvensi PBB tentang Hukum Laut,
tahun 1982, yang berhubungan dengan pembajakan di atas laut;
g. Serangan atas Raja, Kepala Negara atau Penguasa Negaranegara
yang Menjalin Kontrak atau atas Pasangan dan
Keluarganya;
h. Serangan atas Pangeran, Wakil Presiden, Perdana Menteri di
Negara yang Menjalin Kontrak;
i. Serangan atas orang-orang yang memiliki kekebalan
diplomatik, termasuk duta besar dan diplomat yang bertugas
di negara-negara yang menjalin kontrak;
j. Pembunuhan atau pencurian yang direncanakan yang diikuti
dengan penggunaan kekerasan yang ditujukan kepada
individu, otoritas atau alat-alat transportasi dan komunikasi;
k. Tindakan sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang
diperuntukan bagi pelayanan publik, bahkan jika dimiliki oleh
negara yang menjalin kontrak;
l. Pembuatan, penjualan ilegal atau kepemilikan senjata, amunisi
atau bahan peledak, atau bahan-bahan lain yang bisa digunakan
untuk melakukan tindak kejahatan teroris.
7. Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth
of Independent States in Combating Terrorism, 1999.
Terorisme adalah tindakan ilegal yang diancam hukuman di
bawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak
keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh
penguasa atau menteror penduduk, dan mengambil bentuk:
a. kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau
orang yang dilindungi hukum;
b. menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta
benda dan objek materi lain sehingga membahayakan
kehidupan orang lain;
c. menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya
akibat yang membahayakan bagi masyarakat;
175
d. mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat
dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya
atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut;
e. menyerang perwakilan Negara asing atau staf anggota
organisasi internasional yang dilindungi secara internasional,
begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang
yang dilindungi secara internasional;
f. tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah
perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang
diakui secara internasional yang bertujuan memerangi
terorisme
(Catatan: (1) Dalam rangka ekstradisi, negara-negara pihak tidak
akan memperlakukan perbuatan tersebut, selain sebagai kriminal;
(2) Muncul istilah baru yaitu “technological terrorism” yakni
penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir, radiologi,
bahan kimia atau bakteri dalam rangka perbuatan terorisme)
8. Convention of the Organisation of the Islamic Conference on
Combating International Terrorism, 1999.
Terorisme berarti tindakan kekerasan atau ancaman tindakan
kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk
menjalankan rencana tindak kejahatan individual atau kolektif
dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk
mencelakakan mereka atau mengancam kehidupan, kehormatan,
kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi
lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik,
atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber
nasional, atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas,
integritas teritorial, kesatuan politis atau kedaulatan negaranegara
yang merdeka.
Tindak kejahatan teroris berarti tindak kejahatan yang
dilakukan, dimulai atau dilibatkan untuk mewujudkan tujuan
teroris di negara yang menandatangani kontrak atau kepada
warga negara, aset atau kepentingan atau fasilitas asing dan warga
negara yang tinggal di wilayahnya yang diancam hukuman oleh
hukum internnya.
Kejahatan-kejahatan sebagai berikut juga dikategorikan
sebagai kejahatan teroris kecuali yang dikeluarkan oleh undang176
undang negara yang bersangkutan atau yang belum diratifikasi :
a. Konvensi tentang Kejahatan dan Tindakan lain yang Dilakukan
di Kabin Pesawat Terbang (Tokyo, 14.9.1963);
b. Konvensi tentang Pembasmian Perampasan Pesawat Terbang
Yang Menyalahi Hukum (The Hague, 16.12.1970);
c. Konvensi tentang Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum
Terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil yang ditandatangani
di Montreal pada 23.9.1971 dan Protokolnya (Montreal
10.12.1984);
d. Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Tindak
Kejahatan Terhadap Orang-Orang Yang Memiliki Imunitas
Internasional, Termasuk Agen-Agen Diplomatik (New York,
14.12. 1973);
e. Konvensi Internasioanal Terhadap Penyanderaan (New York,
1979);
f. Hukum Konvensi Laut PBB tahun 1988 dan pasal-pasalnya
yang berkaitan dengan pembajakan di laut.;
g. Konvensi tentang Perlindungan Fisik Bahan Nuklir (Vienna,
1979);
h. Protokol Pembasmian Tindak Kekerasan Menyalahi Hukum
di Bandara Yang Melayani Penerbangan Sipil Internasional
Suplemen bagi Konvensi untuk Pembasmian Tindakan
Menyalahi Hukum Terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil
(Montreal 1988);
i. Protokol untuk Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum
Terhadap Keselamatan Platform Tetap tentang Dasar
Kontinental (Roma, 1988);
j. Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum
Terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Roma, 1987);
k. Konvensi Internasional untuk Pembasmian Pemboman Teroris
(New York, 1997);
l. Konvensi tentang Plastic Exsplosive untuk Tujuan Deteksi
(Montreal, 1991);
m. Agresi terhadap para raja dan kepala negara negara-negara
yang menandatangani kontrak atau terhadap pasangan,
tanggungan atau keturunan mereka;
n. Agresi terhadap pangeran atau wakil presiden atau wakil
kepala pemerintahan atau para menteri di negara-negara yang
menandatangani kontrak;
177
o. Agresi terhadap orang-orang yang memiliki imunitas
internasional termasuk para duta besar dan diplomat di
negara-negara yang Menandatangani Kontrak atau di negaranegara
yang diakui;
p. Pembunuhan atau perampokan dengan kekerasan terhadap
individu atau otoritas atau alat-alat transport dan komunikasi;
q. Tindakan sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang
diperuntukkan bagi pelayanan publik, bahkan meskipun milik
negara-negara yang menandatangani kontrak.;
r. Tindak kejahatan pembuatan, penyelundupan atau pemilikan
senjata dan amunisi atau bahan-bahan peledak atau bendabenda
lain yang disiapkan untuk tindak kejahatan teroris;
s. Semua bentuk kejahatan internasional, termasuk perdagangan
ilegal narkotika dan manusia serta pencucian uang yang
bertujuan membiayai tujuan-tujuan teroris harus dianggap
sebagai tindak kejahatan teroris.
(Catatan: (1) Perjuangan bersenjata melawan pendudukan, agresi,
kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan
dan menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip hukum
internasional tidak dianggap sebagai kejahatan terorisme; (2)
Pelbagai tindak pidana terorisme di atas tidak dapat
dikategorikan sebagai kejahatan politik; (3) Tindak pidana butir
xiii-xviii tidak dapat dianggap sebagai kejahatan politik sekalipun
bermotif politik; (4) Dalam definisi terorisme motif politik).
9. Organisation of African Unity (OAU), 1999
Tindakan teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap
hukum pidana “negara anggota” dan bisa membahayakan
kehidupan, integritas fisik atau kebebasan, atau menyebabkan
luka serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau
sekelompok orang atau menyebabkan atau dapat menyebabkan
kerugian bagi harta, sumber alam atau lingkungan atau warisan
budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau
dimaksudkan untuk: (a) mengintimidasi, menakut-nakuti,
memaksa, menekan atau mempengaruhi pemerintah, badan,
institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat, untuk
melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan, atau
untuk mengadopsi atau meninggalkan pendirian tertentu, atau
untuk bertindak menurut prinsip-prinsip tertentu; atau
178
(b) menggangu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial
kepada publik atau untuk menciptakan darurat publik; atau
(c) menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara;
(d) promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan,
dorongan, usaha, ancaman, konspirasi, pengorganisasian, atau
perekrutan seseorang, dengan niat untuk melakukan tindakan
yang disebutkan pada paragraf (a) sampai (c)
(Catatan: (1) Perjuangan bersenjata sesuai dengan hukum
internasional dalam rangka kemerdekaan atau menentukan nasib
sendiri, terhadap agresi, pendudukan, kolonialisme dan dominasi
asing dikecualikan dari perbuatan terorisme. (2) Motif politik,
filosofis, ideologis, rasial, ethnik, agama atau motif lain tidak dapat
digunakan untuk pembenaran terhadap perbuatan terorisme).
10. Terrorism Act 2000, UK.
Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau
ancaman tindakan dengan ciri-ciri: (a) aksi yang melibatkan
kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta
benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan
orang yang melakukan tindakan, menciptakan risiko serius bagi
kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik
atau didesain secara serius untuk campur tangan atau
mengganggu sistem elektronik; (b) penggunaan atau ancaman
didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk
mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; (c)
penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan
politik, agama atau ideologi; (d) penggunaan atau ancaman yang
masuk dalam subseksi (a) yang melibatkan penggunaan senjata
api atau bahan peledak.
Catatan: Di UK mereka yang dalam aktivitas organisasi terlarang
dapat dipidana keterlibatan -- bisa dalam bentuk keanggotaan,
membantu dalam bentuk uang atau kekayaan atau mempersiapkan
rapat organisasi terlarang, memakai seragam organisasi terlarang
di muka umum dan membantu pengumpulan dana. Suatu
organisasi dianggap terlibat dalam terorisme apabila
berpartisipasi dalam terorisme, mempersiapkan terorisme,
menggalakkan dan mempromosikan terorisme.
179
11. European Convention on the Suppression of Terrorism (1977)
a. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian
Perampasan Tidak Sah atas Pesawat Terbang, ditandatangani
di Hague pada Desember 1970;
b. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian
Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil,
ditandatangani di Montreal pada 23 September 1971;
c. Kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik
dan kehidupan atau kebebasan orang-orang yang dilindungi
secara internasional, termasuk agen-agen diplomatik;
d. Kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau
penahanan berat yang tidak sah;
e. Kejahatan yang melibatkan penggunaan bom, granat, roket,
senjata otomatis atau surat atau paket bom jika
penggunaannya membahayakan orang lain;
f. Usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai
kaki tangan seseorang yang melakukan atau berusaha
melakukan kejahatan tersebut;
g. Kejahatan serius yang melibatkan tindak kekerasan, selain
dari yang tercakup dalam Artikel 1 (a-f), atas integritas fisik
dan kehidupan atau kebebasan seseorang;
h. Kejahatan serius yang melibatkan tindakan atas harta, selain
dari yang tercakup dalam Artikel 1 (a-f), jika tindakan
menimbulkan bahaya kolektif bagi orang lain;
i. Usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya
atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang
melakukan kejahatan tersebut.
Catatan: (1) Terhadap pelbagai tindak pidana terorisme tersebut
ditegaskan bahwa untuk tujuan ekstradisi pelbagai tindak pidana
tersebut tidak boleh dianggap sebagai tindak pidana politik atau
sebagai suatu tindak pidana yang berkaitan dengan suatu tindak
pidana politik atau sebagai suatu tindak pidana yang diilhami oleh
motif politik. Dengan demikian menurut penulis tidak dapat
dikategorikan sebagai “non-extraditable crimes”; (2) Bentuk tindak
pidana terorisme antara lain selalu dikaitkan dengan salah satu atau
beberapa Konvensi internasional (international treaties) dari kurang
lebih 12 konvensi internasional tentang terorisme yang sudah ada
(mestinya yang sudah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan).
180
Menurut penulis, UU No. 2 Th. 1976 yang telah meratifikasi 3
Konvensi internasional tentang kejahatan penerbangan (Den Haag,
Montreal dan Tokyo) yang kemudian disusul dengan keluarnya UU
No. 4 Th 1976 berupa penambahan Bab XXIXA KUHP tentang
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana Penerbangan
dapat dijadikan contoh untuk dikategorikan sebagai tindak pidana
terorisme; (3) Percobaan disamakan dengan delik selesai dan
pembantuan disamakan kualifikasinya dengan si pelaku.
Pengaturan Tindak Pidana Terorisme
Baik konsiderans maupun penjelasan umum harus
menggambarkan secara komprehensif legal spirit yang dapat
memberikan pembenaran keberadaan UU pemberantasan terorisme;
termasuk di sini alasan kriminalisasi seperti timbulnya korban yang
tidak bersalah, besarnya dukungan publik nasional dan internasional,
bahaya bagi demokrasi, HAM, supremasi hukum dan stabilitas,
bahaya terhadap perdamaian, persahabatan, kerjasama antar bangsa
mengingat sifatnya yang bisa internasional dan transnasional, bahaya
terhadap kedaulatan dan integritas negara dan perlunya kerjasama
internasional. Demikian pula kaitannya dengan kejahatan berat yang
lain seperti pencucian uang, perdagangan senjata, kejahatan narkoba,
dan kejahatan terorganisasi. Dasar pertimbangannya adalah:
(a) Agar Tidak menimbulkan subyektivitas penafsiran dan
menimbulkan permasalahan dalam ekstradisi, maka pemikiran
yang berkembang pada Anglo-American Law yang tidak
membedakan antara kejahatan politik yang dilakukan atas dasar
tujuan ideologis dengan kejahatan tradisional dapat
dipertimbangkan. Hukum pidana hanya memperhatikan sikap
batinnya (intent) bukan motif, sebab apakah motifnya baik atau
buruk tidak menentukan kesalahan.
(b) Pelbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan
pencegahan dan pemberantasan terorisme yang telah diratifikasi
perlu dicantumkan dan ditegaskan sebagai kejahatan terorisme;
(c) Mengingat pelaku (perpetrator) kejahatan bisa individual atau
kelompok, perlu diatur tentang corporate liability;
(d) Perlu diatur tentang skema perlindungan terhadap para saksi
dan korban kejahatan;
(e) Perlu diatur tentang kejahatan “obstruction of justice”; sebab soal
181
ini lebih luas daripada ketentuan tentang perlindungan bagi
penyelidik dan penyidik.
(f) Perlu diatur ketentuan bahwa perjuangan bersenjata (freedom
fighters) melawan kolonialisme, pendudukan, dominasi dan agresi
asing tidak merupakan tindak pidana terorisme; ini penting
nantinya dalam hubungan dengan ekstradisi dan kemungkinan
dimasukkannya kejahatan terorisme sebagai kejahatan
internasional (asas universalitas);
(g) Kepentingan hukum yang dibahayakan oleh terorisme jangan hanya
dibatasi terhadap nyawa, harta benda, kebebasan pribadi dan rasa
takut masyarakat. Sesuai dengan perkembangan internasional perlu
dipertimbangkan perlindungan terhadap: integritas nasional dan
kedaulatan, fasilitas internasional, diplomat asing, kepala negara dan
wakil kepala negara, instalasi publik, lingkungan hidup, sumberdaya
alam nasional dan transportasi serta komunikasi.
(h) Sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, maka dalam merumuskan
tindak pidana harus memegang teguh asas legalitas dan asas
‘lex certa’ (perumusan hukum harus jelas dan tajam serta dapat
dipercaya); Penyimpangan terhadap hukum acara yang berlaku
sejauh mungkin dihindari.
(i) Di samping langkah-langkah represif, perlu diatur tentang
langkah-langkah preventif (counter-terrorism measures) yang
komprehensif, seperti pencegahan infiltrasi elemen teroris dari
negara lain, kerjasama dan koordinasi dengan negara-negara
sahabat, pengembangan sistem seleksi dan manajemen senjata
api dan bahan peledak, pengawasan perbatasan dan tempat
masuk orang asing, pengembangan sistem pengawasan,
peningkatan pengamanan instalasi vital, perlindungan orangorang
penting dan diplomat, penyempurnaan organisasi
intelijen, penciptaan ‘database’ dari elemen dan jaringan teroris.
(j) Menegaskan perlunya keterlibatan perguruan tinggi untuk
mengkaji masalah-masalah terorisme (semacam ‘the Terrorism
Research Center’);
(k) Pengaturan tentang keterlibatan dalam organisasi terlarang yang
terlibat terorisme perlu dijajagi (seperti di Inggris). n
182
Kebijakan kriminal adalah usaha rasional dan terorganisasi dari
suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan
kriminal di samping dapat dilakukan secara represif melalui sistem
peradilan pidana (pendekatan penal) dapat pula dilakukan dengan
sarana “non penal” melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa harus
menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan
mental masyarakat, penyuluhan hukum, pembaharuan hukum perdata
dan hukum administrasi, dan sebagainya.
Pendekatan dengan menggunakan sarana penal terus menerus
dilakukan melalui pelbagai usaha untuk menyempurnakan sistem
peradilan pidana, baik dari aspek legislasi (kriminalisasi,
dekriminalisasi dan depenalisasi), perbaikan sarana-prasarana sistem,
peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Secara sistemik,
sistem peradilan pidana ini mencakup suatu jaringan sistem peradilan
(dengan sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
pemasyarakatan) yang mendayagunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya. Hukum pidana dalam hal ini mencakup hukum
pidana materiil, formil dan hukum pelaksanaan pidana.
Pendekatan dengan cara non penal mencakup area pencegahan
kejahatan (crime prevention) yang sangat luas dan mencakup baik
kebijakan maupun praktek. Kebijakan tersebut bervariasi antara negara
yang satu dengan negara yang lain sesuai dengan latar belakang kultural,
politik dan intelektual yang ada pada masing-masing masyarakat. Di
satu negara tertentu kewenangan untuk merencanakan dan
mengkoordinasikan biasanya berada pada “forum interdepartemen”
Aspek Internasional
dari Kebijakan Kriminal Non Penal
183
(semacam National Crime Prevention Councils) yang beranggotakan luas,
baik yang berasal dari badan publik atau privat. Sedangkan di negara
lain pencegahan kejahtan merupakan tanggungjawab departemen atau
lembaga tertentu, seperti kepolisian atau kejaksaan.
Dalam perkembangannya, kebijakan kriminal berkembang ke
arah tindakan-tindakan proaktif yang ternyata, selain terbukti lebih
murah (dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan polisi, pengadilan
dan penjara), juga menjanjikan hasil yang lebih baik dalam memerangi
kejahatan. Tanggungjawab pencegahan kejahatan diperluas mencakup
lembaga-lembaga dan individu di luar sistem peradilan pidana.
Kejahatan dianggap permasalahan masyarakat (common public concern)
dan pencegahannya tidak lagi dianggap wilayah eksklusif dari
spesialis, sekalipun hubungan antara pencegahan kejahatan dan
peradilan pidana cukup erat.
Di beberapa negara Eropa Timur, pencegahan kejahatan terkait
satu sama lain. Pengadilan tidak hanya berfungsi yudikatif tetapi
juga mengidentifikasi dan memutuskan penyebab terjadinya
kejahatan. Dalam kasus pencurian di tempat kerja misalnya, pimpinan
instansi dapat diperintahkan untuk mencegah terjadinya pengulangan
kejahatan. Apabila tidak diindahkan maka yang bersangkutan dapat
dijatuhi sanksi. Contoh lain keterlibatan masyarakat adalah
keberadaan semacam informal tribunal yang dapat menyelesaikan
kasus-kasus di sekolah, tempat kerja atau di lingkungan tetangga.
Kasus-kasus seperti ini cenderung diselesaikan oleh anggota
masyarakat biasa, sehingga ada kaitan antara sistem pencegahan
kejahatan yang formal dengan kontrol sosial masyarakat.
Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama
dari kebijakan kriminal. Sekalipun demikian harus diakui bahwa
konsep dan definisinya masih terlalu lemah, sehingga orang
cenderung untuk membicarakan pencegahan kajahatan dalam
kerangka pendekatan dan model. Secara tradisional, tujuan sistem
peradilan pidana bersifat represif dan berkaiatan erat dengan
pencegahan kejahatan setelah suatu kejahatan telah terjadi. Konsep
pencegahan kejahatan sendiri memfokuskan diri pada campur tangan
sosial, ekonomi dan pelbagai area kebijakan publik dengan maksud
mencegah kejahatan sebelum kejahatan dilakukan. Dengan demikian
pencegahan kejahatan pada dasarnya adalah segala tindakan yang
tujuan khususnya adalah untuk membatasi meluasnya kekerasan dan
184
kejahatan, apakah melalui pengurangan kesempatan untuk melakukan
kejahatan atau dengan cara mempengaruhi pelaku potensial dan
masyarakat umum. Umumnya strategi preventif terdiri atas tiga
kategori yang mendasarkan diri pada “public health model” yakni; (a)
pencegahan kejahatan primer (primary prevention); (b) pencegahaan
sekunder (secondary prevention); dan (c) dan pencegahan tersier (tertiary
prevention).
Pencegahan primer adalah strategi yang dilakukan melalui
kebijakan sosial, ekonomi dan kebijakan sosial yang lain yang
diorientasikan untuk mempengaruhi situasi kriminogenik dan akar
kejahatan (pre-offence intervention), seperti kebijakan di bidang
pendidikan, perumahan, lapangan kerja, rekreasi, dan sebagainya.
Sasaran utama dari model kebijakan ini adalah masyarakat luas.
Pencegahan sekunder dapat ditemukan di dalam sistem peradilan
pidana dan penerapannya bersifat praktis, seperti yang biasa dapat
disaksikan pada peranan polisi dalam pencegahan kejahatan. Sasarannya
ditujukan kepada mereka yang dianggap cenderung melanggar.
Sedangkan pencegahan tersier terutama diarahkan pada residivisme
(oleh polisi atau lembaga-lembaga lain sistem peradilan pidana) dan
sasaran utamanya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan.
Di lain pihak dibedakan pula antara “pencegahan sosial” (social
crime prevention) yang diarahkan pada akar kejahatan, “pencegahan
situasional” (situational crime prevention), yang diarahkan pada
pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan, dan
“pencegahan masyarakat” (community based prevention), yakni
tindakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
mengurangi kejahatan dengan cara meningkatkan kemampuan
mereka untuk menggunakan kontrol sosial. Pelbagai pendekatan
tersebut bukan merupakan pemisahan yang tegas, namun saling
mengisi dan berkaitan satu sama lain.
Terdapat kecenderungan untuk meningkatkan keseimbangan
antara pencegahan kejahatan yang berorientasi pada pelaku (offendercentered
crime prevention) dan yang berorientasi pada korban (victim
centered crime prevention).
Internasionalisasi Kejahatan
Saat ini sulit sekali untuk membedakan antara kejahatan yang terjadi
di negara-negara maju dan kejahatan yang terjadi di negara-negara
185
berkembang. Aspek-aspek kultural, politik dan sosial yang pada masa
lalu biasa dijadikan faktor pembeda, kini hampir tidak mungkin
dilakukan. Dalam era globalisasi hubungan antara bangsa menjadi sangat
mudah sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang transportasi,
komunikasi dan jaringan komputer, dan hal ini sangat mempengaruhi
gejala internasionalisasi kejahatan. Munculnya istilah “shared
characteristics” adalah menggambarkan meningkatnya kejahatankejahatan
kekerasan dan pembunuhan yang merata di kota-kota besar
di dunia. Contoh yang paling nyata dan sekaligus amat merisaukan adalah
kejahatan obat bius. Dengan demikian nampak bahwa mobilitas besarbesaran
individu dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju
atau sebaliknya merupakan faktor kriminogin, yang pada
perkembangannya memunculkan gejala baru berupa bentuk-bentuk
kejahatan terorganisasi. Dari pelbagai pertemuan internasional dapat
dirasakan keprihatinan pelbagai negara di dunia akibat eskalasi
peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah bentuk-bentuk
“organisasi kejahatan transnasional” yang melampaui batas-batas negara
dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional dan internasional.
Persoalan yang dimunculkan oleh “kejahatan transnasional
terorganisasi” semakin diwaspadai, karena pelbagai penelitian
menunjukkan adanya kaitan erat antara terorisme dengan kejahatan
terorganisasi, khususnya dengan sifat-sifatnya yang transnasional dan
di luar hukum, seperti penggunaan kekerasan fisik, perdagangan
senjata dan obat bius, money laundering, transaksi gelap, penculikan,
penggelapan, pemalsuan, perampasan dan pemerasan. Tindak pidana
tersebut dapat pula berupa perdagangan wanita, imigran gelap,
perjudian, tindak pidana lingkungan dan pencurian benda-benda
budaya, bahkan muncul indikasi mulai dilakukannya perdagangan
unsur-unsur nuklir (uranium). PBB bahkan menganggap fenomena
itu sebagai kejahatan yang dapat membahayakan keamanan dan
stabilitas nasional dan internasional, demokrasi, tertib hukum, HAM
dan pembangunan ekonomi serta sosial.
Sidang Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana di
Wina, (21-31 Mei 1996), juga memberikan penegasan bahwa kejahatankejahatan
yang harus diwaspadai saat ini meliputi kejahatan
transnasional (terorganisasi), kejahatan ekonomi termasuk pemutihan
uang, kejahatan lingkungan hidup, kejahatan perkotaan, kejahatan
kekerasan, kejahatan yang dilakukan remaja, perdagangan senjata
186
api, kekerasan terhadap wanita, anak-anak, penyelundupan imigran
gelap dan tindak pidana korupsi.
Sepanjang pembahasan tentang kemungkinan hubungan antara
kejahatan transnasional terorganisasi dan terorisme, terdapat dua
pandangan yang berbeda, yaitu; pertama negara-negara yang
berpendapat keduanya memiliki kesamaan elemen, metode, aktivitas,
dan kemungkinan hubungan yang langsung terjadi antara keduanya.
Kedua, negara-negara yang menyatakan bahwa walaupun bentuk
terorisme dapat dimasukkan dalam definisi kejahatan transnasional yang
terorganisasi, namun terdapat perbedaan yang jelas dalam tujuannya,
yaitu terorisme mempunyai motif dan tujuan politik sedangkan kejahatan
terorganisasi hanya mempunyai tujuan ekonomi semata.
Diskusi mengenai terorisme berulangkali menekankan adanya
ancaman yang kuat terhadap perdamaian dan pembangunan. Hampir
semua negara peserta pada prinsipnya mengutuk kejahatan terorisme
dalam segala bentuknya, walaupun beberapa negara lainnya,
khususnya Iran, Suriah, Libanon dan Libia, menekankan perlunya
pembedaan antara kejahatan tersebut dengan perjuangan rakyat
untuk membebaskan wilayahnya dari pendudukan.
Strategi Kebijakan Kriminal Internasional
Dari perkembangan-perkembangan kejahatan aktual di atas
Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana ECOSOC
menekankan betapa pentingnya hal-hal sebagai berikut:
a. Perlunya peningkatan efisiensi, kejujuran dan peningkatan
manajemen dan administrasi peradilan pidana dan sistem yang
terkait, dengan menekankan pada usaha memperkuat kemampuan
nasional di negara-negara berkembang dalam rangka koleksi,
kolasi (pemeriksaan), analisis dan penggunaan data kriminal guna
pengembangan dan implementasi kebijakan kriminal yang tepat.
b. Perlunya disusun suatu daftar dari inisiatif nasional yang berhasil
dalam upaya mencegah kejahatan perkotaan, kenakalan remaja
dan kejahatan kekerasan.
c. Perlunya segera disusun langkah-langkah, strategi dan kegiatan
yang praktis di bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana
untuk menghapuskan tindak kekerasan terhadap wanita.
d. Peningkatan upaya intensif berupa pelatihan dan pendidikan
manajemen peradilan pidana.
187
e. Perlu upaya konkrit internasional untuk memerangi korupsi guna
meningkatkan citra pejabat pemerintah yang bersih dan
berwibawa.
f. Sehubungan dengan semakin meningkatnya pemakaian senjata api
dalam kegiatan kejahatan, diusulkan pelbagai hal sebagai berikut:
• Perlunya pertemuan-pertemuan informal para penegak hukum
dan pejabat bea cukai negara-negara untuk membahas usaha
menyeragamkan atau harmonisasi hukum mengenai pengaturan
penggunaan senjata.
• Perlu ditingkatkan perundang-undangan nasional di bidang
pengaturan senjata api yang lebih komprehensif dan dapat
diimplementasikan secara efektif.
• Perlu ditingkatkannya kerjasama bilateral, regional dan
internasional untuk mencegah lalu lintas gelap senjata api, yang
cenderung meningkat akibat kurang harmonisnya perundangundangan
nasional, peraturan dan kebijaksanaan.
• Perlunya upaya meningkatkan informasi dan perbaikan statistik
penggunaan senjata api serta upaya untuk melakukan tinjauan
yang komprehensif perkembangan peraturan penggunaan
senjata api di dunia.
g. Menggarisbawahi peningkatan kerjasama teknik di bidang
pencegahan kejahatan dan peradilan pidana sebagai bagian dari
proses pembangunan secara menyeluruh dari suatu negara. Untuk
ini harus dibentuk kelompok kerja.
h. Pemberian prioritas utama pada “edvisory services” sebagai
tanggapan terhadap permintaan internasional, khususnya dari
negara-negara berkembang atau negara dengan ekonomi transisi.
i. Perlu ditingkatkannya kerjasama dengan badan-badan lain seperti
Department for Development Support and Management Services, United
Nations International Drug Control Program, Centre for Human Rights,
United Nations dan badan-badan regional dan internasional terkait.
j. Negara-negara menekankan pentingnya standar-standar dan
aturan-aturan PBB di bidang pencegahan kejahatan dan peradilan
pidana dan implementasinya dalam praktek. Beberapa instrumen
diusulkan untuk ditinjau kembali mengingat perbedaan sistem
hukum sering dianggap sebagai kendala.
k. Sehubungan dengan kejahatan transnasional, negara-negara
memandang perlu adanya jaringan yang efektif untuk penegakan
188
hukum dan untuk meyakinkan bahwa tidak ada pelaku kejahatan
yang dapat menghindari proses peradilan.
l. Diperlukan peningkatan mekanisme pertukaran informasi dan
pengalaman, evaluasi dan pengembangan langkah-langkah
legislatif serta kerjasama teknik. Dalam hal ini pertemuan kelompok
ahli antar pemerintah dapat menjadi forum yang diharapkan.
m. Perlu segera dibentuk suatu pusat “repository” informasi
internasional mengenai langkah-langkah yang telah diambil oleh
negara anggota dan organisasi dalam rangka memerangi kejahatan
transnasional terorganisasi. Untuk itu diperlukan adanya “United
Nations Crime and Justice Information Network”. Dalam hal ini perlu
dihindari adanya tumpang tindih dengan repository yang sudah
ada dari Commonwealth dan the International Criminal Police
Organization (ICPO/Interpol).
n. Khusus mengenai kekerasan terhadap wanita dan anak-anak
ditegaskan perlunya:
• Pencapaian “gender quality” dan peningkatan status wanita.
• Pembaharuan hukum terhadap perlindungan wanita.
• Pelatihan khusus bagi praktisi, pusat bantuan dan pemberian
nasehat untuk membantu korban. Bantuan media massa sangat
diperlukan untuk menghindari “gender stereotyping”.
• Diperlukan langkah-langkah untuk membantu kelompokkelompok
wanita yang rentan.
o. Khusus mengenai anak sebagai korban dan pelaku tindak pidana
diusulkan antara lain:
• Perlunya konvensi internasional khusus yang mengacu pada
“the Inter American Convention on International Traffic in Minors”.
• Ratifikasi terhadap instrumen peradilan remaja.
p. Perlu dilanjutkan pengembangan UN Crime and Justice Information
Network (UNCJIN) yang berkaitan dengan UN On-Line Crime and
Justice Clearing House (UNOJUST) dalam rangka meningkatkan
pelaksanaan sistem peradilan pidana yang efektif.
q. Negara-negara perlu mendukung 15 resolusi sebagai berikut:
• Peranan hukum pidana dalam perlindungan lingkungan hidup.
• Tindakan untuk mengatur senjata api.
• Deklarasi tentang pembentukan kelompok ahli di bidang korban
kejahatan.
• Pembinaan para pelaku.
189
• Administrasi peradilan remaja.
• Tindakan untuk melawan korupsi, sebagaimana telah
diadopsinya The International Code of Conduct for Public Officials.
• Kerjasama teknik dan layanan antar regional. Dalam hal ini
diperlukan kontribusi terhadap UN Crime Prevention and
Criminal Justice Fund.
• Eliminasi terhadap kekerasan terhadap wanita.
• Kekerasan internasional dan bantuan manajemen sistem
peradilan pidana.
• Tindakan pencegahan terhadap perdagangan gelap anak.
• Kejahatan dan keamanan publik.
• Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana.
• Manajemen strategis dalam pencegahan kejahatan dan peradilan
pidana.
• Pidana mati.
• Implementasi dari The Naples Political Declaration and Global
Action Plan Against Organized Transnational Crime. n
190
Dampak modernisasi dan globalisasi yang melanda dunia karena
kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informatika, tidak
hanya membawa manfaat dalam kehidupan umat manusia tetapi juga
menimbulkan mudarat yang tidak sederhana. Sebagian ini diakibatkan
oleh ulah manusia yang seringkali memanfaatkan perkembangan
teknologi untuk memudahkan perilaku jahat yang tidak dikendalikan
oleh akal dan hati nurani. Sebaliknya, tidak jarang orang justru
menggunakan alat-alat teknologi modern untuk melakukan kejahatan
yang bahkan kerap disertai dengan kekerasan yang bertentangan
dengan peradaban umat manusia. Contohnya adalah kejahatan perang,
agresi, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, pembajakan udara,
dan lain-lain. Bahkan di antara kejahatan-kejahatan tersebut tidak jarang
pula mengandung karakteristik sebagai kekerasan yang didukung
negara (state-sponsored violence).
Hukum pidana internasional yang membahas kejahatan
internasional dan kejahatan transnasional semakin penting untuk dibahas
secara akademis. Problem jenis kejahatan seperti ini bahkan cenderung
tumbuh sebagai disiplin hukum tersendiri mengingat eskalasi
peningkatannya baik dari segi jumlah, intensitas maupun ancaman yang
ditimbulkannya terhadap perdamaian dunia serta keselamatan individu
seluruh dunia, cenderung meningkat. Bahaya ini bisa berasal dari negaranegara,
perseorangan, atau dari kelompok dengan alasan dan motifnya
yang bervariasi, seperti motif politik, ekonomi, etnis dan sebagainya.
Tuntutan yang semakin meningkat untuk mengadakan kodifikasi
kejahatan-kejahatan internasional tersebut disertai dengan kebutuhan
untuk mengadakan kerjasama internasional dalam aspek prosedural
Beberapa Catatan Tentang
Hukum Pidana Internasional
191
sebagai sarana penegakan hukum. Melalui kerjasama tersebut
diharapkan dapat diciptakan mekanisme internasional dan yurisdiksi
pidana internasional untuk diterapkan (langsung atau tidak langsung)
terhadap kejahatan-kejahatan di atas guna melindungi hak-hak
fundamental (baik individual maupun kolektif) terhadap segala
bentuk ancaman dan pelanggaran dari segala sumber kejahatan, baik
publik maupun privat. Belum lagi harus menghadapi corak kejahatan
lain yang ‘direstui negara’ atau state sponsored violations.
Berkembangnya pelbagai bentuk kejahatan internasional dan
transnasional (misalnya kejahatan komputer dan cybercrimes, kejahatan
finansial dan ekonomi, kejahatan lingkungan dan terorisme) harus
diimbangi pula dengan perkembangan sistem pengaturan dan
pengendalian. Mengingat dimensi bahayanya, saat ini hukum pidana
internasional dengan komponen HAM-nya merupakan disiplin yang
cukup banyak menarik perhatian sejumlah kalangan, baik pakar,
pengajar hukum, pemerintah, organisasi serta lembaga-lembaga baik
internasional maupun regional. Orang-orang tersebut terus
mendiskusikan teori, doktrin, kerangka, kebijakan untuk melakukan
kriminalisasi, teknik dan persyaratan formal kodifikasi, dan aspekaspek
prosedural dalam penegakan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari pelbagai pendapat yang bersifat adhoc yang seringkali
menimbulkan inkonsistensi, ketidakpastian, sulit diprediksi, dan
pertentangan dalam menggunakan konsep hukum dan terminologi
serta drafting dalam merumuskan konvensi internasional.
Dengan demikian pembicaraan tentang hukum pidana
internasional hampir pasti akan menyentuh tiga substansi pokok yaitu:
(1) kejahatan; (2) prosedur hukum; dan (3) penegakan hukum pidana
internasional itu sendiri. Sepanjang mengenai “kejahatan”, atas dasar
perkembangan konvensi internasional dan hukum kebiasaan
internasional serta paling tidak satu dari 10 karakteristik, dapat
diidentifikasikan 22 kejahatan internasional dan kejahatan
transnasional. Kejahatan-kejahatan tersebut meliputi; agresi, kejahatan
perang, penggunaan senjata ilegal, kejahatan terhadap kemanusiaan,
genosida, diskriminasi ras dan apartheid, perbudakan dan kejahatankejahatan
sejenis, penyiksaan, eksperimentasi tidak sah atas manusia,
perompakan, pembajakan, ancaman dan penggunaan kekerasan
terhadap orang-orang yang secara internasional dilindungi,
menjadikan warga sipil sebagai sandera, kejahatan obat bius
192
penghancuran atau pencurian atas hazanah warisan nasional,
pencurian benda-benda nuklir, penggunaan email secara tidak sah,
intervensi terhadap kawat bawah laut, pemalsuan, penipuan dan
penyuapan pegawai publik asing.
Asas-asas umum dan opini para juri juga merupakan sumber,
tetapi harus dirumuskan dalam konvensi internasional. Yang jelas
basis doktrinal untuk mengelompokkan kejahatan dalam kategori
kejahatan internasional lebih bersifat empiris dan atas dasar konvensi
atau kebiasaan internasional. Dalam hal ini paling tidak terdapat tiga
persyaratan, yaitu harus berisi baik elemen internasional atau
transnasional, atau sebagian dari keduanya, dan disertai dengan
elemen kebutuhan (necessity) untuk mengkategorikan sebagai
kejahatan internasional. Jadi merupakan perpaduan antara kejahatan
terhadap masyarakat internasional (delicto jus gentium) dan
pengaruhnya menjangkau kepentingan lebih dari satu negara.
Elemen internasional terdiri atas ancaman baik langsung maupun
tidak langsung terhadap kedamaian dan keamanan dunia; dan
menimbulkan perasaan tergumcang terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan elemen transnasional, mengandung ciri-ciri; menimbulkan
pengaruh bagi lebih dari satu negara; menimbulkan pengaruh
terhadap warga negara lebih dari satu negara; dan memiliki metode
yang melampaui batas-batas bangsa atau negara. Merujuk pada
konvensi PBB tentang “Kejahatan Transnasional Terorganisasi” di
Palermo, tahun 2000, kejahatan transnasional mencakup empat
karakteristik sebagai berikut; 1) dilakukan di lebih dari satu negara;
2) dilakukan di satu negara tetapi bagian substansial dari persiapan,
perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara
lain; 3) dilakukan di sebuah negara tetapi melibatkan organisasi
kejahatan yang terlibat dalam tindak kejahatan di lebih dari satu
negara; atau 3) dilakukan di satu negara tetapi menimbulkan efek
substansial bagi negara-negara lain. Selebihnya, elemen necessity lebih
berkaitan dengan kebutuhan untuk kerjasama antar negara.
Sehubungan dengan konvensi internasional dapat dikatakan
bahwa kejahatan internasional adalah tindakan yang dianggap sebagai
kejahatan dalam konvensi-konvensi multilateral yang diakui negaranegara
dalam jumlah yang signifikan, asalkan instrumennya
mencakup satu dari sepuluh karakteristik pidana sebagaimana
digambarkan di bawah ini;
193
1) pengakuan secara eksplisit bahwa perbuatan terlarang tersebut
merupakan kejahatan internasional, atau kejahatan di bawah
hukum internasional atau suatu kejahatan;
2) pengakuan implisit tentang hakekat perbuatan dengan melakukan
larangan, pencegahan, penuntutan, pemidanaan atau sebangsanya;
3) melakukan kriminalisasi perbuatan yang dilarang tersebut;
4) kewajiban dan hak untuk menuntut;
5) kewajiban dan hak untuk memidana;
6) kewajiban dan hak untuk mengekstradisi;
7) kewajiban dan hak untuk bekerjasama di dalam penuntutan,
pemidanaan (termasuk bantuan yudisial di dalam proses
peradilan pidana);
8) pengaturan tentang landasan yurisdiksi pidana, baik teoritis
maupun praktis;
9) rekomendasi untuk membentuk sebuah pengadilan pidana
internasional atau mahkamah internasional dengan karakteristik
khusus;
10) eliminasi pembelaan diri atas perintah atasan.
Dalam kaitannya dengan aspek prosedural dari hukum pidana
internasional, terkait di sini tidak hanya yang diterapkan terhadap
kejahatan internasional dan kejahatan transnasional, tetapi juga
kejahatan nasional murni dengan syarat bahwa di dalam penuntutan
dan penegakan hukumnya diperlukan kerjasama internasional
sebagaimana yang berlaku bagi kedua yang lain. Dalam hal ini dikenal
istilah ‘indirect enforcement methods’ yang menunjuk pada bahwa
penegakan hukum terhadap kejahatan internasional harus berdasarkan
konvensi dan dipercayakan kepada negara-negara pendukung
konvensi tersebut untuk melakukan kriminalisasi penuntutan,
pemidanaan, ekstradisi dan menyediakan bantuan yudisial dan
kerjasama dengan negara pihak yang lain untuk menuntut atau
memidana si pelaku. Maka yang harus ditegaskan tidak hanya
memidana (Hugo grotius, aut dadere aut punire) sebagai salah satu
konsekuensi saja, tetapi juga cara-cara yuridis yang harus dilalui atas
dasar asas praduga tidak bersalah (aut dadere aut judicare) mencakup
yurisdiksi dan pengecualiannya, bantuan yudisial, pengakuan terhadap
keputusan hakim negara lain, transfer dokumen proses pengadilan,
transfer terpidana, memperoleh bukti dari negara lain, dan ekstradisi.
194
Selanjutnya, sepanjang menyangkut penegakan hukum, ia harus
merujuk pada apa yang dinamakan ‘direct enforcement model’. Apabila
yang disebut terakhir ini (direct enforcement model) bersifat ganda
(dual nature) karena kaitannya dengan kejahatan nasional (melalui
ratifikasi), maka ‘indirect enforcement’ secara eksplisit hanya
diterapkan terhadap kejahatan internasional. Sebagai contoh adalah
pengadilan pasca Perang Dunia I dan pengadilan pasca Perang Dunia
II yang terjadi di Nuremberg dan Tokyo, yang semuanya bersifat
adhoc. Dapat disebutkan pula di sini Mahkamah Internasional untuk
Rwanda dan negara-negara bekas Yugoslavia. Bahkan saat ini
masyarakat internasional telah berhasil merumuskan Statuta Roma
1998 tentang ‘International Criminal Court’ yang mempunyai yurisdiksi
untuk mengadili kasus-kasus kejahatan perang, genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan agresi serta gangguan terhadap
pengadilan yang kemungkinan terjadi. Dapat pula dicatat di sini
bahwa saat ini berkembang pula pelbagai norma yang diarahkan
untuk melindungi HAM individual di dalam konteks proses peradilan
pidana. Hal ini dapat berupa konvensi, standar aturan minimum,
kode etik, resolusi, dan sebagainya.
Dari uraian di atas nampak bahwa hukum pidana internasional
pada dasarnya merupakan perpaduan (convergence) antara dua disiplin
hukum yang berbeda yang pada akhirnya harus mengembangkan
sikap saling mengisi (complementary). Dua disiplin hukum tersebut
terdiri dari aspek hukum pidana dari hukum internasional seperti
kriminalisasi pelbagai kejahatan internasional atau transnasional dan
aspek internasional dari hukum pidana nasional. n
195
Pembangunan nasional yang semakin meningkat tidak selalu
membawa kebahagiaan. Tanpa disertai dengan peningkatan
pembangunan kualitas sumber daya manusia maka pembangunan
justru akan memunculkan hasil sampingan (by-product) berupa
kejahatan atau perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya. Sebagai
contoh adalah tindak pidana perlindungan terhadap konsumen.
Tindak pidana perlindungan terhadap konsumen yang dilakukan
oleh pelaku usaha, baik yang bersifat individual maupun kolektif dalam
bentuk kejahatan korporasi (corporate crime) jelas merupakan “tindak
pidana ekonomi” — untuk mengganti istilah “kejahatan kerah putih”
yang sering berkonotasi politik (political overtones) sebagaimana pada
saat dicetuskan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun 1939. Yang jelas
hal ini terkait dengan status si pelaku yang “terhormat” dan karakter
okupasional dari tindak pidana (the occupational charter of the offence).
Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang dilakukan “tanpa
kekerasan” (nonviolent), disertai dengan kecurangan (deceit),
penyesatan (misprecentation), penyembunyian kenyataan (concealment
of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akalakalan
(subterfuge) atau pengelakan terhadap peraturan (illegal
circumvention) (Muladi, 1977). Di balik itu semua, apa yang terjadi
sebenarnya merupakan praktek bisnis yang tidak jujur. Dalam hal
perlindungan konsumen, sebenarnya istilah “non violence” terlalu
kabur, kalau tidak disebut menyesatkan, mengingat dalam
prakteknya konsumen seringkali terancam bahaya jiwa dan badannya
karena produk-produk tertentu yang tidak dijamin segi keamanannya,
misalnya produk makanan yang beracun.
Tindak Pidana
Perlindungan Terhadap Konsumen
Sebagai Mala Per Se
196
Hukum Perlindungan Konsumenmemang merupakan peraturan yang
relatif baru, tetapi tidak berarti bahwa tindak pidana pelaku usaha yang
dikategorikan sebagai kejahatan korporasi ini merupakan “mala prohibta”
(menjadi tindak pidana karena dilarang undang-undang). Tindak pidana
lingkungan tetap jelas merupakan “mal per se” (crimes against conscience)
yang sepenuhnya tak bisa dibenarkan, karena hakekat perlindungan
konsumen adalah perlindungan konsumen terhadap praktek bisnis yang
mengandung sifat penyalahgunaan, tidak jujur dan memperdayakan. Hal
ini didasarkan atas asas bahwa transaksi penjualan harus didasarkan pada
prinsip “caveat emptor” yang artinya: biarkan pembeli sadar!. Tuntutan
pidana, sanksi administratif dan gugatan perdata dilandasi oleh pelbagai
konsep dan teori hukum, seperti konsep “corporate liability”, “breach of
warranty”, “negligence” dan “strict liability”. (Cheeseman, 2000).
Kriminalisasi tindak pidana perlindungan terhadap konsumen
memiliki cukup alasan karena di samping sifatnya sebagai mala per
se, juga karena viktimisasinya yang cukup besar, dukungan publik
yang kuat, tidak bersifat ad hoc, tetapi terpadu dengan hukum perdata
dan hukum administrasi serta etika bisnis. Yang harus dituntut
sekarang adalah bukti sekaligus juga merupakan syarat kriminalisasi
yang lain adalah law enforcement.
Salah satu Pasal yang menarik untuk diberi perhatian adalah Pasal
19 ayat (4) yang menegaskan bahwa: “pemberian ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan, tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian kesalahan”. Hal ini menunjukkan
bahwa proses hukum administrasi tidak menjadikan “ne bis in idem”
proses peradilan pidana. Dengan demikian sifat “primum remedium”
hukum pidana mulai kelihatan. Bahkan sistem pembuktian kesalahan
dilakukan secara terbalik (reverse burden of proof).
Hal menarik lainnya adalah kecenderungan penerapan “strict
liability” dalam perumusan delik, sehingga unsur kesalahan
(kesengajaan atau kealpaan) tidak tercantum dalam rumusan delik.
Demikian pula unsur sifat melawan hukum. Pasal 63 sebenarnya berisi
tindakan tata tertib yang juga terkait dengan “corporate penalty” dalam
kerangka “corporate criminal liability”. Contohnya adalah pencabutan
ijin usaha, perintah penghentian kegiatan tertentu yang merugikan
konsumen, dan penarikan barang dari peredaran.
197
Kejahatan korporasi, seperti tindak pidana terhadap perlindungan
konsumen, terjadi akibat adanya kontradiksi antara tujuan korporasi
yang menyimpang — berupa prioritas yang berlebihan pada
keuntungan melalui pertumbuhan dan pengendalian pasar ditopang
oleh karakteristik individual yang bersifat serakah — dengan kebutuhan
konsumen. Di pelbagai negara kejahatan korporasi terhadap konsumen
antara lain bisa berupa produk-produk yang mengandung bahaya,
penetapan harga, iklan yang menyesatkan konsumen, dan sebagainya
(Box, 1983). Mengingat tindak pidana tersebut biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang cukup pandai, maka pengungkapan kejahatankejahatan
yang terkait menjadi tidak mudah. Jenis kejahatan seperti
ini biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Kejahatan tersebut sulit diamati, karena biasanya tertutup oleh
kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian
profesional dan sistem organisasi yang kompleks;
b. Kejahatan tersebut sangat kompleks karena selalu berkaitan
dengan kebohongan, kecurangan, penipuan dan seringkali juga
berkaitan dengan sesuatu yang ilmiah, teknologis, finansial, legal,
terorganisasikan, melibatkan banyak orang, serta berjalan sudah
lama;
c. Terjadinya penyebaran tanggungjawab (diffusion of responsibility)
yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi;
d. Penyebaran korban (dalam hal ini konsumen) yang luas dan secara
individual seringkali tidak menyadari atau masa bodoh bahwa
dirinya merupakan korban tindak pidana (unware crime victim);
e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan sebagai akibat
profesionalisme yang tidak seimbang antara penegak hukum dan
pelaku tindak pidana. Seringkali penegakan hukum ini juga
menjadi mahal;
f. Peraturan yang tidak jelas, sehingga menimbulkan keraguan
dalam penegakan hukum;
g. Ambiguitas status pelaku tindak pidana. Dalam tindak pidana
ekonomi para pelaku seringkali merasa bahwa perbuatannya secara
moral tidak salah (mala prohibita), karena telah melanggar peraturan
yang dibuat negara untuk melindungi ketertiban kehidupan modern
(Weston, 1987); mereka merasa telah menjalankan prinsip ekonomi
dan negara sebenarnya telah terlalu banyak melakukan campur
tangan dalam pasar bebas (Silk and Vogel, 1986).
198
Kejahatan ekonomi, baik yang bersifat pribadi (occupational crime)
maupun yang bersifat korporatif, tidak semata-mata hanya berkaitan
dengan hukum (hukum pidana, perdata dan hukum administratif),
tetapi juga bersentuhan dengan etika bisnis. Secara ideal, di dalam
masyarakat modern, lembaga dan kegiatan bisnis selalu diharapkan
untuk menjadi: tempat yang menyenangkan bagi investasi; enak untuk
bekerja; ditopang oleh etika yang luhur; baik untuk membeli maupun
menjual; memperhatikan kepentingan publik; pembayar pajak; dan
sebagainya (Blomstrom, 1995).
Khusus mengenai tindak pidana perlindungan konsumen,
pertama kali yang menanggung langsung kerugian adalah konsumen,
termasuk perusahaan saingan (competitors) yang menjalankan
usahanya dengan jujur. Tetapi lebih dari itu, sebenarnya terjadi pula
proses kerugian secara tidak langsung (indirect victimization) berupa:
a. Kerugian negara dalam bentuk waktu dan biaya-biaya penegakan
hukum ekonomi (termasuk kejahatan korporasi) yang lebih lama
dan lebih mahal dibandingkan dengan penegakan hukum tindak
pidana konvensional, mengingat kompleksitasnya baik dalam
penyelidikan, penyidikan penuntutan maupun persidangan di
pengadilan;
b. Kerugian sosial (social damage) dalam kehidupan bisnis yang
menopang perekonomian negara, dalam bentuk efek merusak
terhadap standar moral bisnis (Box, 1983).
Menjalankan bisnis, bekerja, meningkatkan standar hidup
termasuk di dalamnya penggunaan dan peningkatan penggunaan
teknologi canggih merupakan hak asasi manusia setiap orang di
bidang ekonomi dan sosial. Namun demikian, pada saat yang sama
pelaksanaan HAM harus pula mempertimbangkan atau tidak boleh
bertentangan dengan hak-hak orang lain, seperti ketertiban umum,
rasa aman, moral, dan sebagainya. Untuk itu sangat tepat apabila
dalam UU No.8 Tahun 1999 diatur secara terperinci hak-hak dan
kewajiban serta tanggungjawab baik berkaitan dengan pelaku usaha
maupun konsumen. Bersama-sama dengan sistem pembinaan dan
pengawasan, ketentuan pencantuman klausul baku, keberadaan Badan
Perlindungan Konsumen Nasional, Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat, Badan penyelesaian Konsumen dan adanya
ancaman pidana, semuanya menggambarkan kebijakan kriminal
199
(criminal policy) yang komprehensif baik yang bersifat preventif
maupun represif, bahkan rehabilitatif melalui proses alternatif
penyelesaian sengketa atau gugatan perdata. Dengan adanya PERMA
tentang Class Action tahun 2002 baru-baru ini, maka ketentuan ini
dapat dimanfaatkan masyarakat atas dasar Pasal 46 ayat (1) huruf b,
UU No. 8 Tahun 1999.
Di masa depan kita harus lebih waspada karena era globalisasi
yang ditunjang alat komunikasi, transportasi dan informatika modern,
pasti akan dimanfaatkan oleh pelaku bisnis yang jahat untuk
memanipulasi budaya konsumerisme dengan cara-cara yang melawan
hukum. Globalisasi tidak hanya akan mempermudah dan
menyejahterakan kehidupan manusia, tetapi pada saat yang
bersamaan, terutama bagi sebagian besar masyarakat yang belum
siap, globalisasi juga akan mendatangkan banyak kemudaratan.
Dengan demikian globalisasi harus diartikan dalam konteks
menciptakan keamanan bersama (Habibie, 2002).
Akhirnya perlu diingatkan bahwa efektivitas perundangundangan
tidak hanya tergantung pada kualitas perundang-undangan
positif yang ada, tetapi juga tergantung pula pada sarana-prasarana
pendukung, partisipasi masyarakat, kualitas penegak hukum
(termasuk PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No.8 tahun
1999) baik moral, mental maupun intelektualitas, kualitas
kepemimpinan, kehendak politik penguasa, dan kondisi sosial
ekonomi suatu masyarakat. Yang terakhir ini penting menjadi
perhatian semua pihak, terutama para elite, bahwa dalam kondisi
ekonomi yang buruk orang mudah tergoda untuk melakukan
tindakan-tindakan melawan hukum. Ini sudah menyerupai “hukum
besi” masyarakat yang terjadi di manapun. n
200
Persoalan “cyberlaw/internet/cyberspace law” dalam dekade terakhir
menjadi semakin marak dibicarakan banyak kalangan. Sebagai
gambaran, dalam “Annual Meeting American Business Law Association”
tahun 2000, hampir separuh kertas kerja yang dikemukakan membahas
atau sekurangnya berkaitan dengan masalah cyberlaw. Padahal
sebelumnya yang mengemukakan banyak berkaitan dengan persoalan
employment law. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cyberlaw
telah menjadi medan hukum yang hangat belakangan ini. Hal ini
dimungkinkan mengingat dampak dari perkembangan komputer/
internet sebagai basis dari “cyberspace” dan “cyberlaw” menjangkau
hampir semua segi kehidupan, seperti di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya dan sebagainya.
Sebenarnya berbicara tentang kebijakan kriminal sebagai “science
of response” bukanlah perkara yang sederhana sebab akan mencakup
disiplin yang luas. Hal ini disebabkan oleh luasnya kausa dan motif
berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis komputer dewasa ini
(cybercrime/computer crime/computer misuse/computer abuse/computer
related crime). Karena itu cybercrime bukan melulu persoalan yuridis
belaka, sebab di dalamnya terkait unsur-unsur seperti, kultur tidak
bertanggungjawab si pelaku, kecongkakan intelektual si pelaku,
“anomie of success”, sikap tertutup si korban, di samping lemahnya
hukum dan pengawasan. Dengan demikian akan nampak nanti bahwa
hukum, khususnya hukum pidana, hanya merupakan salah satu saja
sarana kebijakan kriminal. Yang akan tampak dalam kebijakan
kriminal adalah penonjolan dari kepentingan hukum yang harus
dilindungi – dalam arti kepentingan hukum yang sah (legitimate
Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime
201
interests) — baik dari negara, masyarakat maupun kepentingan
pribadi, khususnya dalam kaitannya dengan kerahasiaan, integritas
dan ketersediaan baik berupa sistem komputer, sistem jaringan,
maupun data komputer sendiri.
Berbicara tentang kebijakan kriminal (criminal policy) yang
mencakup pendekatan penal melalui sistem peradilan pidana, dengan
sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur
ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum,
pertanggungjawaban pidana, dan sanksi yang dapat dijatuhkan, baik
berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).
Kriminalisasi tentu harus dilakukan secara ekstra hati-hati, jangan
sampai justru menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip
ultimum remedium (ultima ratio principle) dan menjadi bumerang dalam
kehidupan sosial, yaitu berupa krimininalisasi yang berlebihan yang
justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum
pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis
dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan dan
penuntutan. Kriminalisasi harus memenuhi pelbagai syarat, antara
lain bahwa perbuatan tersebut benar-benar menampakkan korban
(victimizing) baik aktual maupun potensial, konsistensi penerapan asas
ultimum remedium, dukungan publik yang kuat, bersifat
komprehensif, dan tidak bersifat ad hoc.
Di era demokratisasi seperti saat ini, merumuskan peraturan hukum
harus mempertimbangkan secara komprehensif beragam dimensi
persoalan. Semua aspirasi (suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan
aspirasi internasional) dan pelbagai kepentingan harus diselaraskan
dan diserasikan. Persoalan komunikasi massa menempati posisi yang
strategis dalam kehidupan demokrasi, dan ini akan bersentuhan secara
langsung tidak hanya dengan persoalan supremasi hukum yang bersifat
“top down” — misalnya untuk kepentingan keamanan negara, persatuan
dan kesatuan nasional – tetapi juga sebaliknya, “bottom up”, sebab orang
cenderung akan melemparkan banyak pertanyaan kritis dan tidak
begitu saja menerima suatu produk hukum. Di sini orang akan
mempersoalkan hak-hak warga seperti kebebasan berekspresi,
kebebasan media, dan masalah-masalah HAM yang lain: persoalan
privasi, hak untuk memperoleh informasi, dan sebagainya yang saat
ini sangat diperhatikan dalam legislasi positif nasional. Di sinilah
relevansi persoalan hak dan kewajiban manjadi penting.
202
Orang masih mencoba menggunakan “soft law” dalam bentuk
“code of conduct” atau “code od ethics” seperti misalnya di Jepang (1996)
dan di Singapura dalam bentuk “Internet Code of Conduct”. Bisa juga
dalam bentuk hukum administratif yang bersifat “semi hard law”
berupa “code of practice” seperti yang dirumuskan oleh the Australian
Internet Industry Association, 1999. Sarana terakhir adalah kriminalisai
berupa penerapan “hard law” seperti di Singapura dalam bentuk
Computer Misuse Act (CMA), 1993 dan di Malaysia dalam bentuk
Computer Crimes Act, 1997. Code of conduct, code of ethics dan code of
practice sudah masuk wilayah kebijakan kriminal yang kedua yakni
penggunaan sarana non penal (prevention without punishment), di
samping langkah-langkah yeng bernuansa teknologis yang kompleks
(techno-prevention).
Mengingat sifat kejahatan telekomunikasi/internet yang
cenderung bersifat lintas negara maka langkah kebijakan kriminal,
baik yang bersifat penal maupun non-penal, memerlukan kerjasama
internasional; apakah berupa “mutual assistance”, ekstradisi, maupun
bentuk-bentuk kerjasama lainnya. Karena itu dibutuhkan langkahlangkah
harmonisasi hukum antar bangsa sebagai bagian dari
kerjasama internasional dalam kaitannya “double criminality principle”.
Hukum yang mengatur komunikasi massa mencakup area yang
luas, mulai dari media cetak, media penyiaran maupun media
telekomunikasi/internet. Uraian di bawah ini akan difokuskan pada
kebijakan kriminal yang berkaitan dengan jenis kejahatan yang
berbasis pada media terakhir tersebut (cyber media).
Pengaturan komunikasi massa termasuk “cyberlaw” dan
“cybercrime” sangat penting, karena baik korban aktual maupun
korban potensialnya sangat luas. Demikian pula jangkauannya, sangat
luas dan heterogen dengan kualitas dan persepsi yang berbeda.
Substansinya pun beragam, meliputi segala aspek kehidupan baik
yang bersifat positif maupun negatif. Ia juga bersifat lintas negara.
Penyebarannya cepat dan berlipat ganda, dan informasi muatannya
ada yang masih berupa konsep, isu, data, fakta gagasan yang bisa
bersifat obyektif dan bisa pula bersifat subyektif. Ada yang bersifat
mengajak dan tidak jarang bersifat provokatif. Kepentingan yang
terkait bisa kepentingan negara, kepentingan umum, dan bisa pula
kepentingan kelompok atau bahkan pribadi.
203
Beberapa Model Regulasi
Pengaturan tentang cybercrime pada hakekatnya merupakan
pengaturan aspek hukum pidana dari cyberlaw. Boleh dikatakan
bahwa sampai saat ini tidak ada definisi yang seragam tentang
cybercrime, baik nasional maupun global. Sekalipun demikian, kita
bisa mengidentifikasi beberapa karakteristik tertentu dan
merumuskan suatu definisi. Cybercrime merupakan suatu istilah umum
yang pengertiannya mencakup pelbagai tindak pidana yang dapat
diketemukan dalam KUHP atau perundang-undangan pidana lain
yang menggunakan teknologi komputer sebagai suatu komponen
sentral. Dengan demikian cybercrime bisa berupa: tindakan sengaja
merusak properti, masuk tanpa ijin, pencurian hak milik intelektual,
perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak, pencurian, dan
beberapa tindak pidana lainnya.
Cybercrime pada hakekatnya merupakan “sisi negatif” dari
teknologi komputer, dalam arti bahwa ternyata ia juga rentan terhadap
perilaku kriminal. Sebagai contoh adalah praktek-praktek implantasi
virus yang mencederai komputer di seluruh dunia. Beberapa virus
hanya bersifat mengganggu, tetapi jenis virus lain dapat menimbulkan
kerusakan yang sangat signifikan terhadap data, program dan hardware.
Bank-bank dan pelbagai lembaga keuangan telah kehilangan uang
dalam jumlah besar; ada yang melaporkan perbuatan tersebut tetapi
ada pula yang merahasiakannya dengan alasan reputasi. Beberapa
kejadian di negara maju, data tentang keamanan nasional dan rahasia
dagang perusahaan secara melawan hukum telah didownload oleh orangorang
yang tidak bertanggungjawab dan dijual kepada dinas intelijen
asing. Yang sangat dirugikan juga para pemilik hak atas kekayaan
intelektual yang karyanya diakses tanpa membayar royalti. Belum lagi
pelbagai tindak pidana lain, yang melalui pelbagai sarana teknologi
canggih para pelakunya dapat menghindarkan diri dari penuntutan
dan melakukannya dari negara-negara yang belum memiliki hukum
yang mengatur “cyberlaw” atau “cybercrime”.
Istilah yang digunakan untuk melukiskan jenis “kejahatan maya”
ini bermacam-macam. Singapura dalam UU-nya menggunakan istilah
“computer misuse”, sedangkan Malaysia dalam UU-nya secara tegas
menggunakan istilah “computer crimes”. Persoalan juga timbul apakah
kedua istilah tersebut diarahkan kepada kejahatan terhadap komputer
(crimes directed at computers), kejahatan yang mendayagunakan
204
komputer (crimes utilizing computers), atau semata-mata kejahatan
yang berkaitan dengan komputer (crimes related to computers).
Semuanya terbukti selalu memberikan gambaran yang tidak pas.
Tetapi, istilah apapun yang dipakai, pelbagai pihak telah berusaha
membuat definisi kerjanya sendiri. The OECD misalnya merumuskan
bahwa: “Computer abuse (use in the same fashion as ‘computer related
crimes’) is considered as any illegal, unethical or unauthorized behaviour
relating to the automatic processing and the transmission of data”.
Di Amerika Serikat terdapat pelbagai perundang-undangan yang
mengatur “cybercrime” dalam kaitannya dengan internet, seperti :
1. Access Device Fraud Act of 1984 (18 USC Section 1029);
2. Computer Fraud and Abuse Act of 1986 (18 USC Section 1030);
3. Wire Fraud Statute of 1952 (18 USC Section 1343);
4. Criminal Infringement of a Copyright (the Copyright Act of 1976) (18
USC Section 506 (a));
5. Counterfeit Trademarks (the Trademark Counterfeit Act of 1984) (USC
Section 2320);
6. Mail Fraud (18 USC Section 1341);
7. Conspiracy to Defraud the US Government (18 USC 371);
8. False Statements (18 USC Section 1001);
9. Identity Theft and Assumption Deterrence Act of 1998 (18 USC Section
1028);
10. The Racketeer Influenced and Corrupt Organizations Act (RICO) (18
USC Section 2511);
Di samping itu terdapat perundang-undangan lain, di antaranya
sebagai berikut:
1. Wire and Electronic Communications Interception of Oral
Communications (18 USC Section 2511);
2. Unlawful Access to Stored Communications (18 USC 2701);
3. Transportation of Stolen Goods, Securities, Moneys (18 USC Section
2314);
4. Trafficking in Counterfeit Goods and Services (18 USC Section 2320);
5. Extortion and Threats (18 USC Section 875);
Mengenai perjudian melalui internet, ini merupakan persoalan
tersendiri. Di satu pihak Pemerintah Federal bisa menerapkan The Wire
Act, The Travel Act, The Professional and Amateur Sports Protection Act
205
dan the Interstate Transportation of Wagering Paraphernalia Act, namun di
lain pihak merupakan kenyataan bahwa pelbagai negara bagian
mengaturnya sendiri-sendiri. Bahkan di lingkungan reservasi Indian
dikecualikan dari pengaturan negara bagian atau Federal. Jadi
persoalan yang timbul bersifat yurisdiksional; apalagi kalau si penjudi
melakukan perbuatannya melalui desktop dari rumah yang relatif sulit
diketahui dan bahkan privasinya dilindungi konstitusi. Lebih sulit lagi
apabila pusat perjudian terjadi di luar yurisdiksi (offshore betting) yang
justru mengijinkan dan menggalakkan perjudian. Corak perjudian ini
merupakan rival kasino, khususnya yang berkaitan dengan pajak
(revenue). Diperkirakan saat ini di AS terdapat 14 juta online gamblers
yang perkiraan revenue-nya kurang lebih 1 milliar dollar US.
Perhatian juga banyak ditujukan pada persoalan perbuatan cabul
(obscenity) dan adult entertainment and cyberporn, khususnya pornografi
anak. Dalam hal ini bisa disebutkan adanya ketentuan tentang Federal
Obscenity Law, berupa “Transportation of Obscene Matters for Sale or
Distribution” (18 USC Section 1465) dan “Communications Decency Act
of 1996”.
Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa Amerika Serikat
merupakan salah satu negara yang menganut sistem terbuka dalam
regulasi internet, sehingga regulasi yang bersifat sensor represif sangat
menonjol. Di Jerman pada tahun 1997 diundangkan “the Information
and Communications Services Act”. Undang-undang ini memungkinkan
sensor terhadap propaganda neo-Nazi, pornografi dan kekerasan.
Convention on Cybercrime dari Council of Europe terbuka untuk
ditandatangani mulai tanggal 23 November tahun 2001 di Budapest.
Konvensi ini akan berlaku secara efektif dengan kondisi 5 ratifikasi
termasuk paling tidak 3 negara anggota Council of Europe. Substansi
konvensi mencakup area yang luas, bahkan mengandung kebijakan
kriminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
“cybercrime” baik melalui undang-undang maupun kerjasama
internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan
dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi
dan globalisasi yang berkelanjutan dari jaringan komputer. Jaringan
komputer dan informasi elektronik menurut pengalaman dapat juga
dimanfaatkan untuk melakukan tindak pidana (bersifat kriminogin).
Melihat sifat lintas negara dari jaringan komputer dan informasi
elektronik, maka diperlukan peningkatan yang efektif, cepat,
206
fungsional dan dapat dipercaya dari kerjasama internasional. Tak
terkecuali, termasuk kalangan industri harus secara bersama-sama
memerangi cybercrime. Dengan demikian kepentingan yang sah dalam
memanfaatkan dan mengembangkan teknologi informasi dapat
terlindungi. Lebih dari itu kerjasama internasional ini dipandang
sangat penting tidak hanya untuk memerangi cybercrime, tetapi juga
untuk meningkatkan pemahaman internasional tentang hal tersebut.
Pemahaman bersama ini penting dan diperlukan untuk merumuskan
reaksi bersama (common responses) terhadap perkembangan teknologi
baru informatika atas dasar standar dan nilai yang sama.
Kriminalisasi terhadap pelbagai perbuatan yang masuk kategori
cybercrime dan keberadaan pelbagai institusi yang mempunyai
kekuasaan untuk melakukan penyelidikan, investigasi dan penuntutan
(baik domestik maupun internasional) sangat diperlukan dan diyakini
dapat merupakan langkah pencegahan dan perlindungan terhadap
confidentiality, integrity dan availability dari sistem komputer.
Pengembangan kerjasama internasional di bidang pidana sangat
bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas investigasi dan proses
peradilan terhadap pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan
sistem komputer (computer related crime) dan memungkinkan
pengumpulan alat bukti tindak pidana dalam bentuk elektronik.
Kriminalisasi atas dasar konvensi antar negara juga relevan untuk
mendekatkan satu sama lain pelbagai hukum pidana domestik,
sehingga memudahkan kerjasama internasional.
Dalam pengaturan tentang cybercrime hendaknya selalu dijaga
keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan penghormatan
terhadap HAM yang fundamental sebagaimana diatur dalam pelbagai
instrumen internasional, seperti penegasan hak setiap orang untuk
mengemukakan pendapat tanpa tekanan, hak untuk berekspresi,
termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan
informasi, dan hak-hak yang berkaitan dengan penghormatan privasi.
Dalam Konvensi tentang Cybercrime, Council of Europe ini, sepanjang
berkaitan dengan jenis-jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam
hukum pidana substantif adalah sebagai berikut :
1. Tindak pidana yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan
keberadaan data dan sistem komputer:
a. Akses yang tidak sah (illegal access);
b. Intersepsi secara tidak sah (illegal interception);
207
c. Gangguan pada data (data interference);
d. Gangguan pada sistem (system interference);
e. Salah penggunaan alat (misuse of devices).
2. Tindak pidana yang berkaitan dengan komputer (computer-related
offences):
a. Pemalsuan melalui komputer (computer-related forgery);
b. Penipuan melalui komputer (computer related fraud);
3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pornografi anak (offences
related to child pornography).
4. Tindak pidana yang melanggar hak cipta dan hak-hak yang terkait
(Offences related to infringements of copyright and related rights).
Dalam Konvensi juga direkomendasikan agar pemidanaan
dilakukan terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja
dan termasuk di dalamnya bentuk-bentuk tindak pidana pembantuan
(aiding or abetting) dan percobaan (attempt).
Khusus mengenai kerjasama internasional, hal ini mencakup antara
lain: perjanjian ekstradisi, “mutual assistance in criminal matters”,
pemberian informasi secara spontan, dan pembentukan jaringan yang
dikelola oleh tenaga-tenaga profesional dalam rangka menjamin
terselenggaranya bantuan segera untuk kepentingan investigasi dan
peradilan atau untuk kepentingan pengumpulan alat bukti elektronik.
Bantuan tersebut meliputi pula pemberian fasilitas atau bantuan lain
sepanjang diijinkan oleh hukum nasional masing-masing. Dalam hal ini
diatur pula tentang pertangungjawaban korporasi (corporate liability) baik
dalam hukum pidana, hukum perdata maupun hukum administrasi.
Ditekankan pula kemungkinan penjatuhan sanksi yang bersifat efektif,
proporsional dan dissuasive, termasuk perampasan kemerdekaan.
Sedangkan mengenai perbuatan melawan hukum berupa ancaman
atau serangan terhadap sistem informasi, sebuah komisi yang
dibentuk oleh Masyarakat Eropa menggambarkan beberapa spesifikasi
perbuatan sebagai berikut:
1. Akses secara tidak sah dalam sistem informasi (unauthorized access
to information systems);
2. Gangguan terhadap sistem (misalnya serangan memutus pelayanan);
3. Memasukkan perangkat lunak jahat yang merubah atau merusak
data misalnya memasukkan virus seperti virus “I Love You”,
“Mellisa” dan “Kournikova”;
208
4. Intersepsi terhadap komunikasi atau pengupingan. Hal ini bisa
membahayakan kerahasiaan dan integrita “users” ;
5. Penyajian yang keliru dan atau pemalsuan identitas misalnya.
Untuk mengatasi hal-hal seperti di atas, komisi berpendapat
bahwa di samping diperlukannya informasi dan statistik yang akurat
tentang fenomena kejahatan komputer, dipertimbangkan betapa
pentingnya “rencana aksi” untuk memperkuat jaringan pengaman
dan menciptakan suatu pendekatan koordinasi untuk menghadapi
cybercrime (The Feira Summit of the European Council, June 2000).
Di dalam publikasi yang diterbitkan Komisi yang berjudul
“Creating a Safer Information Society by Improving the Security of
Information Infrastructures and Combating Computer-related Crime”
dikemukakan betapa pentingnya hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya pendekatan yang seimbang untuk mengatasi “cybercrime”
dengan memperhitungkan pandangan pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk lembaga penegak hukum, service
providers, operator jaringan, kelompok-kelompok industri dan
konsumen, dan sebagainya, khususnya dalam rangka merumuskan
langkah-langkah legislatif dan non-legislatif;
2. Kebijakan keamanan bersama dan penerapan suatu jaringan yang
aman untuk pertukaran informasi administratif;
3. Langkah-langkah efektif untuk menghadapi ancaman terhadap
authenticity, integrity, confidentiality dan availability sistem dan
jaringan informasi;
4. Sistem hukum yang mampu melindungi sistem informasi dalam
bentuk pengaturan yang antara lain mengharuskan agar providers
dapat menjamin keamanan dan kerahasiaan pelayanan melalui
tindakan teknis dan organisasional yang tepat;
5. Pentingnya keberadaan, pengembangan, penyebaran dan
penggunaan yang efektif dari teknologi pencegahan serta
pendidikan yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap risiko yang ditimbulkan oleh kejahatan komputer,
meningkatkan promosi keamanan teknologi informasi,
pengembangan sarana dan tata cara efektif untuk memerangi
kejahatan komputer, dan menggalakkan pengembangan lebih
lanjut dari mekanisme peringatan dini;
209
6. Pentingnya kebutuhan apa yang dinamakan “approximation of
substantive criminal law”. Approximasi tersebut mencakup
kemungkinkan keberadaan pengaturan hukum pidana nasional
yang relatif komprehensif untuk menghadapi segala bentuk
serangan terhadap sistem informasi. Kesenjangan dan perbedaan
yang signifikan pengaturan hukum pidana di pelbagai negara
dapat merintangi perjuangan untuk melawan kejahatan.
Pengaturan yang seragam antar negara dengan definisi cybercrime
yang relatif tepat dapat menjamin prinsip dual criminality dalam
kerangka mutual assistance dan ekstradisi, mengingat kejahatan
terhadap sistem informasi cenderung bersifat transnasional. Dalam
hal yang terakhir ini perlu pula dipikirkan kemungkinan polisi
internasional dan kerjasama yudisial (terorisme berupa perusakan
fasilitas infrastruktur vital, tidak mustahil pula berupa perusakan
sistem informasi yang dapat membahayakan nyawa atau
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar).
Di Singapura, terdapat perkembangan yang menarik. Atas dasar
The Computer Misuse Act 1993, terdapat 4 tipe utama tindak pidana,
sebagaimana tersurat dan tersirat pada Bab (Section) 3 - 7 yang intinya
adalah sebagai berikut:
1. “Hacking”, yang mengakibatkan suatu komputer menghasilkan
suatu fungsi dengan maksud untuk menjamin akses tanpa hak
terhadap suatu program atau data yang disimpan oleh di suatu
komputer;
2. “Unauthorized access” dengan maksud untuk melakukan atau
memudahkan pelaksanaan suatu kejahatan yang berkaitan dengan
harta kekayaan, penipuan, ketidakjujuran atau perbuatan yang
mengakibatkan kerugian/kerusakan jasmaniah;
3. Modifikasi secara sengaja dan tidak sah muatan/kandungan/isi
suatu komputer (data, program perangkat lunak komputer, dan
databases dengan cara misalnya, memasukkan virus ke dalam sistem
komputer;
4. Menggunakan atau memintas (intercepting) suatu pelayanan
komputer tanpa hak; ini semacam mencuri pelayanan komputer
atau waktu (theft of a computer service or time);
5. Membantu atau mencoba melakukan perbuatan di atas;
210
(Yang dipidana tidak hanya tindak pidana yang dilakukan
terhadap komputer dari dalam Singapura, tetapi juga dari luar
Singapura dan tindak-tindak pidana yang dilakukan terhadap
komputer di luar negeri. Polisi bahkan diijinkan untuk menahan
tanpa surat perintah terhadap tersangka yang kuat diduga
melakukan tindak pidana).
Pada tahun 1998 CMA mengalami amandemen, yang melalui
pemberatan pidana dan penciptaan tindak pidana baru berusaha
untuk memperkuat perlindungan terhadap sistem komputer yang
diatur CMA 1993. Tindak pidana baru tersebut meliputi:
1. Mengganggu atau menggunakan komputer atau secara tidak sah
mangungkap access codes atau dengan sarana lain guna memperoleh
keuntungan atau tujuan yang tidak sah;
2. Membuka/mengungkap password, kode akses atau dengan cara
lain memperoleh akses terhadap program atau data yang disimpan
di suatu komputer. Dalam hal ini pemikiran sampai pada
“confidentiality law”;
3. Tindak pidana yang melanggar “protected computers” untuk
kepentingan pertahanan, keamanan, hubungan internasional,
eksistensi dan identitas rahasia tentang sumber informasi dalam
rangka penegakan hukum pidana, pengaturan tentang
infrastruktur komunikasi, perbankan dan pelayanan keuangan dan
keamanan publik.
(Di pelbagai negara di Asia Pacific sudah terdapat pengaturan
yang maju tentang E-commerce Law. Bahkan UNCITRAL: United
Nations Commission on International Trade telah mengeluarkan
UNCITRAL’s Model Law on Electronic Commerce).
Beberapa Bentuk Kebijakan Kriminal
Sekalipun pelbagai negara sudah menunjukkan usaha untuk
menuntut dan memidana pelaku tindak pidana cybercrime, pelbagai
organisasi dan institusi internasional, dalam rangka kerjasama
internasional memandang perlu juga untuk memberikan rekomendasi
guna mengatasi perkembangan baru kejahatan tersebut. The G-8 dalam
suatu “Communique” tertanggal 9-10 Desember 1997, dalam rangka
“the Meeting of Justice and Interior Ministers of the Eight”, menyampaikan
10 butir rencana tentang asas-asas dan aksi sebagai berikut:
211
• Tidak akan ada tempat perlindungan yang aman bagi mereka yang
menyalahgunakan teknologi informasi;
• Penyidikan dan penuntutan terhadap high-tech crimes internasional
harus dikoordinasikan di antara negara-negara yang menaruh
perhatian, tanpa melihat di mana akibat yang merugikan terjadi;
• Aparat penegak hukum harus dilatih dan dilengkapi dalam
menghadapi high-tech crimes;
• Sistem hukum harus melindungi kerahasiaan, integritas dan
keberadaan data dan sistem dari perbuatan yang tidak sah dan
menjamin bahwa penyalahgunaan yang serius harus dipidana;
• Sistem hukum harus mengijinkan perlindungan dan akses cepat
terhadap data elektronik, yang seringkali kritis bagi suksesnya
penyidikan kejahatan;
• Pengaturan “mutual assistance” harus dapat menjamin pengumpulan
dan pertukaran alat bukti tepat pada waktunya, dalam kasus-kasus
yang berkaitan dengan high-tech crime;
• Akses elektronik lintas batas oleh penegak hukum terhadap
keberadaan informasi yang bersifat umum tidak memerlukan
pengesahan dari negara di mana data tersebut berada;
• Standar forensik untuk mendapatkan dan membuktikan keaslian
data elektronik dalam rangka penyidikan tindak pidana dan
penuntutan harus dikembangkan dan digunakan;
• Untuk kepentingan praktis, sistem informasi dan telekomunikasi
harus didesain untuk membantu mencegah dan mendeteksi
penyalahgunaan jaringan, dan harus juga memfasilitasi pencarian
penjahat dan pengumpulan alat bukti;
• Bekerja di lingkungan ini harus berkoordinasi dengan pekerjaan lain
di era informasi yang relevan untuk menghindari duplikasi kebijakan.
Rencana Aksi yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan jaringan personil yang berpengetahuan tinggi untuk
menjamin ketepatan waktu, reaksi efektif terhadap kasus-kasus
high-tech transnasional dan mendesain point of contact yang siap
selama 24 jam;
2. Mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa
personil penegak hukum yang terlatih dan dilengkapi cukup
jumlahnya untuk menjalankan tugas memerangi high-tech crime dan
membantu badan penegak hukum di negara lain;
212
3. Meninjau sistem hukum yang ada untuk menjamin bahwa telah
terjadi kriminalisasi yang memadai terhadap penyalahgunaan
sistem telekomunikasi dan komputer serta mempromosikan
penyidikan terhadap high-tech crimes;
4. Mempertimbangkan pelbagai isu yang ditimbulkan oleh high-tech
crimes sepanjang relevan saat bernegosiasi tentang perjanjian mutual
assistance;
5. Melanjutkan untuk memeriksa dan mengembangkan solusi yang
dapat dilakukan sehubungan dengan pengamanan bukti-bukti
sebelum melaksanakan dan memenuhi permintaan mutual
assistance, penyelidikan lintas batas, dan penelusuran data
komputer di mana lokasi data tidak diketahui;
6. Mengembangkan prosedur cepat untuk memperoleh lalu lintas
data dari seluruh jaringan dan mata rantai komunikasi dan
mengkaji jalan untuk secara cepat menyampaikan data tersebut
secara internasional;
7. Bekerjasama dengan industri untuk menjamin bahwa teknologi baru
dapat memfasilitasi usaha untuk memerangi high-tech crimes dengan
cara melindungi dan mengumpulkan bukti yang berbahaya;
8. Menjamin bahwa dalam kasus-kasus penting dan cocok, menerima
dan menanggapi untuk saling membantu, permintaan yang
berkaitan dengan high-tech crime melalui sarana komunikasi yang
cepat dan dipercaya, termasuk voice, fax, atau e-mail, dengan
konfirmasi tertulis sebagai tindak lanjut bilamana diperlukan;
9. Menggalakkan lembaga-lembaga internasional yang diakui di
bidang telekomunikasi dan teknologi informasi untuk melanjutkan
penyediaan di lingkungan sektor publik dan privat, standar bagi
teknologi komunikasi dan proses data yang aman dan dapat
dipercaya;
10.Mengembangkan dan menggunakan standar forensik yang cocok
guna mendapatkan dan membuktikan keaslian data elektronik
yang digunakan untuk penyidikan dan penuntutan.
Hal yang sama dilakukan oleh “Council of Europe” yang pada tahun
1995 memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Penggeledahan dan penyitaan (Search and Seizure). Dalam hal ini
dewan menekankan bahwa perbedaan dilakukan antara the search
of computer systems dan seizure of stored data dan the interception of
213
data. Hukum acara pidana harus mengijinkan lembaga pemerintah
yang berwenang untuk memeriksa dan menyita data tersebut
sepanjang dimungkinkan oleh hukum nasional; hak tersebut
tunduk pada ketentuan perlindungan yang pantas;
2. Pengawasan teknis (technical surveillance). Direkomendasikan bahwa
hukum tentang pengawasan teknis agar ditinjau kembali dan bahwa
hal ini harus memungkinkan penyidik untuk mengambil tindakan
untuk mengumpulkan lalu lintas data dalam penyidikan kejahatan;
3. Kewajiban untuk bekerjasama dengan lembaga. Penyelenggara
pelayanan internet diharuskan untuk memungkinkan penyidik
memperoleh informasi berkenaan dengan identitas users; petugas
sistem komputer yang menyampaikan data jelas-jelas di bawah
kontrol mereka; dan jaringan telekomunikasi harus menyediakan
peralatan teknologi yang memungkinkan mereka untuk melakukan
intersepsi terhadap komunikasi;
4. Bukti elektronik (Electronic evidence). Prosedur pengumpulan,
pengamanan dan presentasi bukti-bukti elektronik diatur dalam
hukum acara pidana;
5. Use of encryption. Dewan menekankan kebutuhan untuk membatasi
penggunaan secara tidak sah dari bahasa sandi (cryptography)
berkaitan dengan penyidikan tindak pidana;
6. Riset, statistik dan pelatihan. Lembaga pemerintah harus
menyelenggarakan riset, mengumpulkan statistik dan melakukan
pelatihan yang tepat;
7. Kerjasama internasional. Dewan mendesak negara-negara untuk
ikut dalam persetujuan mengenai bagaimana, kapan dan dalam
rangka apa pemeriksaan dan perampasan sistem komputer asing
dilakukan. Kerjasama hendaknya merupakan pertukaran bukti
yang cepat apabila dibutuhkan oleh negara lain.
Pada tahun 1983 OECD telah mengkaji harmonisasi hukum pidana
dan pada tahun 1986 mempublikasikan laporan tentang “Computer-
Related Crime: Analysis of Legal Policy” yang mengkaji hukum tentang
internet dan merekomendasikan kepada anggota-anggotanya agar
mengatur hal-hal tertentu secara minimal. Pada tahun 1992 diadopsi
Guidelines for the Security of Information Systems dalam hukum pidana
tentang “cyberabuses”. Pada tanggal 27 Maret 1997 diterbitkan
Guidelines for Cryptography Policy.
214
Kemudian, dalam manual tentang pencegahan dan pengendalian
kejahatan yang berkaitan dengan komputer, PBB menekankan
kebutuhan adanya usaha internasional baik di negara maju maupun
negara berkembang. Dalam studi dikemukakan bahwa ada dugaan
keras bahwa kejahatan komputer telah banyak ditutupi oleh para
korban, khususnya korporasi-korporasi tidak berniat untuk
mengungkap kerentanan mereka terhadap “cyberhackers”. Tipe-tipe
kejahatan komputer utama yang terjadi adalah “fraud, computer forgery,
damage to or modifications of computer data or programs, unauthorized access
to computer systems and service, and unauthorized reproduction of legally
protected computer programs”.
Prospek Kebijakan Kriminal di Indonesia
Pengaturan di Indonesia tentang komunikasi massa yang
mencakup media cetak, media penyiaran dan telekomunikasi/internet
masih bersifat terfragmentasi. Sebelum ketiga hal tersebut diatur
secara sistematis diperlukan semacam “umbrella Act” yang komprehensif
dan dapat menjamin kepentingan yang multidimensional. Sebagai
contoh bisa dikaji UU No. 36 Tahun 1999, dalam mengatur tindak
pidana terhadap telekomunikasi yang intinya adalah cybercrime
nampak sangat sumir dan kurang sistematis serta menimbulkan
keengganan dalam penerapannya. Yang diancam pidana adalah
perbuatan-perbuatan sebagai berikut; penyelenggarakan
telekomunikasi tanpa ijin; penyelenggara jaringan telekomunikasi
tidak menjamin kebebasan pengguna memilih jaringan telekomunikasi
lain; penyelenggaran telekomuniukasi tidak memberikan prioritas
pengiriman, penyaluran dan penyampaian informasi yang penting;
tanpa hak, tidak sah atau memanipulasi akses ke jaringan
telekomunikasi atau akses ke jasa telekomunikasi dan atau akses ke
jaringan telekomunikasi khusus; penyambungan telekomunikasi
khusus ke jaringan lain; memperdagangkan, merakit, memasukkan
atau menggunakan perangkat telekomunikasi tidak sesuai dengan
persyaratan teknis; penggunaan spektrum radio dan orbit satelit tanpa
ijin; penggunaan spektrum radio dan orbit satelit tidak sesuai dengan
peruntukannya dan saling mengganggu; kapal berbendera asing dan
pesawat udara asing menggunakan frekuensi radio di luar
peruntukannya; gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi; penyadapan informasi yang
215
disalurkan melalui jaringan telekomunikasi; penyelenggara jasa
telekomunikasi atau diterima pelanggan; tidak menjaga kerahasiaan
informasi yang dikirim.
Sekalipun demikian, dengan melihat sifatnya yang lintas negara
dan dimensinya yang luas, secara futuristik Indonesia harus mulai
mengkaji kebijakan kriminal untuk menghadapi cybercrimes di atas.
Secara umum, uraian di atas dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Pendekatan Penal (Menggunakan Sistem Peradilan Pidana):
a. Merumuskan sistem peradilan pidana yang tepat, mulai dari
kriminalisasi yang rasional sampai dengan merumuskan
elemen-elemen hukum acara yang kondusif; Sebagai contoh
adalah pengaturan yurisdiksi sebagaimana tercantum dalam
“Council of Europe Convention”, di samping penerapan asas
teritorialitas, juga menerapkan yurisdiksi terhadap warga
negara yang melakukan tindak pidana di tempat di mana
perbuatan tersebut juga diancam pidana dan di luar teritorial
negara dan juga sama sekali di luar teritorial negara lain. Di
Singapura bahkan berlaku bagi mereka yang dari luar Singapura
melakukan perbuatan yang merugikan komputer di Singapura
dan pelaku di Singapura yang merugikan komputer luar negeri;
b. Sejauh mungkin dihindari kemungkinan terjadinya over
kriminalisasi;
c. Perumusan kriminalisasi harus dilakukan secara komprehensif
sehingga menggambarkan approximasi hukum pidana sebagai
“safeguard” yang sesuai dengan standar antar bangsa;
d. Dalam kriminalisasi harus diperhitungkan keselarasan antara
HAM dan Kewajiban Asasi;
e. Perlu dikaji tentang “corporate criminal responsibility “dan
perluasan yurisdiksi.
2. Pendekatan Non-penal (Prevention Without Punishment):
a. Perlu dirumuskan terlebih dahulu Umbrella Act yang mengatur
kebijakan tentang komunikasi massa, baik yang bersifat cetak,
penyiaran maupun cyber;
a. Perlu dirumuskan secara profesional penyusunan Kode Etik,
Code of Conduct and Code of Practice tentang penggunaan
teknologi informatika;
b. Perlu kerjasama antar segala pihak yang terkait termasuk
kalangan industri untuk mengembangkan preventive technology
216
menghadapi cybercrime. Sebagai contoh adalah dikembangkannya
cyber patrol software yang dapat digunakan oleh Internet Service
Provider (ISP) atau Internet Content Provider (ICP) untuk
menyaring atau memblok akses ke situs tertentu secara
otomatik apabila situs tersebut telah masuk black list. Internet
memang bukan jaringan yang aman.
4. Kerjasama Internasional.
Mengingat sifat cybercrime yang transnasional, maka diperlukan
kerjasama internasional yang intensif, baik dalam penegakan
hukum pidana maupun dalam bidang teknologi berupa jaringan
informasi yang kuat (mis. 24 hours point of contact) untuk
menghadapi kejahatan cybercrime, pelatihan personil yang
memadai, harmonisasi hukum dan penyebarluasan kesepakatankesepakatan
internasional; Sebagai contoh adalah apa yang
dinamakan “spontaneous information” yakni suatu komitmen untuk
tanpa diminta segera menyebarluaskan informasi bilamana
ditemukan hal-hal negatif yang dapat dijadikan bahan
investigasi, pembuktian, proses peradilan tentang “cybercrime”
bagi negara lain.
5. Secara nasional perlu disusun suatu Rencana Aksi Nasional
(National Plan of Action) untuk menanggulangi cybercrime
mengingat luasnya proses viktimisasi kejahatan tersebut dan
sifatnya yang transnasional. n
217
bagian 3
SISI-SISI PROBLEMATIK HUKUM DI
I N D O N E S I A
218
219
“Prinsip kemandirian kehakiman yang terbebas dari campur
tangan eksekutif merupakan landasan bagi banyak hal dalam
kehidupan kita. Hakim tidak hanya menegakkan keadilan
antara orang perorang tetapi juga antara warga dan negara. Ia
juga harus menjamin bahwa administrasi sesuai dengan hukum
dan untuk menjatuhkan vonis atas legalitas penggunaan
kekuasaan bagi pihak eksekutif” (W. Gurchill).
“Pelbagai hak dan kebebasan asasi dapat dengan baik dipelihara
dalam masyarakat dimana profesi hukum dan sistem yuridis
terbebas dari campur tangan dan tekanan” (Louis Joinet, UN
Rapporteur on the Independence of the Judiciary).
Pendahuluan
Analisis terhadap topik bahasan di atas tidak mungkin dilakukan
secara segmental, mengingat begitu banyak variabel yang terkait di
dalamnya dan satu sama lain saling berhubungan. Karena itu analisis
tidak bisa lain harus dilakukan secara sistemik, komprehensif dan
integral. Pendekatan dan metode bahasan sistemik dan komprehensif
integral mengandung keharusan untuk memperhatikan elemenelemen
dasar sistem yaitu; orientasi pada tujuan (purposive behavior),
bersifat menyeluruh (wholism), keterbukaan (openness), transformasi
(transformation), saling keterkaitan (interrelatedness) dan mekanisme
pengendalian.
Pertama-tama harus disadari bahwa membicarakan kekuasaan
kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab tidak mungkin
Kekuasaan Kehakiman
Yang Merdeka dan Bertanggungjawab
220
dilepaskan dari (bahkan merupakan salah satu sub sistem) kondisi
umum, visi dan misi pembangunan hukum di era reformasi saat ini,
yang secara keseluruhan merupakan bagian integral dari visi dan
misi pembangunan nasional.
Dalam GBHN 1999-2004 (TAP MPR NO. IV/MPR 1999)
digambarkan betapa parahnya kondisi umum bidang hukum, khususnya
menyangkut integritas moral dan profesionalisme aparat hukum,
kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian hukum
dan keadilan hukum, sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum
terwujud. Demikian pula masih kuat dirasakan belum mantapnya
langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah, khususnya aparat
penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Gejala
campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih serta
kerancuan hukum yang acap masih banyak dijumpai, telah mengakibatkan
terjadinya krisis hukum yang berkepanjangan.
Salah satu elemen pendukung bagi terwujudnya visi pembangunan
nasional berupa terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara
Kesatuan RI, adalah manusia Indonesia yang berkesadaran hukum.
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang digariskan dalam
GBHN juga melihat betapa pentingnya perwujudan sistem hukum
nasional, yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM
berlandaskan keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini salah satu Arah
Kebijakan Hukum yang harus dicapai adalah “mewujudkan lembaga
peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak
manapun”, di samping kebijakan lain baik yang berkaitan dengan aspek
institusional, instrumental maupun kultural.
Para pendiri Republik Indonesia jauh-jauh sudah menyadari
betapa strategisnya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bertanggung jawab. Dalam penjelasan pasal 24 dan pasal 25 UUD
1945 ditegaskan bahwa: “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undangundang
tentang kedudukan para hakim”.
Persepsi dari para pendiri Republik tersebut tepat, karena ternyata
bahwa persoalan kekuasaan kehakiman yang merdeka juga dianggap
sebagai salah satu persoalan hak asasi manusia yang bersifat universal,
khususnya di bidang hak sipil dan politik. Baik Piagam PBB (The
221
Charter of the UN)1945, Piagam HAM PBB (The Universal Declaration
of Human Rights) 1948 maupun The International Convenant on Civil
and Political Rights, 1966, menggambarkan secara tersurat dan tersirat
betapa kekuasaan kehakiman yang merdeka penting sekali untuk
mencapai sistem keadilan dan perdamaian, pemeliharaan kehormatan
individu dan tertib sosial, perlindungan hukum yang setara; bahwa
tertuduh harus dianggap tidak bersalah hingga dapat dibuktikan,
dalam pemeriksaan yang jujur dan terbuka oleh pengadilan yang
kompeten, mandiri, dan adil yang diatur oleh undang-undang; dan
bahwa tidak seorangpun menderita karena penangkapan, penahanan
atau pembuangan sewenang-wenang. Bahkan seringkali dikatakan
bahwa hak-hak yudisial manusia seperti peradilan dan pemeriksaan
yang jujur, bebas dari penahanan yang sewenang-wenang, tidak
hanya merupakan asas tetapi sudah merupakan hukum (judicial rights
as a matter of law, not just principle).
Di dalam Beijing Statement of Principles of the Independence the
Lawasia region of the Judiciary di Manila, 28 Agustus 1997, dinyatakan
antara lain:
1. Kehakiman merupakan institusi nilai yang tertinggi pada setiap
masyarakat.
2. Kemerdekaan hakim mempersyaratkan bahwa; hakim
memutuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman
undang-undang dan terbebas dari pengaruh dari manapun, baik
langsung ataupun tidak langsung; hakim memiliki yurisdiksi,
langsung maupun tidak langsung, atas segala segala isu yang
memerlukan keadilan.
3. Mempertahankan kemandirian kehakiman adalah sesuatu yang
esensial untuk mencapat tujuan dan melaksanakan fungsinya yang
tepat dalam masyarakat yang bebas dan menghormati hukum.
Kemandirian tersebut harus dijamin oleh negara melalui konstitusi
dan undang-undang.
Selanjutnya untuk memahami ruang lingkup kekuasaan
kehakiman yang merdeka dapat dikaji ‘UN Basic Principles of Judiciary’
(1985). Dalam hal ini diuraikan bahwa hal-hal yang terkait di sini
adalah sebagai berikut:
a. Kemerdekaan hakim (antara lain harus dijamin negara dan
diabadikan dalam konstitusi, dihargai oleh pemerintah dan
222
lembaga lain, sikap tidak memihak dan bebas dari segala pengaruh,
pembatasan, tekanan langsung atau tak langsung, mempunyai
yurisdiksi atas segala persoalan dan kewenangan eksklusif untuk
memutus berdasarkan hukum yang berlaku, hak stake holder harus
dihormati dan proses peradilan harus dilakukan secara jujur,
negara harus menyediakan pelbagai sumber daya secara memadai
yang memungkinkan peradilan melaksanakan fungsinya);
b. Kebebasan meneyatakan pendapat dan berkumpul (seperti anggota
masyarakat lain mempunyai kebebasan untuk berekspresi,
berkeyakinan/kepercayaan, berserikat dan berkumpul, hakim
bebas untuk membentuk dan ikut dalam asosiasi hakim atau
organisasi lain untuk menyalurkan kepentingan, meningkatkan
kemampuan dan melindungi kebebasan yudisialnya);
c. Kwalifikasi, seleksi, dan training (harus didasarkan atas integritas
dan kemampuan serta bebas dari diskriminasi);
d. Profesionalisme dan imunitas (imunitas personal dalam arti
imunitas dari gugatan perdata atas kerugian finansial akibat
perbuatan tidak benar atau perbuatan omisi dalam melaksanakan
fungsi yudisial);
e. Disiplin, penskorsan, pemindahan/pemotongan (harus didasarkan
atas prosedur dan standar yang jujur, adil dan tepat serta
dilakukan atas dasar tinjauan yang independen).
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Dalam hal sistem pemerintahan negara, dalam penjelasan UUD
1945 antara lain ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasar atas hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (Machsstaat). Sepanjang berkaitan dengan kebebasan kekuasaan
kehakiman, doktrin konstitusional tersebut dalam sejarah kekuasaan
kehakiman Indonesia selalu mengalami pasang surut, tergantung
kondisi sosial politik yang merupakan “super sistem” yang
melingkupi sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman.
Dr. Pompe secara komprehensif telah menggambarkan sejarah
Mahkamah Agung Republik Indonesia selama 50 tahun. Digambarkan
bahwa kooptasi politik terhadap kehakiman telah dimulai semenjak
kemerdekaan sebagai akibat semangat revolusioner di era baru
kemerdekaan. Begitu pula pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
yang ditandai oleh UU no. 19/1964 yang memungkinkan campur
223
tangan eksekutif terhadap peradilan demi kepentingan revolusi.
Demikian pula dengan UU no. 13/1965 yang mewajibkan hakim untuk
memihak pada kebenaran sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila
dan Manipol/Usdek.
Selanjutnya di era Orde Baru, pada tahun 1970 muncul UU no.
14/1970 yang menempatkan kekuasaan kehakiman dalam posisi
ambigu: segi judicial power berada di bawah MA, namun dalam
kerangka administrasi peradilan, kewenangan finansial, administratif
dan personalia, berada di bawah Departemen Kehakiman,
Departemen Hankam, dan Departemen Agama. Hal ini membuka
peluang bagi terjadinya kooptasi politis terhadap kekuasaan
kehakiman. Di era reformasi, pada tahun 1999 atas dasar UU no. 35/
1999 dualisme ini diakhiri, namun sampai saat ini UU tersebut belum
diimplementasikan dengan alasan yang tidak jelas. Kondisi tersebut
tidak mustahil terjadi karena sistem sosial dan sistem politik akan
cenderung mempengaruhi sistem hukum yang berlaku.
Selain itu pengertian “negara hukum” harus diartikan secara
dinamis dalam kerangka komparasi dengan konsep Supremacy of
General Law yang berkembang di Eropa Kontinental. Di dalam sistem
Anglo Saxon, asas stare decisis memungkinkan hakim untuk
membentuk hukum (judge made law). Di lain pihak prinsip Rechsstaat
lebih dekat pada prinsip Supremacy of General Law di dalam sistem
kontinental, yang pada dasarnya tidak memungkinkan hakim untuk
menciptakan hukum.
Namun demikian pandangan seperti itu sebenarnya sudah
berubah. Pandangan bahwa masyarakat dilindungi hukum tidak lagi
berlaku, karena masyarakat juga meminta perlindungan terhadap
hukum. Hukum tidak lagi semata-mata difungsikan sebagai kekuasaan
yang berdaulat, tetapi harus pula dipertanyakan hakekat dan substansi
dari hukum tersebut. Dengan demikian hakim harus difungsikan pula
peranannya sebagai deputy legislators atau pseudo legislators.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan hak asasi
manusia, namun simultan dengan kemerdekaan tersebut manusia juga
mempertanyakan sampai seberapa jauh kemerdekaan tersebut juga
mengandung tanggung jawab kekuasaan kehakiman. Tanggung jawab
yudisial pada dasarnya merupakan value laden concept yang
merefleksikan hubungan tertentu antara subyek — khususnya hakim
– dengan nilai-nilai sosial. Dalam hal ini terkandung dua hal penting:
224
kekuasaan kehakiman dan akuntabilitas dalam penggunaan kekuasaan
tersebut.
Kekuasaan kehakiman mengandung pengertian tidak hanya
otoritas hukum tetapi juga kewajiban hukum yang merupakan
kekuasaan yang melekat pada hakim dan pengadilan untuk
melaksanakan fungsi pemerintahan berupa mengadili dan memutus.
Adjudikasi tersebut secara luas mencakup tiga hal: tanggungjawab
administratif (manajemen perkara), tanggungjawab prosedural
(manajemen peradilan atas dasar hukum acara yang berlaku) dan
tanggungjawab substantif (yang berkaitan dengan pengkaitan antara
fakta dengan hukum yang berlaku).
Sedangkan akuntabilitas yudisial dapat diperinci dalam empat
hal sebagai berikut: (a) akuntabilitas politik baik dari hakim secara
pribadi maupun kelompok dalam kerangka konstitusi; (b)
akuntabilitas sosial atau publik dari hakim, baik pribadi maupun
kelompok; (c) akuntabilitas hukum sebagai wakil (vicarious) negara;
dan akuntabilitas hukum (personal) dari hakim baik kriminal, sipil
maupun disiplin.
Kedudukan hakim dan kekuasaan kehakiman di Indonesia
menjadi semakin berat sebab mencakup tanggungjawab horizontal
dan vertikal sekaligus. Hal ini tersurat dan tersirat dalam irah-irah
putusan hakim: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” (Pasal 4 ayat (1) UU no. 14/1970), disamping sumpah atau janji
menurut agamanya sebelum memangku jabatan, untuk setia kepada
Dasar Negara, Konstitusi dan perundang-undangan serta jujur,
seksama, tidak diskriminatif dan adil. (Pasal 9 ayat (1) UU no. 14/
1985).
Kekuasaan Kehakiman dan Demokrasi
Usaha untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka
dan bertanggungjwab menjadi semakin membesar dalam era
reformasi mengingat reformasi sendiri harus diartikan sebagai usaha
rasional dan sistematik dari seluruh bangsa Indonesia untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi. Beetham dalam hal
ini berpendapat bahwa masyarakat yang demokratis menyerupai
bentuk piramid yang ditopang oleh 3 (tiga) pilar utama yaitu, sistem
pemilihan umum yang jujur dan adil; jaminan terhadap hak-hak dan
kebebasan sipil serta politik; dan sistem pemerintahan yang terbuka,
225
akuntabel dan responsif. Tiga pilar tersebut oleh Beetham
dioperasionalkan dalam bentuk 30 indeks demokrasi, dan apa yang
disebutnya “independence of judiciary from the executive and from all
forms of interference” masuk dalam kategori indeks pemerintahan yang
terbuka, akuntabel dan responsif.
Elemen lain dari pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan
responsif yang relevan adalah seberapa jauh eksekutif tunduk pada
rule of law, transparasi peraturan dalam menjalankan kekuasaan,
peranan kontrol masyarakat dalam administrasi hukum dan akses
masyarakat untuk memperoleh keadilan melalui pengadilan,
ombudsman dan lembaga peradilan lain apabila terjadi
maladministrasi.
Dalam pendekatan sistem, suasana reformasi — baik nasional
maupun global— dipandang sebagai masukan lingkungan strategis
yang harus diperhitungkan dengan seksama. Di samping masukan
lingkungan strategis nasional dan global tersebut harus selalu
diperhatikan sistem kendali nasional dalam bentuk perundangundangan
positif yang kondusif.
Yang harus dikaji pertama-tama adalah keberadaan Pasal 24 dan
Pasal 25 UUD 1945 beserta penjelasannya sebagaimana telah diuraikan
di atas. Selanjutnya bisa disebutkan di sini TAP MPR RI Nomor X/
MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai
Haluan Negara, yang antara lain memerintahkan adanya pemisahan
yang tegas antara fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif yang pada
akhirnya menghasilkan UU no. 35/1999 yang akan menjadikan
kekuasaan mengadili dan administrasi peradilan dalam kekuasaan
satu atap Mahkamah Agung.
Selanjutnya harus diperhatikan pula TAP MPR No. VIII/MPR/
2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada
Sidang Tahunan MPR tahun 2000. Penting pula diperhatikan
Rekomendasi MPR terhadap Mahkamah Agung : “Mahkamah Agung
perlu segera melaksanakan UU no. 35/1999 tentang Perubahan atas
UU No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan
Mahkamah Agung perlu memantapkan kemandiriannya dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya serta menjadikan Mahkamah
Agung bebas dari KKN”.
Keprihatinan dunia internasional terhadap kondisi hukum
226
Indonesia termasuk terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman,
nampak antara lain dari suatu buku yang berjudul The Ruler’s Law
yang merupakan laporan dari the International Commission of Jurist
tentang Indonesia (Oktober 1999). Dalam kaitannya dengan
kebebasan kekuasaan kehakiman antara lain disoroti Pasal 11 UU
14/1970 (sebelum diubah oleh UU no. 35/1999), usulan dibentuknya
Mahkamah Konstitusi, usulan dibentuknya komisi yudisial,
kedudukan hakim sebagai pegawai negeri sipil, usulan keberadaan
hakim non karir, pemberantasan korupsi di pengadilan dan
sebagainya.
Kerusakan Sistemik dan Usaha Perbaikan
Data awal tentang kondisi kekuasaan kehakiman yang dilakukan
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman nampak dari
pendapat dan rekomendasi MPR-RI terhadap Laporan Tahunan
Mahkamah Agung-RI dalam Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000.
Dalam hal ini MPR berpendapat bahwa laporan Mahkamah Agung
masih bersifat normatif dan secara umum kurang mengungkapkan
daya dan penegakan supremasi hukum. Di sampimg itu terjadinya
penumpukan perkara disebabkan karena kinerja Mahkamah Agung
yang lamban, kecenderungan pengajuan proses hukum di tingkat
kasasi, kurang profesionalnya penanganan perkara di MA,
terdapatnya indikasi KKN dan pengaruh pihak-pihak lain di luar MA.
Selanjutnya MPR memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Mahkamah Agung, untuk meningkatkan kinerjanya dalam
penegakan hukum, perlu segera melakukan pembenahan, misalnya;
a. Mahkamah Agung perlu secara terus menerus meningkatkan
kualitas sumber daya manusia bagi seluruh jajaran hakim di
semua tingkatan agar integritas, moralitas, wawasan,
profesionalisme dan keterampilannya mendukung
pelaksanaan tugasnya;
b. Mahkamah Agung perlu segera menyelesaikan tunggakantunggakan
perkara dengan meningkatkan jumlah dan kualitas
putusan;
c. Mahkamah Agung perlu segera menerapkan asas-asas sistem
peradilan terpadu (integrated judiciary system);
d. Mahkamah Agung perlu membuat peraturan untuk membatasi
masuknya perkara kasasi.
227
2. Mahkamah Agung perlu segera melaksanakan UU no. 35/1999
tentang perubahan atas UU no. 14/1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman.
3. Mahkamah Agung perlu memantapkan kemandiriannya dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya serta menjadikan Mahkamah
Agung bebas dari KKN.
Melihat pendapat dan rekomendasi MPR terhadap kinerja
Mahkamah Agung di atas, sebenarnya dengan jujur harus diakui
bahwa telah terjadi kerusakan sistemik (systemic damage) atas
kekuasaan kehakiman di Indonesia baik yang berkaitan dengan aspek
struktural institusional, aspek substantif-instrumental maupun aspek
kultural. Pelbagai kerusakan tersebut pada akhirnya akan
mengganggu sistem peradilan secara keseluruhan dan semuanya akan
merupakan penyebab terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka
dan bertanggungjawab. Prinsip ini baru bisa tegak apabila didukung
oleh struktur, substansi dan kultur hukum yang kondusif.
Dalam rangka membangun kembali citra positif kekuasaan
kehakiman pada umumnya, dan Mahkamah Agung pada khususnya,
terapi yang harus dilakukan juga harus bersifat sistemik dan bersifat
komprehensif. Hal ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
1. Aspek Struktural Institusional.
a. Perlu dibentuknya dewan pakar (board of experts) di Mahkamah
Agung yang dapat memberikan “saran kebijakan” kepada Ketua
MA, diminta atau tidak diminta;
b. Perlu segera direalisasikan terbentuknya Komisi Yudisial
dengan kenggotaan yang komprehensif dan independen, yang
mengawasi perilaku hakim dan pejabat lain di lingkungan
kekuasaan kehakiman;
c. Perlu segera dibentuk badan independen dengan keanggotaan
yang komprehensif yang menangani rekrutmen, promosi dan
mutasi hakim dan pejabat lain di lingkungan kekuasaan
kehakiman;
d. Perlu diaktualisasikan mekanisme institusional yang menangani
eksaminasi keputusan hakim;
e. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas sistem jaringan
informasi dan dokumentasi hukum, pusat pendidikan dan
latihan hakim dan pusat pengolahan data di MA;
228
f. Perlu ditingkatkan peranan “public relation” yang dengan cepat
dan profesional dapat menjawab keluhan-keluhan masyarakat
terhadap badan-badan peradilan;
2. Aspek Substantif-Instrumental.
a. Perlu segera diimplementasikannya UU no. 35 tahun 1999;
b. Perlu segera dibuat UU tentang Contempt of Court;
c. Perlu segera dilaksanakan revisi perundang-undangan yang
mengatur badan-badan peradilan;
d. Perlu segera dibuat UU payung (umbrella act) yang mengatur
“integrated judiciary system”, semacam wet R.O. di masa lalu;
e. Mendorong segera terbentuknya UU Advokat yang baru;
3. Aspek Kultural.
a. Mendorong semangat reformasi dan spirit perubahan yang
positif di Mahkamah Agung;
b. Menggalakkan semangat profesionalisme yang bertumpu pada
ekspertif, tanggungjawab sosial, kesejawatan, ketaatan pada
kode etik dan ekonomi;
c. Menggalang semangat kebanggaan korps;
d. Memerangi secara preventif dan represif KKN di lingkungan
kekuasaan kehakiman dan melakukan kampanye anti KKN
secara berkesinambungan (sustainable clean hand campaign);
4. Aspek Kepemimpinan; dilakukan dengan membenahi struktur dan
personalia kepemimpinan di lingkungan kekuasaan kehakiman
atas dasar reward and punishment principle (merit system).
5. Aspek Partisipasi Masyarakat; membuka akses seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk mengawasi kinerja badan-badan di
lingkungan kekuasaan kehakiman;
6. Peningkatan Kesejahteraan Hakim dan Tenaga Administrasi;
peningkatan kesejahteraan di lingkungan kekuasaan kehakiman
perlu dilakukan melalui cara dan dari sumber-sumber yang sah.
Penutup
1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab
merupakan bagian dari pilar demokrasi yaitu pemerintahan yang
terbuka, akuntabel dan responsif;
2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab
tidak mungkin terwujud tanpa dukungan yang kondusif dan
memadai dari aspek-aspek struktural-institusional, substantif229
instrumental, kultural, kepemimpinan yang baik dan partisipasi
masyarakat serta kesejahteraan yang memadai dari hakim dan
pejabat-pejabat lain di lingkungan kekuasaan kehakiman;
3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab
harus dipahami dan dihormati oleh siapa saja, baik internal
kekuasaan kehakiman maupun eksternal kekuasaan kehakiman
yang secara potensial biasa mengganggu/mempengaruhi
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab.
4. Dalam membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bertanggungjawab, perlu dilakukan usaha untuk mencapai standar
internasional yang sudah diadopsi PBB (UN Basic Principles on
the Independence of Judiciary, 1985). n
230
Pendahuluan
Sebenarnya obsesi bangsa dan negara Indonesia untuk menjadi
negara bangsa yang modern dan demokratis sudah nampak pada
saat UUD 1945 dirumuskan. Prinsip kedaulatan rakyat di tangan MPR
dan prinsip negara hukum merupakan beberapa contoh dari sekian
keinginan tersebut. Namun faktor-faktor obyektif dan subyektif yang
ada ternyata memberikan warna yang sama sekali berbeda dari yang
dicita-citakan sejak semula.
Faktor-faktor obyektif pada masa pra-kemerdekaan antara lain
tercermin dalam keinginan untuk membentuk negara kesatuan, yang
dalam praktek sering dihadapkan dengan fakta-fakta yang tak
terelakkan, seperti gerakan separatisme dan primordialisme, situasi
perekonomian yang sangat lemah dan sukar bersaing, mental bangsa
terjajah yang rendah diri dan terbelakang, euforia kemerdekaan yang
seringkali diwarnai dengan kebanggaan apabila bisa melanggar hukum
yang diciptakan penjajah, perjuangan fisik untuk merebut Irian Barat,
konsep pembangunan politik yang masih bersifat trial and error mulai
dari penerapan demokrasi liberal sampai dengan demokrasi terpimpin,
konsepsi “revolusi belum selesai” yang menempatkan kekuasaan
eksekutif bersifat dominan terhadap kekuasaan yang lain, ambisi untuk
menjadi pelopor dari negara-negara berkembang, dan lain lain
perbuatan dalam kerangka nation and character building.
Faktor subyektif terletak pada karakter figur pimpinan nasional
yang penuh heroisme dan semangat revolusioner ingin menempatkan
bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju yang lain di
dunia, meski dengan taruhan biaya yang sangat mahal.
Refleksi dan Rekonstruksi
Wajah Hukum Indonesia
231
Apabila hal-hal di atas dapat dikategorikan sebagai faktor-faktor
internal bangsa dan negara Indonesia, maka faktor eksternal juga
berpengaruh besar untuk membentuk kepribadian sistem politik.
Faktor eksternal tersebut berupa dahsyatnya situasi perang dingin
antara Blok Barat dan Blok Timur untuk menanamkan pengaruhnya
di pelbagai negara berkembang, yang ternyata juga sangat mewarnai
perkembangan nasional.
Dalam situasi demikian, pelbagai kebijakan harus secara simultan
dilakukan, dan dengan alasan menerapkan prinsip negara hukum
maka pelbagai kebijakan tersebut diterjemahkan dalam bentuk
produk hukum. Agar produk-produk hukum tersebut sesuai dengan
selera kekuasaan, maka dimulailah kooptasi kekuasaan terhadap
hukum, yang memungkinkan terjadinya instrumentalisasi hukum dan
politisasi hukum dalam kehidupan sosial. Instrumentalisasi dan
politisasi hukum yang menempatkan hukum tidak hanya sebagai
dependent variable tetapi juga sebagai independent variable merupakan
hal yang wajar baik di negara demokratis maupun di negara otoriter,
(pen: pemerintah di negara paling otoriterpun akan mengaku dirinya
sebagai negara demokratis), sebab hukum pada dasarnya merupakan
hasil dari proses interaksi politik.
Namun harus tetap disadari bahwa instrumentalisasi dan
politisasi hukum hanya sah apabila dikendalikan oleh asas-asas
hukum demokratis yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
Instrumentalisasi hukum dan politisasi hukum dapat dilakukan baik
melalui proses pembentukan undang-undang (law making process),
proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses
penanaman kesadaran hukum (legal awareness process).
Instrumentalisasi hukum yang sehat harus mendasari ketiga proses
tersebut dengan asas-asas yang bersifat universal.
Pada era Soekarno (Orde Lama), karena pengaruh faktor obyektif
dan subyektif serta faktor internal dan eksternal di atas, telah terjadi
langkah-langkah praktis dan pragmatis dengan menerapkan konsep
instrumentalisasi dan politisasi hukum secara tidak sehat yang pada
akhirnya menampilkan sosok wajah hukum yang represif. Salah satu
alasan utama yang mendasarinya, adalah mengamankan “kepentingan
revolusi”, yang saat itu menjadi “tesis perjuangan politik” Soekarno.
Sebagai contoh, di dalam UU No. 19 tahun 1964 diatur bahwa demi
kepentingan revolusi Presiden dapat mencampuri urusan pengadilan;
232
Ketua Mahkamah Agung merupakan anggota kabinet; dan munculnya
Penpres 11 tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversif
yang sangat represif dan inkonstitusional.
Belajar dari pengalaman di era Soekarno, maka pada era Soeharto
(Orde Baru), terutama pada masa-masa awal kekuasaannya, ada
itikad untuk menampilkan wajah hukum yang lebih demokratis.
Masyarakat hukum pasca 1966, dengan penuh optimisme
mengumandangkan gagasan supremasi hukum yang tak jarang pula
diliputi nuansa promosi dan perlindungan HAM. Misalnya, pada saat
itu sudah muncul Konsep TAP MPRS tentang HAM; lalu UU No. 14
Th. 1970 yang menggantikan UU No. 19 Th. 1964 (tentang Pokokpokok
Kekuasaan Kehakiman) telah mengatur Kekuasaan Kehakiman
Yang Merdeka dan sebagainya.
Namun demikian kondisi sosial ekonomi internal yang moratmarit
dan faktor-faktor subyektif kepemimpinan nasional yang ingin
berkuasa terus menerus, pada akhirnya menumbuhkan sikap-sikap
kekuasaan yang hampir selalu bersifat ambivalen, sepert; Undangundang
Pemberantasan Kegiatan Subversi tetap dipertahankan;
meningkatnya jumlah napol dan tapol, TAP MPRS tentang HAM tidak
pernah terselesaikan; pendekatan represif semakin meningkat; kooptasi
terhadap kekuasaan kehakiman demi kepentingan politik semakin besar.
Dengan dalih “pembangunan ekonomi” yang membutuhkan ketertiban,
hak-hak sipil dan politik diberangus. Instrumentalisasi hukum dan
politisasi hukum semakin meningkat tanpa terkendali. Semua langkahlangkah
negatif ini dapat digambarkan sebagai penyalahgunaan
kekuasaan, pelanggaran HAM, dan KKN – isu yang kelak justru
menjadi tema perjuangan mahasiswa dan masyarakat paling dominan
untuk menjatuhkannya dari kekuasaan.
Era Reformasi
Di era reformasi, kejatuhan Orde Baru pada penghujung tahun
1998, memberikan landasan pengalaman bagi sebuah “kesepakatan
baru” bahwa proses demokratisasi harus berjalan di bawah payung
supremasi hukum. Dengan kata lain, hukum haruslah memberikan
jaminan bagi terselenggaranya sistem yang lebih demokratis. Karena
itu aspek perundang-undangan di bidang sosial politik, HAM,
pemberantasan KKN, kemerdekaan kekuasaan kehakiman,
penyesuaian terhadap standar-standar baku internasional, perangkat
233
hukum menghadapi pasar bebas, terus dilakukan untuk sesegera
mungkin mengatasi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM
dan memberantas KKN agar dapat menumbuhkan kepercayaan di
dalam dan di luar negeri sebagai pra-kondisi untuk masuk secara
terhormat dalam pergaulan internasional. Instrumentalisasi dan
politisasi hukum diusahakan untuk selalu mematuhi asas-asas hukum,
dengan keyakinan bahwa suatu sistem politik yang baik akan
menghasilkan produk hukum yang baik pula.
Namun demikian penting dikemukakan, bahwa keinginan ideal
seperti di atas, dalam prakteknya – terlebih di tengah euforia politik
yang tak kunjung mereda – bukan perkara yang mudah ditegakan
mengingat berbagai hambatan yang dijumpai di lapangan, baik yang
bersifat langsung maupun tidak langsung.
Prediksi Kehidupan Hukum
Apa yang akan terjadi di bidang hukum pada tahun-tahun
mendatang tidak akan terlepas dari wajah hukum masa lalu dan masa
kini yang tengah kita jalani. Indikator-indikator yang dapat
digeneralisasai untuk menggambarkan telah terjadinya kerusakan
sistemik di dalam kehidupan hukum sebagai warisan Orde Baru masih
nampak jelas kelihatan. Indikator-indikator tersebut antara lain belum
terciptanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, karena kesan
instrumentalisasi dan politisasi hukum yang menyimpang dari asas
hukum masih saja terjadi. Ada kesan yang muncul di tengah
masyarakat bahwa hukum masih “pilih kasih”. Independensi
penegakan hukum dari kekuasaan eksekutif masih terus
dipertanyakan. Tekanan politis baik terhadap proses pembuatan
undang-undang dan penegakan hukum dilakukan secara tidak
profesional dan seringkali mengabaikan asas-asas hukum dengan
alasan perlunya penerapan ‘transitional justice’ dalam era reformasi
yang sebenarnya lebih mengesankan layman justice. Yang lebih
memprihatinkan lagi, para ahli hukum, baik teoritisi maupun praktisi
kurang memberikan reaksi secara proporsional dan profesional;
semacam “keacuhan kolektif”, yang pada gilirannya memicu krisis
terhadap asas-asas hukum.
Sinyalemen masih terjadinya ‘mafia peradilan’ muncul sebagai
sinisme yang meluas di tengah masyarakat tanpa ada langkahlangkah
yang signifikan untuk mengatasinya. Ini dapat berakibat
234
munculnya reaksi untuk menentang usaha pengaturan tentang
contempt of court yang sebenarnya sangat penting di negara demokrasi,
yang selalu mengandalkan adanya dukungan wibawa dan martabat
lembaga peradilan yang bersih.
Kesadaran hukum baik di lingkungan para penegak hukum
maupun masyarakat masih terasa sangat lemah. Kegagalan
menciptakan keadilan oleh penegak hukum masih sering terjadi,
dibarengi dengan masih banyaknya terjadi tindakan anomis serta
perbuatan main hakim sendiri (eigen richting) di lingkungan
masyarakat. Yang terakhir ini, sebagian menggambarkan sikap umum
masyarakat yang semakin luruh kepercayaannya terhadap aparat
penegak hukum. Sistem peradilan yang terpadu, juga tidak kunjung
dapat ditegakkan, yang ujungnya selalu menimbulkan ketidakpuasan
bagi pencari keadilan di satu sisi, dan rusaknya citra penegak hukum
di sisi yang lain.
Masih langkanya panutan dan idola kepemimpinan di bidang
penegakan hukum yang diharapkan dapat menjadi prime mover, adalah
sisi kelemahan yang lain lagi. Perjalanan sejarah bangsa menunjukkan
bahwa efektivitas suatu sistem masih banyak ditentukan oleh kualitas
kepemimpinan sebagai pemegang peran utama sistem tersebut.
Kehidupan civil society di bidang hukum, cenderung lebih
melahirkan sikap “memusuhi” aparat penegak hukum ketimbang
sikap komplementer yang diperlukan. Fungsi legislatif DPR yang
secara konstitusional semakin kuat, tetapi karena kurang didukung
dengan profesionalisme yang cukup telah mengakibatkan peranan
eksekutif tetap saja dominan. Keterlambatan dalam hal ini tidak hanya
menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukum, tetapi juga
mengurangi wibawa hukum, baik di mata bangsanya sendiri maupun
bangsa-bangsa lain. Sebagai contoh aktual, tudingan sementara pihak
di luar negeri bahwa Indonesia dianggap sebagai negara yang tidak
koperatif karena belum mempunyai UU tentang money laundering,
terasa merendahkan kalau bukan menyakitkan.
Lalu tindakan represif dan koersif yang dilakukan sering tidak
berimbang dengan tindakan preventif, misalnya dalam kasus
penanganan pelanggaran tata tertib perkotaan. Sikap pemberitaan
sejumlah media massa juga terkesan mengembangkan character
assasination, stigmatisasi, dan mengabaikan prinsip praduga tidak
bersalah, dan bahkan sebaliknya menggunakan pendekatan “praduga
235
bersalah”. Sementara itu, harmonisasi hukum terhadap standarstandar
baku universal di bidang HAM, baik menyangkut hak-hak
sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya dan hak atas pembangunan,
masih jauh dari memadai. Ratifikasi terhadap konvensi internasional
lebih mengesankan sebagai langkah windowdressing, ketimbang
sebagai langkah-langkah sistematis yang serius.
Atas dasar fakta-fakta tersebut, hal-hal yang harus
dikembangkan dan dilakukan di masa datang, di samping
memperbaiki secara ad hoc kelemahan-kelemahan di atas, secara
sistemis harus dilembagakan pemikiran-pemikiran sebagai berikut ;
1. Hukum dalam kehidupan modern harus mendayagunakan
peranannya sebagai mekanisme pengintegrasi. Dalam hal ini hukum
selain bisa bersifat defensif melembagakan perubahan sosial
(dependent variable), juga bisa bersifat aktif bahkan sebagai alat
perubahan sosial (independent variable) atas dasar asas-asas hukum
yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab; mencakup proses
pembuatan hukum, proses penegakan hukum, dan proses
penanaman kesadaran hukum;
2. Hukum tetap harus dipandang dan difungsikan secara konsisten
sebagai salah satu unsur utama demokrasi dalam kerangka
pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif, di samping
adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil, perlindungan
terhadap HAM dan keberadaan masyarakat yang demokratis dan
percaya diri. Dalam hal ini hukum harus bisa memberikan landasan
hukum yang memadai bagi elemen-elemen demokrasi tersebut;
3. Sebagai unsur utama demokrasi hukum harus menjamin bahwa
para penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya secara
transparan tunduk pada prinsip rule of law;
4. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pelbagai pengaruh baik
internal maupun eksternal, khususnya pengaruh eksekutif harus
ditegakkan;
5. Administrasi hukum dan peradilan harus transparan terhadap
pengawasan masyarakat yang efektif;
6. Akses yang terbuka bagi masyarakat untuk mencari dan
memperoleh keadilan melalui pengadilan, ombudsman dan
lembaga-lembaga lain, khususnya terhadap maladministrasi dan
kegagalan badan publik dalam menjalankan tanggungjawab
hukumnya.
236
Yang sangat memprihatinkan saat ini adalah masih belum
tuntasnya proses amandemen terhadap UUD 1945 dan proses
pembentukan Mahkamah Konstitusi yang keduanya akan merupakan
batu penguji mantap atau tidaknya sistem hukum nasional.
Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan kebijakan
penerapan substansi hukum oleh penguasa atau rezim sesuai dengan
kebijakan sosial yang telah digariskan. Sesuai dengan konteks uraian
di atas, maka penegakan hukum pada dasarnya merupakan
instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum, sebab apapun warna
kekuasaan dan corak rezim yang berlaku, hukum selamanya
merupakan instrumen yang efektif untuk mengamankan kebijakan
sosial yang digariskan. Dalam hal ini istilah ‘supremasi hukum’ yang
merupakan salah satu simbol demokrasi selalu dimanfaatkan untuk
menjaga citra ke dalam maupun ke luar negeri. Padahal baik buruknya
masih tergantung pada kualitas demokrasi yang dianut oleh penguasa
atau rezim yang bersangkutan. Rezim yang baik pasti akan
menghasilkan penegakan hukum yang baik pula.
Rezim paling otoriterpun akan mendayagunakan hukum sebagai
instrumen dengan dalih supremasi hukum dan demokratisasi. Sejarah
kehidupan hukum yang terurai di atas menggambarkan dengan jelas
pelbagai manipulasi proses instrumentalisasi hukum. Proses
instrumentalisasi hukum tidak hanya bersifat nasional untuk
percepatan pencapaian tujuan-tujuan politik penguasa atau untuk
memberikan pembenaran terhadap kebijakan-kebijakan penguasa atau
untuk melindungi kepentingan penguasa baik pribadi maupun
kolektif. Penjajah Belanda di masa lalu, mempengaruhi sistem hukum
yang berlaku di Indonesia (sekaligus mendukung kebijakan
sosialnya), melalui asas konkordansi, yurisprudensi dan doktrin
hukum yang diajarkan oleh para sarjana hukum Belanda. Pengaruh
tersebut sampai saat ini masih terasa akibatnya.
Selain berdimensi nasional, instrumentalisasi atau politisasi hukum
dapat pula bersifat internasional sehubungan dengan proses globalisasi
yang sarat dengan kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya. Proses
globalisasi yang menggeser orientasi konsep kepentingan dan
kesejahteraan nasional menjadi konsep kepentingan dan kesejahteraan
regional dan global, jelas didominasi atau bias kepentingan “negara237
negara kuat”di bidang ekonomi. Standar-standar baku yang lebih
menguntungkan kepentingan mereka secara sistematis diterapkan ke
seluruh dunia. Standar baku tersebut tidak hanya berkaitan dengan
kehidupan ekonomi, tetapi juga di bidang politik sebagai kerangka
dasarnya. Sebagai contoh, pasar bebas hanya mungkin terjadi di dalam
kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi promosi dan
perlindungan HAM, pemerintahan yang transparan dan akuntabel
serta kehidupan masyarakat madani yang sehat.
Untuk itu, secara sistematis pelbagai negara dunia pada akhirnya
harus meratifikasi konvensi internasional yang mengatur standarstandar
baku tersebut serta mendayagunakan ‘dispute settlement
bodies’ yang tersedia guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul, tentu dengan pelbagai konsekuensi bagi yang tidak
mentaatinya. Tidak begitu peduli apakah suatu bangsa sudah siap
atau belum. Sebagai contoh adalah stigma “negara non koperatif”
bagi negara-negara yang tidak segera mengatur ‘money laundering’
— yang sebenarnya membutuhkan persiapan-persiapan yang matang
— dengan sendirinya menanggung konsekuensi akibat beban stigma
tadi. Contoh lain adalah betapa tergopoh-gopohnya Indonesia
mengatur Pengadilan HAM — sekalipun Indonesia belum meratifikasi
Statuta Roma 1998 – hanya karena tekanan internasional untuk
menggelar Pengadilan Internasional apabila Indonesia dinilai tidak
mampu dan tidak mau untuk mengadili pelanggaran HAM berat.
Instrumentalisasi hukum secara internasional bisa dalam bentuk
direct enforcement seperti pengadilan HAM internasional ad hoc
(Pengadilan ini mempunyai sifat ‘pimacy’ terhadap pengadilan
nasional, sedangkan Statuta Roma 1998-ICC- menggunakan istilah
complementary), bisa juga dalam bentuk indirect enforcement melalui
ratifikasi konvensi internasional, hukum kebiasaan internasional,
penerapan asas-asas umum, keputusan hakim dan pandangan para
hakim. Atau bisa juga melalui keterpaksaan untuk melakukan
harmonisasi hukum internasional.
Kemudian, instrumentalisasi hukum bisa melalui hukum pidana,
hukum perdata maupun hukum administrasi. Bahkan bisa pula melalui
kebijakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispure
resolution) atau kebijakan yang bersifat ad hoc. Yang penting adalah
sampai seberapa jauh instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum
tidak menimbulkan kesan telah terjadinya kegagalan penguasa untuk
238
menciptakan keadilan (miscariage of justice) yang bertentangan dengan
keadilan yang menjunjung tinggi prinsip fairness dan mutual respect.
Batas-batas Instrumentalisasi Hukum
Di atas telah diuraikan bahwa instrumentalisasi hukum atau
politisasi hukum sulit terhindarkan, mengingat hukum hanya dapat
operasional melalui kekuasaan. Hanya saja harus diusahakan agar
hukum dan kekuasaan “menyatu”, dalam arti tidak terpisah dari dan
tidak di bawah (subordinated) kekuasaan politik. Kedudukan yang
demikian berperan sebagai sarana pengintegrasi pelbagai kepentingan
agar secara proporsional hukum dapat mengendalikan sistem check
and balances secara sehat.
Untuk menghindarkan diri dari penyalahgunaan hukum sebagai
instrumen politik, hanya pemikiran dan asas-asas hukum yang bersifat
universal yang dapat dijadikan pedoman atau pengendali. Pemikiranpemikiran
dan asas-asas hukum tersebut meliputi; (1) keberadan
substansi hukum baik materiil maupun formil yang aspiratif
(suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan internasional); (2)
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan akuntabel, selain perlu pula
dikembangkan apa yang dinamakan administrasi peradilan dan
penegakan hukum yang merdeka dan akuntabel; (3) promosi dan
perlindungan HAM; (4) keterpaduan sistem peradilan; (5) perpaduan
tindakan preventif dan represif; (6) perpaduan proses litigasi dan
non-litigasi; (7) asas non-retroaktif (misalnya evaluasi Amdal Pantai
Indah Kapuk, jangan sampai merugikan konsumen. Kalau ada yang
salah, pengembangnya yang harus diberi sanksi restoratif; (8) sistemik
dan menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc; (9) pembudayaan saksi
ahli; (10) persamaan di muka hukum dan menghindari pilih kasih;
(11) legitimasi harus diimbangi oleh kompetensi, akuntabilitas dan
keadilan; (12) pendidikan hukum masyarakat harus menjaga
keseimbangan antara kesadaran hukum yang bersifat top down dan
perasaan hukum spontan masyarakat yang bersifat bottom up; (13)
secara proporsional melihat sumber-sumber hukum internasional
sebagai bagian hukum nasional; (14) menghindarkan diri dari
miscarriage of justice dan selalu menjaga konsistensi dan keseragaman
dalam pengambilan keputusan terhadap peristiwa hukum yang
mempunyai karakter yang sama; (15) lingkungan sosial yang kondusif
dan demokratis; (16) kepemimpinan hukum di semua lini yang
239
profesional, berkualitas baik moral maupun intelektual; (17)
keberadaan elemen-elemen civil society yang secara komplementer
berjuang bersama penguasa untuk merealisasikan supremasi hukum;
(18) keberadaan sistem pendidikan hukum dan pelatihan hukum yang
terpadu dan dapat menjamin kualitas pengetahuan, keterampilan dan
kepekaan sosial lulusannya serta sikap-sikap profesional yang otonom,
ahli, penuh rasa tanggungjawab sosial, taat kepada kode etik dan
menghormati kesejawatan; (19) keberadaan “pakar hukum” yang
selalu menyerukan kritik dan kebenaran atas dasar kebebasan
akademik dan budaya akademik.
Instrumentalisasi hukum yang taat asas akan menimbulkan
kepercayaan bagi pencari keadilan baik dari dalam maupun luar negeri,
dan pada gilirannya dapat memberikan sumbangan dalam
reformasi.Tidak dipenuhinya pelbagai standar di atas akan
mengakibatkan bahwa total enforcement yang kemudian berkembang
menjadi full enforcement setelah dibatasi oleh hukum akan cenderung
memunculkan actual enforcement yang penuh dengan diskresi yang legal.
Sistem Sosial
Hal lain yang perlu dikaji adalah kenyataan bahwa sistem
penegakan hukum pada dasarnya merupakan subsistem sosial. Dalam
instrumentalisasi hukum diharapkan agar hukum sebagai sarana
pengintegrasi dapat mempengaruhi perkembangan sosial. Namun
kenyataannya, efektivikasi hukum justru lebih sering dipengaruhi
secara signifikan oleh perkembangan sosial, persis seperti yang kita
rarasakan saat ini di Indonesia. Dalam kasus Bulogate II misalnya,
unsur “permainan politik” sangat transparan dalam tarik ulur
pembentukan Panitia Khusus. Praktek lobbi-lobbi politik dalam
penegakan hukum, inkonsistensi dalam penegakan hukum (misalnya
tersangka yang kasusnya lebih ringan ditahan, yang sangat berat
tidak ditahan) hampir menjadi berita sehari-hari. Demikian pula ributribut
tentang KPP HAM Trisakti, akibat DPR terlanjur (atau
kebablasan) menetapkan tidak adanya pelangaran HAM berat,
padahal substansinya menyangkut wewenang penyidik. Selama Polri
sebagai penegak hukum, dan Jaksa Agung masih menjadi bagian
eksekutif di bawah Presiden maka kemungkinan timbulnya kesan
intervensi eksekutif terhadap administrasi peradilan tetap akan
terjadi. Contohnya adalah bantuan beberapa mobil dari suami Presiden
240
kepada Polri melalui Presiden telah dikhawatirkan akan
mempengaruhi independensi Polri terhadap eksekutif dan keluarga
Presiden. Pengaruh politik saat ini sangat kuat dengan semakin
kuatnya Badan Legislatif (DPR) sebagai representasi partai-partai
yang mempunyai fungsi-fungsi pengawasan, budget dan legislasi.
Seperti diuraikan di atas, fungsi legislasi merupakan salah satu
kendaraan yang kuat untuk melakukan politisasi hukum.
Di bidang sosial budaya muncul rupa-rupa gejala yang terasa
mencemaskan, seperti menguatnya ikatan primordial yang diwarnai
oleh kerusuhan-kerusuhan etnis, antar pemeluk agama, separatisme,
penafsiran otonomi yang sempit, kecemburuan sosial karena
kesenjangan ekonomi, yang seluruhnya sering memunculkan sikapsikap
anomis. Penegakan hukum sering kelihatan ragu-ragu, dan
dalam banyak kasus — karena dipandang membawa dampak politik
— cenderung diselesaikan di luar pengadilan. Belum lagi masalah
pornografi dan narkoba yang merajalela di lingkungn pergaulan anak
muda, yang penegakan hukumnya terasa kurang disemangati
kerjasama yang baik. Usul untuk membentuk semacam Drug
Enforcement Administration (DEA) dengan kewenangan yang luas
seperti di USA mungkin dapat dipertimbangkan. Sikap feodalistik
dan paternalistik di lingkungan birokrasi juga masih sangat
berpengaruh. Contohnya ada Rektor sebuah PTN yang enggan atau
malu untuk melaksanakan keputusan PTUN yang memenangkan
mahasiswanya. Dia tidak sadar bahwa “penyepelean” keputusan
pengadilan sebenarnya merupakan contempt of court juga.
Di bidang ekonomi kondisinya jauh lebih gawat lagi, bahkan
dapat dikatakan bahwa krisis multidimensional sebenarnya pertama
kali justru dipicu oleh krisis ekonomi yang berkelanjutan.
Pengangguran yang mencapai 40 juta orang jelas sangat eksplosif dan
dapat mendorong kenekatan yang membabi buta untuk melakukan
tindak pidana. Selanjutnya krisis BLBI dengan perlakuan yang sangat
lunak (perpanjangan PKPS) jelas akan menimbulkan reaksi sosial
terhadap lemahnya penegakan hukum, sebab para ahli hukum
beranggapan bahwa secara selektif kasus tersebut dapat dikaitkan
dengan tindak pidana korupsi dan pelanggaran BMPK.
Soal keamanan tidak kalah seriusnya. Saat ini aparat keamanan
dalam banyak hal terlihat menjadi semakin “bingung” dan “gamang”.
Penjelasan apa yang bisa diberikan jika tewasnya seorang panglima
241
gerakan separatis bersenjata dalam kontak senjata justru menimbulkan
simpati dan menyalahkan aparat keamanan?
Sistem pendidikan hukum dan pelatihan hukum dituduh turut
andil dalam kekacauan penegakan hukum saat ini. Persoalan
standardisasi dan disparitas kualitas masih menonjol antara PTN dan
PTS, antara PT di Jawa dan luar Jawa. Sulitnya mencari dana
penataran nasional, tidak berkembangnya asosiasi-asosiasi profesi
dosen, terbatasnya dana beasiswa untuk pendidikan lanjut sangat
dirasakan. Belum lagi kelangkaan dana riset, sudah menjadi cerita
lama yang terus berulang.
Tuntutan adanya one roof training bagi penegak hukum termasuk
pengacara agaknya perlu mulai dipikirkan secara lebih serius. Dengan
demikian mereka mempunyai visi, misi dan persepsi yang sama
tentang sistem hukum di Indonesia, sedangkan di pengadilan hanya
terjadi kompetisi pembuktian untuk mencapai kebenaran materiil.
Untuk menutup bagian akhir tulisan ini, penulis merasa perlu
mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut:
(1)Pendapat tentang perlunya diadakan Indonesian Law Summit harus
ditanggapi secara positif, sekalipun hal tersebut bukan merupakan
ide yang baru. Seminar Hukum Nasional yang sudah
diselenggarakan beberapa kali juga dicatat telah menghasilkan
pemikiran-pemikiran yang strategis. Apapun namanya pertemuan
tersebut, harus dapat menghasilkan Rencana Aksi Nasional di
bidang hukum yang operatif dalam suasana reformasi hukum.
(2)Pemberantasan KKN yang efektif hanya dapat terjadi bilamana
(a) adanya kemauan politik yang kuat; (b) adanya perencanaan
strategis yang baik dan komprehensif; (c) adanya kepemimpinan
yang profesional dan bermoral di semua lini; dan (d) adanya
tekanan sosial yang terus menerus. Salah satu langkah strategis
yang dapat diterapkan adalah ditanamkannya agen-agen anti
korupsi secara rahasia di instansi-instansi dan lembaga-lembaga
yang rawan korupsi. Di samping itu keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi, semoga saja dapat membawa harapan
baru. n
242
Pendahuluan
Semangat untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) merupakan bagian tak terpisahkan dari tuntutan reformasi
yang harus dilakukan secara menyeluruh pasca runtuhnya sistem
kekuasaan otoriter Orde Baru. Setiap orang tentu memiliki tafsir dan
pengertiannya sendiri tentang reformasi, termasuk makna praksisnya
dalam konteks Indonesia saat ini. Tetapi penulis sendiri cenderung
lebih memahaminya sebagai tekad yang dibarengi dengan segenap
usaha sistematis dan mendasar dari bangsa Indonesia untuk
mengaktualisasikan secara simultan nilai-nilai dasar demokrasi, yang
pada ujungnya bermuara pada empat nilai dasar yaitu; (a) asas-asas
umum masyarakat demokratis; (b) pemilihan umum yang jujur dan
adil; (c) pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan otonom; dan (d)
promosi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dalam
butir ketiga, terkait semangat untuk menciptakan ‘good governance’,
yang antara lain berupa gerakan untuk pemberantasan KKN.
Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru, segenap upaya untuk
menekan bentuk-bentuk penyimpangan kekuasaan yang di era Orde
Baru lazim dilakukan, telah diupayakan dan diharapkan sedapat
mungkin memberikan kerangka bagi tindakan-tindakan pencegahan
baik secara substantif, struktural, maupun kultural. Secara substantif
perubahan dimulai dengan terbitnya TAP MPR RI No. XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan Bebas KKN yang
ditindaklanjuti dengan UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Selanjutnya diundangkan UU
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kontroversi
Seputar Sistem Pembuktian Terbalik
243
Sebagai pelengkap diterbitkan PP No.65 Tahun 1999 dan PP No.66
Tahun 1999 yang keduanya mengatur tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kekayaan Penyelenggara Negara dan Persyaratan dan Tata Cara
Pengangkatan Serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa dan
Keppres tentang Pengangkatan Anggota Komisi tersebut.
Secara substantif, saat ini juga sedang disiapkan RUU tentang
Money Laundering dan RUU tentang perlindungan saksi, semacam
‘Whistleblower Act’ atau ‘Protection of Informers di beberapa negara.
Dalam hal ini usaha-usaha untuk mengadakan perjanjian ekstradisi
dan mutual legal assistance dengan negara-negara lain harus terus
diusahakan, mengingat korupsi dapat pula bersifat transnasional,
sebagaimana nampak dari rekomendasi yang dikemukakan oleh
pelbagai pertemuan internasional (Anti-Corruption Summit Conference)
termasuk apa yang telah dirumuskan oleh OECD (Organization of
Economic Cooperation and Development) berupa OECD Anti Corruption
Convention, 1999.
Secara struktural, di samping dibentuk Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara yang saat ini sudah mulai
melaksanakan tugasnya, dibentuk pula Komisi Ombudsman Nasional
dengan Keppres No.44 Tahun 2000, yang melalui peran serta
masyarakat akan membantu menciptakan dan atau mengembangkan
kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan KKN dan
meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh
pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik. Pada
dasarnya lembaga ini berusaha untuk mempromosikan ‘administrative
fairness’ dalam rangka mencapai birokrasi yang bersih dan transparan.
Dalam kaitannya dengan aspek struktural — atas dasar Pasal 43
ayat (4) UU No.31 Tahun 1999 – sudah semestinya harus segera
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat
independen, yang pada hakekatnya merupakan koordinator seluruh
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
dalam batas-batas wewenang yang ditentukan dalam UU (RUU
tentang Pembentukan Komisi ini sedang disiapkan oleh suatu tim
yang dikoordinasikan oleh Departemen Kehakiman dan HAM).
Komisi semacam ini sudah dikenal di beberapa negara seperti
Hongkong (Independence Commission Against Corruption), Malaysia
(Anti Corruption Agency), Singapura (Singapore’s Corruption Prevention
and Investigation Bureau), Thailand (Thailand’s National Counter
244
Corruption Commission) dan sebagainya. Fungsi lembaga-lembaga ini
tidak terbatas pada fungsi investigasi dan penuntutan tetapi juga
mencakup fungsi-fungsi seperti pendidikan dan peningkatan
kesadaran, fungsi preventif, dan fungsi legislatif.
Secara kultural, kampanye anti korupsi terus dilakukan dan secara
sistematis lembaga-lembaga pengawas seperti BPK (Badan Pengawas
Keuangan) dan sejenisnya, juga lembaga-lembaga penegak hukum
lainnya, terus melakukan langkah-langkah preventif, represif dan
kuratif untuk memberantas KKN. Apabila pengertian korupsi secara
komprehensif telah diatur dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka perbuatan kolusi dan
nepotisme telah dikriminalisasikan melalui UU No.28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN.
Prospek Pengaturan Pembuktian Terbalik
Masalah “pembuktian terbalik” atau “pembalikan beban
pembuktian” (omkerinl van bewijalast) — suatu ide yang sebenarnya
bukan sama sekali baru — dapat dinilai sebagai kemauan politik
sehubungan dengan pernyataan Presiden RI pada saat menyampaikan
pidato pengantar dalam rangka menjawab Memorandum I DPR
beberapa waktu yang lalu, yang disusul dengan perintah kepada
Menteri Kehakiman dan HAM untuk menyiapkan rancangan
perundang-undangannya.
Dalam hal ini ada pilihan yang mengandung konsekuensi; apakah
akan diatur dengan PERPU atau dalam bentuk Undang-undang.
Pengaturan dengan PERPU mengandung resiko, karena atas dasar
TAP MPR No. III/MPR/2000 kedudukan PERPU secara hirarkis
berada di bawah Undang-undang (Pasal 2). Pengaturan pembuktian
terbalik PERPU dengan sendirinya secara vertikal akan bertentangan
baik dengan KUHAP yang membebankan pembuktian kepada jaksa
penuntut umum, maupun dengan UU No.31 Tahun 1999 yang
menganut sistem pembuktian terbalik terbatas, dalam arti terdakwa
dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia
tidak terbukti melakukan korupsi, sebab jaksa penuntut umum masih
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya (Penjelasan
Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999).
Di samping itu, penggunaan PERPU memerlukan alasan berupa
245
“hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang sekaligus bersifat
debatable — dan karenanya dapat diduga kalangan DPR akan
memperdebatkannya. Mengingat kedudukan PERPU di bawah
Undang-undang, maka Mahkamah Agung tentu dapat mengujinya
secara materiil.
Tetapi, bagaimanapun juga masalah “pembuktian terbalik”
merupakan sesuatu yang bersifat urgen. Karena itu sebaiknya
pengaturannya memang melalui undang-undang yang dipersiapkan
secara matang (misalnya melalui draft akademis) sehingga tidak
terkesan serampangan atau biasa disebut “panic regulation” , yang
ciri-cirinya berupa tidak sistemik, adhoc, jangkauannya pendek,
bersifat semata-mata retributif, dan rawan terhadap pelanggaran asas
hukum dan HAM. Pengaturan tentang pembuktian terbalik cenderung
untuk diatur sebagai bagian integral dari amandemen terhadap UU
No.31 tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”,
yang antara lain juga menambahkan pasal tentang “Ketentuan
Peralihan” yang belum diatur oleh Undang-undang tersebut.
Terlepas dari debat mengenai bentuk perundang-undangannya,
yang harus dihargai adalah filosofi di belakang ide tersebut
mengandung semangat untuk memberantas KKN. Dalam konteks
ini penting untuk dikemukakan bahwa berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Transparancy International dan PBRC (Political and
Economic Risk Consultancy) yang berkedudukan di Hongkong,
Indonesia selalu menempati ranking yang memprihatinkan karena
masuk dalam ketegori sebagai negara rawan korupsi. Lepas dari
kelemahan-kelemahan metodologis – karena itu sempat menimbulkan
keberatan sejumlah pihak – dari penelitian itu, kita harus mengakui
fakta-fakta yang menyakitkan ini bahwa korupsi di Indonesia memang
sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga memerlukan
instrumen-instrumen hukum luar biasa untuk menanganinya, tentu
sepanjang tidak menyimpang dari pelbagai standar yang berlaku
secara universal.
Hakekat Pembuktian Terbalik
Dalam sistem peradilan pidana sering dikatakan bahwa sistem
pembuktian merupakan titik paling strategis, sebab ia sangat rawan
terhadap segala bentuk pelanggaran HAM. Kalau hukum acara pidana
secara keseluruhan disebut sebagai “filter” yang menjaga
246
keseimbangan antara kekuasaan negara dengan perlindungan
terhadap hak-hak individu, maka sistem pembuktian merupakan “inti
filter” itu sendiri, sebab melalui proses pembuktian akan ditentukan
apakah kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti (tersebut dalam
Pasal 184 KUHAP) akan menjadikan seorang terdakwa dibebaskan,
dilepaskan dari segala tuntutan, ataukah dipidana.
Secara universal atas dasar asas praduga tidak bersalah, beban
pembuktian dalam kasus kriminal terletak di tangan jaksa penuntut
umum sebagai aparat yang berwenang mewakili pemerintah
(kekuasaan publik) untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana
yang didakwakan. Setiap unsur tindak pidana harus dibuktikan secara
sah dan meyakinkan. Dalam hal ini keterangan terdakwa yang
dikemukakan di sidang pengadilan merupakan salah satu alat bukti
yang sah. Keterangan tersebut bisa atas inisiatif sendiri atau
merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, penuntut umum atau
penasehat hukum. Isi keterangan bisa berupa pengakuan bisa pula
berupa pengingkaran.
Sesuai dengan Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan terdakwa
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, karena itu harus disertai
dengan alat bukti yang lain. Hal ini sesuai dengan asas minimum
pembuktian bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa,
sekurang-kurangnya dibutuhkan dua alat bukti yang sah. (Pasal 183
KUHAP).
Persoalan muncul sehubungan dengan tuntutan untuk
menerapkan asas pembuktian terbalik yang harus dilakukan oleh
seorang terdakwa, yang juga diterapkan di beberapa negara sebagai
lex apecialis, mengingat sifat beratnya kejahatan-kejahatan tertentu
(seperti korupsi, perpajakan, narkotika, perlindungan konsumen dan
sebagainya) yang dianggap sebagai extraordinary crimes sehingga
penanganannyapun membutuhkan extraordinary instruments. Dikatakan
terdakwa, sebab secara universal tidak dikenal pembuktian terbalik
yang bersifat umum, sebab hal ini sangat rawan terhadap pelanggaran
HAM. Seseorang tidak dapat dituduh melakukan korupsi di luar
proceeding (dalam kedudukan sebagai terdakwa) hanya karena yang
bersangkutan tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya.
Dengan demikian sekalipun dalam hal ini berlaku asas praduga
bersalah; dalam arti diduga melakukan korupsi tetapi beban
247
pembuktian terbalik tersebut harus dalam kerangka proceeding kasus
atau tindak pidana tertentu yang sedang diadili berdasarkan Undangundang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku. Tanpa
adanya pembatasan semacam ini maka sistem pembuktian terbalik
pasti akan menimbulkan miscarriage of justice yang bersifat kriminogin.
Hal ini penting untuk diperhatikan, sebab fungsi kekuasaan atau
penegakan hukum disamping harus mengendalikan kejahatan juga
tetap harus melindungi hak-hak individu. Dalam hal ini terkait
dengan penyimpangan terhadap asas praduga tidak bersalah dan
asas non self incrimination.
Pengaturan hukum pidana tidak boleh mengesankan adanya
kepanikan yang menyimpang dari asas-asas hukum tanpa dasar dan
tanpa restriksi serta limitasi. Sikap berlebihan justru akan
menimbulkan ketidakadilan karena mengesankan terjadinya
overkriminalisasi dan pengaturan yang tidak proporsional serta
membuka peluang untuk terjadinya ekses, seperti pemerasan
(extortion) dan rasa was-was di masyarakat yang cenderung
menyimpang dari tujuan hukum, yakni rasa kepastian, keadilan, dan
sebagainya.
Sebagai pembanding di bawah ini akan digambarkan sistem
pembuktian terbalik yang berlaku di Britania Raya, Republik
Singapura, dan Malaysia. Di Britania Raya, atas dasar Prevention of
Corruption Act 1916 terdapat pengaturan apa yang dinamakan praduga
korupsi untuk kasus-kasus tertentu yang bunyinya adalah sebagai
berikut:
“Jika dalam kasus dakwaan terhadap seseorang karena kejahatan di
bawah Undang-undang 1906 tentang Pencegahan Korupsi, atau UU
1889 tentang Pelbagai Praktek Korupsi Badan-badan Publik, terbukti
bahwa uang, hadiah, atau upah lain dibayar atau diberikan kepada
atau diterima oleh seseorang yang memiliki jabatan di lingkungan
Kerajaan atau Departemen Pemerintahan atau Badan Publik dari
seseorang, atau suatu agen yang memiliki atau berusaha mendapatkan
kontrak dari Raja atau Departemen Pemerintahan atau Badan Publik,
maka uang, hadiah atau upah tersebut dianggap sebagai pemberian
atau pembayaran dan penerimaan yang bersifat korupsi sebagaimana
disebutkan dalam undang-undang, kecuali terbukti sebaliknya”.
Di Singapura, atas dasar Prevention of Corruption Act (Chapter 241)
ditegaskan sebagai berikut:
248
“Jika dalam kasus dakwaan terhadap seseorang karena kejahatan di
bawah pasal 5 atau 6 terbukti bahwa iming-iming diberikan kepada
atau diterima oleh seseorang yang memiliki jabatan di lingkungan
pemerintah atau departemen tertentu atau badan publik atau suatu
agen yang berusaha untuk mendapatkan kontrak dari Pemerintah atau
Departemen Pemerintahan atau badan publik, maka iming-iming atau
pemberian tersebut dianggap sebagai pembayaran dan penerimaan
yang bersifat korupsi sebagai pelicin sebagaimana disebutkan
sebelumnya kecuali terbukti sebaliknya”.
Di Malaysia atas dasar The statutes of Prevention of Corruption
(1961) diatur pula apa yang dinamakan Presumption of corruption in
certain cases yang bunyinya sebagai berikut:
“Jika dalam kasus dakwaan terhadap seseorang karena kejahatan di
bawah pasal 3 atau 4 terbukti bahwa iming-iming atau sesuatu dibayar
atau diberikan kepada atau diterima oleh seseorang yang memiliki
jabatan di lingkungan badan publik, iming-iming atau pemberian
tersebut dianggap sebagai pemberian atau pembayaran yang bersifat
korupsi sebagai pelicin sebagaimana disebutkan sebelumnya, kecuali
terbukti sebaliknya”.
Selanjutnya atas dasar Undang-undang Akta Malaysia 575, Akta
Pencegahan Rasuah 1997 ada kewajiban bagi pegawai badan awam
untuk melaporkan transaksi penyogokan dengan ancaman pidana
berat bagi yang melakukannya (maksimum 100,000 ringgit atau
penjara maksimum atau kedua-duanya).
Di Singapura ada ketentuan apa yang dinamakan Non Acceptance
of Gifts yang dikeluarkan oleh suatu lembaga atau badan yang
memiliki tugas investigasi terhadap korupsi (Corrupt Practices
Investigation Bureau), sebagai berikut:
“Para pegawai publik tidak dibenarkan untuk menerima hadiah
apapun dalam bentuk uang maupun barang dari orang-orang yang
memiliki kontak resmi dengan mereka. Mereka juga tidak dibenarkan
untuk menerima perlakukan istimewa yang menempatkan mereka
berada di bawah kewajiban yang mengikat. Jika seseorang memberikan
hadiah kepada orang yang memiliki hubungan resmi dengannya, ia
harus menolaknya. Dalam kondisi yang tidak termasuk kategori ini,
pegawai tersebut dapat menerima hadiah dan menyerahkannya kepada
kepala departemennya. Tetapi pegawai tersebut dibenarkan memiliki
hadiah tersebut jika ia membayarnya dengan harga yang ditentukan
oleh akuntan publik”.
249
Sebagai catatan perlu dikemukan, yaitu apabila akan diatur sistem
pembuktian terbalik hendaknya tidak berlaku surut, sebab akan
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (1), di samping
bertentangan dengan instrumen-instrumen HAM internasional.
Model sebagaimana diterapkan dalam Peradilan ad hoc yang berlaku
surut hendaknya merupakan yang pertama dan terakhir mengingat
sifatnya sebagai bagian dari the international customary law.
Kesimpulan
1. Pengaturan sistem pembuktian terbalik dapat dilakukan, sebab
hal ini juga dikenal di beberapa negara, dan harus
dipertimbangkan sebagai lex specialis dengan menerapkan asas
praduga bersalah.
2. Pengaturan sistem pembuktian terbalik tidak dapat dilakukan
secara umum sebab rawan terhadap pelanggaran HAM, sehingga
diperlukan restriksi dan limitasi bahwa seseorang harus dalam
kedudukan terdakwa terlebih dahulu dalam kerangka proses
peradilan dalam kasus atau tindak pidana tertentu, sebagaimana
diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berlaku.
3. Di pelbagai negara ketentuan tentang asas pembuktian terbalik
berkaitan tindak pidana korupsi tertentu, khususnya tindak pidana
suap atau pemberian lainnya yang terkait dengan jabatan
dimilikinya untuk melakukan transaksi dengan si pemberi.
4. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik akan berkaitan
dengan sistem kewajiban melapor telah terjadinya suap atau
pemberian lainnya yang di pelbagai negara dilakukan kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
6. Dalam kaitannya dengan UU No.31 Tahun 1999, pembuktian
tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau
sumber penambahan kekayaannya, keterangan tersebut digunakan
untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa
telah melakukan tindak pidana korupsi (tindak pidana pokok)
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
250
UU No. 31 Tahun 1999. Dalam hal ini jaksa penuntut umum tetap
wajib membuktikan dakwaannya.
7. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik cenderung
diintegrasikan ke dalam undang-undang yang mengatur
perubahan atas UU No.31 Tahun 1999. Pengaturan melalui Perpu
hendaknya dihindarkan mengingat kedudukan Perpu berada di
bawah Undang- undang, di samping adanya persyaratan “hal
ihwal kegentingan yang memaksa” yang bersifat debatable.
8. Ketentuan tentang sistem pembuktian terbalik hendaknya tidak
berlaku surut, sebab akan bertentangan dengan UUD 1945 dan
Instrumen HAM nasional maupun internasional. n
251
Berbicara tentang politik hukum pidana (criminal law politics) pada
dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses menentukan
tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Dengan demikian
terkait di sini proses pengambilan keputusan atau pemilihan melalui
seleksi di antara pelbagai alternatif yang ada mengenai apa yang
menjadi tujuan dari sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka
pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusunlah pelbagai
kebijakan yang berorientasi pada pelbagai permasalahan pokok dalam
hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/
pertanggungjawaban pidana dan pelbagai alternatif sanksi baik yang
merupakan pidana maupun tindakan).
Dalam kerangka di atas, didengar pelbagai aspirasi yaitu dari
sisi suprastruktural, Infrastruktural, akademisi, dan kecenderungan
internasional yang sejauh mungkin selalu berorientasi pada tujuan
publik (public goals) dan menjauhi tujuan individual yang bersifat
subyektif (private goals).
Dalam merumuskan pembaharuan hukum pidana (criminal law
reform) yang bersifat sistemik, tidak bersifat ad hoc dan tambal sulam,
bukanlah pekerjaan yang ringan mengingat sifat multidimensi
masyarakat Indonesia, yang di satu pihak ingin terus memperhitungkan
aspek-aspek partikularistik yang melekat pada agama, etika, moral
bahkan kepercayaan pada kekuatan gaib yang bersifat pluralistik,
dan di lain pihak menginginkan keberadaan hukum pidana modern
yang memenuhi standar baku pergaulan antar bangsa dalam rangka
hubungan internasional dan proses globalisasi.
Pemilihan yang didasarkan atas pendapat konseptual keahlian
Politik Hukum Pidana,
Dasar Kriminalisasi dan De Kriminalisasi,
serta Beberapa Asas Dalam RUU KUHP
252
yang berlaku juga tidak mudah mengingat banyaknya aliran dalam
hukum pidana, asosiasi profesional hukum pidana yang berkembang,
dan perbedaan sistem hukum atau keluarga hukum yang ada. Dengan
demikian melalui metode perbandingan hukum dan sistem hukum
antar negara — yang juga pernah mengalami pembaharuan hukum
pidana — sejauh mungkin dapat digali common denominators dan
pelbagai kecenderungan jangka panjang yang dapat diadopsi setelah
melalui adaptasi yang akurat.
Sepanjang mengenai perbandingan hukum, pelbagai KUHP
negara-negara modern telah dikaji, baik yang masuk dalam kategori
keluarga hukum Eropa Continental, Negara-negara Anglo Saxon,
Sosialis, Timur Tengah dan Timur Jauh, kecenderungan Internasional
diamati melalui pelbagai konvensi internasional, model-law, resolusi
PBB, code of conduct, standard minimum rules, deklarasi, asas-asas, rules,
safeguards, basic principles, guidelines, model treaty, hasil pelbagai
kongres internasional, hasil seminar asosiasi hukum pidana,
kriminologi, viktimologi internasional, jurnal-jurnal ilmiah dan hasilhasil
riset dari lembaga-lembaga terkemuka.
Melakukan pembaharuan terhadap kodifikasi hukum pidana
yang telah berumur lebih dari 100 tahun bukanlah pekerjaan yang
gampang (Nederlandse Wetboek van Strafrecht lahir berdasarkan UU
tanggal 2 Maret 1881 Stb. 35 dan mulai berlaku tanggal 1 September
1886 atas dasar Undang-undang pengesahan (Invoeringswet) tanggal
15 April 1886 Stb. 64). KUHP Belanda ini mempengaruhi hukum pidana
Indonesia secara mendasar melalui tiga jalur yaitu; (a) melalui asas
konkordansi zaman Hindia Belanda; (b) melalui doktrin hukum yang
berkembang pada saat KUHP tersebut disusun (MvT); dan (c) melalui
text book hukum pidana yang ditulis oleh para sarjana hukum Belanda
serta melalui kajian yurisprudensi.
Di samping itu tak dapat dikesampingkan perkembangan dalam
suasana kemerdekaan pasca UU No.1 Tahun 1946 dan perkembangan
akibat harmonisasi dengan perkembangan internasional. (Di era
reformasi “criminal law reform” mendapat misi baru yaitu melakukan
demokratisasi hukum pidana seperti promosi dan perlindungan HAM
dan sebagainya).
Aliran Hukum
Untuk dapat memahami hukum pidana yang berlaku di suatu bangsa
253
(hukum positif) termasuk “ius constituendum” hukum pidana Indonesia
berupa RUU KUHP Indonesia, secara strategis perlu dipahami aliran
hukum pidana yang dianut dan tujuan pemidanaan yang diadopsi.
Aliran pertama yang tumbuh sebagai reaksi tersebut ancien regime
yang arbitrair pada abad ke 18 di Perancis adalah aliran klasik.
Karakteristik aliran ini adalah: (a) legal definition of crime; (b) let the
punishment fit the crime, (c) doctrine of free will; (d) death penalty for some
offense; (e) anecdotal method no empirical research; (f) definite sentence. Aliran
ini sangat mewarnai KUHP Belanda pada saat pembentukannya, sebagai
pengaruh KUHP Perancis, tentunya dengan beberapa modifikasi sebagai
akibat pengaruh Aliran Modern. Hukum pidana dalam kerangka Aliran
Klasik disebut “Daadstrafrecht” atau “Tatsstrafrecht” yakni hukum pidana
yang berorientasi pada perbuatan (offense-oriented).
Aliran yang kedua adalah “Aliran Modern” yang timbul pada
abad 19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat
(offender-oriented). Aliran ini sering juga disebut “aliran positif”, karena
dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan
bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat
secara positif sejauh masih dapat diperbaiki. Karakteristik “Aliran
Modern” adalah: (a) rejected legal definition of crime and substituted
natural crime; (b) let the punishment fit the criminal; (c) doctrine of
determinism; (d) abolition of the death penalty; (e) empirical research: use
of inductive method; (f) indeterminate sentence.
Sekalipun KUHP secara sistemik didominasi “Aliran Klasik”,
namun secara sporadis juga sudah dipengaruhi Aliran Modern,
seperti pengaturan tentang pidana bersyarat, masuknya sistem
tindakan, dan sebagainya. Aliran Modern disebut sebagai
“daderstrafrecht” atau “taterstrafrecht”.
Aliran yang ketiga adalah aliran “Neo Klasik”. Aliran ini
berkembang bersamaan dengan aliran modern dan berdasarkan juga
pada “Doctrine of Free Will” dengan modifikasi. Aliran ini berusaha
secara simultan untuk memperhatikan baik perbuatan maupun si pelaku
(offence-offender oriented). Karakteristiknya adalah: (a) modifikasi dari
“doctrine of free will” yang dapat dipengaruhi oleh patologi,
ketidakmampuan, penyakit jiwa, atau keadaan lain; (b) diterima
berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating
circumstances) baik fisikal, lingkungan maupun mental; (c) modifikasi
doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringanan
254
pidana dengan pertanggungjawaban sebagian di dalam hal-hal khusus
seperti gila, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat
mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada saat terjadinya
kejahatan; (d) diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert
testimony) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban. Aliran Neo
Klasik pada dasarnya merupakan gabungan unsur-unsur positif Aliran
Klasik dan Aliran Modern dan banyak dianut pelbagai negara di dunia.
Masih bisa dicatat di sini aliran-aliran lain seperti “Aliran
Perlindungan Masyarakat” (de leer van de Defense Sociale), “Aliran
Perlindungan Masyarakat Baru” dan “Mazhab Utrecht” yang
menganggap kejahatan sebagai suatu gejala manusiawi dan
pernyataan seluruh kepribadian pelaku. Sesudah diadili dan kemudian
dipidana atau diperbaiki, selanjutnya harus dipupuk dan
dikembangkan. Kepada para penjahat, Aliran Perlindungan
Masyarakat ingin memberikan kekuatan “mengekang diri sendiri”
dan memupuk perasaan tanggungjawab penjahat, sebagai
pertanggungjawaban sesama manusia terhadap penjahat (de
“verantwoordelijkheid van de medemens” tegenover de delinquent).
Dikaitkan dengan teori tujuan pemidanaan, maka pemahaman
akan aliran-aliran tersebut akan membawa pembuat kebijakan kepada
cakrawala hukum yang lebih luas sebelum mengambil putusan tentang
tujuan pemidanaan yang akan digariskan. Dari Pasal 50 RUU KUHP
nampak bahwa secara selektif para perancang ingin mengadopsi teori
gabungan dari “Teori Absolut” yang berorientasi pada pembalasan
dan “Teori Relatif” yang bernuansa kemanfaatan, dengan
menyertakan pula pengalaman “sistem pemasyarakatan” yang telah
diterapkan di Indonesia selama bertahun-tahun. Pandangan
penyelesaian konflik dalam kerangka ekuilibrium mendapatkan
pembenaran dari pandangan adat.
Teori Pembalasan tidak nampak secara eksplisit, sebab secara
implisit pembalasan dalam arti konstruktif dan positif (yang dibatasi
oleh kesalahan si pelaku dan tidak membabi buta) dianggap telah
tercakup dalam tujuan pemidanaan yang lain. Tujuan pemidanaan
yang pertama berupa mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat
merupakan refleksi dari teori “Prevensi General” (menegakkan
wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma).
Di sini sekaligus dimasukkan fungsi perlindungan (de beveiligende
255
werking). Sedangkan tujuan yang kedua berupa memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna, mencerminkan “Teori Prevensi Spesial”, yaitu
untuk mendidik dan memperbaiki.
Tujuan pemidanaan ketiga (menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat) disamping mendapatkan dukungan kultural
hukum adat berupa mengembalikan “evenwicht”, nampaknya secara
konseptual mengadopsi pandangan LHC Hulsam yang menyatakan
bahwa dua tujuan penting dari pidana adalah mempengaruhi tingkah
laku dan penyelesaian perselisihan (gedragbeinvloeding en conflictoplossing).
Hal ini mencakup memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh suatu
perbuatan, memperbaiki hubungan yang putus dan mengembalikan
kepercayaan terhadap sesama manusia.
Tujuan pidana yang keempat (membebaskan rasa bersalah pada
terpidana) mengandung makna destigmatisasi, di samping
mengadopsi pandangan mereka yang menganut “Teori Perlindungan
Masyarakat” di atas, yakni bagaimana memupuk perasaan
tanggungjawab penjahat sebagai pertanggungjawaban sesama
manusia. Salah satu tokohnya, Kempe, menyatakan: “jika pada si
penjahat timbul perasaan bersalah, sehingga dengan menyesal dapat
menerima bahwa ia merupakan pelaku perbuatan tersebut” (wanner
bij de dader schuldbewutszijn onstaat, zodat de dader zichzelf bereouwvol
kan aanvaarden als de dader van zijn daad).
Kriminalisasi
Makna asli dari kriminalisasi (criminalization) adalah proses untuk
menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana
menjadi tindak pidana. Dekriminalisasi adalah sebaliknya. Dalam
perkembangan selanjutnya kriminalisasi dapat diartikan pula sebagai
mengaktualisasikan peraturan hukum pidana agar lebih efektif.
Contohnya adalah kalau delik lingkungan pada masa lalu dianggap
sebagai “ultimatum remedium”, tetapi tuntutan internasional
menghendaki agar fungsi hukum pidana dalam kejahatan lingkungan
menjadi “primum remedium”. Kriminalisasi dapat pula diartikan
sebagai usaha untuk memperluas berlakunya hukum pidana. Sebagai
contoh diaturnya “corporate criminal liability” yang bersifat umum
dalam RUU KUHP seperti Pasal 51 KUHP Belanda saat ini.
256
Konsep “tindak pidana” yang dianut tetap mempertahankan asas
legalitas, dengan perkecualian diakuinya secara positif hukum yang
hidup atau hukum adat, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1 RUU, dan selanjutnya
dalam Pasal 15 RUU, sejauh menyangkut unsur sifat melawan hukum
maka dimasukan unsur materiil berupa “bertentangan dengan
kesadaran hukum masyarakat”. Dan apabila terjadi benturan antara
keadilan dan kepastian hukum, hakim sejauh mungkin harus
mengutamakan rasa keadilan di atas kepastian hukum, seperti
dilukiskan dalam sebuah adagium: “Penegakan hukum tanpa moral
merupakan kezaliman, sebaliknya penegakan moral tanpa hukum
merupakan anarki”.
Mengenai ukuran kriminalisasi dan deskriminalisasi secara
doktrinal harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:
a) kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan
“overkriminalisasi” yang masuk kategori “the misuse of criminal
sanction”;
b) kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;
c) kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing) baik
aktual maupun potensial;
d) kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan
prinsip ultimum remedium;
e) kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable”;
f) kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik;
g) kriminalisasi harus mengandung unsur “subsosialiteit”
(mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali);
h) kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap
peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan
kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang
kebebasan itu.
Sepanjang menyangkut dekriminalisasi, di samping pedoman
kriminalisasi tersebut yang secara terbalik bisa dimanfaatkan, kiranya
perlu diingat bahwa Pasal V UU No. 1 Tahun 1946 yang
memberlakukan WvS ke seluruh wilayah Indonesia juga memberikan
ukuran sebagai berikut: “Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya
atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan
dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai
257
arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak
berlaku”.
Hal-hal lain yang dapat ditonjolkan antara lain adalah:
1. Pengakuan hukum adat;
2. Penonjolan keadilan diatas kepastian hukum;
3. Denda dengan sistem kategoris;
4. Diaturnya vicarious liability dan strict liability dalam hal tertentu;
5. Diaturnya corporate criminal liability secara umum;
6. Dirumuskannya tujuan pemidanaan secara jelas;
7. Dirumuskannya pedoman pemberian pidana (standar guidelines
of sentencing);
8. Pengaturan sistem tindakan secara tegas;
9. Diaturnya sanksi alternatif berupa pidana kerja sosial dan pidana
pengawasan serta pidana tutupan (custodia honesta);
10. Pidana tambahan berupa ganti kerugian dan pemenuhan
kewajiban adat;
11. Pidana minimum khusus untuk tindak pidana tertentu;
12. Pidana mati sebagai pidana perkecualian dan diatur pula pidana
mati bersyarat (conditional capital punishment);
13. Ada pengaturan khusus tentang pidana dan tindakan bagi anak;
ditentukan pula batas usia bagi tanggungjawab pidana: 12 tahun;
sanksi alternatif sangat dikembangkan bagi anak antara 12-18
tahun;
14. Pengertian “barang” meliputi benda berwujud termasuk air dan
uang giral, dan benda tidak berwujud termasuk aliran listrik,
gas, data dan program komputer, jasa, jasa telepon, jasa
telekomunikasi atau jasa komputer;
15. Surat selain yang tertulis di atas kertas, juga surat atau data
yang tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik atau
media penyimpan komputer atau media penyimpan data
elektronik lain. n
258
“Bad laws are the worst sort of tyranny”
(Edmund Burke)
Hubungan antara tiga variabel di atas (politik, hukum, dan politik
hukum), penting untuk diletakkan dalam konteks diskursus proses
demokratisasi dan reformasi di Indonesia, karena reformasi sendiri
pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa
Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar (core
values) atau indeks demokrasi. Nilai-nilai dasar demokrasi tersebut
bertumpu pada lima indeks utama yaitu: sistem pemilihan yang jujur
dan adil untuk jabatan-jabatan publik; keberadaan pemerintah yang
terbuka, akuntabel dan responsif; promosi dan perlindungan hak asasi
manusia (khususnya hak sipil dan politik); keberadaan masyarakat
yang penuh percaya diri (civil society); dan eksistensi kepemimpinan
yang “committed” pada nilai-nilai dasar demokrasi.
Tanpa adanya komitmen terhadap nilai-nilai universal mudah
terjadi “political malpractice” yang bersifat subyektif, sub-standard, yang
semua itu hanya akan merugikan kehidupan bangsa dan negara.
Dalam praktek, tanpa adanya standar yang baku dan diakui secara
universal, negara yang paling otoriter sekalipun akan menyatakan
dirinya sebagai negara demokratis.
Secara ideal demokrasi menunjuk lebih dari sekedar mesin
politik, tetapi juga mengandung pandangan hidup suatu masyarakat.
Tinggi rendahnya standar demokrasi tergantung dari pelbagai faktor
pendukung, seperti tingkat kemajuan sosial-ekonomi, kualitas
golongan menengah, kualitas kepemimpinan, dan yang penting juga
Politik, Hukum, dan
Politik Hukum (I)
259
disebut adalah penafsiran tentang makna relativisme kultural. Seperti
kata sebuah ungkapan: “there is probably no single word which has been
more meanings than democracy” (Cord. dkk, 1999).
Pemahaman tentang demokrasi ini akan membawa kita pada
diskursus tentang tiga variabel judul di atas. Istilah “politik” dapat
diartikan sebagai “the human interactions involved in the authoritative
allocations of values for society. It involves people deciding, or having decided
for them, how to distribute material goods and services, or even symbolic
values, and it includes the procedures and power plays involved in reaching,
those decisions”. (Medelros, 1991).
Politik dan kekuasaan tak dapat dipisahkan, sebab politik akan
selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan pelbagai konflik
kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan. Dalam
kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa yang membedakan
“politik negara” (politics of the state) dan “politik organisasi” lain dalam
masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan
pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya dengan
menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi dan kekuatan yang
sah berdasarkan hukum.
Dalam sistem politik para pengambil keputusan selalu
mempertimbangkan masukan berupa tuntutan dari kelompokkelompok
kepentingan dan dukungan masyarakat yang percaya pada
ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi, mereka merumuskan
keluaran berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan, antara
lain dalam bentuknya yang utama yaitu berupa pelbagai produk
hukum dan kebijakan umum. Apabila ingin berkembang maka sebuah
sistem politik harus memiliki mekanisme untuk menyerap umpan
balik. Kesimpulannya, ingin ditegaskan bahwa “hukum” dan “politik
hukum” (legal policy) pada dasarnya merupakan produk dari sistem
politik. Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum
yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan
kualitas sistem politik yang berlaku. Sebagai contoh: “haatzaai artikelen”
warisan kolonial; UU No. 19 tahun 1964 yang memungkinkan Presiden
demi kepentingan revolusi mencampuri pengadilan, UU No. 11 PNPS
1963 pada zaman Orde Lama dan diteruskan zaman Orde Baru,
digunakan untuk kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan
yudikatif atas dasar Pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 dan lainlain.
Ingat pula pengaruh hukum Belanda yang secara sistematis
260
dilakukan melalui asas konkordansi, yurisprudensi, dan doktrin
hukum.
Politisasi hukum terjadi di semua lini aktivitas hukum, baik proses
pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law
enforcement process) dan proses penciptaan kesadaran hukum (law
awareness process).
Di atas disebutkan bahwa keluaran tidak hanya berupa keputusan
hukum, tetapi juga tindakan. Dalam sistem politik atau suatu rezim
yang berlaku, maka aparatur pendukung biasanya sudah dibentuk
untuk secara konsisten mempertahankan jiwa dan semangat sistem
politik tersebut, termasuk para hakim yang mestinya merupakan deputy
legislators ikut serta dalam semangat mesin politik. Karena itu tidak
heran apabila dalam sistem politik yang buruk muncul malpractice of
law atau miscarriage of justice berupa pelanggaran hukum dan HAM,
yang dalam istilah politik biasa disebut crimes by government atau political
crimes yang bersifat ekstra yudisial. Praktek penyimpangan itu biasanya
baru terungkap setelah terjadi pergantian rezim. Yang menarik adalah
para penentang rezim otoriter yang sedang berkuasa dinyatakan telah
melakukan crimes against government.
Uraian di atas menempatkan hukum sebagai dependent variable
dan politik sebagai independent variable. Dalam masa transisi dari suatu
rezim otoriter menuju rezim demokratis terjadi pergeseran nilai yang
mengakibatkan hukum mempunyai “fungsi ganda” (dual function).
Artinya proses politisasi hukum tetap terjadi oleh rezim baru yang
reformis dan demokratis, di mana hukum digunakan untuk
membongkar dan mempengaruhi agar tatanan sosial menjadi aspiratif
dan demokratis. Yang terakhir ini sekaligus memfungsikan hukum
sebagai independent variable terhadap kehidupan sosial politik. Dalam
hal ini bisa dilihat pelbagai produk perundang-undangan yang muncul
setelah TAP MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang “Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan
Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara”. TAP MPR
tersebut antara lain memuat politik dan strategi reformasi sistem
hukum, baik yang bersifat struktural, substantif, maupun kultural.
Nonet (1988) dan McLean (1999) mengidentifikasikan bahwa baik
menempatkan hukum sebagai independent variable maupun sebagai
dependent variable sama-sama mengundang bahaya dengan konotasi yang
berbeda-beda. Dalam rezim yang otoriter yang mempraktekkan model
261
hukum yang represif nampak beberapa karakteristik sebagai berikut:
hukum berburu ketertiban dan mengesampingkan keadilan; hukum
diciptakan dan digunakan secara ad hoc dengan pendekatan yuridis
dogmatis; pengaturan tersubordinasikan pada kekuasaan politik; diskresi
bersifat oportunistik; moralitas komunal/institusional lebih ditonjolkan
dengan mengorbankan moralitas sipil. Di sini terjadi suatu kondisi yang
disebut “tirani hukum”, how the law is taking away our liberties.
Di dalam masyarakat demokratis yang mendayagunakan hukum
yang responsif dan otonom, karakteristik hubungan hukum dan
kehidupan sosial berusaha digeser, legitimasi dan kompetensi menjadi
menonjol; kejujuran prosedural dan keadilan substantif mulai
dibicarakan; pendekatan hukum bersifat sistemik, mengacu pada asas
dan kebijakan yang terpadu; pendekatan sosial dalam hukum (yuridis
sosiologis) dilakukan; diskresi berorientasi pada tujuan; moralitas sipil
membatasi kekuasaan negara; dan terjadi integrasi antara aspirasi
hukum dan politik. Namun demikian, harus tetap diingat bahwa
tindakan yang terlalu bersemangat dalam hal ini juga dapat
menimbulkan ekses berupa kondisi overregulasi, dan dalam hukum
pidana lebih khusus disebut “overcriminalization” yakni berupa salah
penggunaan sanksi pidana. Hal ini pada dasarnya juga merupakan sisi
lain dari “tirani hukum”, yang karakteristiknya adalah sebagai berikut:
• hukum dirasakan terlalu membatasi kebebasan manusia;
• semboyan yang berkembang adalah “there is no problem on earth
that ca not be solved by legislation”;
• orang menjadi tidak bahagia karena hukum mencampuri aspekaspek
yang kecil dan sangat pribadi dalam kehidupan manusia
(ingat istilah “victimless crimes”);
• hukum positif menjadi semakin banyak dan ada kecenderungan
untuk menggunakan hukum pidana sebagai “penekan”;
• alasan reformasi dan supremasi hukum sering digunakan sebagai
pembenaran;
• setiap pejabat baru menjadikan produk pengaturan sebagai
indikator kinerja;
• terjadi suasana: banyak sekali hukum tapi sedikit sekali keadilan
(more laws but less justice);
• timbul sikap negatif dan nonkoperatif masyarakat dalam
penegakan hukum bahkan menjurus kurang menghargai hukum
(wibawa hukum merosot);
262
• pelanggaran hukum dan pemidanaan (misalnya dalam tindak
pidana ekonomi) sering dihayati sebagai kesialan (unlucky) bahkan
si pelaku sering menyebut dirinya sebagai “korban dari sebuah
sistem hukum yang tidak adil”;
• hukum kehilangan kredibilitasnya; apa yang dikatakan sebagai
“widespread distrust of the law” menggejala;
• alasan kepentingan umum yang lebih luas dijadikan alasan
pengaturan yang merugikan hak-hak individual; (misalnya distorsi
terhadap prinsip hak milik mempunyai fungsi sosial);
• hukum kehilangan moral and social framework, toleransi dan akal
manusia dikalahkan oleh the single-minded social engineering instincts;
Mana yang “legal”, mana yang “moral” menjadi tidak jelas. (dikatakan
Austin, bahwa “the only behind the law is physical force, not moral and
ethical”. Selanjutnya Lord Devlin dalam hal ini mengatakan “there is
no longer a moral obligation to obey the law in all circumstances. ”; Ingat
dalam hal ini perkembangan konsep “strict liability = liability without
mens rea” dalam “administrative criminal law”;
• tujuan hukum menyimpang dari penciptaan kedamaian (keeping
the peace), bahkan menuju ke negara polisi; ( McLean:”Western
countries are sleepwalking to a police state”).
Sebagai catatan penting dikemukakan bahwa dalam hukum
pidana berkembang konsep yang memberikan pedoman tentang
“syarat kriminalisasi”, seperti perbuatan harus victimizing baik aktual
maupun potensial, tidak boleh bersifat ad hoc, penerapan prinsip cost
and benefit analysis; “ultima ratio principle”; dukungan masyarakat, tidak
semata-mata bersifat retributif, dan memadukan pandangan
pragmatis dan akademis serta aspirasi internasional.
Politisasi hukum oleh kekuasaan juga terjadi di dunia internasional.
Dewan Keamanan PBB melalui instrumen hukum internasional (misalnya
resolusi) bisa menekan negara-negara tertentu untuk kepentingan politik
negara-negara adi kuasa yang sering tidak konsisten. Contohnya pelbagai
pengadilan HAM yang digelar secara selektif. Pengalaman kita di era
reformasi, cukup banyak dalam membuat pelbagai perundangundangan,
baik di bidang sosial politik, HAM, KKN, ekonomi di bawah
“tekanan halus” IMF melalui “Letter of Intent” (LOI). Belum lagi tuntutan
untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi hukum antar bangsa
dalam rangka kerjasama internasional di era globalisasi. n
263
Politik dan politisasi tidak harus berkonotasi negatif. Politik harus
juga dilihat sebagai the process of government, dan politisasi harus
dipandang sebagai the giving of a political character to something. Teori
politik bahkan penuh dan sarat dengan studi tentang falsafah
kenegaraan dan pemerintahan serta pemikiran-pemikiran yang
terkait. Istilah “politik” sering berkaitan dengan pemerintahan dengan
lembaga-lembaganya.
Di bidang hukum, apapun kedudukan variabel politik, apakah
sebagai dependent atau independent variable pada akhirnya sebagai
keluaran (output). Hukum sebagai kebijakan merupakan pilihan dari
sekian alternatif yang mungkin terjadi, setelah melalui proses
interaksi dalam sistem perjuangan politik. Langkah-langkah untuk
menghasilkan kebijakan merupakan perjuangan politik yang berat,
sebab seperti pernah dibahas politics is the struggle over the allocation of
values in society. Terkandung di sini unsur lobbi, tekanan, ancaman,
tawar-menawar dan kompromi. Peranan komunitas hukum adalah
menjaga agar pelbagai proses tersebut tidak keluar dari prinsip
hukum. Sebagai contoh adalah debat tentang berlakunya secara
retroaktif UU Pengadilan HAM ad hoc dalam pelanggaran HAM berat
di masa lalu. Seleksi melalui DPR atas dasar political wisdom merupakan
jalan tengah. (ada yang mengkritisi sebagai impunity by parliament).
Di tingkat internasional pemberlakuan secara retroaktif hukum
pidana dalam Tribunal Ad Hoc (Nurmberg, Tokyo, Former Yugoslavia,
Rwanda dll) didasarkan atas international customary law dan the
principles of justice).
Berbicara tentang politik selalu menarik, sebab aspek politik tidak
Politik, Hukum, dan
Politik Hukum (II)
264
hanya berupa pengambilan keputusan, tetapi juga talk, expression, picture,
and image (drama and entertainment). Dan yang lebih menarik lagi adalah
pemanfaatan komunikasi massa, baik media cetak, media penyiaran
maupun media telekomunikasi/internet untuk kepentingan politik.
Dalam hal ini fungsi media massa dalam politik merupakan studi
tersendiri yang pada dasarnya mencakup fungsi-fungsi: pembuatan
berita, interpretasi, sosialisasi, persuasi, dan perancangan agenda.
Pendayagunaan media massa ini secara konseptual harus tetap
dilakukan setelah proses politik menghasilkan kebijakan dan tindakan
dalam rangka sosialisasi dan diseminasi. Di bidang hukum misalnya,
hal ini sangat penting untuk membentuk kesadaran hukum.
Betapa kuatnya aroma politik dalam kehidupan hukum terlihat
dalam proses pembuatan undang-undang dan pelembagaan sistem
checks and balances dalam pemerintahan yang demokratis serta praktek
penerapan kekuasaan birokrasi.
Di Indonesia proses pembuatan undang-undang menempuh proses
dan aktivitas yang kompleks mulai dari penyusunan rancangan
akademis yang penuh dengan nuansa academic reasoning seperti idealisme,
hasil riset normatif dan empiris; kajian kecenderungan internasional,
tanpa mengesampingkan aspirasi supra dan infrastruktural; kajian
prinsip-prinsip hukum juga sangat menonjol. (Catatan : Para sarjana
hukum saat ini dinilai dilanda legal principles crises). Proses ini akan
dilanjutkan dengan proses birokratik untuk menjaga sinkronisasi
vertikal dan horizontal perundang-undangan, serta konsistensi model
perundang-undangan, termasuk struktur dan terminologi.
Proses terakhir yang paling kompleks adalah proses sosial-politik
di parlemen. Paling kompleks, karena parlemen sebagai lembaga
politik sangat heterogen baik dari segi aspirasi politik (multi partai),
latar belakang sosial, aspirasi daerah, maupun disiplin ilmu. Hal ini
disertai keharusan untuk selalu melihat skala prioritas (program
legislasi) yang juga penuh dengan nuansa politis.
Pengalaman di negara demokrasi seperti di Amerika Serikat
menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks. Proses pengenalan
RUU (introduction of bill) di Congress (House of Representatives and Senate)
sampai dengan Rancangan menjadi UU (bill becomes law) melalui
persetujuan Presiden setelah dicapai kompromi baik di House maupun
di Senat, selalu melalui debat yang panjang dan melelahkan.
Sebagai gambaran, setiap tahun Kongres menerima kurang lebih
265
10.000 RUU dan yang menjadi undang-undang kurang lebih hanya
400. Digambarkan bahwa proses tersebut kompleks dan
membosankan (complicated and tedious). Lebih-lebih di Senat yang
digambarkan bahwa debat tersebut pasti tiada habisnya.
Sistem checks and balances dalam kehidupan demokrasi sangat
penting dan didisain untuk menjamin bahwa secara konstitusional
tiga cabang kekuasaan dari pemerintahan nasional (Legislatif,
Eksekutif and Yudikatif) bisa saling membatasi dan mengawasi
kekuasaannya satu sama lain, dan mencegah konsentrasi kekuasaan
politik di salah satu kekuasaan. Gegap gempita Amandemen UUD
1945 saat ini, pada dasarnya sedang mencari bentuk yang mantap
tentang sistem checks and balances tersebut. Sistem masa lalu (Orba)
diidentifikasikan sebagai executive heavy, sehingga menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan. Saat ini ada yang mengkritisi sebagai
legislative heavy.
Di Amerika Serikat dapat kita lihat praktek penerapan sistem
check and balances; bahwa sekalipun suatu RUU (Bill) tidak akan
menjadi Undang-undang tanpa persetujuan Kongres (House dan
Senate) , namun Presiden dapat mengajukan “veto” terhadap
keputusan Kongres tersebut. Sebaliknya Kongres dapat menolak
(override) veto Presiden dengan 2/3 suara di House dan Senat. Di
samping iu Presiden juga dapat mengusulkan undang-undang kepada
Kongres dan mengundang Kongres untuk melakukan sidang khusus.
Selanjutnya dapat dilihat bahwa kekuasaan Presiden untuk
menunjuk kabinet dan duta besar harus memperhatikan konfirmasi
dari Senat. Presiden juga harus mendengar nasehat dan persetujuan
Senat mengenai segala perjanjian (treaties) yang dibuat.
Kemudian, sekalipun Presiden harus melaksanakan Undangundang,
tetapi yang menyediakan anggaran adalah Kongres. Presiden
dan lembaga eksekutif lain dilarang menggunakan uang tanpa
persetujuan Kongres. Kongres juga mempunyai wewenang untuk
membentuk departemen dan badan-badan eksekutif. Selanjutnya
Kongres juga memiliki wewenang untuk melakukan impeachment dan
mencopot Presiden dari jabatannya karena telah melakukan kejahatan
dan pelanggaran berat.
Mahkamah Agung ditunjuk oleh Presiden, dengan konfirmasi
Senat. Secara tradisional, Mahkamah Agung memiliki 9 anggota, tetapi
Kongres dapat menentukan jumlah hakim. Lebih penting lagi, Kongres
266
dapat membentuk pengadilan federal tingkat bawah maupun
pengadilan banding. Kongres harus membentuk pula jumlah hakim
dan menentukan yurisdiksi pengadilan federal. Namun demikian
yang sangat menarik adalah bahwa Mahkamah Agung mempunyai
wewenang untuk melakukan Judicial Review. Judicial Review secara
spesifik tidak diatur dalam konstitusi. Kekuasaan ini mencakup
wewenang untuk menyatakan bahwa Undang-undang yang dibuat
Kongres dan kebijakan Presiden melanggar konstitusi.
Catatan : Perlu dikaji sampai seberapa jauh sistem checks and balances
terjadi pasca sistem bikameral (MPR terdiri atas DPR dan PDP);
Bandingkan judicial review dengan wewenang Constitutional Court di
Jerman dan hak uji materiil (materiele toetsingsrecht) di Indonesia.
Pengadilan –khususnya nampak dari penampilan Mahkamah
Agung– pada dasarnya memiliki “status ganda”. Status pertama
merupakan political body, sebab pengadilan merupakan bagian integral
dari sistem pemerintahan, sehingga perdefinisi pengadilan
merupakan institusi politik. Begitu pula proses penunjukan hakim
agung tidak bisa lepas dari persaingan politik di DPR. Sulit untuk
memahami Mahkamah Agung kecuali dalam konteks proses politik.
Belum lagi peranannya sebagai pembuat kebijakan melalui interpretasi
hukum apakah kebijakan pemerintah bertentangan dengan UUD.
Contoh: hak uji materiil dan PTUN. Status kedua sebagai instansi
hukum. Sekalipun diusahakan berlakunya the principle of the
independence of judiciary, tetapi hakim tidak memutus perkara dalam
ruang yang hampa. Pengadilan tetap merupakan sub-sistem sosial.
Hukum yang diterapkan juga merupakan hasil dari proses politik.
Aroma politik dalam praktek birokrasi berkaitan erat dengan
kenyataan bahwa perjuangan politik (political battles) tidak akan
berhenti di lembaga parlemen. Hal ini bertentangan dengan teori
bahwa “democracy is institutionalization of conflicts” (Emerson, 1998).
Yang dapat dikatakan adalah telah terjadi pergeseran perjuangan
politik dari arena politik ke arena administratif. Kepentingankepentingan
yang terorganisasi tidak akan puas hanya dengan telah
berhasil diundangkannya suatu Undang-undang sebagai hasil proses
politik. Mereka mulai mengamati medan perjuangan baru yaitu
implementasi hukum dan penggunaan uang oleh aparat birokrasi.
Kekuatan birokrasi sangat meyakinkan. Secara politis memang
Presiden dan Parlemen menentukan keberadaan Undang-undang,
267
tetapi secara administratif dan implementatif yang berperan adalah
birokrasi. Sebagai contoh di Amerika Serikat; dengan 3 juta pegawai
pemerintah federal, birokrasi federal setiap tahun mengeluarkan
60.000 halaman peraturan birokrasi (overregulation). Mereka bahkan
independen terhadap Kongres, presiden, pengadilan dan rakyat.
Bahkan boleh dikatakan bahwa Civil Service bureaucracy is a major base
of power in society.
Birokrasi tumbuh bersamaan dengan berkembangnya teknologi
dan kompleksitas masyarakat. Pengaruh teknokrat sangat dirasakan
baik di sektor publik (pemerintahan) dan sektor privat (korporasi).
Sektor publik mencakup pengaturan tentang waktu, energi,
lingkungan hidup, komunikasi, penerbangan dan sebagainya.
Semuanya membutuhkan spesialis. Kekuatan birokrasi lain terletak
pada kenyataan bahwa Undang-undang yang dihasilkan oleh
Presiden dan parlemen seringkali bersifat samar atau tidak jelas dan
mendua (vague and ambiguous). Tegasnya bersifat simbolik. Justru
birokrasilah yang mempunyai kesempatan dan kewenangan melalui
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri
untuk memutuskan apakah yang seharusnya dilakukan. Dalam
kerangka ini sangat mudah bagi para politisi untuk menyalahkan
birokrasi. Dalam perkembangannya kemudian birokrasi sendiri
semakin besar peranannya dalam lobby-lobby terbentuknya UU
termasuk pendanaan. (bureaucracy is self perpetuating).
Parlemen sebagai lembaga politik sebenarnya mempunyai senjata
atau cara untuk membatasi kewenangan birokrasi, seperti (a) melalui
undang-undang yang membatasi kewenangan birokrasi; (b)
mengurangi budget birokrasi; (c) melalui dengar pendapat umum
dengan pemberitaan media massa luas tentang suatu kebijakan yang
dianggap unpopular; dan (d) mendiskusikan keluhan-keluhan yang
diarahkan terhadap birokrasi.
Terlepas dari motif politik yang diarahkan untuk membatasi
kewenangan birokrasi, namun secara obyektif kecenderungan
terjadinya overregulasi (contoh di bidang ekonomi dan industri)
sebagai poduk birokrasi patut diwaspadai, sebab akan menimbulkan:
(1) Peningkatan biaya (terutama di bidang bisnis) baik bagi pelaku
bisnis maupun konsumen apabila peraturan ekonomi yang kompleks
ditaati; (2) The cost of compliance dengan adanya peraturan baru sulit
ditimbang dibandingkan dengan keuntungan masyarakat; (3)
268
Overregulasi menciptakan kendala bagi berkembangnya inovasi dan
produktivitas; dan (4) Mengurangi kemampuan untuk berkompetisi
secara sehat, sebab birokratisasi hanya akan menguntungkan
perusahaan-perusahaan yang besar dan kuat.
Catatan: Di pelbagai negara termasuk Indonesia pasca 1998 muncul
gerakan deregulasi dan debirokratisasi, khususnya di bidang
ekonomi. Langkah ini pada dasarnya bertujuan to determine the most
cost-effective approach for meeting any regulatory objective and not to issue
regulations unless the potential benefits to society outweight the potential
costs. (Reagan, 1988). n
269
Politik hukum (legal policy) dalam arti kebijakan negara (public
policy) di bidang hukum harus dipahami sebagai bagian kebijakan
sosial yaitu usaha setiap masyarakat/pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan. Hal ini bisa
mengandung dua dimensi yang terkait satu sama lain, yaitu kebijakan
kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan perlindungan
sosial (social defence policy).
Dengan demikian tidak mungkin merumuskan politik hukum yang
tepat tanpa mengkaji secara akurat kebijakan sosial; sebab justru akar
permasalahan yang akan diatasi dengan politik hukum terdapat dalam
masyarakat, berupa kebutuhan-kebutuhan strategis masyarakat yang
memerlukan perlindungan dan pengaturan hukum dalam kerangka
menciptakan kedamaian masyarakat. Kebutuhan strategis tersebut bisa
bersumber dari kehidupan politik, kehidupan budaya, kehidupan sosial
atau kehidupan ekonomi, yang seringkali antara satu dengan yang
lain terjadi interaksi, interkoneksi dan interdependensi. Dengan
demikian tidak berkelebihan untuk menyatakan bahwa hukum
mempunyai fungsi strategis dalam masyarakat, yaitu sebagai
mekanisme pengintegrasi. Juga tidak berkelebihan apabila ada hipotesis
bahwa antar hukum dan ilmu-ilmu sosial harus ada kemitraan yang
simbiotik. Kemitraan tersebut harus dibangun atas dasar prinsip saling
menghormati (resiprocal influences) dan bukan dalam bentuk peningkatan
intra-disciplinary communication dan mengurangi inter-disciplinary
exchanges dalam pemikiran. (Chin and Choi, 1998).
Hukum dan kebijakan publik mengendalikan dan membentuk
pola sampai seberapa jauh masyarakat diatur dan diarahkan. Dengan
Politik, Hukum, dan
Politik Hukum (III)
270
demikian sangat penting untuk menyadarkan para perancang hukum
dan kebijakan publik bahkan para pendidik, bahwa hukum dan
kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang
luas di bidang sosial, ekonomi dan politik. Sayangnya spesialisasi
baik dalam pekerjaan, pendidikan maupun riset yang dilandasi dua
disiplin tersebut (hukum dan ilmu sosial), sehingga pelbagai informasi
yang bersumber dari keduanya tidak selalu bertemu (converge) bahkan
seringkali tidak sama dan sebangun (incongruent).
Riset di bidang hukum mempunyai landasan asas-asas dan
penerapan hukum, dan dalam hal ini yang tidak menguntungkan
adalah ketiadaan pengetahuan untuk menyesuaikan kemanfaatan dan
kegunaan hukum dalam masyarakat yang sedang berubah. Di lain
pihak ahli-ahli ilmu pengetahuan sosial secara relatif memiliki
pemahaman yang lebih mendalam terhadap perubahan sosial,
ekonomi dan politik dalam masyarakat, bahkan cenderung lebih
ilmiah dalam mengembangkan dan menguji teori. Sekalipun demikian,
yang terakhir ini tidak dalam posisi untuk mengusulkan perubahan
hukum dan kebijakan yang konkrit, sehubungan dengan kelemahan
teknis di bidang hukum yang menyebabkan kurang percaya untuk
mengajukan konsep perubahan. Memang spesialisasi dan
independensi telah meningkatkan intra-disciplinary communication,
tetapi sekaligus juga memangkas inter-disciplinary exchanges in ideas.
Bahkan fakultas hukum dan fakultas ilmu sosial secara eksklusif
terpisah dan sebagai hasilnya, para mahasiswa masing-masing fakultas
tidak dapat menghormati kebutuhan dan kegunaan untuk
menjembatani dua disiplin tersebut. Sebagai contoh adalah
perkembangan pemahaman tentang “politik reformasi hukum” (the
politics of law reform). Sebelum era reformasi, pembaharuan hukum selalu
diartikan sebagai usaha sistematik untuk menggantikan pelbagai
produk hukum kolonial dengan produk hukum nasional. Setelah
refomasi, disamping usaha tersebut dilanjutkan muncul dimensi baru
dari reformasi hukum, yakni sebagai usaha sistematik untuk melakukan
demokratisasi sistem hukum. Hal ini mencakup langkah-langkah
mendasar berupa amandemen konstitusi, mengatur sistem politik,
menciptakan good governance, melakukan promosi dan perlindungan
HAM, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan sebagainya.
Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar dalam
kerangka sistem hukum yang mencakup elemen-elemen sebagai
271
berikut: Pertama, Elemen struktur hukum yang terdiri atas misalnya
jenis-jenis peradilan, yurisdiksinya, proses banding, kasasi, peninjauan
kembali, pengorganisasiannya, mekanisme hubungan polisi, dan
kejaksaan dan sebagainya. Dengan demikian struktur diartikan
sebagai a kind of cross section of the legal system- a kind of still photograph,
which freezes the action. (Friedman, 1979). Dengan demikian elemen
struktur hukum merupakan semacam mesin.
Kedua, Elemen substansi hukum yang dapat diartikan sebagai
pelbagai peraturan, norma dan perilaku orang-orang di dalam sistem.
Pada intinya merupakan hukum yang mengatur pelbagai norma, nilai
dan sanksi dalam bentuk peraturan-peraturan hukum. Termasuk di
sini living law yang terjadi dalam praktek hukum yang penuh dengan
diskresi. Substansi hukum bisa dipahami dengan melihat misalnya
berapa orang yang ditahan karena tindak pidana narkotika per tahun,
gambaran statistik kejahatan seksual di suatu daerah, dan sebagainya.
Dengan demikian legal substance berkaitan erat dengan apa yang
dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau struktur hukum di atas.
Ketiga, Elemen kultur hukum (legal culture) yang harus diartikan
sebagai people’s attitudes toward law and the legal system – their beliefs,
values, ideas, and expectations. Dengan kata lain, hal ini merupakan bagian
dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum. Misalnya
saja pernyataan bahwa masyarakat bawah tidak percaya pada polisi;
para pengusaha banyak menyelesaikan perkara di luar pengadilan;
untuk menjaga kredibilitas dan reputasi, kejahatan komputer di
lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan; hal ini semua
merupakan refleksi dari budaya hukum. Dengan demikian legal culture
merupakan whatever or whoever decides to turn the machine (the legal
structure) on and off, and determines how it will be used.
Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komunitas mempunyai
suatu budaya hukum. Hal ini selalu berupa sikap dan pandangan
terhadap hukum (attitudes and opinions about law). Harus dipahami
pula berkembangnya pelbagai sub kultur (misalnya di Amerika), sub
kultur orang hitam dan putih, tua dan muda, Kristen dan Islam, kaya
dan miskin, pengusaha dan pejabat, desa dan kota dan sebagainya.
Salah satu subkultur yang penting untuk diperhatikan adalah the legal
culture of insiders, misalnya saja kultur yang dihayati oleh hakim dan
penasehat hukum yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri.
Hal ini akan banyak berarti bagi efektivitas sistem hukum tersebut.
272
Secara operasional ketiga elemen sistem hukum tersebut
diterjemahkan sebagai proses pembuatan undang-undang (dalam
kerangka substansi hukum), proses penegakan hukum (dalam konteks
struktur hukum) dan proses penciptaan kesadaran hukum (dalam
kaitannya dengan budaya hukum), baik dalam bidang hukum pidana,
hukum perdata maupun hukum administrasi. Yang perlu dicatat
adalah bahwa pembidangan hukum tersebut semakin tidak absolut,
karena di negara-negara modern transparansi dan pendayagunaan
hukum secara simultan untuk mengatasi perbuatan-perbuatan yang
merugikan atau potensial dapat merugikan kepentingan individual,
kepentingan sosial dan kepentingan negara, saling kait mengkait,
sehingga semua elemen hukum harus didayagunakan untuk mencegah
dan mengatasinya. Sebagai contoh adalah didayagunakannya sanksi
perdata dalam tindak pidana korupsi dan kejahatan korporasi.
Selanjutnya adanya kecenderungan untuk memanfaatkan sanksi
hukum pidana dalam hukum administrasi. Demikian pula penerapan
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi
dan tindak pidana lingkungan hidup. Unsur sifat melawan hukum
dapat digali dari pelanggaran terhadap norma-norma hukum perdata
atau hukum administrasi.
Teori dan asas hukum merupakan mekanisme pengendali untuk
secara relatif menjaga agar supaya distorsi terhadap pendayagunaan
hukum sebagai kebijakan dan langkah politik tidak terjadi, dan
memfungsikan hukum secara konsisten sebagai salah satu pilar utama
demokrasi. Teori, yang merupakan hubungan antar variabel yang
telah didukung oleh riset ilmiah, baik yang bersumber pada disiplin
ilmu pengetahuan yang baku maupun yang bersumber pada pelbagai
ilmu bantu, secara sistemik dan berkelanjutan akan terus memperkaya
kebijakan sosial, baik yang berupa kebijakan kesejahteraan maupun
kebijakan perlindungan. Fungsi teori tidak hanya menggambarkan,
menjelaskan, merenungkan, mengungkap, tetapi juga memprediksi
apa yang akan terjadi di masa depan. Integritas teori dijamin dari
karakteristik intelektual yang menghormati kebebasan akademis dan
budaya akademis yang diharapkan selalu memberikan pencerahan
atas dasar kebenaran dan bukan pembenaran.
Selanjutnya asas-asas hukum merupakan ukuran legitimitas
dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum
(Sudarto, 1981). Asas-asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari
273
undantg-undang dan penguasa. Asas-asas hukum tidak bersifat
transcendental, atau melampaui alam kenyataan yang dapat
disaksikan oleh panca indera. Asas-asas ini bersifat open-ended, multiinterpretable,
dan Gesellschaftsgebunden dan bukannya bersifat absolut.
Hal ini kadang-kadang berkonotasi negatif karena konstelasi politik
di suatu saat bisa berpengaruh. Ingat konsep negara integralistik yang
mendistorsi asas negara hukum (equaity before the law).
Asas-asas hukum adalah tendens-tendens, yang dituntut dari
hukum oleh rasa susila kita, yang dapat diketemukan dengan
menunjukkan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan yang
berjauhan satu sama lain, atau yang merupakan anggapan-anggapan
yang memancarkan pengaturan suatu lapangan hukum (Paul Scholten).
Asas-asas hukum adalah ungkapan-ungkapan hukum yang sangat
umum sifatnya, yang bertumpu pada perasaan , yang hidup di setiap
orang, dorongan-dorongan batin dari pembentuk undang-undang,
ialah sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut
bekerja dalam mewujudkan undang-undang (De Langen).
Asas-asas hukum itu untuk sebagian dapat diketemukan dengan
menyelidiki pikiran-pikiran yang memberi arah/pimpinan, yang
menjadi dasar kepada tata hukum yang ada, sebagaimana dipositifkan
dalam perundang-undangan dan yurisprudensi, dan untuk sebagian
berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang
secara langsung dan jelas sekali menonjol kepada kita (Wiarda). n
274
Disadari atau tidak, apabila kita berpikir tentang polisi maka
yang muncul dalam bayangan kita adalah apa yang dinamakan
konsep ‘authoritative intervention’ dan konsep ‘symbolic justice’. Yang
pertama, penggambaran usaha setiap saat dari polisi untuk
memperbaiki ketertiban, bersifat reaktif (tidak atau kurang
antisipatif) serta kadang-kadang saja terjadi. Karena bersifat rutin,
tidak terlintas untuk memikirkan kondisi-kondisi yang ada di
belakang peristiwa yang mendorong polisi untuk melakukan
intervensi dengan menggunakan kewenangannya.
Sedangkan yang kedua, pengambaran yang bersifat demonstratif
untuk menunjukkan kepada pelaku tindak pidana (baik aktual maupun
potensial) dan publik pada umumnya bahwa ada tatanan hukum yang
harus dihormati. Hal ini juga cenderung merupakan sikap reaktif
yang dicapai melalui penegakan hukum. Langkah-langkah yang
bersifat antisipatif juga tidak tergambar secara langsung pada jenis
yang kedua ini.
Hal di atas menimbulkan kesan bahwa langkah-langkah polisi untuk
menanggulangi dan mencegah kejahatan dilakukan dengan cara
menimbulkan efek pencegahan (deterrence) terhadap tindak pidana yang
telah terjadi melalui sistem peradilan pidana, dan karenanya sangat kurang
menyentuh kebijakan kriminal dalam arti luas yang sistemik, baik yang
bersifat preventif maupun represif. Hal ini perlu dipikirkan, sebab secara
konseptual masyarakat menuntut lebih besar terhadap peranan polisi.
Dalam hal pencegahan kejahatan misalnya, masyarakat secara
konseptual menginginkan kebijakan yang komprehensif baik dalam
bentuk pencegahan primer yang diarahkan kepada masyarakat
Polisi dan Persepsi Keadilan
275
umum, pencegahan sekunder yang targetnya adalah para pelaku
potensial, dan pencegahan tersier yang diarahkan kepada mereka
yang terlanjur telah melakukan tindak pidana.
Dalam bentuk lain kita semua menghendaki bahwa pencegahan
kejahatan dilakukan baik secara sosial yang ditujukan untuk mengatasi
akar kejahatan, secara situasional untuk mengurangi kesempatan
melakukan tindak pidana dan pencegahan yang bersifat community
based, yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengurangi
tindak pidana dengan cara meningkatkan kapasitas mereka untuk
mengembangkan kontrol sosial yang bersifat informal.
Dalam kehidupan demokratis pelbagai usaha di atas sering
membawa konsekuensi yang hampir tak terhindarkan, sebab polisilah
sebagai penyidik yang menghadapi langsung tindak pidana di
lapangan baik secara faktual maupun secara yuridis. Kedudukannya
yang demikian menyebabkan polisi sangat rawan terhadap
pelanggaran HAM dan bahkan dapat dikatakan bahwa polisi
merupakan potential offender terhadap HAM.
Konsekuensi seperti itu tidak perlu harus dilihat sebagai kendala,
tetapi harus dipandang sebagi tantangan untuk menjadikan polisi
lebih profesional. Disebut sebagai kendala mengingat semakin
vokalnya para penasehat hukum dan aktivis LSM dalam menyoroti
kinerja para penegak hukum sebagi konsekuensi proses
demokratisasi, yang antara lain menuntut adanya pemerintahan yang
terbuka, akuntabel dan responsif.
Pergeseran Wacana
Sejauh mungkin polisi dalam keadaan apapun juga harus
menghindarkan diri dari police misconduct, yang dapat diartikan
sebagai penyimpangan prosedur oleh polisi yang kadang-kadang
disertai penggunaan kekuasaan secara tidak pada tempatnya. Harus
disadari betul bahwa kecenderungan perilaku yang demikian
mempunyai dampak yang bersifat luas, seperti merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap polisi, memperburuk keresahan
sosial, menghambat efektivitas penuntutan di pengadilan, menjauhkan
polisi dari masyarakat, salah menentukan tersangka, menelantarkan
korban, merusak konsep dan citra penegakan hukum, membuka
kesempatan media untuk terus mengkritik polisi, dan pada akhirnya
juga mengkritik atau bahkan menekan pemerintah.
276
Sebaliknya, kredo yang mungkin harus dikembangkan adalah
menjadikan polisi “bukan sebagai pelanggar HAM, tetapi berada di
garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Ini akan menjadi kunci
yang menentukan efektivitas lembaga kepolisian, yang dampak
positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti
kepercayaan masyarakat meningkat disertai peningkatan sikap
kooperatif mereka, penyelesaian konflik dapat dilakukan secara
damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil dengan baik.
Lalu citra positif polisipun melekat di benak masyarakat, seperti; polisi
dilihat sebagai bagian masyarakat dalam melaksanakan fungsi sosial,
administrasi peradilan dilakukan secara jujur dan adil, memberi
contoh kepada masyarakat untuk menghargai hukum, kebijakan
proaktif dapat dikembangkan dengan baik dengan bantuan
masyarakat dan dukungan media massa.
Di era demokrasi terjadi pergeseran konseptual pelbagai hal
secara mendasar. Di era yang tidak demokratis seperti di jaman Orde
Baru, kalau kita berbicara tentang kejahatan politik, maka konotasi
yang muncul di permukaan adalah konsep “kejahatan melawan
pemerintah” (crimes against government) seperti pembunuhan politik,
protes atau demonstrasi menentang pemerintah, makar, spionase dan
terorisme. Sebaliknya di era reformasi berkembang konsep kejahatan
yang dilakukan oleh pemerintah (crimes by government) atau state crimes
atau political policing atau govermental crimes seperti pelanggaran,
aktivitas dari polisi rahasia (penyadapan telpon, pelanggaran privasi,
pengawasan illegal). Perubahan wacana tersebut tidak merubah
konsep dasarnya yang menggambarkan tentang kejahatan politik,
yakni tindak pidana yang dilakukan untuk tujuan ideologis, dan
mereka percaya bahwa telah mengikuti nurani yang lebih tinggi, atau
moralitas masyarakat yang ada beserta perangkat hukumnya.
Pasal 16 RUU tentang KUHP (1999-2000) menegaskan, bahwa
dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim
sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.
Subtansi pasal tersebut harus direnungkan dan dihayati secara proaktif
oleh seluruh jajaran penegak hukum sebagai bagian dari sistem nilai
di lingkungan peradilan. Mengejar kepastian hukum yang dalam
kenyataannya bersifat abstrak dan seringkali ketinggalan jaman,
hanya akan menghasilkan ketidakadilan.
Dalam kerangka ini terdapat suatu konsep yang terus
277
berkembang, yaitu konsep yang menggambarkan pelbagai
kemungkinan yang dapat menggagalkan usaha untuk menciptakan
keadilan, sebagaimana dikemukakan oleh Walker dan Stamer.
Disebutkan bahwa pengertian “keadilan” (justice) harus dipahami
sebagai bentuk distribusi nilai yang disebut fair treatment di dalam
menyelenggarakan sistem peradilan dalam negara yang demokratis.
Negara harus memperlakukan semua individu atas dasar prinsip
kesetaraan. Pemberlakuan hak individu tersebut tidak bersifat
absolut, sebab hak-hak tersebut tetap dibatasi untuk kepentingan
perlindungan terhadap hak-hak orang lain atau hak-hak yang
bersaing. Dalam hal ini setiap penerapan hak harus ditolak bilamana
biaya-biaya sosial yang dapat ditimbulkannya jauh lebih besar
dibandingkan biaya yang harus dibayar untuk menerapkan hak
original. Biaya sosial tersebut bahkan dapat berupa bencana
(catastrophic damage) apabila hak individual tersebut diterapkan dalam
masyarakat yang damai dan demokratis.
Kegagalan Menegakkan Keadilan
Dengan semboyan fiat justitia, ruat caelum (tegakkan keadilan
meskipun langit akan runtuh) nampak bahwa sistem peradilan pidana
merupakan pengendali agar hak-hak individual tidak digunakan secara
absolut, dengan konsekuensi bahwa sebenarnya penerapan sistem
peradilan pidana tersebut jika dilakukan secara tidak hati-hati, secara
potensial dapat membahayakan hak-hak individual. Dengan demikian
negara dituntut untuk mendayagunakan sistem tersebut secara adil dan
jujur. Atas dasar pemikiran tersebut ( individualistics rights-based approach)
dikembangankan konsep miscarriage of justice (MoJ), yakni ihwal
kegagalan dalam menegakkan keadilan. MoJ dapat terjadi apabila
tersangka, terdakwa atau terpidana diperlakukan oleh negara dengan
melanggar hak-haknya, khususnya dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Perlakuan yang tidak adil. Contohnya adalah penangkapan dan
penahanan tanpa alasan kuat. Demikian pula perilaku polisi yang
tidak adil setelah penahanan, seperti pemaksaan pengakuan,
pemalsuan bukti-bukti forensik, dan sebagainya. Hal ini dapat
pula terjadi dalam hal penasehat hukum gagal untuk melakukan
pembelaan secara efektif karena kurang siap atau penampilan yang
dibawah standar profesi, sehingga pemidanaan dirasakan tidak
adil. Kegagalan atau kesesatan hakim yang terlanjur membebaskan
278
terdakwa bukan karena betul-betul alpa (really innocent ) tetapi
karena kesalahan teknis, termasuk dalam kategori perlakukan tidak
adil.
b. Peraturan hukum yang tidak adil semata-mata demi kepastian
hukum; contohnya hukum apartheid di Afrika Selatan pada masa
lalu, atau di Indonesia seperti korban UU subversi sebelum dicabut;
c. Tidak adanya pembenaran faktual dalam penerapan pidana dan
tindakan akibat kesalahan identitas atau pemidanaan terhadap
orang yang tidak salah akibat kesalahan dalam sistem pembuktian,
seperti adanya kesaksian palsu akibat rekayasa dan sebagainya
yang semuanya masuk kategori wrongful imprisonment.
d. Perlakuan yang merugikan dan tidak proporsional terhadap
tersangka, terdakwa atau terpidana, dibandingkan dengan
kebutuhan untuk melindungi hak-hak orang lain; contohnya adalah
tindakan yang keras terhadap perilaku anti sosial yang ringan.
Demikian pula pemidanaan yang bersifat eksesif, termasuk disini
kondisi penjara yang bersifat mendegradasikan harkat dan
martabat manusia;
e. Hak-hak orang lain (baik korban aktual maupun potensial) tidak
dilindungi secara efektif dan proporsional oleh negara terhadap
pelaku tindak pidana. Hal ini ditujukan terhadap keamanan umum
yang secara preventif menjadi tanggungjawab polisi. Sebagai
catatan perlu dikemukakan adanya konsep self responsibility for
security bagi penganut neo liberalism. Termasuk di sini
ketidaksediaan polisi untuk memproses perkara akibat pengaruh
politik atau korupsi (penyuapan), bahkan melakukan intimidasi
terhadap korban.
f. Perlakuan tidak adil terhadap korban akibat hukum yang tidak
kondusif; ini bisa berkaitan dengan hukum formil maupun materiil.
Apa yang tercantum dalam butir a - f diatas disebut sebagai direct
MoJ. Di samping itu ada bentuk ketujuh yang disebut indirect MoJ
yang mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini harus
diartikan bahwa segala hal yang disebut direct miscarriage of justice
tersebut secara tidak langsung merupakan perongrongan terhadap
integritas moral sistem peradilan pidana dan pelanggaran terhadap
asas legitimasi peradilan.
Persoalan yang timbul di pelbagai negara adalah bagaimana usaha
279
untuk mengatasi praktek-praktek MoJ di atas yang berdampak luas
seperti konsep indirect MoJ diatas. Salah satu contoh ekstrim adalah
apa yang terjadi di Haiti pasca pemerintahan otoriter selama tiga
tahun akibat kudeta tahun 1991. Pada masa itu pelanggaran HAM
oleh polisi dan militer sangat intensif, sehingga citra polisi di Haiti
demikian buruk. Setelah itu pemerintahan demokratis dibantu
masyarakat internasional (AS dan PBB) berusaha menciptakan polisi
nasional baru melalui Akademi Polisi Nasional dengan seleksi yang
ketat. Dalam hal ini pendidikan yang baik ternyata menghasilkan
kinerja positif, yang membangkitkan citra positif terhadap polisi.
Beberapa materi pendidikan yang sangat memepengaruhi kinerja
polisi di Haiti antara lain adalah International Human Rights Law, the
Law on Criminal Procedure, Haiti Constitution, Police Work in a Democracy,
dan materi-materi teknis kepolisian yang lain.
Sebagai standar training, perlu dikaji materi pelatihan HAM
untuk polisi dari PBB yang secara lengkap menguraikan betapa
pentingnya tugas-tugas polisi berkaitkan dengan masalah HAM
internasional, demokrasi, etika profesional, perhatian terhadap remaja
dan korban kejahatan, aturan penggunaan kekuatan senjata api dan
sebagainya. Hal ini sangat penting mengingat apa yang telah diuraikan
di atas, bahwa apa yang dinamakan MoJ didasarkan atas pemahaman
justice atas dasar individualistic rights-based approach. n
280
Pengantar
Diskusi tentang doktrin “pertanggungjawaban komando”,
khususnya dalam hukum pidana, akan selalu menarik mengingat
perkembangannya yang penuh perdebatan baik dalam hukum
internasional maupun dalam pelbagai hukum nasional yang
berkembang. Sekalipun maknanya tidak sesederhana sebagai “military
commanders are responsible for the acts of their subordinates”, sebenarnya
hal ini bukan sebagai suatu hal yang baru. Pada kira-kira tahun 500
BC, Sun Tzu menulis dalam “the Art of War” bahwa: “When troops flee,
are insubordinate, distressed, collapse in disorder, or are routed, it is the fault
of the general. None of these disorders can be attributed to natural causes.”
Napoleon Bonaparte menegaskan dalam hal ini dengan mengatakan
bahwa: ”There are no bad regiments; they are only bad colonels”. Begitu pula
King Charles VII of Orleans, mengeluarkan dekrit yang berisi bahwa
“komandan militer dapat dipertanggungjawabkan bilamana di dalam
komandonya terjadi kejahatan terhadap penduduk sipil; tidak peduli
apakah komandan tersebut berpartisipasi dalam pelaksanaan kejahatan”.
Begitu pula Hugo Grotius dalam bukunya yang legendaris “De
Jure Belli Ac Pacis” (1615) menegaskan eksistensi doktrin tersebut:
“we must accept the principle that he who knows of a crime, and is able and
bound to prevent it and fails to do so, himself commits a crime”. Dalam
periode yang sama (1621) King Gustavus Adolphus dari Swedia
mengumumkan “Articles of Military Lawwes to be Observed in the Warres”.
Di situ dinyatakan bahwa “No Colonel or Captain shall command his
soldiers to do any unlawful thing which who so does, shall be punished
according to the discretion of the Judges......”.
Pertanggungjawaban Komando
281
Di Amerika Serikat, “the Article of War” yang dikeluarkan pada
tanggal 30 Juni 1775 mengatur bahwa :
“Every Officer commanding, in quarters, or in a march, shall keep good order,
and to the utmost of his power, redress all such abuses or disorders which may
be committed by any Officer or Soldiers under his command; if upon complaint
made to him of Officers or Soldiers beating or otherwise ill-treating any person,
or committing any kind of riots to the disquieting of the inhabitants of this
continent, he, the said commander, who shall refuse or omit to see Justice done
to this offender or offenders, and raparation made to the party or parties injured,
as soon as the offenderr’s wages shall enable him or them, upon due proof
thereof, be punished, as ordered by General Court Martial, in such manner as if
he himself had committed the crimes or disorders complained of”.
Pada tahun 1863, Amerika Serikat mengumumkan “the
Instructions for Government of Armies of the US in the Field” yang
kemudian terkenal sebagai “Lieber Code”. Prof Albert Lieber adalah
seorang Profesor dari Columbia University yang berperan menyusun
ketentuan tersebut. Art. 71 menegaskan: “Whoever intentionally inflicts
additional wounds on an enemy already wholly disabled, or kills such an
enemy, or who orders or encourages soldiers to do so, shall suffer death, if
duly convicted, whether he belongs to the Army of the ES, or in an enemy
captured after having committed his misdeed.”
Pada akhir abad 19 (1895), dalam tulisannya Military Law and
Precedents, Winthrop menulis:
“It is indeed the chief duty of the commander of the army of occupation to
maintain order and the public safety, as far as practicable without oppression
of the population, and as if the district were a part of the domain of his own
nation. All officers or soldiers offending against the rule of immunity of noncombatans
or private persons in war forfeit their right to be treated as
belligerents, and together with civilians similarly offending, become liable to
the severest penalties as violators of the laws of war”.
Dalam hukum internasional yang bersifat konvensional yang
mengatur perilaku konflik bersenjata, Art. 1 dari Konvensi Den Haag
1907 yang kemudian diatur pula dalam Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol 1977, dirumuskan kondisi dalam hal mana kombatan harus
menghormati hak-hak hukum dari negara yang berperang.
Ditentukan pula syarat adanya tentara yang “commanded by a person
responsible for his subordinates”. Persyaratan ini menegaskan
tanggungjawab komando secara terperinci.
282
Hal semacam juga muncul dalam laporan “Commission of the
Authors of the War and on Enforcement of Penalties” (1919) setelah PD I,
“Treaty of Versaiiles”, dan sebagainya. Masalah tanggungjawab
komando menjadi sangat aktual seusai PD II dengan diadilinya para
penjahat Perang Dunia II melalui Pengadilan Militer Internasional
seperti di Nuremberg (IMT) dan di Timur Jauh (IMTFE) yang antara
lain mengadili Jenderal Tomoyuki Yamashita, di samping pengadilan
pelbagai negara yang mengadili para penjahat perang seperti di
Kanada, Israel, Amerika Serikat, Perancis dan sebagainya, yang
banyak mengembangkan hukum kebiasaan internasional.
Masalah command responsibility jadi menghangat kembali
sehubungan dengan pengaturannya dalam Statute of the International
Criminal Tribunal for Rwanda (1994) dan Statute of the International
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (1993) serta Rome Statute of
the International Criminal Court (1998).
Dalam kerangka pengaturan tentang Individual Criminal Responsibility
Art. 7 Statuta ICFY menegaskan; (i) A person who planned, instigated, ordered,
committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or
execution of a crime referred to in the art. 2 to 5 of the present Statute, shall be
individually responsible for the crime; (ii) The official position of any accused
person, whether as Head of State or Government official, shall not relieve such
person of criminal responsibility nor mitigate punishment; (iii) The fact that
any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was committed
by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he
know or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts
or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures
to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof; (iv) The fact that an
accused person acted pursuant to an order of a Government or of superior shall
not relieve him of criminal responsibility but may be considered in mitigation of
punishment if the International Tribunal determines that justice requires.”
Hal yang sama juga diatur dalam Art. 6 ICTR. Penjelasan yang
lebih lengkap dan agak berbeda dengan dua Statuta di atas tersurat
dan tersirat dalam Pasal 28 Statuta Roma tentang International Criminal
Court. Dalam Pasal 28 tersebut dijelaskan seperti berikut:
a. A military commander or person effectively acting as a military
commander shall be criminally responsible for crimes within the
jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective
command and control, or effective authority and control as the case may
283
be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such
forces, where;
b. That military commander or person either knew or, owing to the
circumstances at the time, should have known that the forces ere
committing or about to commit such crimes; and
c. That military commander or person failed to take all necessary and
reasonable measures within his or her power to prevent or repress their
commission or to submit the matter to the competent authorities for
investigation and prosecution.
d. With respect to superior and subordinate relationship not described in
paragraph (a), a superior shall be criminally responsible for crimes within
the jurisdiction of the Court committed by sub ordinates under his or her
effective authority and control, as a result of his or her failure to exercise
control properly over such subordinate, where;
e. The superior either knew, or consciously disregarded information which
clearly indicated, that the subordinates were committing or about to
commit such crimes;
f. The crimes concerned activities that were within the effective
responsibility and control of the superior; and
g. The superior failed to take all necessary and reasonable measures within
his or her power to prevent or repress their commission or to submit the
matter to the competent authorities for investigation and prosecution.
Dalam hal ini dapat diidentifikasikan elemen utama dari
pertanggungjawaban komando yaitu: (1) adanya hubungan antara
bawahan-atasan; (2) atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui
bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan; dan (3) atasan gagal untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan beralasan untuk
mencegah tindak pidana atau menghukum pelaku. Hubungan atasanbawahan
bisa de jure, de facto atau kombinasi antara keduanya.
Jenderal Arne Willy Dahl (Hakim dari Norwegia) (2001)
memberikan basis filosofi dari tanggungjawab komandan, bahwa
kagagalan komandan untuk mengendalikan anak buahnya berkaitan
erat dengan nama baik dan reputasi serta kehormatan pasukannya;
atau bahkan dari negaranya serta berkaitan dengan keprihatinan
mendalam dari semua orang yang memiliki kehendak baik. Hal ini
juga berkaitan erat dengan kodrat organisasi militer sendiri yang
membedakan antara kesatuan militer yang sah dan sekumpulan
284
individu pasukan liar atau gerilyawan (franc-tireurs).
Di dalam “the US Army Field Manual” antara lain disebutkan
bahwa ; “Command is a specific and legal position unique to the military.
It’s where the buck stops ….Command is a sacred trust. The legal and moral
responsibilities of commanders exceed those of any other leader of similar
position and authority”.
Karakter Yuridis Pertanggungjawaban Komando
Doktrin bahwa para komandan militer dan orang-orang lain yang
menduduki posisi dan kewenangan yang lebih tinggi dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap perbuatan
yang melawan hukum dari anak buahnya, sudah dimantapkan dalam
norma hukum kebiasaan dan perjanjian hukum internasional. Melihat
pelbagai perumusan di atas nampak bahwa pertanggungjawaban
pidana ini bisa bersumber dari “actus reus” baik berupa perbuatan
positif dari komandan atau superior (kadang-kadang disebut sebagai
“direct command responsibility”) maupun atas dasar kelalaian yang
bersifat omisionis (culpable omissions). Dengan demikian seorang
komandan atau superior tidak hanya bisa dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana karena “ordering, instigating or planning” tindak
pidana yang dilakukan oleh bawahannya, tetapi juga karena
kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah atau
menahan perbuatan melawan hukum bawahan tersebut.
Perbedaan antara kedua tipe pertanggungjawaban terletak pada
kenyataan bahwa dalam hal perbuatan positif para komandan,
mengikuti apa yang dinamakan “principles of accomplice liability” dalam
kerangka teori penyertaan (complicity, deelneming). Sedangkan yang
kedua berkaitan dengan apa yang dinamakan “the principle
responsibility for omissions” yang bisa terjadi apabila terdapat suatu
kewajiban hukum untuk berbuat (legal obligation to act). Sehubungan
dengan hal ini dalam Pasal 87 Additional Protocol I menyatakan bahwa:
“international law imposes an affirmative duty on superiors to prevent persons
under their control from committing violations of international humanitarian
law, and it is ultimately this duty that provides the basis for, and defines the
contours of, the imputed criminal responsibility under Art 7(3) of the Statute”.
Doktrin modern tentang “command responsibility” boleh
dikatakan berakar dari Konvensi Den Haag 1907. Baru pada tahun
1919 (Preliminary Peace Conference, Commission on the Responsibility of
285
the Authors of the War and on Enforcement of Penalties) merekomendasikan
pembentukan suatu tribunal yang dapat menuntut dan memidana
mereka yang: “ordered, or with knowledge thereof and with power to
intervene, abstained from preventing or taking measures to prevent, putting
an end to or repressing violations of the laws or customs of war.” Baru
setelah PD II doktrin pertanggungjawaban komando yang bersifat
“culpable ommisions” (failure to act) memperoleh pengakuan dalam
konteks internasional. Di Perancis (1944) masuk kategori “tolerated
the criminal acts of their subordinates” dalam “the Suppression of War
Crimes”. Selanjutnya Chinese Law (1946) yang mengatur “the Trial of
War Criminals” hal ini masuk kategori Persons who have not fulfilled
their duty to prevent crimes from being committed by their subordinates
shall be treated as the accomplices of such war criminals.
Prof. Bassiouni mengidentifikasi bahwa “failure to act depends on
knowledge and opportunity to act” adalah sebagai berikut: (1) in the
prevention of the criminal act; (2) subsequent to the act if the superior failed
to supervise, discover and take remedial action as needed under the
circumstances; and (3) prosecute and if found guilty, punish the violator.
Beberapa Pedoman Konseptual dan Empiris
1. The bottom-line for criminal liability is blameworthiness. Menurut Prof.
Nico Keijzer, yang banyak mengkaji pandangan Grotius, dalam hal
ini terdapat 3 kondisi pertanggungjawaban pidana komandan atas
perbuatan bawahannya: (a) Seseorang mempunyai “control” atas
orang lain; (b) Seseorang hanya bertanggungjawab karena tidak
melakukan pencegahan kejahatan yang diketahuinya (knowledge);
dan (c) Seseorang tidak hanya harus tahu, tetapi juga harus mampu
untuk mencegah. Dengan demikian “military subordination is a
comprehensive but not conclusive factor in fixing criminal responsibility”.
Dalam perang modern, banyak langkah-langkah desentralisasi
komando, sehingga kemungkinan Komando tinggi tidak dapat
selalu memperoleh informasi lengkap dan detail dari operasi militer.
Contohnya adalah Presiden Amerika sebagai “Commander in Chief”
sulit dijadikan obyek dari “theory of subordination”. Dalam hal ini
harus terbukti bahwa ia mengetahui atau dapat dikaitkan dengan
kejahatan baik atas dasar “participation” atau persetujuan diam-diam
(criminal acquiescene; The High Command Case). Dalam Art. 87 Protocol
I ada istilah “commensurate with their level of responsibility”;
286
2. Berlakunya doktrin atau pendekatan “strict liability” (liability without
mens rea). Hal ini muncul dalam Peradilan Yamashita, di mana
jaksa sulit membuktikan bahwa Jenderal Yamashita telah
memerintahkan kekejaman terhadap penduduk Philipina dan para
tawanan orang-orang Amerika dalam pendudukan Jepang.
Namun Yamashita sebagai Commanding General bala tentara Jepang
di Philipina sekaligus sebagai gubernur militer “harus tahu” atas
terjadinya kekejaman yang meluas (widespread) dan besar
(enormity), seperti perkosaan, pembunuhan, pembunuhan massal,
perusakan harta benda yang meluas baik dalam konteks waktu
maupun wilayah. Kejadian tersebut tidak bersifat sporadis dan
dalam banyak kasus justru dihadiri dan diawasi oleh perwiraperwira
Jepang. Sebagai komandan seharusnya melakukan kontrol
efektif, karena kondisi tertentu.Pemikiran rasional menyimpulkan
telah terjadinya perencanaan sengaja; Yamashita didakwa telah
melakukan “unlawfully disregarded and failed to discharge his duty as
commander to control the operations of the members of his command,
permitting them to commit brutal atrocities and other high crimes”;
3. The commanding general of occupied territory has the duty and
responsibility for maintaining peace and order, and the prevention of
crime. He cannot ignore obvious facts and plead ignorance as a defence;
(The High Command Case);
4. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa telah terjadi lebih dari satu
kejahatan perang dari kesatuan di bawah komando dan kehadiran
seorang perwira atau “non commission officer” pada saat atau
sebelum kejahatan terjadi sangat menentukan pertanggung–
jawaban komando. Kurt Meyer, di Pengadilan Militer Kanada,
dipidana karena anak buahnya telah melakukan pembunuhan
terhadap tahanan;
5. Komandan tidak harus melihat sendiri terjadinya kekejaman; cukup
apabila dia mengetahui bahwa bawahannya sedang dalam proses
melakukan kejahatan atau telah melakukan kejahatan dan yang
bersangkutan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan
atau beralasan untuk menjamin ditaatinya hukum perang atau
memidana para pelaku. Hal ini sesuai pula dengan Art. 86 para. 2
Protocol I;
6. “Position of responsibility” bisa juga berkaitan dengan “civilian
authorities”. Dalam Rwanda Tribunal, seorang direktur pabrik teh
287
dituntut dan dipidana karena tidak melakukan tindakan campur
tangan dan pencegahan kejahatan genosida yang dilakukan
bawahannya di luar jam kerja;
7. Pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap
“formal commanders”, tetapi juga terhadap orang-orang yang
memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana dia bisa
menggunakan kekuasaannya sebagai seorang komandan. Hal ini
bisa terjadi dalam perang saudara (civil war). Dalam Tribunal
Yugoslavia, seorang yang bertindak sebagai komandan penjara di
Bosnia, sekalipun secara formal tidak pernah ditunjuk dalam jabatan
tersebut, tetapi secara de facto dia adalah komandan yang tidak
melakukan pencegahan pembunuhan-pembunuhan dan penyiksaan
yang dilakukan oleh para penjaga penjara;
8. Atas dasar “case law” dari dua tribunal dan juga Pasal 28 Statuta
ICC, kontrol yang efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu
kondisi di mana atasan secara sungguh-sungguh mampu
menggunakan kekuasaannya bilamana dia menginginkannya.
Dengan demikian istilah tersebut menunjuk kepada “material
ability” untuk mencegah dan menahan tindak pidana. Apakah
seseorang berada dalam posisi untuk mengontrol atau tidak akan
tergantung pada apakah seseorang mempunyai kekuasaan untuk
mengeluarkan perintah yang mengikat bawahannya dan untuk
mencegah atau menghukum setiap pelaku tindak pidana yang
mungkin dilakukan. Dengan demikian kontrol harus diartikan
sebagai sambungan atau akibat komando (sequel of command).
Perkecualian bisa terjadi apabila komandan tidak mempunyai
kontrol efektif, misalnya karena komunikasi terputus,
pemberontakan (mutiny), atau sebab-sebab lain yang sulit
dihindari. Kontrol tidak harus berasal dari komando militer, tetapi
juga bisa berasal dari orang yang berwenang, misalnya pimpinan
politik atau pejabat pemerintah. Tingkatan komando dan kontrol
bervariasi; bisa operasional, taktis, administratif, eksekutif dalam
teritori di bawah kontrol atasan. Tanggungjawab atasan akan
banyak tergantung pada derajat kontrol dan cara pelaksanaannya;
9. Seorang staf sekalipun memiliki pengaruh besar, belum tentu
mampu mencegah kejahatan. Sebagai contoh adalah kasus yang
diadili Trial Chamber ICTY. Seseorang yang bertindak sebagai
“co-ordinator of logistic support” tetapi tidak dalam posisi sebagai
288
“superior authority” terhadap pelaku kejahatan, sehingga
dibebaskan; Kasus lain yang menarik dalam hal ini adalah apa
yang terjadi dalam Tokyo Tribunal yang mengadili Letjen Akira
Muto, yang bebas dalam kasus Rape of Nanking, karena
kedudukannya sebagai seorang perwira staf dari Jenderal Iwane
Matsui. Muto kemudian dipromosikan menjadi Chief of Staff
Jenderal Yamashita di Filipina. Dalam kasus kekejaman di Filipina,
Muto tidak bebas dari pertanggungjawaban komander (shares
responsibility) karena dia dalam posisi yang dapat mempengaruhi
kebijakan (in a position to influence policy);
10.Istilah “cognitive element” mencakup tiga derajat kesadaran : (1)
”actually knew; (2) deliberately took the risk that this would happen, if not
knowing it ; dan (3) he should have known that such crimes were about to
occur”. Yang pertama mengandung pengertian “he must have known”
seperti dalam kasus Yamashita di mana kejahatan jumlahnya sangat
besar. Contoh lain adalah Kasus ICTY tentang pembunuhan di camp
penjara. Dalam hal ini ada perbedaan antara perumusan ICTR dan
ICTY di satu pihak yang menggunakan istilah “had reason to know”
dan Statuta ICC di lain pihak yang menggunakan istilah “owing to
the circumstances at the time, “should have known” that the forces were
committing or about to commit such crimes”. Dalam hal ini Trial Chamber
menentukan bahwa “had reason to know” berlaku dan atasan
bertanggungjawab apabila informasi sudah diberikan kepadanya,
yang menempatkan dia dalam posisi “deliberately taken the risk that
the crimes might occcur”. Istilah “should have known” dalam Statuta
ICC berkaitan dengan standar komander yang selalu mempunyai
kewajiban untuk selalu memiliki informasi tentang kinerja anak
buahnya. Dua kriteria “deliberately taking a risk” dan “the should have
known test” terdapat dalam Statuta Roma Art. 28. Dalam hal ini
terdapat perbedaan antara “military superiors” dan “non military
superiors”. “Non military superiors” tidak akan bertanggungjawab
secara pidana sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan
bawahannya, kecuali mereka “consciously disregarded information”
yang jelas-jelas diberikan bahwa bawahannya melakukan tindak
pidana. Dalam hal terdakwa “a military superiors”, berlaku syarat
“owing the circumstances at the time, he should have known that the
forces were committing or about to commit such crimes”. Dalam hal ini
seorang komandan militer dapat dituntut karena “negligence”,
289
sedangkan untuk superior sipil harus menggunakan standar yang
lebih tinggi, yaitu dia harus memiliki pengetahuan aktual atau
konstruktif bahwa kejahatan sedang dilakukan.
11.Dalam kerangka elemen operasional, terkait suatu persyaratan
bahwa atasan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
atas kegagalannya untuk campur tangan mencegah atau menahan
kejahatan. Dalam kasus ICTY yang menyangkut pembunuhan di
camp penjara, memang bisa dibuktikan bahwa komandan penjara
telah mengeluarkan perintah bahwa tidak seorangpun boleh disiksa,
namun dia alpa untuk melakukan pengecekan apakah perintahnya
dipatuhi. Harus dicatat bahwa hal ini tetap ada batasnya;
12.Untuk mengukur apakah telah terjadi “failed in his duty” untuk
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah atau
menghukum pelaku tindak pidana, yang dijadikan ukuran adalah
apakah seseorang telah bertindak sesuai dengan “reasonable person”
dalam posisinya sebagai komandan. Contohnya adalah seorang
komandan dalam tentara El Salvador yang telah dianggap
berpartisipasi membunuh petugas gereja Amerika, karena gagal
memenuhi kewajibannya seperti tersebut di atas. Sebagai
komandan ia “should have known” apa yang harus dilakukan para
petugas gereja dan aktivis;
13.Ruang lingkup tanggungjawab individual yang mencakup pula Head(s)
of State or Government atau responsible Government official (s) di dalam Art
7(2) mengindikasikan bahwa penerapannya jauh lebih luas daripada
sekedar komandan militer dan bisa mencakup pimpinan politik dan
atasan sipil lainnya sebagai atasan yang berwenang. Semua di bawah
“doctrine in certain circumstances”. Contohnya adalah apa yang terjadi
pada IMTFE yang mengadili kasus “rape of Nanking”. Dalam hal ini
yang dipidana tidak hanya Jenderal Iwane Matsui, tetapi juga Menteri
Luar Negeri Jepang Koki Hirota yang dianggap gagal menjalankan
tugasnya untuk mengambil langkah-langkah untuk mengamankan dan
mencegah pelanggaran terhadap hukum perang, padahal yang
bersangkutan telah memperoleh laporan tentang kekejaman yang
terjadi waktu tentara Jepang memasuki Nanking. Pengadilan
menyatakan bahwa “his inaction amounted to criminal negligence”.
Demikian pula terhadap Perdana Menteri Hideki Tojo dan Menteri
Luar Negeri Mamoru Shigemitsu karena dianggap melakukan
“omissions to prevent or punish the criminal acts” dari tentara Jepang;
290
14.Atas dasar pengalaman dua tribunal ad hoc, dalam hal ketiadaan
bukti-bukti langsung tentang pengetahuan superior tentang
kejahatan yang dilakukan bawahan, pengetahuan tersebut tidak
boleh diperkirakan, tetapi harus dikaitkan dengan bukti-bukti tidak
langsung (circumstantial evidence) berupa pengetahuan tertentu
seperti: “the number of illegal acts; the type of illegal acts; the scope of
illegal acts; the time during which the illegal acts occurred; the number
and type of troops involved; the logistics involved, if any; the geographical
locations of the acts; the widespread occurance of the acts; the tactical
tempo of operations; the modus operandi of similar illegal acts; the officers
and staff involved; theblocations of the commander at the time.”;
15.Hubungan sebab akibat antara “superior’s omission” dengan
kejahatan yang terjadi tidak perlu dibuktikan sebagai unsur
terpisah dari pertanggungjawaban komando. Hal ini dianggap
sudah melekat dalam persyaratan atas kejahatan yang dilakukan
oleh bawahan dan kegagalan atasan untuk mengambil tindakan
dalam rangka kekuasaannya untuk mencegah. Namun demikian
harus dipahami bahwa pertanggungjawaban komando baru bisa
dilakukan apabila telah dibuktikan telah terjadinya “core crimes”,
baik dalam bentuk kejahatan perang, kejahatan genosida atau
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal “core crimes” ini,
sepanjang mengenai elemen material dan elemen mental perlu
dikaji ketentuan yang berlaku secara universal, misalnya apa yang
diatur dalam dokumen “the Elements of Crimes”, Statuta Roma
tentang ICC, 1998. Sekalipun demikian pemahaman mengenai
syarat pemidanaan yang berlaku dalam hukum nasional akan
sangat membantu, baik yang berkaitan dengan unsur perbuatan
maupun unsur kesalahan;
16.Bilamana persyaratan “actus reus” (elemen material) telah diuraikan
dalam bagian II makalah ini, maka prasyarat “mens rea” (elemen
mental) nampak dari hal-hal sebagai berikut: “(1) actual knowledge
established through direct evidence; or (2) actual knowledge established
through circumstancial evidence, with a presumption of knowledge where
the crimes of subordinates are a matter of public notoriety, are numerous,
occur over a prolonged period, or in a wide geographical area; or (3)
wanton disregard of, or failure to obtain information of a general nature
within the reasonable access of a commander indicating the likelihood of
actual or prospective criminal conduct on the part of his subordinates.”
291
Penutup
Indonesia telah memiliki UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Dalam merumuskan kejahatan yang termasuk
yurisdiksinya tegas-tegas dinyatakan telah mengikuti Statuta Roma
th. 1998. Hanya sayangnya, dua dokumen lainnya yang melekat tidak
pernah disebutkan yaitu dokumen tentang “Elements of Crimes” dan
dokumen tentang “Rules of Procedures and Evidence”. Juga sangat
disayangkan tidak dimasukkannya ketentuan ICC tentang “kejahatan
perang” dalam yurisdiksi Pengadilan HAM. Di samping itu pelbagai
rumusan lain dalam Pengadilan HAM juga mengadopsi apa yang
diatur oleh ICC. Contohnya adalah Pasal 42 yang mengatur tentang
Pertanggungjawaban Komando.
Sebagai suatu norma yang baru, kita harus mengkaji baik secara
teoritik maupun empiris apa yang telah terjadi dalam praktek hukum
internasional yang cenderung sudah menjadi hukum kebiasaan
internasional. Sebenarnya pelbagai diskusi di atas dapat ditempatkan
dalam kerangka Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang mengatur tentang
Penyertaan (deelneming), sekalipun terdapat hal yang relatif baru yaitu
“crimes by omission” atau “culpable omission”. Dikatakan relatif baru,
karena secara konseptual kejahatan omisionis juga dikenal seperti
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 berupa
pembunuhan dengan sengaja dengan cara tidak memberikan bantuan
makanan atau kesehatan atau melalaikan hak POW untuk diadili
secara adil. Dalam kerangka ini dipertimbangkan betapa pentingnya
studi perbandingan hukum antar negara.
Dalam hal ini Prof. Nico Kaijzer menyatakan bahwa pelbagai
uraian di atas tidak hanya terbatas pada kejahatan perang, tetapi
harus dilihat sebagai salah satu bentuk “criminal participation” atau
“participation by omission” dan dapat berkaitan dengan delik-delik yang
lain secara umum.
“The American Model Penal Code” (Section 2.06(3)) menentukan
bahwa “a person is an accomplice of another in the commission of a criminal
offence, inter alia, if he , having a legal duty to prevent the commission of
the offence, fails to make proper effort to do so”. Dalam Paragraf 13 KUHP
Jerman yang mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap mereka
yang mengabaikan untuk mencegah kejahatan agar tidak terjadi,
padahal yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk
melakukannya. “Participation by omission” juga dikenal dalam
292
yurisprudensi (case law) Belanda sebagai landasan pertanggung–
jawaban pidana.
Sebagai rekomendasi dapat dikemukakan agar antar negara
terjadi harmonisasi mengenai “military codes” dan “rule of engagement”
(semacam British Manual of Military Law atau the US Army Field
Manual), mengingat telah terbentuknya ICC yang bersifat permanen
dan memungkinkan dibentuknya peradilan pidana ad hoc oleh Dewan
Keamanan PBB yang secara komplementer dapat mengambil alih
fungsi peradilan pidana nasional apabila diidentifikasikan telah terjadi
“sham proceeding”. n
293
Dunia profesi hukum akhir-akhir ini mengalami cobaan luar biasa.
Indikasi terjadinya kebohongan publik dalam proses peradilan,
dibunuhnya hakim agung dengan disertai pelbagai aroma bau yang
tidak sedap, hakim yang diadili karena mafia peradilan, dan yang
terakhir adalah ditangkapnya seorang hakim yang sedang
menjalankan profesinya karena dugaan suap terhadap saksi, adalah
serangkaian kisah nyata yang sungguh sangat memprihatinkan
masyarakat. Kasus yang disebut terakhir ini bahkan telah menarik
perhatian publik yang luas karena disertai dengan dilakukannya
peradilan disiplin profesi yang penuh perdebatan dan kontroversi
menyangkut eksistensi dan validitasnya.
Kasus seorang pengacara yang ditahan karena dugaan melakukan
suap terhadap saksi dalam suatu kasus, mengharuskan kita untuk
melakukan kontemplasi tentang hakekat perbuatan suap (bribery act).
Dan sepanjang berkaitan dengan proses peradilan, jelas kasus tersebut
tidak sekedar menyangkut isu suap, tetapi juga berkaitan erat dengan
tindak pidana gangguan terhadap proses untuk memperoleh keadilan
(obstruction of justice) dan lebih luas lagi merupakan kejahatan terhadap
administrasi peradilan pidana.
Perbuatan suap merupakan mala per se atau mala in se dan bukan
mala prohibita. Konsep mala per se yang dilandasi oleh pemikiran natural
wrongs menganggap bahwa kejahatan-kejahatan tertentu merupakan
kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela
bukan karena peraturan perundang-undangan telah melarangnya.
Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah. Contohnya adalah
pembunuhan, perkosaan, pencurian dan juga penyuapan (bribery).
Tinjauan Yuridis
Terhadap Kasus Penyuapan Saksi
Oleh Pengacara
294
Sedangkan konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa
perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan
telah melarangnya, sehingga disebut sebagai regulatory offenses.
Contohnya adalah pelbagai peraturan tata tertib di pelbagai bidang
kehidupan yang diperlukan dalam rangka untuk menegakkan
tertibnya kehidupan modern.
Tindak pidana suap merupakan mal per se karena penyuapan selalu
mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi (influencing)
agar yang disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat
atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau
juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Hal
ini nampak dari perumusan Pasal 209 KUHP dan Pasal 419 KUHP
(penyuapan aktif dan pasif terhadap pejabat) serta Pasal 210 KUHP
dan Pasal 420 KUHP (penyuapan aktif dan pasif terhadap hakim).
Dengan demikian baik “aktor intelektual” maupun “aktor pelakunya”
telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma
hukum maupun norma-norma sosial yang lain (agama, kesusilaan
dan kesopanan). Mengingat tindak pidana suap terhadap pejabat dan
terhadap hakim masuk kategori tindak pidana korupsi, maka menurut
UU No. 31 Tahun 1999 diatur pula tentang tanggungjawab kejahatan
korporasi (corporate criminal responsibility). Dalam kasus ini penyuapan
tidak hanya berupa pemberian atau janji untuk memberikan uang
atau barang, tetapi juga berupa gratifikasi, kemudahan, entertainment,
keuntungan, hadiah, honorarium dan sebagainya. Di dalam sistem
Common Law, sepanjang menyangkut pejabat publik, intisari dari
kejahatan adalah untuk merusak keadilan (to pervert justice).
Dalam Pasal 418 KUHP bahkan segala hadiah atau janji yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga ada kaitannya dengan kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dilarang. Lima
Pasal KUHP tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. (UU
Njo. 31 Tahun 1999). Khusus berkaitan dengan Pasal 419 KUHP di
Singapura terdapat ketentuan yang lebih keras berupa Non-Acceptance
of Gifts yang pada prinsipnya setiap pejabat dilarang menerima hadiah,
souvenir dan lain-lain sepanjang dapat menempatkan yang bersangkutan
pada suatu kewajiban terhadap orang yang mempunyai hubungan
dengan pekerjaannya. Pemberian tersebut harus dilaporkan dan kalau
ingin memilikinya, harus membayar setelah ditaksir harganya.
295
Kejahatan penyuapan dianggap merusak integritas kemanusian,
kehormatan, demokrasi, kepercayaan, moralitas, keadilan dan
kebenaran, dan tidak hanya berkaitan dengan hubungan antara
pejabat dan warga negara, tetapi juga antar warga negara yang
berkaitan dengan kepentingan umum. Hal ini nampak dari
pengembangan kriminalisasi terhadap tindak pidana penyuapan yang
berkaitan dengan kepentingan umum (UU No. 11 Tahun 1980),
penyuapan dalam pemilihan umum baik supaya orang tidak
menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan
haknya dengan cara tertentu (Pasal 73 UU No. 3 Tahun 1999). Tindak
pidana penyuapan terhadap anggota dewan komisaris, direksi atau
pegawai bank sebagai lex specialis juga diatur dalam UU No. 10 Tahun
1988 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Di dunia internasional, dipelopori oleh OECD (Organization of
Economic Cooperation and Development) telah mendorong agar negaranegara
industri segera melakukan kriminalisasi terhadap apa yang
disebut “korupsi komersial” untuk memerangi penyuapan terhadap
para pejabat publik di negara lain dalam transaksi bisnis internasional.
Dalam hal ini telah diadakan OECD’s ‘Convention on Combating Bribery
of Foreign Public Officials in International Business Transactions’. Di USA
sangat terkenal apa yang dinamakan “the Foreign Corrupt Practices Act”
(FCPA), 1977. Kesemua itudimaksudkan untuk menjawab keprihatinan
terhadap masalah politik dan moral dalam kerangka usaha penciptaan
pemerintah yang baik, pembangunan ekonomi, dan distorsi kondisi
persaingan bisnis internasional yang nampaknya sudah merasakan
betapa perlunya kerjasama internasional untuk mengatasinya.
Suap-menyuap yang berkaitan dengan pejabat publik, ternyata
dapat berkaitan dengan kejahatan yang sangat berat yaitu “kejahatan
transnasional terorganisasi” (transnational organized crimes: TOC) .
Dalam UN Convention Against Transnational Organized Crimes, Palermo,
2000, TOC meliputi pencegahan, investigasi dan penuntutan terhadap
perbuatan berupa partisipasi dalam kelompok kejahatan terorganisasi,
kejahatan pencucian uang, kejahatan korupsi — khususnya penyuapan
terhadap pejabat publik, langsung atau tidak langsung, kejahatan
obstruction of justice dan kejahatan berat yang lain yaitu kejahatan
yang diancam pidana perampasan kemerdekaan maksimum empat
tahun atau lebih.
296
Kasus penyuapan terhadap saksi, apabila benar-benar terjadi
sudah merupakan tindak pidana berat, sebab tidak hanya berkaitan
dengan tindak pidana suap di luar ketentuan perundang-undangan
yang sudah ada (UU No. 11 Tahun 1980) terhadap seseorang, dengan
memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud untuk membujuk
supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
tugasnya (yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya
yang menyangkut kepentingan umum), tetapi juga berkaitan dengan
asas peradilan yang jujur dan dan tindak pidana berupa gangguan
terhadap proses memperoleh keadilan yang juga masuk kategori
transnational organized crimes (Palermo Convention, 2000). Lebih luas
lagi termasuk kategori kejahatan melawan administrasi peradilan.
Pengadilan yang Fair
Prinsip pengadilan yang fair dapat dikaji tidak hanya melalui
hukum nasional (KUHP, KUHAP dan Perundang-undangan yang
berkaitan dengan sistem peradilan, yurisprudensi, hukum kebiasaan),
tetapi juga dari instrumen-instrumen (HAM) internasional, hukum
kebiasaan internasional, asas-asas hukum umum internasional, doktrin
dan keputusan hakim (landmark court decisions). Hal ini bisa berkaitan
dengan tahap-tahap; pre-trial seperti, larangan penangkapan dan
penahanan yang sewenang-wenang, hak untuk mengetahui alasan
penangkapan, hak untuk memperoleh bantuan hukum, hak untuk
memperoleh kepastian tentang sahnya penangkapan dan penahanan,
larangan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, larangan
incommunicado detention; tahap hearing berupa persamaan di depan
hukum, hak untuk diadili secara terbuka dan secara adil, hak untuk
diadili berdasarkan hukum oleh pengadilan yang kompeten,
independen dan tidak memihak, praduga tidak bersalah, hak untuk
segera mengetahui hakekat dari dakwaan, hak untuk diberikan waktu
cukup dan fasilitas guna mempersiapkan pembelaan, hak untuk diadili
tanpa ditunda-tunda secara tidak beralasan, hak untuk membela diri
baik sendiri maupun oleh penasehat hukum, hak untuk memeriksa
saksi-saksi, hak untuk memperoleh penerjemah, larangan self
incrimination, larangan pemberlakuan hukum pidana yang berlaku
surut, dan ne bis in idem. Kemudian tahap post-trial, mencakup hak
untuk naik banding dan hak untuk memperoleh kompensasi apabila
terjadi kegagalan dalam menentukan keadilan.
297
Semua tahapan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
integritas pengadilan sebagai unsur demokrasi, khususnya
keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif, di
samping keharusan terus menerus untuk mempromosikan dan
melindungi HAM. Penyuapan terhadap saksi jelas akan merusak
integritas pengadilan sebagai unsur demokrasi.
Tindak pidana penyuapan terhadap saksi pada dasarnya
merupakan tindak pidana gangguan terhadap hak untuk
mendapatkan keadilan (obstruction of justice) yang dalam Palermo
Convention dirumuskan sebagai berikut:
a. “The use of physical force, threats or intimidation or the promise, offering
or giving of an undue advantage to induce false testimony or to interfere
in the giving of testimony or the production of evidence in a proceeding
in relation to the commission of offenses covered by this Convention”;
b. The use of physical force, threats or intimidation to interfere with the
exercise of official duties by a justice or law enforcement official in relation
to the commission of offenses covered by this convention.
Dalam kerangka obstruction of justice ini orang akan selalu teringat
pidato Rep. Christopher Cannon (Januari 1999), seorang anggota
Kongres dari Utah, di depan Senat AS dalam proses impeachment
Presiden Clinton. Dia menyatakan bahwa kejahatan obstruction of
justice mencakup; a. design to delay, impede, cover up and conceal the
existence of evidence and testimony; b. to use of force or threats, or to
otherwise act corruptly, in order to influence, obstruct or impede the due
administration of justice; c. witness tampering to influence, delay or prevent
the testimony of any person in an official proceeding; or to cause another
person to withhold an object from an official proceeding; or to give wrongful
testimony.
Mengenai “kejahatan melawan administrasi peradilan”, dapat
dikaji sebagai model apa yang telah dirumuskan dalam Statuta Roma,
1998 tentang International Criminal Court. Pada Pasal 70 hal ini
mencakup perbuatan yang dengan sengaja:
a. Giving false testimony when under an obligation pursuant to Art. 69, to
tell the truth;
b. Presenting evidence that the party knows is false or forged;
c. Corruptly influencing a witness, obstructing or interfering with the
attendance or testimony of a witness, retaliating against a witness for
298
giving testimony or destroying, tampering with or interfering with the
collection of evidence;
d. Impeding, intimidating, or corruptly influencing an official of the court
for the purpose of forcing or persuading the official not to perform, or to
perform improperly, his or her duties;
e. Retaliating against an official of the court on account of duties performed
by that or another official;
f. Soliciting or accepting a bribe as an official of the court in connection
with his or her official duties.
Uraian atas dasar instrumen internasional dan negara lain di atas
penting untuk menggambarkan bahwa perbuatan penyuapan
merupakan mala per se dan dikriminalisasikan secara universal.
Sepanjang menyangkut penyuapan terhadap saksi, akan berkaitan
dengan delik yang lebih spesifik dan penting yaitu “obstruction of
justice” dan “offenses against the administration of justice”. Dampak
viktimisasinya bersifat multidimensional, sehingga alasan
kriminalisasinyapun sangat kuat.
Dalam kaitan dengan hukum pidana positif Indonesia, kasus
penyuapan terhadap saksi oleh seorang pengacara akan dapat
dipidana atas dasar UU No. 11 Tahun 1980 tentang “tindak pidana
suap” yang menyangkut kepentingan umum. Di samping itu dapat
pula dikaitkan dengan tindak pidana penganjuran untuk melakukan
sumpah palsu (Ps. 55 ayat (1) ke-2 Jo. Pasal 242 KUHP). Yang terakhir
ini sesuai dengan Pasal 174 KUHAP memerlukan acara khusus.
Sebagai catatan, khusus berkaitan dengan kasus yang dialami
pengacara di atas, sehubungan dengan telah dilakukannya peradilan
kode etik terhadap tersangka oleh asosiasi profesi dalam bentuk
“disciplinary proceedings” dan dinyatakan salah serta telah dijatuhi
sanksi teguran keras, maka sesuai dengan dokumen internasional
(Basic Principles on the Role of Lawyers, 1990) tindakan yang demikian
sudah benar. Namun karena persoalannya berkaitan dengan
pelanggaran etika, dan tidak berkaitan dengan malpraktek maka apa
yang telah diputuskan “pengadilan disiplin” tersebut tidak bersifat
interdependen dengan proses peradilan pidana. Hanya saja dari sisi
pembuktian unsur sifat melawan hukum, secara komplementer hasil
peradilan disiplin tersebut dapat dikaitkan dengan unsur sifat
melawan hukum materiil yang dapat memperkuat unsur sifat
melawan hukum formil. n
299
Negara demokratis yang harus selalu berusaha memenuhi indeks
demokrasi, para penguasanya akan selalu sadar bahwa keberadaan
pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif serta selalu
mempromosikan dan melindungi HAM, merupakan hal-hal yang
bersifat imperatif dan bukan fakultatif. (Beetham, 1999). Termasuk
dalam pengertian imperatif tadi adalah peradilan yang adil (dalam
konteks perlindungan HAM) dalam administrasi peradilan pidana.
Pelbagai norma, nilai dan standar terus dikembangkan baik secara
universal maupun secara nasional. Menurut pengalaman,
perkembangan tersebut melalui tahap-tahap: enunciative, declarative,
prescriptive, enforcement and criminalization”. (Bassiouni, 1994).
Dalam kerangka universal sangat penting untuk diperhatikan
pelbagai perjanjian internasional tentang HAM, terutama yang sudah
diratifikasi oleh suatu negara dan norma-norma hukum kebiasaan
internasional yang sudah diadopsi oleh bangsa-bangsa beradab.
Sedangkan dalam kerangka hukum nasional sangat penting untuk
diperhatikan dan dikaji terus menerus konstitusi negara, khususnya
sepanjang berkaitan dengan HAM, dan sistem peradilan di Indonesia
tidak bisa mengabaikan TAP MPR No. XVII/II/MPR/1998 dan UU
No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Selanjutnya pelbagai ketentuan yang
tersurat dan tersirat dalam KUHP dan KUHAP serta pelbagai
perundang-undangan yang mengatur sistem peradilan pidana,
seperti, UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan pelbagai Perundangundangan
yang mengatur badan peradilan, selain tidak kalah
pentingnya pelbagai yurisprudensi atau landmark court decisions —
meminjam istilah dari negara-negara yang menganut Common law.
Proses Peradilan In Absentia:
Konteks dan Permasalahannya
300
Keberadaan peradilan in absentia bisa dikaji dari tiga sisi. Sisi
pertama memandang peradilan in absentia sebagai bagian dari asasasas
peradilan yang adil. Sisi kedua melihat peradilan in absentia
sebagai bagian dari perlindungan HAM dalam sistem Administrasi
Peradilan Pidana (The Protection of Human Rights in the Administration
of Criminal Justice). Sedangkan sisi ketiga, peradilan in absentia sebagai
lembaga hukum akan bersentuhan dengan asas-asas ekstradisi.
Hak-hak yang Harus Dilindungi
Asas-asas peradilan yang adil membentang mulai dari saat investigasi
dilakukan sampai dengan digelarnya peradilan secara terbuka, termasuk
proses banding, kasasi serta peninjauan kembali, sehingga keputusan
hakim memperoleh kekuatan yang tetap. Hal ini mencakup perlindungan
hak pada tahap-tahap pra peradilan ( pre trial stage), tahap proses peradilan
(the actual trial stage) dan tahap pasca peradilan (post trial stage). Di bawah
ini adalah hak-hak yang harus dilindungi pada masing-masing tahap.
1. Tahap Pra Peradilan:
a. larangan penangkapan atau penahanan sewenang-wenang;
b. hak untuk mengetahui alasan penahan;
c. hak untuk mendapat jasa pengacara;
d. hak untuk hadir di hadapan hakim untuk menguji keabsahan
penangkapan atau penahanan;
e. larangan penyiksaan dan hak untuk mendapatkan perlakukan
manusiawi selama masa penahanan pra peradilan;
f. larangan penahanan incommunicado (yang memutuskan
hubungan dengan orang lain).
2. Tahap Peradilan;
a. akses yang sama di hadapan pengadilan;
b. hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil (a fair hearing);
c. hak untuk mendapatkan pemeriksaan publik (a public hearing);
d. hak untuk diadili pada pengadilan yang tidak memihak,
independen, dan kompeten sebagaimana diatur dalam
undang-undang;
e. hak untuk mendapatkan perlakuan praduga tak bersalah;
f. hak untuk mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai
alasan tuduhan pidana;
g. hak untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang memadai
untuk persiapan penahanan;
301
h. hak untuk memeriksa para saksi;
i. hak untuk mendapatkan penerjemah;
j. larangan melibatkan seseorang yang memberatkan;
k. larangan penerapan hukum-hukum pidana yang berlaku surut;
l. larangan dalam bahaya yang berlipat (double jeopardy)
3. Tahap Pasca Peradilan;
a. hak untuk mengajukan peninjauan;
b. hak untuk mendapatkan ganti rugi karena kesalahan
peradilan.
Dalam kerangka tahapan di atas, peradilan in absentia berkaitan erat
dengan butir 2 (I) di atas mengenai ‘the right to defend oneself in person or
through legal councel ’. Dalam hal ini terjadi pro dan kontra antara yang
menolak peradilan in absentia (NGO’s dan Statuta Roma) dan yang
mendukung (Human Rights Committee-HRC). Yang terakhir ini
menegaskan bahwa peradilan in absentia dibolehkan dalam kondisi
tertentu jika negara dipandang telah cukup melakukan usaha untuk
menginformasikan terdakwa tentang proses peradilan yang akan
berlangsung, sehingga memungkinkan melakukan persiapan pembelaan.
Mengenai perlindungan HAM di dalam Administrasi Peradilan
Pidana, hal ini mencakup lingkup yang sangat luas dan seringkali juga
bersentuhan dengan asas-asas peradilan yang adil di atas. Promosi
dan perlindungan HAM mencakup ruang lingkup sebagai berikut:
a. pencegahan diskriminasi;
b. asas legalitas;
c. non wrga negara dan pengungsi;
d. hak untuk hidup dan bebas dari hukuman yang kejam dan tidak wajar;
e. hak untuk mendapatkan hak dan kebebasan sebagai tahanan;
f. hak untuk mendapatkan peradilan yang adil;
g. Administrasi peradilan remaja (Administration of Juvenile justice);
h. kebijakan peradilan pidana;
i. tata tertib;
j. hak (korban) untuk mendapatkan pengobatan;
k. prosedur untuk menyampaikan keluhan dan laporan (complaints
and reporting procedures);
l. Derogasi;
m. kerjasama internasional dalam hal-hal pidana, termasuk
perjanjian-perjanjian (treaties model).
302
Dalam ruang lingkup ini peradilan in absentia berkaitan erat
dengan “hak untuk mendapatkan peradilan yang fair”, khususnya
Pasal 14 (3) (d) Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
yang mengatur “jaminan minimum”, dalam hal persamaan secara
penuh disebutkan:
“Untuk diadili dengan kehadiran terdakwa dan untuk membela dirinya
sendiri atau melalui bantuan hukum yang dipilihnya sendiri; untuk
diberitahukan haknya, jika ia tidak memiliki bantuan hukum; dan untuk
mendapatkan bantuan hukum yang ditunjuk untuknya dalam hal di
mana peradilan membutuhkannya, tanpa dibayar jika ia tidak mampu
membayarnya”.
Mengenai hal di atas Human Rights Committee of the International
Convenant on Civil and Political Rights memberikan komentar sebagai
berikut:
“Tertuduh atau pengacaranya harus dibenarkan bertindak sungguhsungguh
dan tanpa rasa takut dalam melakukan pembelaan dan hak
untuk menguji keabsahan peradilan jika mereka percaya (peradilan)
tidak melakukan dengan adil. Jika peradilan in absentia dilakukan karena
alasan-alasan yang dapat dibenarkan, hak-hak pembelaan tertuduh
harus tetap diperhatikan….Komisi menetapkan bahwa hak untuk
mendapatkan peradilan secara terbuka tidak melarang tuduhantuduhan
in absentia. Komisi menyatakan bahwa tuduhan in absentia
dibolehkan dalam administrasi peradilan yang tepat, misalnya ketika
tertuduh telah diinformasikan mengenai tuduhan-tuduhannya lebih
dulu tetapi kemudian menolak penggunaan haknya untuk hadir.
Putusan yang sah in absentia mengharuskan pengambilan langkahlangkah
untuk menginformasikan tertuduh lebih dahulu mengenai
tuduhan-tuduhannya, terutama syarat-syarat pada ps. 14 (3) (a): untuk
diberitahukan dengan segera dan rinci dalam bahasa yang bisa
dimengerti mengenai alasan tuduhan terhadapnya. Tujuan
pemberitahuan adalah untuk memberikan kesempatan kepada tertuduh
menggunakan haknya secara efektif di bawah pasal 14. Untuk
memenuhi tujuan ini, pemberitahuan harus menginformasikan kepada
tertuduh mengenai tanggal dan tempat peradilan, dan meminta
kehadirannya.”
Dikaitkan dengan masalah ekstradisi, dapat dikaji Model Treaty
on Extradition. Di dalam pasal 3 yang mengatur Mandatory Grounds for
Refusal huruf (g), ditegaskan hal ini bisa terjadi bila: “Keputusan
negara yang meminta telah memutuskan in absentia, tertuduh tidak
mendapatkan pemberitahuan peradilan yang memadai, atau
303
kesempatan untuk mengatur pembelaannya, dan ia tidak memiliki
kesempatan lagi agar kasusnya diadili dengan kehadirannya”.
Didalam KUHAP, untuk acara pemeriksaan biasa dan
pemeriksaan acara singkat, tidak dibenarkan menerapkan peradilan
in absentia. Dengan demikian kehadiran terdakwa dalam persidangan
merupakan keharusan. Hal ini tersirat dalam Pasal 154 KUHAP yang
mengatur tentang proses menghadirkan terdakwa dalam persidangan,
dan bila perlu dihadirkan secara paksa (Pasal 154 ayat 6 KUHAP).
Persidangan tidak dapat dimulai sampai penuntut umum berhasil
menghadirkan terdakwa di persidangan.
Sebagai catatan, perkecualian bisa saja terjadi dalam pemeriksaan
perkara cepat, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Dalam
hal ini bisa dilakukan “quasi keperdataan” dan perkecualian terhadap
asas in absentia. Undang-undang tidak mewajibkan terdakwa
menghadap in person di sidang pengadilan dan ia dapat menunjuk
wakilnya. (Harahap, 2000).
Dalam beberapa perundang-undangan di luar KUHP, atas dasar
asas lex posteriori derogat legi priori diatur peradilan in absentia, seperti
UU No.3 Tahun 1971 tentang “Pemberantasan Tindakan Pidana
Korupsi” Pasal 23 ayat (1), yang kemudian ditegaskan kembali oleh
UU penggantinya yaitu UU No.31 Tahun 1999 Pasal 38 ayat (1). Dalam
hal ini dinyatakan bahwa jika terdakwa setelah dipanggil dengan
semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan dan tanpa memberi
alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh
hakim tanpa kehadirannya. Sayangnya pengecualian yang signifikan
semacam ini tidak disertai dengan “standar hukum” dan “petunjuk
umum” tentang tata cara untuk melaksanakan peradilan “in absentia”.
Petunjuk umum semacam ini bisa disusun oleh Mahkamah Agung,
misalnya pernyataan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih
lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-undang ini. Hal ini sama persis dengan apa yang telah
dilakukan oleh Mahkamah Agung baru-baru ini melalui PERMA No.1
Tahun 2002 tentang “Acara Gugatan Perwakilan Kelompok”.
Pedoman Umum
Keberadaan “pedoman umum” melalui PERMA tentang standar
yuridis dan tata cara melaksanakan peradilan in absentia sangat
304
penting, melihat kemungkinan viktimisasi terhadap tiga dimensi
kepentingan dalam peradilan in absentia diatas. Pedoman semacam
ini harus bisa menjawab:
a. Hakekat peradilan in absentia sebagai ex parte hearing dalam konteks
sistem peradilan pidana;
b. Peradilan in absentia merupakan peradilan perkecualian dengan
syarat-syarat yang jelas (reasonable cause sebagai bagian minimum
guarantees);
c. Apakah peradilan in absentia hanya berkaitan dengan sidang
pengadilan ataukah bisa juga mencakup ketidakhadiran terdakwa
dalam keseluruhan proses sistem peradilan pidana (mulai
penyidikan sampai dengan sidang pengadilan). Dengan kata lain
apakah dimungkinkan penyidikan in absentia sehingga
menghasilkan dakwaan fiktif (fictional indictment);
d. Sampai seberapa jauh hakim dapat menolak kehadiran penasehat
hukum dalam peradilan in absentia, lebih-lebih apabila terdakwa
in absentia diancam dengan pidana berat;
e. Sampai seberapa jauh dimungkinkan terjadinya persidangan
ulangan, sehingga yang bersangkutan mempunyai kesempatan
untuk melakukan pembelaan.
Beberapa hal yang bisa dijadikan bahan perumusan standar
hukum dan pedoman peradilan in absentia adalah sebagai berikut:
a. Dalam tindak pidana tertentu, pada dasarnya setiap tersangka
atau terdakwa memiliki hak untuk diadili (the right to be tried in
his presence), kecuali yang bersangkutan secara sukarela melepaskan
haknya, atau yang bersangkutan melarikan diri, atau dengan
sengaja yang bersangkutan memilih untuk tidak bersedia hadir;
b. Persidangan in absentia hanya dapat dilakukan atau diperbolehkan
demi kepentingan keadilan, apabila terdakwa yang telah diberi
informasi sebelumnya secara patut, tidak mau atau mundur dari
haknya untuk hadir;
c. Proses pemidanaan pada dasarnya merupakan penghukuman
secara formal (formal condemnation) setelah terjadi penyelidikan,
seleksi dan evaluasi yang akurat terhadap alat-alat bukti yang
mendukung. Sedangkan dakwaan hanya merupakan tuduhan yang
belum terbukti (unproved charge) dan bukan merupakan konklusi
final tentang kesalahan. Dengan demikian peradilan in absentia
305
harus sudah melalui eksaminasi permulaan yang cukup terhadap
alat-alat bukti yang dapat mendukung dakwaan;
d. Peradilan in absentia bisa mensyaratkan bahwa terdakwa pada
permulaan pernah hadir (initial presence), tetapi bisa juga tanpa
syarat tersebut asal tidak diragukan lagi bahwa terdakwa telah
memutuskan secara sukarela dengan kesadaran penuh untuk tidak
melaksanakan haknya untuk hadir;
e. Sekalipun peradilan in absentia dilaksanakan, maka terdakwa harus
dapat diwakili oleh penasehat hukum yang diberinya kuasa.
Dengan alat-alat komunikasi modern memungkinkan penasehat
hukun berkomunikasi dengan terdakwa setiap saat;
f. Apabila pelbagai persyaratan peradilan in absentia tidak dipenuhi,
maka harus dimungkinkan peradilan ulangan (retried) dengan
kehadiran terdakwa, sebab bagaimanapun juga keterangan
terdakwa secara pribadi tetap merupakan alat bukti penting;
g. Persyaratan persidangan ulangan harus didasarkan alasan-alasan
yang masuk akal seperti:
• Hambatan terhadap kehadiran kuasa hukum;
• Panggilan tidak sah atau tidak patut;
• Ketidakhadiran terdakwa alasannya cukup memadai;
• Terdakwa sedang melaksanakan kewajiban hukum lain yang
setara. n
306
Sejak jatuhnya pemerintahan otoriter Orde Baru setelah berkuasa
selama lebih dari tiga dasawarsa, pelbagai hal yang berkaitan dengan
asas-asas umum dan nilai-nilai dasar demokrasi secara simultan dan
mendasar ditinjau kembali, seperti soal transparansi dalam proses
pengambilan keputusan politik, kebebasan pers, pemilihan umum
yang jujur dan adil, pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN
atau good governance, prinsip check and balance, supermasi hukum, dan
sebagainya. Dalam kerangka penegakan supermasi hukum, muncul
di tengah masyarakat pandangan-pandangan kritis agar sistem
perundang-undangan yang dibangun diupayakan seaspiratif mungkin,
melakukan promosi dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia, dan menegakkan kekuasaan kehakiman yang mandiri.
Diskursus yang kerap mengemuka tentang struktur dan kekuasaan
badan-badan pengadilan dan kejaksaan juga agaknya dimaksudkan
dalam kerangka menegakkan supermasi hukum tersebut.
Jika kita cermati, pasal 24 dan 25 UUD 1945 beserta penjelasannya,
sebenarnya cukup melukiskan kesadaran dan visi jauh ke depan yang
dimiliki para founding fathers kita ihwal pentingnya untuk menegakkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dengan cara
menempatkannya di bawah Mahkamah Agung. Persoalan sekitar
kekuasaan kehakiman yang merdeka itu baru kemudian muncul justru
setelah perundang-undangan pelaksanaan dibuat, baik yang berkaitan
dengan hakekat kekuasaan kehakiman maupun muatan dan
penerapannya.
Berkaitan dengan hal di atas, alangkah baiknya apabila hal-hal
pokok yang berkaitan dengan “prinsip kekuasaan kehakiman yang
Struktur Kekuasaan
Lembaga Pengadilan dan Kejaksaan
307
merdeka” yang secara universal telah diakui sebagai instrumen HAM
dan sudah diadopsi oleh PBB itu diatur oleh UUD 1945 dan bukan
oleh Undang-undang. Sesuai dengan standar universal (UN Basic
Principles on the Independence of the Judiciary, 1985) paling tidak
diperlukan adanya pengaturan pokok dalam UUD yang berkaitan
dengan asas-asas umum kekebasan peradilan, kebebasan menyatakan
pendapat dan berasosiasi, kualifikasi, seleksi dan pelatihan hakim,
kerahasiaan profesional dan imunitas serta pengaturan tentang
tindakan disiplin, suspensi dan pemindahan. Selanjutnya, di bawah
ini akan dikemukakan pelbagai pandangan tentang praktek konstitusi
di Indonesia yang dianggap tidak lagi sesuai dengan standar-standar
demokrasi universal, baik yang datang dari dalam negeri maupun
luar negeri, seperti “the International Commision of Jurist”.
Penting segera disadari bahwa ambivalensi – jika tidak disebut
kekacauan — dalam menafsirkan kemandirian kekuasaan kehakiman
yang sudah diakui tersebut muncul setelah secara emosional para
penyelenggara negara mulai mengelaborasi konsep “negara
integralistik”. Konsep ini bertolak dari pandangan dasar bahwa
negara merupakan kesatuan organik yang diasosiasikan – tentu
dengan akibat penyederhanan yang keterlaluan — layaknya sebuah
kehidupan keluarga: apapun yang dilakukan bapak (penguasa) harus
dipahami sebagai bertujuan untuk kepentingan semua anggota
keluarga (rakyat). Karena itu dalam konsep negara integralistik, unsur
harmoni, kebersamaan, sangat amat ditonjolkan. Sebaliknya, segisegi
yang melekat pada hak-hak individual warga negara – kemudian
dipersepsikan sebagai “ancaman” terhadap tatanan harmoni,
kebersamaan, stabilitas — harus ditundukkan dalam kerangka
kepentingan negara. Segala tindakan warga negara yang tidak selaras
dengan kepentingan negara, mudah ditafsirkan sebagai
pembangkangan atau subversif.
Konsep di atas juga menimbulkan implikasi yang sangat
problematik dalam dunia hukum di Indonesia. Pernyataan bahwa
Indonesia merupakan “negara hukum” (rechstaat), mestinya
menempatkan pengadilan dalam posisi strategis, dan bahkan dapat
memberikan kepastian bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif pun
tak terkecuali harus tegak di atas landasan hukum yang berlaku. Karena
itu, di pelbagai negara demokratis berkembang apa yang disebut
“judicialization of politics” atau “policy making by judges”. Maka, jika suatu
308
ketika misalnya terjadi “pertentangan konstitusi” (constitutional conflict)
pengadilan yang merdekalah yang harus menyelesaikannya, bukan
yang lain. Prinsip yang demikian tidak terjadi di era Orde Baru.
Kedudukan pengadilan yang mandiri, juga sering dikacaukan dengan
cara mengintrodusir istilah-istilah atau pengertian-pengertian yang
membingungkan, seperti pernyataan bahwa kita tidak menganut
prinsip “separation of power” tetapi “devision of power”.
Kemudian, ketentuan pasal 4 ayat (3) Undang-undang No 14 Tahun
1970 yang menyebutkan bahwa: “Segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang
(pen: mestinya di sini titik) kecuali dalam hal-hal tersebut dalam UUD”,
menyediakan alasan bagi pihak penguasa untuk memberikan tafsir
menurut visi dan kepentingannya sendiri. Kata “kecuali dalam hal-hal
tersebut dalam UUD”, mudah dimanipulasi, misalnya dikaitkan dengan
“hak preogratif Presiden” (Pasal 14 UUD 1945), untuk melakukan
campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman yang mandiri.
Demikian pula dengan pernyataan bahwa: “penegakan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan sesuai dengan perasaan hukum
bangsa Indonesia dan Masyarakat” yang kerap kita dengar di sepanjang
era kekuasaan Orde Baru, lebih merupakan slogan yang mengaburkan
prinsip-prinsip universal tentang kebebasan peradilan.
Sepanjang menyangkut pemisahan lembaga eksekutif dan yudikatif
sebagaimana dikehendaki TAP MPR (No. X/MPR/1998) sebagai
permulaan keberadaan UU No. 35 Tahun 1999, cukup memadai,
setidaknya sebagai kehendak politik. Namun demikian ketentuan
pengalihan organisasi, administrasi dan finansial yang dijadwalkan paling
lama 5 tahun sebaiknya bisa dilaksanakan lebih cepat. Sebab penundaan
dengan alasan-alasan yang bersifat teknis justru hanya akan mengaburkan
prinsip universal tentang kemandirian kekuasaan kehakiman. Demikian
pula dengan usul untuk melakukan perubahan pelbagai perundangundangan
tentang kekuasaan kehakiman — yang merupakan turunan
dari UU No.14 Th. 1970 – dan pendayagunaan “Dewan Kehormatan
Hakim” serta pembentukan “Sub Komisi Yudikatif Pemeriksa Harta
Penyelenggara Negara”, harus dapat segera dilakukan.
Selain itu, usul untuk membentuk ‘Komisi Yudisial’ sebagaimana
banyak disuarakan masyarakat, khususnya kalangan LSM, dapat saja
dipertimbangkan. Dalam usul itu, Komisi Yudisial, yang para
anggotanya diangkat oleh DPR, diharapkan dapat mengemban fungsi
309
pokok antara lain untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku
Hakim Agung dan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang
Mahkamah Agung. Usul ini sejalan dengan dengan rekomendasi ‘the
International Commision of Jurit’ (1999). Keberadaan lembaga ini penting
untuk memberantas “judicial corruption” – yang di negeri ini terasa
sudah amat merisaukan – bersama-sama dengan lembaga-lembaga
lain, seperti Sub Komisi Yudikatif Pemeriksa Harta Penyelenggara
Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, Dewan Kehormatan Hakim,
Ombudsman. Fungsi lembaga-lembaga seperti ini juga memiliki
relevansi dengan kemungkinan akan diaturnya ‘Perlindungan Saksi’
dan keberadaan Kode Etik yang menegaskan betapa pentingnya
kebebasan peradilan, integritas, ketekunan, persamaan, sikap tidak
memihak (impunity), dan sebagainya.
Mengenai persoalan hak untuk menguji secara materiil dari
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No. 14
Th. 1970, nampaknya harus dirombak secara mendasar karena hanya
dibatasi terhadap produk perundang-undangan di bawah UU, sering
dengan alasan yang dibuat-buat yang sebenarnya untuk
mempertahankan pemerintahan yang arbitrair, seperti alasan tidak
sesuai dengan “konsep negara integralistik”, “division of power”,
kedudukan “hakim sebagai pegawai negeri”, dan sebagainya. Sebab
di dalam prinsip demokrasi hanya mengenal dua alternatif:
memperkuat kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan uji
materiil terhadap UU dan peraturan perundang-undangan lain, atau
membentuk Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Kewenangan
yang sangat strategis seperti ini tidak cukup hanya diatur dalam UU
tetapi harus diatur dalam UUD.
Ada sesuatu celah yang bersumber dari kewenangan pengawasan
Mahkamah Agung, yakni kebiasaan Mahkamah Agung untuk
memberikan perintah kepada pengadilan bawahan dengan alasan
pengawasan untuk menunda atau tidak melaksanakan keputusannya,
bahkan juga keputusannya sendiri dengan alasan yang tidak
transparan. Dalam hal ini harus ada rambu-rambu untuk mencegah
atau membatasi kewenangan mereka. Lalu kedudukan hakim sebagai
pegawai negeri harus segera diakhiri, karena jelas-jelas akan
menimbulkan “conflict of interest” bagi hakim dan rentan terhadap
manipulasi oleh kekuasaan eksekutif, apalagi jika masih harus menjadi
anggota Korpri seperti yang pernah dipraktekkan di jaman Orde Baru.
310
Pendayagunaan hakim adhoc, khususnya di Mahkamah Agung,
harus dilakukan mengingat penunjukannya didasarkan atas
pertimbangan keahliannya sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi,
seperti menyangkut hak cipta, kepailitan, dan sebagainya. Masuknya
“hakim non karir” seperti ini ke dalam Mahkamah Agung sebaiknya
dimungkinkan dengan berpedoman pada peraturan yang jelas, baik
yang berasal dari kalangan akademisi maupun dari praktisi hukum
dengan perimbangan komposisi keanggotaan: 75% hakim karir dan
25% hakim non karir.
Untuk menegaskan betapa strategisnya kedudukan Mahkamah
Agung dalam kehidupan demokrasi, maka selain fungsi-fungsinya
yang sudah diatur dalam UU No. 14 Th. 1985 perlu pula diatur peranan
Mahkamah Agung (melalui keputusan yang dibuatnya) menyangkut
hal-hal sebagai berikut: memberikan pendidikan hukum kepada
masyarakat; sarana pembaharuan hukum; mempromosikan prinsip
kemandirian kekuasaan kehakiman dan hak asasi manusia; mendorong
tegaknya demokrasi; dan memberikan solusi final terhadap konflik
yang terjadi. Sedangkan dalam kerangka “the administration of justice
system” perlu adanya pengaturan yang dapat menampung dan
memberikan pembenaran secara komperhensif atas perkembanganperkembangan
baru dalam bentuk pengadilan khusus, seperti
“Pengadilan Niaga”, “Pengadilan HAM”, “Pengadilan Hak Cipta”, dan
sebagainya, yang sering kali memuat unsur penyimpangan baik dari
sisi prinsip-prinsip hukum materiilnya maupun hukum acaranya.
Dalam kerangka globalisasi perlu adanya pengaturan yang dapat
menstimulasi para hakim untuk memperhatikan sumber-sumber
hukum internasional baik berupa “konvensi internasional” yang sudah
diratifiksai, “hukum kebiasaan internasional” (international customary
law), “asas-asas hukum umum yang sudah diterima oleh bangsabangsa
beradab”, “instrumen-instrumen HAM”, dan lain sebagainya,
termasuk “Perda” untuk mengantisipasi berlakunya “otonomi
daerah” (UU No. 22 dan 25 Th. 1999).
Hal penting yang lain, perlu diadakan sosialisasi bahwa tidaklah
mungkin prinsip-prinsip “UN Basic Principles on the Independence of the
Judiciary” tanpa adanya ketaatan para pengacara terhadap “UN Basic
Princples on the Role of Lawyers”. Bahkan saat ini PBB sedang merancang
adanya sebuah deklarasi tentang “Independence of Justice” Sosialisasi
ini juga sebenarnya perlu dilakukan kepada lembaga-lembaga lain yang
311
secara potensial dapat “mempengaruhi” kebebasan peradilan, seperti
lembaga eksekutif, legislatif, pers, NGO’s, dan sebagainya. Kemudian,
pengaturan yang memungkinkan adanya “spesialisasi hakim” untuk
mengantisipasi penanganan kasus-kasus hukum yang semakin
kompleks, khususnya di bidang komersial dan ekonomi yang
berkembang demikian cepat, juga perlu mendapatkan pertimbangan.
Khusus mengenai kejaksaan, harus segera disadari bahwa
lembaga ini merupakan bagian penting dari sistem peradilan pidana.
Secara idiil, dalam pengaturan susunan dan kekuasaannya, selain harus
memperhatikan aspirasi nasional, juga harus dikaji nilai-nilai universal
seperti, “Guidelines on the Role of Prosecutors” yang diadopsi oleh
Kongres ke 8 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders” di Havana pada tahun 1990. Pengaturan susunan dan
kekuasaan kejaksaan haruslah mencakup hal-hal sebagai berikut:
- Persyaratan untuk menjadi jaksa harus didasarkan atas integritas
dan kemampuan melalui pelatihan kualifikasi;
- Kriteria seleksi tidak boleh mengandung unsur diskriminasi,
kecuali soal nasional;
- Pendidikan harus mengandung unsur etika dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi terdakwa serta hak korban kejahatan yang
diakui oleh hukum nasional dan internasional;
- Jaksa adalah salah satu unsur utama dari “agent of the administration
of justice” yang harus menjaga martabat dan profesinya;
- Negara harus menjamin keamanan jaksa agar bebas dari pelbagai
gangguan dalam menjalankan profesinya;
- Promosi terhadap jaksa harus didasarkan atas kriteria yang
obyektif;
- Sebagai warga negara, jaksa harus diberi hak kebebasan untuk
berekspresi, berkumpul, berorganisasi, dengan berpedoman pada
hukum dan etika;
- Kantor jaksa harus terpisah dari fungsi-fungsi yudisial;
- Jaksa harus aktif dalam proses peradilan pidana, termasuk
mengawasi pelaksanaan keputusan hakim;
- Jaksa harus menghormati martabat HAM dan bertindak adil,
konsisten dan cepat;
- Jaksa harus menghindarkan diri dari sifat diskriminatif dan tidak
boleh memihak;
- Menjaga rahasia jabatan, kecuali demi kepentingan keadilan;
312
- Memperhatikan hak-hak korban;
- Jaksa tidak akan melakukan atau meneruskan penuntutan apabila
penyidikannya ternyata terbukti tidak netral (memihak) dan tidak
berdasar;
- Jaksa harus memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus
yang melibatkan pejabat — khususnya yang berkaitan dengan
kewenangan yang dimilikinya, apakah sudah ditangani sesuai
hukum yang seharusnya atau sebaliknya;
- Apabila jaksa mengetahui bahwa bukti-bukti diperoleh secara
melawan hukum, maka dia harus menolaknya atau memberi
informasi kepada pengadilan dan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk membawa yang bertanggungjawab ke
pengadilan;
- Dengan mempertimbangkan hak-hak tersangka dan korban, jaksa
harus menjajagi kemungkinan penerapan “alternative prosecution”
atau “divesrion”;
- Untuk menjaga kejujuran dan keadilan dan efektivitas penuntutan,
jaksa harus kerjasama dengan polisi, pengadilan, pengacara, dan
lembaga-lembaga lain yang relevan;
- Tindakan disiplin terhadap jaksa harus diproses secara adil sesuai
dengan prosedur dan ada jaminan untuk ditinjau secara
independen.
Salah satu keberatan dalam negara demokrasi adalah adanya
pelanggaran terhadap prinsip “persamaan di depan hukum”. Dalam
kaitan dengan tugas kejaksaan, masalah ini berhubungan dengan “asas
peluang” (opportunity) yang memberikan kewenangan Jaksa Agung
untuk melakukan penyimpangan perkara demi kepentingan umum
(deponering), sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU No 5 Th. 1991.
Dalam era demokrasi, sudah sepantasnya ketentuan semacam ini
dihapuskan. Bahkan rekomendasi untuk menempatkan Kejaksaan
Agung sebagai lembaga yang mandiri dan tidak menjadi bagian dari
anggota kabinet, patut didukung. n
313
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Nabil R., Dogramaci, Oktay, Gangopadhyay, Aryya,Yesha,
Yelena, “Electronic Commerce, Technical, Business, and Legal Issues,
Prentice Hall”; PTR, New Jersey, 1999.
Barry, Brian, “Justice as Impartiality”, Oxford University Press, 1995.
Bassiouni, M, Cherif, “International Criminal Law, Vol I” (Crimes),
Trans. Inc., New York, 1985.
Bassiouni, M. Cherif, “Crimes Against Humanity in International Criminal
Law”, Martinus Nijhof Publ., London, 1992.
Baumer, David and Poindexter, J.C., “Cyberlaw and E-Commerce”, Mc
Graw-Hil Company, New York, 2002l.
Bayley, David H., “Police for the Future”, Oxford University Press,
New York, 1994.
Beetham, David, “Democracy and Human Rights”, Blackwell Publ. Ltd
London, 1999.
Bequai, August, “Organized Crime”, Lexington Books, Toronto, 1989.
Bick, Jonathan, “101 Things You Need ton Know About Internet Law”,
Three Rivers Press, New York, 2000.
Birnie, Patricia W. And Boyle, Alan E., “International Law the
Environment”, Clarendon Press, Oxford, 1994.
Biro Pusat Statistik, “Wanita dan Pria di Indonesia”, 1995
Box, Steven, Power, “Crime, and Mystification, Tavistock Studies in
Sociology”, Tavistock publ. London, 1991.
Brickey, Kathleen F, “Corporate and White Collor Crime”, Little, Brown
and Company, London, 1995
Brown, Seyom, “Internatinal Relations in a Changing Global System”,
Westview Press, Oxford, 1992
Buergenthal, “International Human Rights”, West Publ.Co., Minn., 1988
Cappelletti, Mauro, “Who Watches the Watches: a Comparative Study on
Judicial Responsibility”, dalam: Judicial Independence : the
Contemporary Debate (Shetreet.s and Deschenes j.), Martinus
Nijhoff Publ.,1985.
314
Chaikin, David, “Tracking the Proceeds of Organized Crime- the Marcos”
(Paper), Canberra, 2000.
Chester L, “Sociology”, Fifth International Book Company,
Clinnovd, Marshall, B and Yeager, Peter c, “Corporate Crime”, London,
Collor Mc Millan Publ., 1980
Cohen, Cynthia Price, “UN Convention on the Rights of the Child
Introductory Note”, dalam : The Review ICJ, No.44, 1990.
Cyber Crime, CDPC, Strasbourg, 2000. “Confronting Cross Border
Crime”, Time Europe, Vol. 1.
Daniels, John L. and Daniels, Caroline, “Global Vision”, McGraw-Hill
International Edition, Toronto, 1993.
Daniels, John, “Global Vision”, Mc Graw Hill, Int. Edition, New York,
1994.
Departemen Kehakiman, Rancangan KUHP (Baru), 1993
Department of State, USA, “International Strategy Against Corruption”,
1999.
Dias, Clarence J. and Gilles, David, “Human Rights, Democracy, and
Development”, ICHRDD, National Library of Canada, Montreal,
1993.
Draft Resolution XVth, International Congress of Penal Law: “Crimes
Againts the Environment-Application of the General Part”, Rio de
Janeiro, Brazil 9-10 September 1994.
Drucker, Peter F, “Managing in Turbulent Times”, Harper Business,
New York, 1991.
Endeshaw, Assafa, “Internet and E-Commerce Law, With a Focus on
Asia Pacific”, Prentice Hall, Montreal, 2001.
Estrin, David and Swaigen, John, “Environment on Trial, Handbook of
Ontario Environmental Law”, Revise Edition, Toronto 1988.
Ghai, Yash, “Human Rights and Governance: The Asia Debate”, dalam
buku: The Australian Year Book of International Law, Vol. 15,
The ANU, Sydney, 1994.
Girasa, Roy J, “Cyberlaw, National and International Prerspectives”,
Prentice Hall, New Jersey, 2002.
315
Goldstein, Joseph, “Criminal Justice, Law and Politics” (George Cole),
1976.
Goldwin, Robert A, Schambra, William A, “How Does the Constitution
Secure Rights?”, American Enterprise Inst. for Public Policy
Research, Washington DC, 1985.
Graham, John, “Crime Prevention Strategies in Europe and North
America”, Heuni, Helsinki 1996.
Hagan, Frank E, “Political Crime, Ideology and Criminality” , Allyn a
Bacon, Singapore, 1997.
Hagan, Frank E, “Political Crime”, Allyn and Bacon, Singapore, 1997
Hagan, Frank E., “Political Crime, Ideology & Criminality”, Allyn and
Bacon, Boston, 1997.
Handelman, “Confronting Cross Border Crime, Time Europe”, Vol 1 No.
16, 2000.
Heise, Lori L. dkk, “Violence Against Woman, Hidden Health Burden”,
World Bank Discussion paper, WB. Washington DC, 1994.
Helmut EPP, “Crime by Government”, Association Internationale de
Droit Penal, 1994.
Hendriks, LEM en Woretshofer, J, Milieustrafrecht, “WEJ Tjeenk
Willink Zwolle“, 1995.
Holms & Burke, “Terrorism, Today’s Biggest Threat to Freedom”,
Kensington Publ. Corp., New York, 1994
Hoogers h.g. and Warmelink h.g., “The Compatibility of
Rechtsstaatprinciples”, 1999.
http://www.eur.nl/frg/iacl/papers/warmhoog.html, hal. 13.
International Criminal Court, “Rome Statute, Rome, 1988.
International Review of Penal Law, 3’ et 4’ trimestres 1994, “Crimes
Againts Environment, General Part Preparatory Colloqium”, Sction
1, Ottawa (Canada), November 2-6, 1992.
Ishikawa, Hiroshi, “Characteristic Aspect of Jaspanese Criminal Justice
System- A Successful of Example of Integrated Approach”, Jakarta,
1984.
316
Jorgensen, Nina H.B., “The Responsibility of States for International
Crimes”, Oxford University Press, London, 2000
Kaiser, G dkk., “Victims and Criminal Justice” Kriminologische
Forschungsberichte, Part I, Max-Planck Institute, Freiburg, 1991.
Kelompok Kerja Convention Watch, Laporan Seminar: Implementasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita Dalam Dunia Kerja Serta Usaha Mengantisipasi Situasi
Kerja Pada Era Pasar Bebas, Jakarta, 1995
Klip, Andre and Sluiter, Goran, “Annotated Leading Cases of
International Criminal Tribunals” (ICTY 1993-1998), Hart Publ.
Vienna, 1999.
Komnas HAM, “Laporan Lokakarya Kejahatan terhadap Kemanusiaan”,
Jakarta, 2002.
Kumpulan makalah pada Seminar “Calling for Change: International
Strategies to End Violence Againt Woman”, tanggal 6-9 Juni 1993,
Den Haag.
Lessig, Lawrence, “Code and Other Laws of Cyberspace”, Basic Books
New York, 1999.
Naisbitt, John, “Global Paradox”, Avon Books, New York, 1995.
Nilson, Hans, G, “Future Corruption Control in Europe”, Fifth
International Anti 12. Corruption Conference, Amsterdam, 1992.
Ohmae, Kenichi, “The End of the Nation State”, The Free Press,
Singapore, 1955.
Hoogers h.g. and Warmelink h.g., “The Compability of Rechstaatprinciples”.
Pompe, S. van Hoeij Schiltouwer, “the Indonesian Supreme Court, Fifty
Years of Judicial Development”, 1996.
The Universal Declaration of Human Rights, Art. 10 dan the International
Covenant on Civil and Political Rights, Art. 14(1).
Pollock, Joycelyn M, “Aethics, Crime and Justice”, Wadsworth Publ.
Company, Washington, 1998.
Robertson, Geoffrey, “Crimes Against Humanity”, Penguin Books, New
Delhi, 1999.
317
RUU KUHP, DEPKUMDANG, 1999-2000.
RUU tentang KUHP (1999-2000) DEPKUMDANG
Schabas, William A, “An Introduction to the International Criminal Court”,
Cambridge University Press, 2001.
Schaffmeiter S dkk, “Hukum Pidana”, diterjemahkan oleh JE Sahetapy,
Konsorsium Ilmu Hukum Dep. P&K, 1995
Schiltz, Michael E., “Ethics and Standards in Institutional Research”,
Jossey-Bass Publ., 1992.
Schwartau, Winn, Cybershock, “Surviving Hackers, Phreackers, Identity
Thieves, Internet Terrorist and Weapons of Mass Disruption”,
Thunder’s Mouth Press, New York, 2000.
Sheley, F. Joseph, “Exploring Crime”, Wadsworth Publ.Coy. California,
1987.
Shrode, Wiliam A and Voich, Jr, “Organization and Management: Basic
System Concepts”, Irwin Book Company, Malaysia, 1994.
Smith, JC and Hogan, Brian, “Criminal Law”, Fifth Edition,
Butterworths, 1997
Statuta ICTY, 1993.
Statuta ICTR, 1994.
Statuta Roma, 1998.
Steiner, Henry J, and Alston Philip, “International Human Rights in
Context, Law Politics Morals”, Clarendon Press Oxford, 1996
Sterling, Bruce, “The Hacker Crackdown, Law, Disorder on the Electronic
Frontier”, Bantam, Auckland, 1992.
The Portland Draft, “Proposed Model for a Domestic Law or Crimes Againts
the Environment”, Oregon, USA March 23, 1994.
Triffterer, Otto, “Commentary on the Rome Statute of the International
Criminal Court”, Baden 999.
UN Convention Against Terrorism.
UN Convention Against Transnational Organized Crimes, United Nations,
2000.
318
UN Decade Against Drug Abuse, Political Declaration and Global Program
of Action, 1991-2000.
UN Ministerial Meeting, “Conference on Organized Transnational Looking
at the Present to prepare for the Future”, Napels, 1994.
UN, “Human Rights and Law Enforcement”, Profesional Training Series
No. 5, Geneve, 1997.
UNIFEM, “CEDAW and Women’s Rights”, 1995.
UNIFEM, “Women’s Rights and Children Rights”, 1995.
United Nations, “A Compilation of international Instruments, Human
Rights”, Volume I (first part), New York, 1993.
United Nations, “A Compilation of International Instruments, Volume I
and II (Second Part)”, New York, 1993.
United Nations, “Instruments related to the Prevention and Suppression
of International Terrorism”, New York, 2001.
United Nations, “Preliminary Report : Environmental crime sectioning
strategies and sustainable development”, commission on Crime
Prevention and Criminal Justice, Vienna, 21-30 April 1992 (Doc.
E/CN 15/1992/CRP4).
United Nations, “Report of the Fourth World Conference on Woman”,
Doc. A/CONF.177/20, 17 Oktober 1995.
United Nations, “Report of the Ninth United Nation Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”, Cairo, 29 April
– 8 May 1995, (Doc. A/CONF. 169 16, 12 May 1995).
United Nations, “UN Convention Against Transnational Organized
Crime”, 2000.
United Nations, “World Conference on Human Rights”, Vienna
Declaration and Programme of Action, 1993.
United Nations, Ecosoc, “Human Rights and the Environment”, Doc.
E/CN.4/Sub.2 1994 9, 6 July 1994.
Universitas Mercu Buana, “Aktualisasi Pengamalan Pancasila dan
UUD 1945 Dalam Era Globalisasi”, Jakarta 1995.
UU No. 26 Th. 2000.
319
Van Bemmeien, “Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian
umum”, (terjemahan), Binacipta, 1984
Van Dijk, Jan JM, “Victim Rights: A Right to Better Service or A Right to
The Active Participation”, Criminal Law in Action, Gouda Quint
bv, Arnhem, 1986.
Walker, Clive and Starmer, Keir, “Miscarriage of Justice”, Blackstone
Press Limited, London, 1999.
Wallington, Peter & Lee, Robert G., “Statutes on Public Law and Human
Rights”, 2001-2002, 11 th Edition, Blackstone’s Press.
Work Programme to Implement he Asean Plan of Action to Combat
International Crime, Asean Secretariat, 2001.
Yates, Gayle kondusif Graham, “What Woman Want”, The Ideas of
the Movement, Harvard University Press, London, 1977.
320
Prof. Dr. Muladi S.H. lahir di Solo, Jawa
Tengah, 26 Mei 1943. Menyelesaikan gelar
doktor dalam bidang Ilmu Hukum di
UNPAD Bandung pada 1984. Dalam
perjalanan karirnya sebagai ahli hukum
pidana, Muladi pernah menjabat sebagai
Dekan FH UNDIP (1986-1992); Rektor
UNDIP (1994-1998); Anggota Komnas HAM
(1993-1998); National Correspondent RI pada “Commission on Crime
Prevention and Criminal Justice”, ECOSOC UN (1991-1998); Menteri
Kehakiman RI (1998-1999); Menteri Sekretaris Negara RI (1999);
Hakim Agung (2000-2001). Ia pernah mendapat penghargaan Bintang
Mahaputra Adi Pradana kelas II (1999).
Saat ini, selain menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus The Habibie
Center dan Ketua Dewan Penasehat Indonesian Police Watch, ia juga
menjadi Dosen Pasca Sarjana di beberapa Perguruan Tinggi (UNDIP,
UNILA, UNSRI, UNISBA, UNPAD, STHM, UNISULA, UBAYA,
PTIK). Selain itu, Muladi juga aktif mengikuti pelbagai kegiatan ilmiah
(dalam dan luar negri) baik sebagai peserta maupun sebagai
narasumber. Beberapa buku yang ditulisnya antara lain:
Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana; Hak Asasi
Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana; dan Kapita Selekta
Sistem Peradilan Pidana, dan lain-lain.
Tentang Penulis
Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan
Reformasi Hukum di Indonesia Prof. Dr. Muladi, S.H.
Bahwa hukum – baik secara substantif, kelembagaan,
maupun kultural – sangat dipengaruhi oleh corak sebuah
sistem kekuasaan yang melingkupinya, menyerupai
aksioma yang hampir tak terbantah. Maka ketika sistem
kekuasaan otoriter rezim Orde Baru runtuh, dan sebuah
cita-cita sosial baru yang lebih demokratis, berkeadilan
dan menghargai hak-hak asasi manusia hendak
ditegakkan, tak bisa dihindari bidang hukum harus pula
segera direformasi secara mendasar dan terpadu
mengingat kerusakannya yang telah demikian sistemik.
Secara substantif, pelbagai produk hukum dan undangundang
yang tidak kompatibel dengan aspirasi demokrasi
dan HAM perlu ditinjau ulang. Secara struktural, seluruh
perangkat institusi penegakan hukum harus dibebaskan
dari kemungkinan campur tangan kekuasaan. Dan secara
kultural, penegakan tradisi “taat hukum” di lingkungan
masyarakat luas harus menjadi komitmen semua pihak.
Dalam hal ini, tekad dan fungsi leadership serta
keteladanan, terutama dari aparat pemerintah, menjadi
keharusan yang tak bisa ditawar-tawar.
Selain itu, reformasi hukum juga penting
mempertimbangkan tren globalisasi. Kemajuan di bidang
teknologi informasi dan transportasi, telah memunculkan
ragam jenis-jenis kejahatan baru yang tidak sederhana
karena kompleksitas elemen-elemen kejahatan yang ada
di dalamnya, baik dari sisi substansi, motif maupun
pelaku yang terlibat di dalamnya. Jika tidak diantisipasi,
dapat berakibat sangat serius karena
perangkat hukum dan undangundang
yang dimiliki gagal
memenuhi fungsi minimalnya:
memberikan kepastian hukum,
keadilan, dan mencegah kejahatan.

2 komentar:

Lady Lianmey mengatakan...

Nama saya Dian Pelangi dari Jakarta di Indonesia, saya seorang perancang busana dan saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu semua orang agar berhati-hati dalam mendapatkan pinjaman di internet, begitu banyak pemberi pinjaman di sini adalah penipu dan mereka ada di sini. menipu Anda dengan uang hasil jerih payah Anda, saya mengajukan pinjaman untuk sekitar Rp900.000.000 wanita di Malaysia dan saya kehilangan sekitar 29 juta tanpa mengambil pinjaman, saya membayar hampir 29 juta masih saya tidak mendapatkan pinjaman dan bisnis saya tentang jatuh karena hutang.

Ketika saya mencari perusahaan pinjaman swasta yang dapat diandalkan, saya melihat iklan online lainnya dan nama perusahaan tersebut adalah THE WORLD LOAN COMPANY. Saya kehilangan 15 juta dengan mereka dan sampai hari ini, saya tidak pernah menerima pinjaman yang saya ajukan.

Ya Tuhan, teman-teman yang mengajukan pinjaman juga menerima pinjaman tersebut, memperkenalkan saya pada perusahaan terpercaya di mana Ibu Christabel bekerja sebagai manajer cabang, dan saya mengajukan pinjaman sebesar Rp900.000.000 dan mereka meminta kredensial saya, dan setelah itu mereka selesai memverifikasi detail saya, pinjaman disetujui untuk saya dan saya pikir itu hanya lelucon, dan mungkin ini adalah salah satu penipuan yang membuat saya kehilangan uang, tetapi saya tertegun. Saat saya mendapatkan pinjaman dalam waktu kurang dari 6 jam dengan suku bunga rendah 2% tanpa agunan

Saya sangat senang Tuhan memakai teman saya yang menghubungi mereka dan memperkenalkan saya kepada mereka dan karena saya selamat membuat bisnis saya melambung tinggi dan dilikuidasi dan sekarang bisnis saya terbang tinggi di Indonesia dan tidak ada yang akan mengatakannya. tahu tentang perusahaan fashion.

Jadi saya sarankan semua orang yang tinggal di Indonesia dan negara lain yang membutuhkan pinjaman untuk satu tujuan atau lain untuk menghubungi
christabel ibu melalui email: christabelloancompany@gmail.com

Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: (lianmeylady@gmail.com) dan Sety memperkenalkan dan berbicara tentang christabel, dia juga mendapat pinjaman baru dari christabel, Anda juga dapat menghubungi dia melalui emailnya: permatabudiwati@gmail.com Sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah berusaha memenuhi pembayaran pinjaman yang saya kirimkan langsung ke rekening mereka setiap bulan.

Sebuah kata untuk orang bijak sudah cukup

Sekali lagi terima kasih telah membaca kesaksian saya, dan semoga Tuhan terus memberkati kami dan memberi kami umur panjang dan hidup sejahtera dan semoga Tuhan melakukan pekerjaan baik yang sama dalam hidup Anda.
Ibu yang baik Christabel Missan Nomor WhatsApp +15614916019

Lady Lianmey mengatakan...

Nama saya Dian Pelangi dari Jakarta di Indonesia, saya seorang perancang busana dan saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu semua orang agar berhati-hati dalam mendapatkan pinjaman di internet, begitu banyak pemberi pinjaman di sini adalah penipu dan mereka ada di sini. menipu Anda dengan uang hasil jerih payah Anda, saya mengajukan pinjaman untuk sekitar Rp900.000.000 wanita di Malaysia dan saya kehilangan sekitar 29 juta tanpa mengambil pinjaman, saya membayar hampir 29 juta masih saya tidak mendapatkan pinjaman dan bisnis saya tentang jatuh karena hutang.

Ketika saya mencari perusahaan pinjaman swasta yang dapat diandalkan, saya melihat iklan online lainnya dan nama perusahaan tersebut adalah THE WORLD LOAN COMPANY. Saya kehilangan 15 juta dengan mereka dan sampai hari ini, saya tidak pernah menerima pinjaman yang saya ajukan.

Ya Tuhan, teman-teman yang mengajukan pinjaman juga menerima pinjaman tersebut, memperkenalkan saya pada perusahaan terpercaya di mana Ibu Christabel bekerja sebagai manajer cabang, dan saya mengajukan pinjaman sebesar Rp900.000.000 dan mereka meminta kredensial saya, dan setelah itu mereka selesai memverifikasi detail saya, pinjaman disetujui untuk saya dan saya pikir itu hanya lelucon, dan mungkin ini adalah salah satu penipuan yang membuat saya kehilangan uang, tetapi saya tertegun. Saat saya mendapatkan pinjaman dalam waktu kurang dari 6 jam dengan suku bunga rendah 2% tanpa agunan

Saya sangat senang Tuhan memakai teman saya yang menghubungi mereka dan memperkenalkan saya kepada mereka dan karena saya selamat membuat bisnis saya melambung tinggi dan dilikuidasi dan sekarang bisnis saya terbang tinggi di Indonesia dan tidak ada yang akan mengatakannya. tahu tentang perusahaan fashion.

Jadi saya sarankan semua orang yang tinggal di Indonesia dan negara lain yang membutuhkan pinjaman untuk satu tujuan atau lain untuk menghubungi
christabel ibu melalui email: christabelloancompany@gmail.com

Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: (lianmeylady@gmail.com) dan Sety memperkenalkan dan berbicara tentang christabel, dia juga mendapat pinjaman baru dari christabel, Anda juga dapat menghubungi dia melalui emailnya: permatabudiwati@gmail.com Sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah berusaha memenuhi pembayaran pinjaman yang saya kirimkan langsung ke rekening mereka setiap bulan.

Sebuah kata untuk orang bijak sudah cukup

Sekali lagi terima kasih telah membaca kesaksian saya, dan semoga Tuhan terus memberkati kami dan memberi kami umur panjang dan hidup sejahtera dan semoga Tuhan melakukan pekerjaan baik yang sama dalam hidup Anda.
Ibu yang baik Christabel Missan Nomor WhatsApp +15614916019